Kembalikan Bahagiaku
Suara kokok ayam bersahutan, membangunkan tidur lelap sesosok gadis yang bersembunyi di bawah selimut. Matanya mengerjap pelan, lalu bangun dan mengangkat kedua tangan ke atas untuk merenggangkan otot-otot.
Dia turun dari ranjang, memakai sendal rumahan dan gegas ke kamar mandi untuk mensucikan diri sebelum menghadap pemilik napasnya.
Pukul 5, gadis itu menghampiri ibunya yang tengah berkutat di dapur.
"Ibu, maaf, Hania bangun kesiangan."
Sang ibu menoleh, "apa semalam kamu begadang?"
Gadis bernama Hania itu mengangguk. "Hania lembur bikin surat lamaran kerja."
"Han, cari kerja sekarang susah, apalagi ijasah mu cuma ijasah SMA. Apa kamu nggak mau terima tawaran Om Saman buat kerja jadi asisten rumah tangga di rumahnya." Ibu Mirna melihat ke arah putrinya sebentar, lalu lanjut memotong sayuran.
"Hania berat buat jauh dari Bapak dan Ibu. Hania pengen cari kerja yang dekat di sini aja, Bu."
Ibu Mirna kembali melihati Hania, namun kali ini tatapan ibu itu terlihat sendu. Mungkin karena umurnya yang sudah kepala lima, juga karena sakit yang divonis dokter, membuat putri semata wayangnya itu berat untuk meninggalkan keluarga. Tetapi Mirna sendiri ingin Hania pergi mencari pengalaman, tidak melulu berkutat di labirin yang sama. Dia ingin putrinya memiliki cerita dari dunia luar.
Hania terlahir dari keluarga pas-pasan, sang ayah bekerja sebagai satuan pengaman (Satpam) di sebuah perkantoran, sedangkan ibu Mirna sendiri ibu rumah tangga yang mengadu nasib berjualan di pinggir jalan.
Setiap hari yang dilakukan Hania hanya membantu ibunya berjualan. Sejak lulus SMA, Hania memutuskan untuk mengubur cita-citanya, semua karena dia tak bisa melanjutkan kuliah. Mau bagaimana lagi,untuk keluarganya bertahan hidup saja kesusahan, apalagi untuk membiayai kuliah yang membutuhkan banyak biaya. Hania tidak mau membebani keluarga. Dan, sayang, dia juga tidak memiliki kecerdasan lebih, hingga tidak bisa mendapat bea siswa.
Jam 8 pagi, gerobak 'Mendoan Bu Mirna' sudah mangkal di ujung jalan raya. Dibantu Hania, ibu Mirna mulai mengadu rezeki di tempat itu.
Hania menata kursi plastik di bawah tenda, sedangkan Bu Mirna memotong tempe untuk di campur dengan adonan tepung terigu.
"Nduk, gimana kabarnya Gea. Apa dia jarang pulang?"
"Gea sedang sibuk bikin tugas kuliah, Bu. Katanya setelah ujian, saat libur nanti dia mau pulang."
"Maaf, ya, Nduk. Gara-gara bapak sama ibu nggak punya uang, kamu jadi nggak bisa kuliah," sedih Bu Mirna.
"Bu, nggak apa. Hania sekarang cuma pengen kerja, do'ain aku biar keterima di salah satu perusahaan, biar bisa bantu ibu dan bapak." Tidak bermuluk-muluk, Hania melamar pekerjaan sebagai OB.
Sedih, tentu saja, tapi apa yang bisa Hania suarakan. Suatu hari, sempat dia iri dengan sahabatnya bernama Rumia Geana karena gadis itu memiliki keberuntungan bisa kuliah di kota lain. Hania memaklumi, nasib Gea lebih beruntung karena kedua orang tuanya berkecukupan. Gea juga gadis yang lumayan cerdas dan modis.
Perbincangan dengan ibunya terhenti karena satu per satu sudah ada yang antri untuk membeli dagangan mereka. Hanya seperti itulah rutinitas mereka sehari-hari.
Pukul 2 siang, Hania dan Bu Mirna masih tetap di sana. Mereka biasa pulang pukul 6 sore. Tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang pria berkisar 40 tahunan.
"Han, ibumu mana?"
"Ibu lagi ke Masjid. Ada apa, Paklek?"
Hania mengenal pria tersebut, karena itu rekan kerja ayahnya sebagai satpam.
"Pak Efendi keserempet mobil. Sekarang di bawa ke rumah sakit."
"Astagfirullah hal'azdim, bapak." Kabar barusan membuat Hania sangat terkejut. Segera dia menyusul ibunya di Masjid. Disanapun Bu Mirna tak kalah terkejut, bahkan badannya sampai terhuyung.
"Bu, yang tenang, Bu." Hania memegangi kedua bahu ibunya.
"Apa Pak Sule masih di sana?"
Hania mengangguk.
"Ibu ke rumah sakit lebih dulu. Kamu tutup dagangannya dan susul Ibu, ya, Nduk."
"Iya, Bu."
~
Di Rumah Sakit.
Seorang pria berjalan mondar mandir dengan raut gelisah. "Sial sial sial!" umpatnya berulang kali. Kaki panjangnya menendang angin dengan mulut terus mengumpat. Dia sedang cemas dan menyesali tindakannya yang menyetir dengan ugal-ugalan. Menyebabkan pria paruh baya sedang menyebarang jalan harus tertabrak begitu saja.
Dia bisa membayangkan jika si korban terluka parah, karena tubuhnya terpental dan kepalanya terbentur aspal dengan keras. Bahkan, saat di perjalanan menuju rumah sakit, darah tak henti-henti keluar.
Dia yang melamun dikejutkan dengan deringan ponsel. "******!!!" umpatnya kasar. Pria itu benar-benar terkejut.
"Iya, Pa?"
"Gaka, jujur! Kamu bikin masalah apa lagi!?" Belum-belum terdengar suara kemarahan dari ayahnya. Pria bernama Satrya Higaka itu membuang napas kasar.
"Sial! Bagaimana papa tahu aku lagi terkena masalah. Bisa panjang urusannya," gumam Gaka.
"Enggak, Pa, Gaka bisa tangani masalah ini."
"Kamu menabrak seseorang dan kamu bisa menangani sendiri? Coba saja," tantang Tuan Haru.
Gaka mendengus. Memang benar yang dikatakan ayahnya. Bisakah dia menangani sendiri? Bagaimana dengan urusan keluarga korban? Bagaimana dengan urusan polisi?
"Agrhh!!!" Pekiknya tertahan.
"Papa akan terbang sore nanti. Dan kamu jangan lari dari tanggung jawab!" pesan Tuan Haru, lalu sambungan telepon diakhiri begitu saja.
Gaka kembali menendang angin dengan kekesalan. "Ini pasti mata-mata papa yang lapor."
Dari lorong, terlihat ibu paruh baya menangis dan didampingi seorang pria di belakangnya.
Jantung Gaka berdetak cepat, mungkinkah itu keluarga korban? Bagaimana dia akan bersikap.
"Pak Efendi tadi ada di ruang ini, Bu Mirna."
"Pak Sule, bagaimana suamiku bisa keserempet mobil?" tanya Bu Mirna pada Sule. Di perjalanan mereka belum sempat membicarakan kronologinya.
"Pak Efendi dari warung seberang jalan dan akan menyebrang jalan, tapi dari arah timur ada mobil melaju kencang padahal lampu merah masih belum berganti. Dan ... kecelakaan itu terjadi," terang Sule.
"Astagfirullah, bapak." Mirna semakin terisak mengetahui kronologi kejadian. Menggeleng-geleng pelan, membayangkan nasib naas yang di alami suaminya.
Gaka terdiam di tempat, ada titik rasa bersalah dan kasihan.
"Maaf, Mas, kenapa kamu di sini?" Sule menyadari keberadaan Gaka dan menanyainya. Dia belum tahu kalau yang menabrak rekan kerjanya adalah pemuda itu. Dia tadi sibuk mengurus pak Efendi, sedangkan Gaka diamankan oleh teman yang lainnya.
Gaka justru beralih melihat Bu Mirna. "Bu, saya akan bertagung jawab untuk kesembuhan suami ibu."
"Apa!? Jadi kamu yang menabrak suamiku!?" Bu Mirna menghentikan tangisannya, menatap emosi pemuda yang berdiri 2 meter darinya.
Dengan ragu Gaka mengangguk.
"Kamu tadi mendengar ucapan Bapak ini, bagaimana berkendara dengan ugal-ugalan sampai membahayakan nyawa orang lain."
"Maaf." Hanya itu yang lagi-lagi dikatakan Gaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
abdan syakura
Assalamu'alaikum
Aqu nyimak kak...
mari ramaikan....🤝
2023-06-21
0
bungaAaAaA
klo ampe mental mah ketabrak bukan kesrempet lagi
2022-09-30
0
Listiawati listiawati
q mampir kak Mei, lama g muncul2
2022-09-20
0