"Ja-jadi, anda Adi?" Aku hampir terlonjak. Jadi benar laki-laki di depanku ini Adi? Dia mengangkat kedua sudut bibirnya dan mengangguk.
Masya allah, dia benar-benar menjadi suamiku? Dia benar-benar melakukan apa yang aku syaratkan dulu untuk menikahiku?
Aku menunduk, menyembunyikan rona yang kini menghias kedua pipiku. Dengan halus, Syams menyentuh janggutku.
Napasku seolah terhenti detik ini saat kutatap mata kurma yang menyejukkan itu. Aku masih terdiam dengan senyum terus mengembang, sampai umi yang berdehem menyadarkan kami.
"Eh, umi, saya hanya mau mengajak Afin sholat berjamaah kok," Syams menggaruk tengkuknya.
Aku tidak kalah salah tingkah, pipiku serasa terbakar. Barangkali sekarang rupa wajahku sangat aneh karena bingung. Setelah itu, umi menyuruhku menyiapkan alat sholat dan berjamaah bersama.
Di sholat Isya, Imamku, Syams, kembali membacakan surah Ar-rahman dengan sangat indah. Ternyata, seperti inilah nikmat yang Allah janjikan kepada hambanya yang menjalankan sunnah Nabinya.
Selesai sholat Isya, aku dan Syams memutuskan untuk mengaji. Di kamarku, kami berdua sama-sama masih bingung bersikap. Barangkali belum membiasakan diri, masih terkejut.
"Fin, bacaanmu salah," aku mengangkat wajah di saat Syams berkata demikian. Mataku kembali meneliti tulisan Arab di al-quran dengan baik. Mana yang salah? Aku mengernyit.
"Audzubillahiminassyaithonirrojim, bismillahirrohmanirrohim," Syams mengulang ayat yang tengah kubaca tanpa melihat al-quran, rupanya ia benar-benar telah menghapalnya.
Suara halusnya terdengar indah. Masyaallah, aku harus bersyukur memiliki suami yang pandai mengaji.
Tak terasa, air mataku mengalir kala menatap wajah teduh itu membaca ayat yang tadi kubaca tanpa penekanan.
Ya, aku bahkan lupa tentang hukum bacaan tasdid yang harus dibaca dobel dan dua alif. Astagfirullahaladzim.
"Kenapa kamu menangis, istriku?" Laki-laki dengan kopyah hitam di depanku maju untuk menghapus air mata yang jatuh dengan jari-jarinya. Ia menggeleng.
"Jangan menangis, aku tidak tega membiarkan air mata itu jatuh karena kesedihan," lanjutnya. Dia menyentuh kedua pipiku dengan halus tangannya.
"Ada apa? Apakah kamu tidak suka karena pernikahan kita sederhana?" Aku masih diam, tidak bersuara.
Bagaimana dia bisa berpikir bahwa aku merasa kurang bahagia mendapat suami seperti dia walau dengan acara sederhana? Padahal, aku tidak terbersit sedikitpun untuk memikirkannya. Toh syarat nikahnya sudah lengkap, dan pernikahan itu sah.
"Maafkan aku jika kamu tidak menyukai pernikahan kita yang sederhana, tapi sejujurnya, aku menabung untuk menemanimu ke Yaman nanti," aku mendongak.
Bagaimana bisa ia tahu kalau aku akan hijrah ke Yaman? Bahkan aku sampai lupa kalau aku akan ke Yaman karena sibuk bersyukur telah diperistrinya.
"Jika memang kau menginginkan resepsi, maka besok aku akan membuatkannya untukmu," Syams tersenyum sangat manis.
"Ba, bagaimana bisa membuat resepsi dengan waktu semalam?" Akhirnya, malah kalimat itu yang keluar dari bibirku. Syams masih mengembangkan sebuah senyum.
"Apapun bisa aku lakukan untukmu, bidadariku."
Aku menenggelamkan wajah. Sungguh, rasanya bahagia dan bingung saat dia merayu seperti itu.
"Kamu belajar nggombal di mana sih?" Aku masih menunduk.
"Kenapa? Sebel ya? tapi suka, kan?" Godanya, berhasil membuatku kelimpungan tidak bisa menjawab apa-apa.
Dia mengecup ujung kepalaku sambil kembali berdoa untuk kebahagiaan kami berdua.
"Bahkan aku telah menyiapkan rumah di Yaman untuk kita tinggal nanti selama kamu kuliah di sana."
Aku mendelik terkejut bukan main. Apa Syams bergurau? Aku menatapnya lekat. Dia malah tersenyum.
"Kenapa? Tidak percaya? Lihat saja nanti," ucapnya seraya bangkit dari sajadah tempat kami sembahyang dan mengaji tadi.
"Mau kemana?" tanyaku segera. Langkahnya terhenti dan berbalik ke arahku.
"Aku akan menyiapkan walimatul ursy kita, besok." Aku melongo. Apakah ini gila? Laki-laki yang baru beberapa jam lalu ada di hadapanku, segera berjalan menjauh untuk menyiapkan walimatul ursy.
Aku masih tidak percaya. Bagaimana bisa bocah kecil yang usil itu menjadi laki-laki yang penuh kejutan begini? Dan bagaimana bisa nama Adi berubah menjadi Syamsul Hadi? Atau aku sedang berkhayal?
Pikiranku berputar-putar. Akhirnya, aku diam saja dan belum beranjak dari tempatku.
Malam telah larut, tapi aku tidak menemukannya ke rumah lagi. Kudengar dari abi dan umi kalau Syams meminta ijin untuk pulang dan menyiapkan walimatul ursy besok. Abi dan umi juga tidak percaya dengan laki-laki itu.
Bagaimana bisa ia menyiapkan pesta pernikahan dengan waktu semalam?
****
Pukul 2 dini hari, ketukan pintu membangunkan ku dari tidur. Siapa yang datang pagi buta seperti ini? Beberapa kali aku mengucek mata sambil membawa diri berjalan dan membuka pintu.
Mataku mendelik seakan mau meloncat saat menemukan sebuket mawar di depan pintu rumahku.
"Selamat pagi, sayang."
Suara itu membuatku celingukan melihat siapa di belakang sebuket besar mawar itu. Beberapa menit kemudian, laki-laki itu muncul juga di depanku. Sebuket mawar yang tadi menghalangi pandanganku, kini telah diberikannya padaku.
Bibirku segera terkatup saat menyadari seorang laki-laki itu telah mencium pipiku dengan lembut. Aku membeku, seolah kakiku tertanam di lantai.
"Udah diamnya, ayo qiyamul lail."
Laki-laki itu adalah Syams. Bagaimana aku bisa lupa kalau aku telah bersuamikan lelaki dengan sejuta kejutan?
"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahuwataala, seseorang yang berzikir dalam keadaan sepi hingga menetes air matanya. Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim." Kalimatnya itu menyadarkanku dan aku segera menyusul langkah Syams ke kamar.
Dengan cepat aku mengambil wudhu dan menjadi makmum di saat suamiku melaksanakan qiyamul lail.
Rasa syukurku semakin menjadi di saat menyadari isak tangis dari lelaki yang kini duduk bersimpuh di depanku. Dia sedang berdzikir, dan dia menangis tersedu-sedu.
Betapa ia mencintai Rabbnya. Dia baru menyudahi tangsinya saat adzan Subuh berkumandang. Syams bangkit dan kembali mengambil wudhu.
Aku terlonjak ketika nada dering handphoneku terdengar di keheningan subuh. Kulihat nama ustazah Naf tertera di layar. Ada apa? Mengapa ustazah Naf menelpon? Atau ada masalah di pondok?
"Halo, assalamualaikum."
Namun aku terkejut bukan main karena isakan yang kini terdengar di seberang.
"Waalaikumsalam, jahat kamu, Fin." Akhirnya suara cempreng ustazah Naf terdengar. Tapi mengapa ia menangis?
"Ustazah Naf mengapa nangis?" tanyaku perlahan.
"Orang yang menikahimu itu adalah jodohku," ujarnya.
Tubuhku seketika lemas dan kehilangan keseimbangan mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatku. Apa maksudnya?
"Kamu tahu, Fin? Adi itu calon suamiku," tambahnya.
Kepalaku pening dan aku jatuh terduduk di atas sajadah. Handphone itu terlempar di dekat ranjang tidurku. Ketika Syams kembali setelah menyegarkan dirinya, kupandang lekat laki-laki itu. Apa maksud kata-kata ustazah Naf?
"Ada apa?" Syams memandangku.
"Siapa yang menelpon?" Laki-laki itu bersiap dan menyeka air bekas wudhu di setengah kepalanya sebelum mengenakan kembali kopyah hitamnya.
"Ustazah Nafisah," jawabku lemah, seribu pertanyaan kini memenuhi relungku.
Syams melengos dan mengajakku sholat subuh. Tapi pikiranku menjadi tidak karuan karena masih memikirkan kalimat ustazah Naf tadi. Apakah Syams calon jodohnya ustazah Naf?
"Mari kita segerakan sholat jika waktunya telah tiba," kalimat itu menyadarkan. Aku gegas ke kamar mandi dan segera mengambil wudhu.
Walau rasa hatiku tidak karuan, aku tetap melaksanakan kewajiban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
ichiko
belom juga sehari...
2020-12-22
0