Hari terlihat sempurna untukku. Matahari yang cerah, semilir angin segar dan suasana hatiku yang penuh kebahagiaan. Alhamdulillahirobbil alamin. Segala puji mutlak hanya untuk Allah. desau angin kembali menerpa wajah dan khimar yang aku gunakan. Aku tersenyum tipis. Terimakasih atas kesempatan ini Ya Allah.
"Umi dan Abi pasti bahagia jika aku mengabari mereka," bisikku pada diri sendiri.
Tiba-tiba detak jantungku berbunyi tidak karuan. Kebahagiaan kembali menguar dan itu membuat bibirku terus mengulas senyum. Aku tidak peduli jika ada salah satu rekan satu kamarku yang menganggap aku gila. Toh ini sebuah prestasi juga. Aku akan menginjakkan kaki ke luar negeriku tercinta untuk menuntut ilmu. Untuk menggeser gunung tinggi dan membawanya ke rumah untuk kupersembahkan kepada umat di negeri ini. Gunung itu bernama pengetahuan. Gunung yang dibutuhkan oleh umat demi kemajuan. Tekadku telah bulat, aku akan berusaha keras untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Man jadda, wa jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Kuusap layar pipih di tanganku. Menyentuh nama umi dan memanggilnya. Kudekatkan ponsel itu ke telinga. Tut, Tut, setelah terdengar dua kali bunyi sambungan telepon. Segera suara halus menyapaku dari seberang. Suara umi selalu meneduhkan, seperti air yang mengalir membasahi hatiku.
"Assalamualaikum, Umi," rasanya aku seperti meledak saking bahagia dan ingin cepat-cepat memberi kabar bahaggia ini kepada keluargaku di Ngantang.
"Walaikumsalam, Fin. Tumben telepon?" Balasan itu memaksa bibirku mengerucut ke depan. 'Anaknya telepon malah ditanya tumben telepon'.
"Umi, Afin ketrima di kampus yang aku damba," terdengar lafal hamdalah berulang-ulang diucapkan umi dan abi. Mungkin umi memang sedang bersama abi.
"Kamu akan kuliah dimana, nduk?" pertanyaan inilah yang sedari tadi kutunggu. Umi dan abi pasti akan terkejut dan bahagia jika aku menyebutkan nama negeri timur tengah yang terkenal sebagai tanah kelahiran Nabi besar Sholallohu alaihiwassalam dan tempat tinggal sahabat Uwais Al-qarni yang kisahnya amat mashyur itu.
"Di Yaman, mi."
Hening. Aku mengerutkan kening. Kenapa tidak ada jawaban yang memuaskan? Apakah umi dan abi sudah tidak disana?
"Umi?"
"Ya-ya alhamdulillah, nduk. Tapi dengan siapa kamu akan tinggal di sana?" Suara umi bergetar membuat dadaku meragu. Apakah umi tidak bahagia kalau anaknya mendapat beasiswa sekolah di luar negeri? Aku masih terdiam, sampai suara bariton yang penuh wibawa dan ketegasan itu terdengar mengambil alih pembicaraan.
"Nduk, kamu pulang dulu ya, seminggu saja," itu suara abi.
Mataku melotot mendengar kata-kata itu. Memangnya ada apa? Atau mungkin abi ingin menyuruhku melepas beasiswa di Yaman itu? Pikiranku menduga-duga, tanpa sadar mulai berprasangka buruk pada kedua orang tuaku. Astagfirullahaladzim. Kubasahi bibir dengan istigfar berkali-kali. Tidak ada orang tua yang akan menimpakan duka kepada anaknya. Aku menggeleng kuat. Sebagai putrinya, aku harus takzim kepada kedua orang yang merawatku sejak kecil ini.
"A-abi kangen," rahangku mengeras ketika kalimat tergagap itu terdengar begitu tulus. Ya Allah, aku pun lupa untuk sambang ke rumah. Benar saja abi menginginkanku mengambil libur dari rutinitasku sebagai ustazah di pondok pesantrenku di Kediri. Rupanya, kedua orang tuaku menimbun rindu di palung hatinya kepada putri semata wayangnya. Ya Allah, mengapa aku tidak peka? Mataku terasa berkabut. Abi yang begitu keras dalam mendidikku semasa aku di rumah, bisa sehalus itu berkata rindu.
"Iya, abi, Afin juga rindu. Minggu depan Afin akan pulang ke Ngantang," jawabku dengan cucuran air mata. Ya Allah, bagaimana bisa aku terlena dengan duniaku sendiri dan lupa jika kedua orang tua menunggu kepulanganku di sana?
Ya Allah, berikanlah umur penjang untuk kedua orang tuaku. Agar aku bisa berbakti kepada mereka, walau itu tidak sebanding dengan jasa mereka yang telah merawat, mendidik dan mendoakanku di setiap sujudnya.
"Assalamualaikum," tutupku. Kedua orang di seberang membalas salamku lalu terdengar sambungan terputus.
Aku tercenung di tempat. Air mata kembali menetes dari pelupuk mata. Aku memang harus pulang sebelum keberangkatanku ke Yaman dua bulan lagi. Aku beranjak dari depan jendela kamar. Kuambil tas ransel dan mulai memilah baju yang akan aku bawa pulang ke Ngantang.
"Mau kemana, ustazah?" tanya Nafizah, salah satu rekan ustazah.
"Mau sambang ke rumah, ustazah," balasku sambil mengulas senyum.
"Disuruh pulang?" Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Ustazah Naf segera menggeser tubuhnya mendekat.
"Hati-hati, kebanyakan orang tua yang menyuruh anaknya pulang itu mau dinikahkan," bisikan ustazah Naf segera merubah kecepatan detak jantungku.
"Ah, sampeyan ini ada-ada saja, ustazah. Jangan nakut-nakutin," balasku pura-pura tidak terpengaruh dengan kalimat tadi.
"Itu, si Siti, Mutia dan Aminah kan nggak balik pondok karena dinikahkan," tambah ustazah Naf membuatku terdiam beberapa saat. Bagaimana jika ucapan ustazah Naf benar? Ah, tidak mungkin. Aku menggeleng kuat. Abi hanya rindu padaku, bukan berarti abi akan menikahkanku dalam waktu seminggu, kan? Aku meneruskan pekerjaanku setelah berusaha kuat menghapus kalimat ustazah Naf dari kepala.
Berkali-kali aku menggeleng kuat, berusaha mengusir kalimat ustazah Naf yang masih saja bertamu di pikiranku. Tidak! Abi dan umi tidak mungkin akan menikahkanku dalam waktu seminggu. Lagipula mereka tahu kalau beberapa bulan lagi aku akan hijrah ke Yaman untuk melanjutkan pendidikan.
"Assalamualaikum, ustazah Afin," aku yang sedari tadi mematung di dekat jendela kamar segera mengalihkan tatapanku ke pintu kamar yang lebar. Seorang santri putri berjilbab marun menungguku menjawab salamnya.
"Waalaikumsalam, Ulfah. Ada yang bisa ustazah bantu?" Aku mendekat ke arah pintu dan berhenti tepat di depan wajah polos yang selalu tak pernah absen bertanya saat aku menjelaskan bab pelajaran. Gadis berusia lima belas tahun itu tersenyum ragu.
"Maukah ustazah ke kamar kami?" Ulfah bertanya sambil menunduk cemas. Aku jadi ikut cemas. Ada apa? apakah ada masalah di kamar asrama mereka? Aku menatapnya dengan penuh selidik, gadis di depanku itu menenggelamkan wajahnya lebih jauh.
"Ada masalah apa?" Tanyaku meminta penjelasan. Dari tadi kulihat gadis ini memilin-milin tangannya.
"Sebaiknya ustazah ke kamar kami sekarang," pintanya lagi. Aku mengangguk dan segera mengikuti langkahnya.
****
Aku berjalan di depan Ulfah, santri kelas 3 Madrasah Tsanawiyah yang tadi ke kamarku untuk memintaku datang ke kamarnya. Aku berhenti dan menunggunya sampai di sampingku karena keadaan kamar asrama Khadijah itu tertutup. Aku akan menanyainya lagi, dan kali ini aku akan tegas. Jika Ulfah ingin mempermainkan ustazah, maka itu sangat tidak sopan.
"Sebenarnya ada apa Ulfah? Kamar anti terkunci," tanyaku sekali lagi.
Gadis itu maju dan mengetuk pintu kamar. Kulihat senyumnya mengembang dan ketika kamar asrama itu terbuka, kini malah aku yang terkejut.
Mabruuk alfa mabruuk 'alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk
Selamat hari milad
Semoga dapat rahmat
Dari Allahu Ahad
Hingga hidup selamat
Mabruuk alfa mabruuk 'alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk
Selamat ulang tahun
Semoga berkah turun
Dari Allah Pengampun
Sehingga hidup rukun
Suara santri putri menggema menyanyikan sebuah qasidah. Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Tak terasa air mata haru menetes dari kedua mataku. Anak-anak ini sukses membuatku terharu. Bahkan aku lupa kalau hari ini, 28 Oktober adalah hari kelahiranku. Astagfirullahaladzim.
Kurangkul mereka semua dalam rengkuhanku. Aku sangat terharu, di saat mereka mengingat hari milad ustazahnya.
"Selamat milad, ustazah." Ulfah maju dan memberikan sebuket bunga. Aku memeluknya erat. Tak terasa bayangan kepergianku melintas dan mengganggu kebahagiaan ini. Tiba-tiba saja aku merasa ragu untuk pulang, atau bahkan ke Yaman untuk menuntut ilmu.
"Semoga ustazah segera menemukan jodohnya," bisik salah satu santri putri paling bontot berbadan bongsor sambil memberikan sebuah bungkusan kado kecil untukku.
"Oh iya, ustazah, kami dengar ustazah akan kuliah di Yaman ya?" Ulfah kembali menghampiriku. Aku mengangguk. Kulihat raut kagum menghias keenam santri putri yang tadi memberi kejutan padaku. Mereka kembali mengucapkan selamat dan menguntai banyak sekali doa untukku.
"Cepat menikah ya ustazah, jangan lupa undang kami," celetukan itu melekat kuat di pikiran dan hatiku. Pelan sekali, aku kembali teringat kata-kata ustazah Naf.
Aku mengembuskan napas kasar, setelah lama duduk di bus. Pantatku terasa lumayan panas, ditambah lima belas menit naik ojek menuju dusun gading desa Kaumrejo di kecamatan Ngantang.
Namun, semua lelahnya perjalanan itu terkuras tak bersisa kala kulihat sebuah rumah sederhana di area pondok pesantren Al-Hikmah tepatnya di utara pasar Ngantang. Aku tersenyum penuh arti.
Tak terasa telah tujuh tahun aku meninggalkan rumah ini, mungkin memang tidak tujuh tahun karena setiap tahun di hari raya idulfitri, aku pulang walau hanya dalam waktu seminggu.
Memori otak segera memutar beberapa kejadian penting yang kualami. Kejadian yang sangat melekat di otakku. Saat aku berpamitan kepada umi dan abi untuk menuntut ilmu di Kediri. Saat itu aku baru lulus SD. Usiaku baru dua belas tahun. Tapi tekad untuk mencari ilmu itu sangat kuat.
"Umi, abi, Afin brangkat ya." Suaraku bergetar hebat saat mengecup punggung tangan kedua orang tua yang selalu menemaniku setiap waktu itu. Berkali-kali aku berusaha menguasai diri, namun tetap saja air mata merembes dari ujung mata. Saat aku telah melangkah menjauh, umi memanggilku dan menarikku ke dalam dekapan hangatnya.
"Hati-hati ya, Fin. Umi sayang Afin," umi tergugu. Air mataku juga tidak tertahan. Aku pun turut menangis.
Kurasakan mata ini menghangat jika ingat kenangan perpisahan itu. Perpisahan untuk menuntut ilmu memang ujian berat bagi orang tua. Tak hanya itu, merekapun terus mengikat keberadaan putrinya yang berjarak puluhan kilo meter dengan doa yang terus mengalir. Ya Allah, berkahilah usia kedua orang tuaku. Usia yang panjang karena beribadah.
Lalu bagaimana bisa aku tega membiarkan umi dan abi menanggung rindu sekian lama? Belum lagi, setahun lalu, setelah aku lulus dari pendidikan Madrasah Aliyah di pesantren, aku memutuskan mengabdikan diri menjadi ustazah. Ya Allah, betapa kedua orang tuaku merindukan putrinya yang kini beranjak dewasa. Putri yang diharapkannya kelak merawat kala usia senja.
Air mata kembali menetes di saat yang sama, pandanganku tertuju kepada seorang perempuan berhijab panjang yang tengah mengambil jemuran di samping rumah. Perempuan itu belum menyadari keberadaanku. Tubuhnya yang sintal terlihat lebih kurus, wajah pucat dan garis-garis usia terlihat di wajahnya yang lelah. Air mataku kembali meluruh. Apakah umi tidak makan dengan benar? Atau ada sebuah masalah yang menyesap kecantikannya?
"Umi!" pekikku sambil berlari menujunya. Kuambil punggung tangannya untuk kukecup dan dia bergerak mendekapku.
Kami berpelukan lama sekali. Isakan yang tertahan selama ini, terburai sampai tuntas. Rindu, rindu itu menyiksa batinku saat berjauhan dengan umi dan abi. Kasih sayangnya selalu terbayang dimata.
"Kamu sudah pulang, nduk," umi meraih kedua pipiku dengan tangannya yang tak sekokoh dulu. Kuselami wajah teduh dengan mata membendung haru itu. Aku menyayangimu, umi. Aku kembali membenamkan diri dalam dekapan hangatnya. Tempat ternyaman yang belum pernah kutemukan penggantinya.
"Ayo masuk, nduk. Abimu pasti senang melihatmu pulang," aku mengangguk dan menuruti ajakan itu.
Kuhentikan langkah sebentar kala melewati ruang tamu. Mataku menatap kaku pada barisan foto yang berpigura rapi tertata di tembok, namun tiga pigura yang lainnya terpasang lebih rendah, bahkan setara dengan tinggi sofa. Foto-foto masa kecilku. Keharuan kembali merayap halus di hati. 'Umi, abi, maafkan Afin yang sangat jarang pulang sampai-sampai foto-fotoku kalian pajang di ruang tamu agar mudah melihatku.' Jerit batinku merasa bersalah.
"Ayo, nduk," umi turut menghentikan langkahnya di pintu tengah. Aku menelisik. Di mana abi? Mengapa beliau tidak menyambutku?
Bukankah abi merindukanku? Keraguan demi keraguan itu hilang timbul di dadaku. Menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi? Baru saja aku melangkah tiga langkah, bibirku terbuka dan aku membeku di tempat. Seorang pria berusia lima puluh tahunan, dengan uban yang hampir memenuhi kepalanya, berusaha keras mendorong roda kursinya untuk keluar dari kamarnya dan menghampiriku.
"Abi," aku seolah tidak percaya. Apa yang terjadi kepada abi? Air mataku terus mengalir. Kedua orang tuaku selalu berkata mereka baik-baik saja di saat aku menghubungi. Lalu apa ini? Bodohnya aku percaya saja dengan kalimat 'kami sehat walafiat' yang kerap kali mereka lontarkan.
Dan aku tidak menghiraukan rasa rindu yang juga bersemayam di dadaku ini. Astagfirullahalladzim, aku merasa menjadi anak yang tidak berbakti kepada orang tua. Aku begitu egois, memilih tinggal di pondok pesantren di saat libur.
"Maafkan Afin, bi. Afin bahkan tidak tahu apa yang terjadi sama abi," tangisku meledak di kaki laki-laki yang dulu begitu tegas mendidikku ini. Aku merasa sangat berdosa acuh kepada oang yang tiada henti menguntai doa-doanya untukku.
"Abi terkena stroke, fin. Saat itu abi ngeyel memasang foto-fotomu di tembok. Dan karena kurang hati-hati, abi jatuh dan .... ," mendengar penjelasan umi, isakanku semakin menjadi.
"Sudahlah, fin. Mungkin abi kurang menjaga pola hidup, dan akibatnya tubuh abi menghianati abi sendiri. Inilah yang dinamakan assunnah, fin." Abi tersenyum dan menyentuh jilbabku lembut.
Setelah itu, umi menyuruhku untuk beristirahat dahulu. Aku telah berjanji pada diri sendiri untuk merawat dan menjaga abi semampuku. Bahkan, aku mulai gamang tentang beasiswa yang kudapatkan. Apakah sebaiknya aku melepaskan kesempatan itu?
"Mi, apa sebaiknya Afin nggak ambil beasiswa itu?" Tanyaku sembari meletakkan kepala di pangkuan umi. Umi menggeleng.
"Jangan, nduk. Niatmu itu baik, menuntut ilmu dan membawanya pulang ke indonesia untuk memajukan umat. Seperti yang sering kau ceritakan di telpon, Fin." Umi tersenyum.
Ya, aku sering berkata 'aku akan menggeser gunung'. Itu adalah kiasan tentang mimpiku menjadi seorang pembawa pengetahuan untuk memajukan umat.
"tapi, bagaimana umi dan abi?" Aku kembali meragu. Sedangkan umi mengecup ujung jilbab yang aku kenakan.
"Kan, ada Allah, nduk?"
Aku membenarkan perkataan umi. Tapi sebagai anak, aku belum melaksanakan kewajibanku dengan baik. Aku belum berbakti kepada kedua orang tua. Tak terasa, butiran bening yang sejak tadi mengumpul di sudut mata merembes dari pelupuk. Aku takut Allah tidak memberiku waktu untuk berbakti kepada mereka.
****
"Fin, kemarilah, nduk."
Siang itu, abi memanggilku di waktu istirahatnya. Aku melangkah mendekat. Abi mengisyaratkanku untuk duduk di sampingnya, aku menurut.
"Tolong kamu antar rantang itu ke rumah di seberang. Turuti perintahnya dan jadilah wanita yang mennyejukkan hati." Jelas abi, aku mengernyit. Kalimat itu berakhir dengan abi mengelus ujung kepalaku. Mataku beberapa detik meneliti rantang itu, barulah aku bangkit dan mengambilnya. Apapun titdah abi, aku harus melaksanakannya sepanjang itu tidak menyimpang dari ajaran agama.
"Baik, bi. Afin berangkat, assalamualaikum." Aku mengambil rantang yang dimaksud abi dan segera melangkah keluar kamar abi untuk mengantar rantang makanan itu. Umi yang melihatku menegurku dengan lembut.
"Mau kemana, Fin?"
"Mengantar makanan, mi. Disuruh abi." Jawabku apa adanya.
"Yang sami'na waato'na ya nduk, sama dia. Dia adalah orang yang penting." Aku meragu dengan kata-kata umi. kuulas sebuah senyum untuk menutupi kecurigaanku. Siapa yang akan kutemui sekarang? Apakah seorang pejabat?
"Berangkatlah, nduk." Aku tersadar dari lamunan yang terasa aneh ini. Aku belum mengertiperkara yang amat abu-abu untukku. Aku bergerak mendekat dan mencium punggungtangan umi sebelum kembali meneruskan langkahku.
abi, aku mengetuk pintu kayu mahoni itu dengan buku-buku jari. Tak lupa kuucapkan salam dengan lumayan keras. Aku masih menerka-nerka siapakah sosok yang akan kutemui. Abi dan umi sepertinya telah mengenalnya. Atau ...,
Derit pintu terdengar dan berhasil mengejutkanku. Seorang laki-laki dengan wajah manis melongok ke arah luar. Setelah melihatku, ia tersenyum dan bergumam tidak jelas.
"Akhirnya, kau datang juga. Telah lama aku menantimu," senyum lelaki itu mengusik pikiranku. Akhirnya, kuangkat wajahku untuk mengatahui dengan siapakah aku sedang berhadapan ini? Beberapa detik kemudian aku kembali menunduk. Laki-laki bermata secoklat kurma ranum itu sangat rupawan. Dadaku bergetar hebat. Entah apa ini namanya, aku merasakan pipiku menghangat.
"Masuklah ke istanaku yang sederhana, khumairoh." Aku terhenyak. Apa pendengaranku salah? Laki-laki yang baru kali ini kutemui ini memanggilku khumairoh? Panggilan kesayangan sayyidina Muhammad sholallohu alaihi wasallam kepada istri tercintanya yang berpipi kemerah-merahan saat pertama kali bersua.
"Afwan, mungkin saya pulang saja. Saya hanya ingin mengantar makanan ini untuk anda," jawabku sopan. Kata umi, dia adalah orang yang penting dan aku harus menuruti perkataannya. Ragu-ragu aku mengulurkan rantang yang kupegang.
"Bawa saja ke dapur, lagipula kau pasti ingin mengenalku kan?" Lagi-lagi, kata-kata laki-laki yang tidak aku ketahui namanya itu membuatku membeku di tempat.
Apa maksudnya? Laki-laki itu memandangku lagi, baru masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Dengan ragu dan aneh, aku menuruti perkataannya tadi. Kubawa rantang berisi makanan ini ke dapurnya. Walau seribu pertanyaan terus menghantui pikiran, aku terus berjalan. Saat aku sampai di dapur, dia menyuruhku untuk menatakan makan di piring. Aku menautkan kedua alis. Mengapa laki-laki yang kutaksir berusia lima tahun lebih tua dariku ini dengan seenaknya menyuruhku? Tapi aku kembali teringat kata-kata umi, beliau memperingatkanku untuk samii'na waato'na. Tapi siapakah laki-laki yang kini berada satu rumah denganku?
Dengan cekatan, makanan di dalam rantang telah tersaji di piring-piring dan mangkok. Bahkan aku menyiapkan sepiring nasi dan lauk-pauknya untuk kuhidangkan kepada orang asing yang tengah menungguku di ruang tengah itu. Setelah siap, baru aku melangkahkan kakiku menuju ruang tengah. Degub jantungku kembali kacau. Siapa laki-laki bermata coklat, secoklat kurma ini? Diam-diam aku memperhatikan wajahnya? Sebersit ingatan seolah sedang mengetuk kepalaku dengan kuat. Mata dan alis itu sepertinya pernah kutemui.
"Hai, Afin. Lupa denganku?" Pandangan laki-laki itu masih tertuju padaku. Sebenarnya siapa laki-laki ini?
"Panggil saja aku Syams, aku akan menjadi matahari di hidupmu," keningku mengerut mendengar kalimat itu. Aku risih dengan kelakar ataupun candaannya. Tapi rasa hatiku menghangat dan ada desir aneh yang sama sekali belum pernah kurasakan.
"Astagfirullahalladzim," aku bangkit dari dudukku yang tepat berada di samping laki-laki yang berkata namanya Syams ini. Aku sudah gila, sampai terlena dengan laki-laki yang bukan mahramku. Laki-laki berwajah oval itu mengernyitkan kening melihatku bergerak menjauh darinya.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa merasa berdosa. Ada yang meletup keras menolak di hatiku. Aku lalai dalam menjaga kehormatan dan martabatku sebagai seorang wanita. Air mata mulai merebak dari kedua pelupuk mataku.
"Aku telah berdosa," gumamku hendak keluar dari rumah bernuansa hijau ini. Bahkan penciumanku masih mengingat jelas wangi yasmin yang menguar dari tubuh lelaki itu. Dan bau itulajh yang menyadarkanku bahwa ini salah.
"Tenanglah, Fin." Bujuknya. Mendengar kalimat itu, kemarahanku malah meledak.
"Bagaimana saya bisa tenang? Saya telah berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram saya. Dan Anda, jangan sekali-kali merayu saya. Dari pakaian anda, saya kira anda seorang sholih, mungkin terlalu cepat saya menilai anda." Dadaku naik turun mencoba mengendalikan amarah.
"Perempuan memang pemarah, ya." Celetukan itu membuat bola mataku mendelik seolah akan terlepas dari tempurung kepala.
"Makanya, jangan cepat menilai sesuatu hanya dari luar," tambahnya, seperti membenarkan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggeleng kuat dan mempercepat langkahku keluar dari rumah ini.
"Nanti malam, pakai parfum yasmin ya, aku menyukainya," suaranya bergema sebelum aku melangkah dari pintu depan. Mendengar kata-kata itu, air mataku menetes terus menerus. Bahkan gamis yang aku gunakan seperti berpola karena terbasahi air mata.
****
"Abi, maafkan Afin." Aku tergugu di samping abi yang terlelap. Isakanku seolah tidak tertahan, kesedihan seorang perempuan yang telah berkhalwat dengan seorang laki-laki yang bukan mahramnya. 'Maafkan aku menyeretmu ke dalam panasnya api neraka,' Aku mengerjapkan mata, membiarkan air mata itu meluruh terus menerus.
"Ada apa, Fin? Apa kau sudah bertemu dengannya?" Abi mengelus jilbabku, aku cepat-cepat menghapus air mata.
"Kenapa menangis, Fin? Kamu tidak menyukai perangainya?" tanya abi, aku masih terisak sambil mencium tangannya.
"Dia kurang sopan, bi. Dia menyuruh Afin seperti Afin ini istrinya," jelasku sambil terisak. Tapi anehnya, abi malah tersenyum. Aku semakin sangsi dengan senyuman abi yang menurutku ganjil.
"Kenapa abi tersenyum?" Aku menyelidik. Bagaimana bisa abi tersenyum mendengar curahanku? Kurasakan tangan lain menyentuh halus pundakku. Sepertinya seorang lain telah hadir di sini. Aku menoleh dan menemukan umi tersenyum penuh haru di sampingku.
"Ada apa, umi?" Umi menatapku lekat. Aku masih mematung dengan seribu tanya memenuhi pikiranku. Sebenarnya ada apa? Umi mendekat kepada abi dan membisikkan sesuatu yang mengejutkanku.
"Dia sudah datang, bi."
Kedua orang yang aku sayangi itu menatapku lekat. Terlihat jelas aura kebahagiaan itu memenuhi pandangan keduanya. Umi membantu abi bangun dan duduk dengan benar di kursi rodanya. Lalu abi mendorong kursi rodanya dengan tangan. Aku semakin tidak mengerti. Baru satu langkah aku ingin mengikuti langkah abi, tapi umi meraih tanganku.
"Sebenarnya ada apa, umi? Afin nggak ngerti," desahku pelan. Umi mengangguk, membuatku menunggu penjelasan dari wanita yang telah melahirkanku.
"Pernahkah kamu mendengar bagaimana perjodohan antara kanjeng nabi muhammad dengan sayyidati Aisyah?"
Otakku berpikir dengan keras. Mencari-cari kisah yang pernah kudengar dari umi beberapa tahun yang lalu, di saat aku sudah kelas 3 Madrasah Aliyah. Saat itu, umi bercerita tentang pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Aisyah yang dijodohkan oleh Abu Bakar Asshiddiq. Lamaran Nabi Muhammad kepada ayahanda siti Aisyah, dijawab dengan hantaran makanan dari Siti Aisyah untuk Nabi Muhammad yang berarti Siti Aisyah menerima lamaran itu. Aku terhenyak. Apakah ini berarti, ...,
Aku menatap ke dalam mata umi yang seolah mengiyakan pemikiranku. Tanpa komando, air mata merebak dan disambut senyum oleh umi. Umi beberapa kali menguatkanku untuk menghapus air mata itu. Umi dan abi begitu yakin bahwa aku akan bahagia bersama Syams.
"Kenapa, nduk? Kamu tidak bahagia?" Tangan umi terasa hangat kala menyentuh pipiku. Pikiranku kembali berputar. Selama ini, kedua orang tuaku tidak pernah sekalipun menyusahkanku. Yang ada, akulah yang selalu menimpakan kesedihan untuk mereka. Mungkin inilah bentuk baktiku.
"Jika memang kamu tidak menyukai Syams, perjodohan itu bisa kami batalkan," kulihat ada kesedihan di mata umi. Tegakah aku melihatnya? Aku menggeleng.
"Tidak, umi. Afin akan menerima perjodohan ini. Siapapun yang dipilihkan umi dan abi yang menurut umi dan abi baik untuk Afin, insyaaallah, Afin menerima." Aku menggigit bibir bawah, menahan sebuah pedang kekecewaan yang kini merobek dadaku.
"Alhamdulillah," abi muncul dari pintu dan wajahnya berbinar cerah. Abi mendekat dan aku kembali mencium punggung tangannya.
"Kamu akan meminta mahar apa, nduk?" Abi mengelus pundakku. Aku terdiam sejenak. Apa yang akan aku minta kepada seseoran yang akan menjadi suamiku? Aku menghela napas panjang.
"Sebaik-baiknya wanita adalah yang ringan mas kawinnya, kan, mi," umi mengangguk. Kutata hatiku untuk mengatakan mimpi di masa kecilku.
"Afin ingin mas kawin hapalan surah ar-rahman," ungkapku dengan pelan. Abi menatapku seolah tidak percaya. Namun, detik berikutnya, umi mendekat dan membawaku ke dalam pelukannya.
"Nanti bakda Magrib, Syamsul dan Pak Alif akan ke mari untuk melamarmu secara resmi," abi berbisik dengan nada haru. Sedangkan aku masih nyaman berada di dekapan umi, menyembunyikan segala risau yang berkecamuk.
"Bi, nikahkan Afin malam ini juga," balasku tak kalah pelan.
"Bukankah, yang lebih cepat itu lebih baik? Apalagi ini menikah, toh syarat nikahnya sudah lengkap," tambahku mencoba menerima semua kejutan dari Allah yang bertubi-tubi ini. Abi segera mengecup ujung kepalaku sembari mendoakanku mendapat rumah tangga bahagia bersama Syams, laki-laki beraroma yasmin itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!