Tepat bada Ashar, Hania menyusul ibunya ke rumah sakit Medical Center. Hania menuju bagian resepsionis untuk menanyakan di mana ruang rawat pak Efendi, ayahnya.
"Ruang Cempaka Putih. No 102. Berada di lantai 3, Mbak," kata perawat bagian resepsionis.
Hania mengangguk. "Terima kasih, Mbak."
Lekas kaki itu menuju lift menuju lantai 3. Ketika lift berdenting, dia menyusuri lorong dan membaca setiap petunjuk ruangan. Menemukan ruang Cempaka Putih, sudut mata Hania menemukan ibunya yang sedang duduk di kursi tunggu. Ada pak Sule, ibunya dan satu lagi seorang pemuda yang dia sendiri tidak tahu itu siapa.
Hania mempercepat langkah. "Bu."
"Nduk."
"Bagaimana keadaan bapak, Bu?" Hania tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
"Bapakmu, Nduk. Bapakmu ... kondisinya kritis."
Hania langsung memeluk ibunya. Mereka menumpahkan tangis kembali. Lagi dan lagi, sesosok daging bernama Gaka kembali diselimuti setitik rasa bersalah.
Perlu diingat! Hanya setitik!
"Bu Mirna, karena Hania sudah ada di sini, saya harus pamit. Insya Allah, besok saya dan rekan-rekan lain akan menjenguk Pak Efendi," ucapan Sule membuat Bu Mirna dan Hania memperhatikan ke arah pria tersebut.
"Iya, Pak, silahkan. Terima kasih atas bantuannya," balas Bu Mirna.
Sule mengangguk. Lalu tatapannya beralih pada Gaka. "Anak muda, jangan coba-coba melarikan diri. Tanggung jawab dengan tindakanmu yang sudah mencelakai orang lain!"
Gaka memicing, kesal mendengar peringatan dari Sule. Yang sedari tadi mengatakan itu sampai berkali-kali. "Saya sudah bilang akan bertanggung jawab. Saya tidak akan kabur," jawabnya ketus.
Sule berlalu pergi.
Hania menggenggam tangan ibunya. "Bu." Memanggil sambil melirik ke arah Gaka.
Bu Mirna yang tahu lirikan putrinya langsung mengangguk. "Iya, dia yang nabrak bapak kamu. Dia melanggar lalu lintas dan bapak yang lagi nyebrang jadi korbannya."
Hania beristigfar lirih.
"Aku nggak konsentrasi, dan tiba-tiba bapak itu lewat, jadi ketabrak. Maaf," sahut Gaka.
Bu Mirna melirik sinis. "Maaf mu nggak bisa merubah keadaan suamiku."
Gaka mendengus dan memutar bola mata ke atas.
Bu Mirna menggenggam erat tangan Hania, emosi melihat sikap Gaka yang menurutnya kurang sopan.
Hania yang tahu itu segera menenangkan ibunya. "Ibu, tenang, Bu. Tenang. Jangan sampai darah tinggi ibu kambuh. Tolong, Bu, tenang."
Gaka menahan kesal. Dia sedari tadi ingin pergi tapi dicegah oleh Bu Mirna. Dia dituntut tanggung jawab, padahal tanpa diminta pun dia bakal tanggung jawab. Dia hanya bosan berada di sana. Bahkan untuk ke kantin juga tidak diperbolehkan. Takut kabur.
"Sial! Sampai kapan gue tertahan di sini!" gumamnya kesal. "Papa juga nggak dateng-dateng."
~
Pukul 9 malam, Gaka tertidur di kursi tunggu. Hania berada di kursi paling ujung juga tengah memejamkan mata, namun dalam posisi duduk. Dia diberi amanah ibunya untuk menjaga penabrak ayahnya agar tidak kabur, sedangkan Bu Mirna menunggu di dalam ruangan Efendi.
Gesekan-gesekan sepatu pantofel dari Tuan Haru dan 2 pengawalnya tidak berhasil mengusik lelap Gaka dan Hania. Sampai Tuan Haru menggoncang bahu Gaka, barulah pemuda itu terbangun.
"Pa."
"Tidak henti-hentinya kamu membuat ulah, Gaka! Setelah kabur dari rumah, sekarang mendapat masalah karna menabrak orang! Kapan kamu berubah!" Tercetak jelas gurat kemarahan dari wajah Tuan Haru. Mata tuanya menatap tajam ke arah Gaka.
"Papa dateng-dateng langsung marahin Gaka."
"Anak bo**h! Apa Papa harus memuji tindakanmu?!"
Gaka membuang napas kasar. Sedangkan Tuan Haru berusaha menurunkan emosinya.
"Mama nggak ikut?"
"Keadaan seperti ini kamu menanyakan mamamu?! Kamu mau jantung mama kambuh?"
Sementara Hening.
"Pa, tolong bantu Gaka."
"Kalau Papa punya anak lain, Papa nggak akan peduli lagi denganmu. Nggak akan bantu setiap masalah yang kamu timbulkan. Tapi, Papa harus memikirkan mamamu."
"Terima kasih, Pa," ucap Gaka. Dia tahu, ketika ayahnya datang, semua masalah akan beres. Tuan Haru tidak akan tinggal diam untuk masalah yang selalu dia timbulkan, dia tahu mamanya selalu berada di pihaknya.
Gaka sudah beranjak ingin pergi, tapi Tuan Haru menarik kerah jaketnya.
"Mau kemana kamu?!"
"Gaka mau kembali ke hotel dulu, Pa, dari jam 2 Gaka ke tahan di sini."
"Sebelum Papa bertemu dengan korban dan keluarganya, kamu nggak akan kemanapun!"
"Hah, Pa? Gaka udah lama nunggu Papa dari siang, sekarang masih belum boleh pergi." Gaka mengusap wajah kasar, "huh!" desaunya.
Hania yang terusik mulai membuka mata. Dilihatnya ada 3 orang yang datang. Salah satu dari mereka sedang berbincang dengan pemuda yang tadi menabrak ayahnya.
"Ikut Papa masuk untuk menemui keluarganya," perintah Tuan Haru pada Gaka.
"Itu anaknya." Gaka menunjuk gadis berkerudung lebar yang juga sedang melihat ke arah mereka.
Hania berdiri dan mendekati Tuan Haru.
"Nak, di mana keluargamu. Om ingin bicara."
"Ibu ada di dalam, biar saya panggilkan." Hania menunduk santun melewati Tuan Haru, lalu masuk ke dalam ruang rawat ayahnya. Bahkan tak sampai lama, dia sudah kembali dengan Bu Mirna.
Tuan Haru mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bu Mirna, tapi wanita paruh baya itu mengatupkan kedua tangan di depan da da. Tuan Haru lekas menarik tangannya.
"Saya orang tua dari Gaka, anak muda yang menabrak keluarga Anda. Saya meminta maaf atas perbuatan anak saya yang mencelakai keluarga ibu."
"Insya Allah, saya berusaha memaafkannya, Pak. Saya menahan anak bapak untuk meminta pertanggungjawabannya," ucap Bu Mirna.
Tuan Haru mengangguk. "Saya mengerti, Bu. Saya mewakili anak saya akan bertanggungjawab membiayai rumah sakit sampai keluarga ibu sembuh."
Tanpa mereka tahu, diam-diam Gaka menjauh dan akan kabur. Tetapi 2 pengawal Tuan Haru mengetahui itu.
"Tuan Gaka, sebaiknya Anda jangan pergi dulu." Salah satu dari pengawal menghadang di depan Gaka.
"Ah, bacot! Ngapain ikut campur! Gue capek dari tadi di sini, bego'!"
"Gaka!" panggil Tuan Haru dengan tatapan tajam.
"Ck! Mati lo. Mati! Awas aja!" Gaka bersungut menatap pengawal yang menghadangnya tadi. Dengan geram kembali mendekati ayahnya.
"Apa kamu sudah minta maaf dengan keluarga yang kamu tabrak?" tanya Tuan Haru.
"Udah berkali-kali, Pa," jawab Gaka malas menatap mereka.
"Gaka! Yang sopan kamu!"
Gaka membuang napas kasar. Lalu melihat ke arah papanya. Baru selanjutnya melihat ke arah Bu Mirna. "Sekali lagi, saya MINTA MAAF, Bu!" ucap Gaka dengan menekan kalimat minta maaf. Seolah ucapannya tidak tulus.
"Insya Allah, sekarang saya sudah memaafkanmu," balas Bu Mirna.
"Tuh, Pa, udah dapet maaf. Gaka pulang ke hotel, ya."
Tuan Haru menggeleng-geleng pelan. "Ikuti dia," titah Tuan Haru pada salah satu pengawalnya.
"Baik, Tuan."
Gaka melangkah dengan kesal. "Diikuti segala, sih! Nggak bisa mampir seneng-seneng," gumamnya.
"Bu, maafkan anak saya." Sekali lagi Tuan Haru meminta maaf untuk kelakuan putranya.
Bu Mirna mengangguk.
"Bisakah saya menjenguk keluarga ibu," izin Tuan Haru.
"Silahkan."
Di tempatnya berdiri. Hania bergumam, "akhlaknya sangat buruk."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Fitria Fitri
Nama cowok nya susah, aku panggil jaka aja ws lah
2022-10-07
0
@shiha putri inayyah 3107
pak Haru sangat sopan santun,,, tapi Gaka anak sombong dan tidak punya sopan santun....
2022-09-19
0
@shiha putri inayyah 3107
baru kali ini aku nemu nama gaka di sebuah cerita , nama yg unik dan berbeda... semangat terus buat Akak Mei buat lanjut ceritanya...💪💪💪
2022-09-19
0