Qobiltu Nikaha
Hari terlihat sempurna untukku. Matahari yang cerah, semilir angin segar dan suasana hatiku yang penuh kebahagiaan. Alhamdulillahirobbil alamin. Segala puji mutlak hanya untuk Allah. desau angin kembali menerpa wajah dan khimar yang aku gunakan. Aku tersenyum tipis. Terimakasih atas kesempatan ini Ya Allah.
"Umi dan Abi pasti bahagia jika aku mengabari mereka," bisikku pada diri sendiri.
Tiba-tiba detak jantungku berbunyi tidak karuan. Kebahagiaan kembali menguar dan itu membuat bibirku terus mengulas senyum. Aku tidak peduli jika ada salah satu rekan satu kamarku yang menganggap aku gila. Toh ini sebuah prestasi juga. Aku akan menginjakkan kaki ke luar negeriku tercinta untuk menuntut ilmu. Untuk menggeser gunung tinggi dan membawanya ke rumah untuk kupersembahkan kepada umat di negeri ini. Gunung itu bernama pengetahuan. Gunung yang dibutuhkan oleh umat demi kemajuan. Tekadku telah bulat, aku akan berusaha keras untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Man jadda, wa jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Kuusap layar pipih di tanganku. Menyentuh nama umi dan memanggilnya. Kudekatkan ponsel itu ke telinga. Tut, Tut, setelah terdengar dua kali bunyi sambungan telepon. Segera suara halus menyapaku dari seberang. Suara umi selalu meneduhkan, seperti air yang mengalir membasahi hatiku.
"Assalamualaikum, Umi," rasanya aku seperti meledak saking bahagia dan ingin cepat-cepat memberi kabar bahaggia ini kepada keluargaku di Ngantang.
"Walaikumsalam, Fin. Tumben telepon?" Balasan itu memaksa bibirku mengerucut ke depan. 'Anaknya telepon malah ditanya tumben telepon'.
"Umi, Afin ketrima di kampus yang aku damba," terdengar lafal hamdalah berulang-ulang diucapkan umi dan abi. Mungkin umi memang sedang bersama abi.
"Kamu akan kuliah dimana, nduk?" pertanyaan inilah yang sedari tadi kutunggu. Umi dan abi pasti akan terkejut dan bahagia jika aku menyebutkan nama negeri timur tengah yang terkenal sebagai tanah kelahiran Nabi besar Sholallohu alaihiwassalam dan tempat tinggal sahabat Uwais Al-qarni yang kisahnya amat mashyur itu.
"Di Yaman, mi."
Hening. Aku mengerutkan kening. Kenapa tidak ada jawaban yang memuaskan? Apakah umi dan abi sudah tidak disana?
"Umi?"
"Ya-ya alhamdulillah, nduk. Tapi dengan siapa kamu akan tinggal di sana?" Suara umi bergetar membuat dadaku meragu. Apakah umi tidak bahagia kalau anaknya mendapat beasiswa sekolah di luar negeri? Aku masih terdiam, sampai suara bariton yang penuh wibawa dan ketegasan itu terdengar mengambil alih pembicaraan.
"Nduk, kamu pulang dulu ya, seminggu saja," itu suara abi.
Mataku melotot mendengar kata-kata itu. Memangnya ada apa? Atau mungkin abi ingin menyuruhku melepas beasiswa di Yaman itu? Pikiranku menduga-duga, tanpa sadar mulai berprasangka buruk pada kedua orang tuaku. Astagfirullahaladzim. Kubasahi bibir dengan istigfar berkali-kali. Tidak ada orang tua yang akan menimpakan duka kepada anaknya. Aku menggeleng kuat. Sebagai putrinya, aku harus takzim kepada kedua orang yang merawatku sejak kecil ini.
"A-abi kangen," rahangku mengeras ketika kalimat tergagap itu terdengar begitu tulus. Ya Allah, aku pun lupa untuk sambang ke rumah. Benar saja abi menginginkanku mengambil libur dari rutinitasku sebagai ustazah di pondok pesantrenku di Kediri. Rupanya, kedua orang tuaku menimbun rindu di palung hatinya kepada putri semata wayangnya. Ya Allah, mengapa aku tidak peka? Mataku terasa berkabut. Abi yang begitu keras dalam mendidikku semasa aku di rumah, bisa sehalus itu berkata rindu.
"Iya, abi, Afin juga rindu. Minggu depan Afin akan pulang ke Ngantang," jawabku dengan cucuran air mata. Ya Allah, bagaimana bisa aku terlena dengan duniaku sendiri dan lupa jika kedua orang tua menunggu kepulanganku di sana?
Ya Allah, berikanlah umur penjang untuk kedua orang tuaku. Agar aku bisa berbakti kepada mereka, walau itu tidak sebanding dengan jasa mereka yang telah merawat, mendidik dan mendoakanku di setiap sujudnya.
"Assalamualaikum," tutupku. Kedua orang di seberang membalas salamku lalu terdengar sambungan terputus.
Aku tercenung di tempat. Air mata kembali menetes dari pelupuk mata. Aku memang harus pulang sebelum keberangkatanku ke Yaman dua bulan lagi. Aku beranjak dari depan jendela kamar. Kuambil tas ransel dan mulai memilah baju yang akan aku bawa pulang ke Ngantang.
"Mau kemana, ustazah?" tanya Nafizah, salah satu rekan ustazah.
"Mau sambang ke rumah, ustazah," balasku sambil mengulas senyum.
"Disuruh pulang?" Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Ustazah Naf segera menggeser tubuhnya mendekat.
"Hati-hati, kebanyakan orang tua yang menyuruh anaknya pulang itu mau dinikahkan," bisikan ustazah Naf segera merubah kecepatan detak jantungku.
"Ah, sampeyan ini ada-ada saja, ustazah. Jangan nakut-nakutin," balasku pura-pura tidak terpengaruh dengan kalimat tadi.
"Itu, si Siti, Mutia dan Aminah kan nggak balik pondok karena dinikahkan," tambah ustazah Naf membuatku terdiam beberapa saat. Bagaimana jika ucapan ustazah Naf benar? Ah, tidak mungkin. Aku menggeleng kuat. Abi hanya rindu padaku, bukan berarti abi akan menikahkanku dalam waktu seminggu, kan? Aku meneruskan pekerjaanku setelah berusaha kuat menghapus kalimat ustazah Naf dari kepala.
Berkali-kali aku menggeleng kuat, berusaha mengusir kalimat ustazah Naf yang masih saja bertamu di pikiranku. Tidak! Abi dan umi tidak mungkin akan menikahkanku dalam waktu seminggu. Lagipula mereka tahu kalau beberapa bulan lagi aku akan hijrah ke Yaman untuk melanjutkan pendidikan.
"Assalamualaikum, ustazah Afin," aku yang sedari tadi mematung di dekat jendela kamar segera mengalihkan tatapanku ke pintu kamar yang lebar. Seorang santri putri berjilbab marun menungguku menjawab salamnya.
"Waalaikumsalam, Ulfah. Ada yang bisa ustazah bantu?" Aku mendekat ke arah pintu dan berhenti tepat di depan wajah polos yang selalu tak pernah absen bertanya saat aku menjelaskan bab pelajaran. Gadis berusia lima belas tahun itu tersenyum ragu.
"Maukah ustazah ke kamar kami?" Ulfah bertanya sambil menunduk cemas. Aku jadi ikut cemas. Ada apa? apakah ada masalah di kamar asrama mereka? Aku menatapnya dengan penuh selidik, gadis di depanku itu menenggelamkan wajahnya lebih jauh.
"Ada masalah apa?" Tanyaku meminta penjelasan. Dari tadi kulihat gadis ini memilin-milin tangannya.
"Sebaiknya ustazah ke kamar kami sekarang," pintanya lagi. Aku mengangguk dan segera mengikuti langkahnya.
****
Aku berjalan di depan Ulfah, santri kelas 3 Madrasah Tsanawiyah yang tadi ke kamarku untuk memintaku datang ke kamarnya. Aku berhenti dan menunggunya sampai di sampingku karena keadaan kamar asrama Khadijah itu tertutup. Aku akan menanyainya lagi, dan kali ini aku akan tegas. Jika Ulfah ingin mempermainkan ustazah, maka itu sangat tidak sopan.
"Sebenarnya ada apa Ulfah? Kamar anti terkunci," tanyaku sekali lagi.
Gadis itu maju dan mengetuk pintu kamar. Kulihat senyumnya mengembang dan ketika kamar asrama itu terbuka, kini malah aku yang terkejut.
Mabruuk alfa mabruuk 'alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk
Selamat hari milad
Semoga dapat rahmat
Dari Allahu Ahad
Hingga hidup selamat
Mabruuk alfa mabruuk 'alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk
Selamat ulang tahun
Semoga berkah turun
Dari Allah Pengampun
Sehingga hidup rukun
Suara santri putri menggema menyanyikan sebuah qasidah. Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Tak terasa air mata haru menetes dari kedua mataku. Anak-anak ini sukses membuatku terharu. Bahkan aku lupa kalau hari ini, 28 Oktober adalah hari kelahiranku. Astagfirullahaladzim.
Kurangkul mereka semua dalam rengkuhanku. Aku sangat terharu, di saat mereka mengingat hari milad ustazahnya.
"Selamat milad, ustazah." Ulfah maju dan memberikan sebuket bunga. Aku memeluknya erat. Tak terasa bayangan kepergianku melintas dan mengganggu kebahagiaan ini. Tiba-tiba saja aku merasa ragu untuk pulang, atau bahkan ke Yaman untuk menuntut ilmu.
"Semoga ustazah segera menemukan jodohnya," bisik salah satu santri putri paling bontot berbadan bongsor sambil memberikan sebuah bungkusan kado kecil untukku.
"Oh iya, ustazah, kami dengar ustazah akan kuliah di Yaman ya?" Ulfah kembali menghampiriku. Aku mengangguk. Kulihat raut kagum menghias keenam santri putri yang tadi memberi kejutan padaku. Mereka kembali mengucapkan selamat dan menguntai banyak sekali doa untukku.
"Cepat menikah ya ustazah, jangan lupa undang kami," celetukan itu melekat kuat di pikiran dan hatiku. Pelan sekali, aku kembali teringat kata-kata ustazah Naf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
faizza
kehidupan di pesantren..slalu bikin aku iri..bahagianya mreka para santri bisa menghabiskan masa muda di pesantren untuk menuntut ilmu,,jiwa penyesalan q yg udah emak 2 anak yg gk pernah pesantren kadang jadi meronta2..😭
2020-12-31
2
Kak jas
aku padamu kak mampir yuk ke karyaku
KEKASIH DOSEN
2020-12-10
1
Yuyun
permisi thor!!
Mampir dikarya akubjuga yah
judulnya " cinta yang salah "
Terima kasih
2020-12-09
2