Matahari telah kembali ke peraduannya. Dadaku mulai berdentum seperti sedang ada perang. Aku cemas sendiri dengan apa yang akan terjadi nanti bakda Magrib. Aku akan menikah. Iya, MENIKAH.
Aku akan menjadi seorang istri untuk orang yang belum pernah kutemui. Kata abi, dia adalah teman masa kecilku. Tapi aku belum bisa mengingatnya dengan baik.
Padahal, teman laki-laki di masa kecilku nyaris bisa dihitung dengan jari. Yang paling aku ingat hanya Adi, si bocah usil. Bayangkan saja, dia pernah meletakkan ular mainan di sandalku.
Saat aku menemukan ular plastik itu melingkar di sandal yang kutaruh di tempat sandal Madrasah, aku langsung menjerit dan menangis. Barulah, setelah diancam ustaz Irsyad, Adi mengaku dan meminta maaf padaku. kalau ingat kejadian itu, aku tersenyum dan gemas sendiri. Ngomong-ngomong, bagaimana rupa bocah usil itu sekarang ya? Aku jadi mulai memikirkannya.
"Apa kamu bahagia, nduk?" Umi menepuk halus pundakku, membuat lamunan dan pemikiranku terpecah begitu saja.
"Eh, enggak umi. Afin cuma ingat masa kecil," umi mengernyitkan kening. Mungkin beliau heran melihatku yang telah berusia dua puluh tahun ini masih mengingat masa lalu.
"Tapi kok senyum-senyum?" Umi menyelidik lagi. Aku membeku di tempat. Apa yang harus aku katakan pada umi? Apakah aku harus jujur bahwa saat ini aku sedang mengingat seorang bocah kecil yang membekas di ingatan?
"Tidak, umi." Jawabku singkat lalu beranjak dari sana menuju kamar.
Kulirik gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Jarum panjangnya telah berada di angka 6. Sebentar lagi, dia akan datang. Seorang laki-laki yang akan mengikatku ke dalam hidupnya. Kuraba detak jantungku yang semakin tidak karuan. beginikah rasanya menjadi pengantin?
"Astagfirullahaladzim," pekikku kala ingat bahw aaku belum melaksanakan sembahyang. Aku segera bangkit dari dipan dan mengambil wudhu untuk segera melaksanakan sholat Magrib tiga rokaat.
Selesai wirid, aku membaca al-quran. Surat Ar-rahman, lagi-lagi pikiranku melayang jauh. Di masa kecilku dulu, ketika Adi sekali lagi menggodaku akan menikahiku. Maka aku dengan lantang menjawab, "Kau boleh menikahiku dengan 3 syarat, pertama kau jadi penghapal al-quran, kedua kau lulusan timur tengah dan ketiga, aku meminta mahar lantunan surat ar-rahman yang paling indah. Sampai keindahannya mampu mendamaikan langit."
Kututup wajah dengan kedua telapak tangan. Bagaimana bisa anak berusia sembilan tahun berkata demikian? Lagipula, mana mungkin aku mendapatkan suami yang memenuhi tiga syarat dariku? Suara ustazah Naf kembali mengisi pendengaranku.
Tiba-tiba saja air mata mengumpul di sudut mata. Ternyata benar kata-kata ustazah Naf. Orang tua menyuruh anaknya yang mondok untuk pulang, akan menikahkannya dengan pilihan orang tua.
"Fin, Syamsul sudah datang, cepat bersiap-siap." suara umi mengetuk pintu kamar menyadarkanku.
Aku segera melepas mukena yang aku gunakan, lalu kembali mengenakan jilbab biruku. Sebelum aku beranjak, terlihat wajahku di cermin. 'Masa aku berpenampilan biasa saja?' Hatiku berkecamuk.
Akhirnya aku kembali mundur dan mendudukkan diriku di depan cermin, kupoles wajahku dengan bedak tipis, lipstik softpink dan sapuan eyeshadow berwarna coklat samar.
Aku mematut sekali lagi di cermin, sebelum berjalan membuka pintu. Langkahku terasa berat sekali, seperti akan ke medan perang.
Dadaku berdegub kencang sekali. Aku takut kalau ada yang bisa mendengarnya. Aku duduk bersama umi, di ruang tengah yang hanya disekat dengan kayu dari ruang tamu.
Terdengar percakapan basa-basi abi dan dua lelaki yang kutafsirkan Syamsul dan ayahnya.
"Baiklah, abi. Saya akan mengijab Afin sekarang, saya siap insyaallah. dan saya akan penuhi mas kawin yang diminta Afin," suara itu terdengar halus dan penuh wibawa. Menit kemudian, kudengar lantunan ijab qabul menggunakan bahasa Arab.
"Ya Syamsul Hadi bin Alif uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin,Ya Syamsul Hadi bin Alif anahtukawa zawwaj-tuka makhthubataka Alfiana Nurrizki binti Rahman bi mahri ar-rahman wa mushaf alquran wa alatil 'ibadah haalan,"
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan."
Air mataku deras menetes saat aku tersadar kini telah sah menjadi istri seseorang. Umi juga terlihat membendung air mata, beliau lalu bangkit dan mencium kedua pipiku. Kemudian aku menurut saat umi menggandengku menuju ruang tamu.
Aku masih menunduk saat sampai di samping laki-laki beraroma yasmin ini. Lalu abi menginstruksikan Syamsul Hadi untuk mempersembahkan mas kawinnya. Surah ar-rahman, mushaf dan seperangkat alat sholat.
"Audzubillahiminassyaitonirrojim, ...., "
Kudengar bacaan ar-rahman itu dengan hati yang bergetar. Ar-rahman, Wahai Yang Maha Penyayang. Tak terasa, getaran itu memaksa air mata luruh satu demi satu. Suaranya yang penuh wibawa dan halus mampu menggetarkan jiwa. tak hanya aku, semua yang ada disini turut mengucurkan air mata.
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan(i)(Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?)
Air mataku tidak lagi bisa kubendung, saat 31 kali kalimat itu diulang dalam satu surah. Lantunannya benar-benar mendamaikan hati.
"Shodaqollahul adzim," Syamsul menutup bacaannya. Abi menyuruhku mencium tangan laki-laki itu, tanpa suara, aku mendekat dan dia mengulurkan tangan kanannya. Dengan takzim, aku menciumnya. Punggung tangan seorang suami yang akan menjadi kunci surgaku.
Setelah itu, dia meletakkan tangannya di atas kepalaku seraya berdoa, aku masih menunduk dan terus merapalkan doa. Semoga Allah selalu melimpahkan berkah untuk rumah tanggaku.
"Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi,"
Aku mengaminkan doa itu. Setelah acara itu selesai, aku bergegas menuju kamar untuk meletakkan mushaf dan seperangkat alat sholat yang diberikan Syams untukku. Namun, sebelum aku kembali ke ruang tamu, laki-laki itu menyusulku ke kamar.
"Mau apa anda kemari?" Aku mundur beberapa langkah ketika laki-laki itu maju mendekat.
"Tutup matamu," perintahnya.
"Apa?" Walau aku ingin berontak, kenyataannya aku menurut. Kupejamkan mataku. Tangannya meraih kedua telapak tanganku, dan kurasakan setuatu digenggamkannya padaku.
"Buka matamu," bisiknya. Aku menurut lagi. Melihat ular plastik itu ada di tangan, aku menjerit. Dan laki-laki ini malah tertawa melihatku ketakutan.
"Kamu masih sama seperti dulu, Fin. Takut ular plastik." Ejeknya. Aku merengut, wajahku terasa terbakar. Apa-apaan ini? Tapi tindakannya itu berhasil membawaku ke memori masa lalu. Apakah ia Adi? Pertanyaan itu kembali muncul di hatiku.
"Kenapa?" Dia terlihat risih kulihat lekat. Aku menggeleng. Mungkin hanya kebetulan saja, keusilannya mengingatkanku pada Adi.
"Jawablah jujur, istriku," dia menatapku lagi. Detak jantungku tak karuan saat berada di dekatnya dan diperlakukan seperti ini. Apalagi hanya ada kami berdua di ruangan pribadiku ini.
"Apakah aku suami yang kau inginkan?" Aku masih diam. Tidak menyahuti. Apalagi ini?
"Aku telah hapal al-quran, aku juga lulusan timur tengah dan tadi, ... ," aku menggigit bibir bawah. Apakah benar laki-laki di depanku ini Adi? Tak terasa air mataku menetes perlahan. Sebuah rasa menguar begitu saja di hatiku. Apalagi aroma yasmin yang terus menyentuh penciumanku ini membawa getar aneh di dada.
"Aku telah melantunkan ar-rahman yang mendamaikan langit," aku mendelik setelah menyadari bahwa mata itu, mata yang kini menatapku dengan mesra adalah mata yang dulu usil dan suka menggodaku. Ya Allah, mengapa aku tidak menyadarinya.
"Adi, ... " sebutku lirih. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk.
"Jadi, kamu masih mengingatku?" Syamsul maju dan mengecup kedua tanganku.
Kami berdua seolah saling menyelam ke dalam mata, ada kebahagiaan yang aneh kini menghuni hatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments