abi, aku mengetuk pintu kayu mahoni itu dengan buku-buku jari. Tak lupa kuucapkan salam dengan lumayan keras. Aku masih menerka-nerka siapakah sosok yang akan kutemui. Abi dan umi sepertinya telah mengenalnya. Atau ...,
Derit pintu terdengar dan berhasil mengejutkanku. Seorang laki-laki dengan wajah manis melongok ke arah luar. Setelah melihatku, ia tersenyum dan bergumam tidak jelas.
"Akhirnya, kau datang juga. Telah lama aku menantimu," senyum lelaki itu mengusik pikiranku. Akhirnya, kuangkat wajahku untuk mengatahui dengan siapakah aku sedang berhadapan ini? Beberapa detik kemudian aku kembali menunduk. Laki-laki bermata secoklat kurma ranum itu sangat rupawan. Dadaku bergetar hebat. Entah apa ini namanya, aku merasakan pipiku menghangat.
"Masuklah ke istanaku yang sederhana, khumairoh." Aku terhenyak. Apa pendengaranku salah? Laki-laki yang baru kali ini kutemui ini memanggilku khumairoh? Panggilan kesayangan sayyidina Muhammad sholallohu alaihi wasallam kepada istri tercintanya yang berpipi kemerah-merahan saat pertama kali bersua.
"Afwan, mungkin saya pulang saja. Saya hanya ingin mengantar makanan ini untuk anda," jawabku sopan. Kata umi, dia adalah orang yang penting dan aku harus menuruti perkataannya. Ragu-ragu aku mengulurkan rantang yang kupegang.
"Bawa saja ke dapur, lagipula kau pasti ingin mengenalku kan?" Lagi-lagi, kata-kata laki-laki yang tidak aku ketahui namanya itu membuatku membeku di tempat.
Apa maksudnya? Laki-laki itu memandangku lagi, baru masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Dengan ragu dan aneh, aku menuruti perkataannya tadi. Kubawa rantang berisi makanan ini ke dapurnya. Walau seribu pertanyaan terus menghantui pikiran, aku terus berjalan. Saat aku sampai di dapur, dia menyuruhku untuk menatakan makan di piring. Aku menautkan kedua alis. Mengapa laki-laki yang kutaksir berusia lima tahun lebih tua dariku ini dengan seenaknya menyuruhku? Tapi aku kembali teringat kata-kata umi, beliau memperingatkanku untuk samii'na waato'na. Tapi siapakah laki-laki yang kini berada satu rumah denganku?
Dengan cekatan, makanan di dalam rantang telah tersaji di piring-piring dan mangkok. Bahkan aku menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauknya untuk kuhidangkan kepada orang asing yang tengah menungguku di ruang tengah itu. Setelah siap, baru aku melangkahkan kakiku menuju ruang tengah. Degub jantungku kembali kacau. Siapa laki-laki bermata coklat, secoklat kurma ini? Diam-diam aku memperhatikan wajahnya? Sebersit ingatan seolah sedang mengetuk kepalaku dengan kuat. Mata dan alis itu sepertinya pernah kutemui.
"Hai, Afin. Lupa denganku?" Pandangan laki-laki itu masih tertuju padaku. Sebenarnya siapa laki-laki ini?
"Panggil saja aku Syams, aku akan menjadi matahari di hidupmu," keningku mengerut mendengar kalimat itu. Aku risih dengan kelakar ataupun candaannya. Tapi rasa hatiku menghangat dan ada desir aneh yang sama sekali belum pernah kurasakan.
"Astagfirullahalladzim," aku bangkit dari dudukku yang tepat berada di samping laki-laki yang berkata namanya Syams ini. Aku sudah gila, sampai terlena dengan laki-laki yang bukan mahramku. Laki-laki berwajah oval itu mengernyitkan kening melihatku bergerak menjauh darinya.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa merasa berdosa. Ada yang meletup keras menolak di hatiku. Aku lalai dalam menjaga kehormatan dan martabatku sebagai seorang wanita. Air mata mulai merebak dari kedua pelupuk mataku.
"Aku telah berdosa," gumamku hendak keluar dari rumah bernuansa hijau ini. Bahkan penciumanku masih mengingat jelas wangi yasmin yang menguar dari tubuh lelaki itu. Dan bau itulajh yang menyadarkanku bahwa ini salah.
"Tenanglah, Fin." Bujuknya. Mendengar kalimat itu, kemarahanku malah meledak.
"Bagaimana saya bisa tenang? Saya telah berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram saya. Dan Anda, jangan sekali-kali merayu saya. Dari pakaian anda, saya kira anda seorang sholih, mungkin terlalu cepat saya menilai anda." Dadaku naik turun mencoba mengendalikan amarah.
"Perempuan memang pemarah, ya." Celetukan itu membuat bola mataku mendelik seolah akan terlepas dari tempurung kepala.
"Makanya, jangan cepat menilai sesuatu hanya dari luar," tambahnya, seperti membenarkan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng kuat dan mempercepat langkahku keluar dari rumah ini.
"Nanti malam, pakai parfum yasmin ya, aku menyukainya," suaranya bergema sebelum aku melangkah dari pintu depan. Mendengar kata-kata itu, air mataku menetes terus menerus. Bahkan gamis yang aku gunakan seperti berpola karena terbasahi air mata.
****
"Abi, maafkan Afin." Aku tergugu di samping abi yang terlelap. Isakanku seolah tidak tertahan, kesedihan seorang perempuan yang telah berkhalwat dengan seorang laki-laki yang bukan mahramnya. 'Maafkan aku menyeretmu ke dalam panasnya api neraka,' Aku mengerjapkan mata, membiarkan air mata itu meluruh terus menerus.
"Ada apa, Fin? Apa kau sudah bertemu dengannya?" Abi mengelus jilbabku, aku cepat-cepat menghapus air mata.
"Kenapa menangis, Fin? Kamu tidak menyukai perangainya?" tanya abi, aku masih terisak sambil mencium tangannya.
"Dia kurang sopan, bi. Dia menyuruh Afin seperti Afin ini istrinya," jelasku sambil terisak. Tapi anehnya, abi malah tersenyum. Aku semakin sangsi dengan senyuman abi yang menurutku ganjil.
"Kenapa abi tersenyum?" Aku menyelidik. Bagaimana bisa abi tersenyum mendengar curahanku? Kurasakan tangan lain menyentuh halus pundakku. Sepertinya seorang lain telah hadir di sini. Aku menoleh dan menemukan umi tersenyum penuh haru di sampingku.
"Ada apa, umi?" Umi menatapku lekat. Aku masih mematung dengan seribu tanya memenuhi pikiranku. Sebenarnya ada apa? Umi mendekat kepada abi dan membisikkan sesuatu yang mengejutkanku.
"Dia sudah datang, bi."
Kedua orang yang aku sayangi itu menatapku lekat. Terlihat jelas aura kebahagiaan itu memenuhi pandangan keduanya. Umi membantu abi bangun dan duduk dengan benar di kursi rodanya. Lalu abi mendorong kursi rodanya dengan tangan. Aku semakin tidak mengerti. Baru satu langkah aku ingin mengikuti langkah abi, tapi umi meraih tanganku.
"Sebenarnya ada apa, umi? Afin nggak ngerti," desahku pelan. Umi mengangguk, membuatku menunggu penjelasan dari wanita yang telah melahirkanku.
"Pernahkah kamu mendengar bagaimana perjodohan antara kanjeng nabi muhammad dengan sayyidati Aisyah?"
Otakku berpikir dengan keras. Mencari-cari kisah yang pernah kudengar dari umi beberapa tahun yang lalu, di saat aku sudah kelas 3 Madrasah Aliyah. Saat itu, umi bercerita tentang pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Aisyah yang dijodohkan oleh Abu Bakar Asshiddiq. Lamaran Nabi Muhammad kepada ayahanda siti Aisyah, dijawab dengan hantaran makanan dari Siti Aisyah untuk Nabi Muhammad yang berarti Siti Aisyah menerima lamaran itu. Aku terhenyak. Apakah ini berarti, ...,
Aku menatap ke dalam mata umi yang seolah mengiyakan pemikiranku. Tanpa komando, air mata merebak dan disambut senyum oleh umi. Umi beberapa kali menguatkanku untuk menghapus air mata itu. Umi dan abi begitu yakin bahwa aku akan bahagia bersama Syams.
"Kenapa, nduk? Kamu tidak bahagia?" Tangan umi terasa hangat kala menyentuh pipiku. Pikiranku kembali berputar. Selama ini, kedua orang tuaku tidak pernah sekalipun menyusahkanku. Yang ada, akulah yang selalu menimpakan kesedihan untuk mereka. Mungkin inilah bentuk baktiku.
"Jika memang kamu tidak menyukai Syams, perjodohan itu bisa kami batalkan," kulihat ada kesedihan di mata umi. Tegakah aku melihatnya? Aku menggeleng.
"Tidak, umi. Afin akan menerima perjodohan ini. Siapapun yang dipilihkan umi dan abi yang menurut umi dan abi baik untuk Afin, insyaaallah, Afin menerima." Aku menggigit bibir bawah, menahan sebuah pedang kekecewaan yang kini merobek dadaku.
"Alhamdulillah," abi muncul dari pintu dan wajahnya berbinar cerah. Abi mendekat dan aku kembali mencium punggung tangannya.
"Kamu akan meminta mahar apa, nduk?" Abi mengelus pundakku. Aku terdiam sejenak. Apa yang akan aku minta kepada seseoran yang akan menjadi suamiku? Aku menghela napas panjang.
"Sebaik-baiknya wanita adalah yang ringan mas kawinnya, kan, mi," umi mengangguk. Kutata hatiku untuk mengatakan mimpi di masa kecilku.
"Afin ingin mas kawin hapalan surah ar-rahman," ungkapku dengan pelan. Abi menatapku seolah tidak percaya. Namun, detik berikutnya, umi mendekat dan membawaku ke dalam pelukannya.
"Nanti bakda Magrib, Syamsul dan Pak Alif akan ke mari untuk melamarmu secara resmi," abi berbisik dengan nada haru. Sedangkan aku masih nyaman berada di dekapan umi, menyembunyikan segala risau yang berkecamuk.
"Bi, nikahkan Afin malam ini juga," balasku tak kalah pelan.
"Bukankah, yang lebih cepat itu lebih baik? Apalagi ini menikah, toh syarat nikahnya sudah lengkap," tambahku mencoba menerima semua kejutan dari Allah yang bertubi-tubi ini. Abi segera mengecup ujung kepalaku sembari mendoakanku mendapat rumah tangga bahagia bersama Syams, laki-laki beraroma yasmin itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments