Dua hari pak Efendi terbaring di atas brankar rumah sakit, sudah selama itu kondisinya belum membaik justru sebaliknya, kondisi pak Efendi semakin melemah dan melemah. Bu Mirna tak henti menangis. Hatinya dikuasai kegundahan, sama sekali belum bisa tenang sebelum dokter yang memeriksa suaminya memberi kabar baik.
Pintu ruang rawat pak Efendi terbuka, seorang dokter menampilkan raut sedih.
"Dokter, bagaimana keadaan suami saya?" tanya Bu Mirna. Walau perasaanya tidak enak melihat wajah dokter, tapi dia coba menyangkal pikiran buruknya.
"Maaf, Bu. Pak Efendi baru saja meninggal dunia."
Deg ....
Bu Mirna mematung, mencerna ulang kalimat yang didengar barusan. "Su-suami sa-ya meninggal?"
"Ibu yang sabar, semua yang hidup akan ...." Perkataan dokter terhenti karena Bu Mirna sudah jatuh pingsan.
Dokter tadi menyuruh perawat memindah Bu Mirna ke atas brankar dan di bawa ke ruang perawatan.
Satu perawat lain mendapat tugas untuk menghubungi keluarga Bu Mirna dan memberitahukan kabar duka barusan.
Karena tak ada nomor yang bisa dihubungi, akhirnya pihak rumah sakit menghubungi nomor Tuan Haru.
Di hotel tempat menginap Tuan Haru, pria tersebut sedang metting online dengan orang-orangnya yang ada di Jakarta. Metting tertunda karena Beliau memilih menerima panggilan dari nomor tak tertera nama.
Begitu mengetahui kabar pak Efendi sudah meninggal, Tuan Haru segera menyudahi metting dan langsung menuju rumah sakit.
Di perjalanan, Tuan Haru tak henti menelpon nomor Gaka. Namun, panggilan ke 10, barulah tersambung dengan Gaka.
"Kamu dimana?!"
"Gaka masih tiduran, Pa," jawab Gaka malas. Dia dan ayahnya tidak menginap di hotel yang sama karena Gaka sendiri tidak mau terus-menerus diganggu papanya.
"Papa tunggu di rumah sakit, kamu ke sana sekarang juga!"
"Nanti ajalah Pa, lagi males."
"Gaka! Orang yang kamu tabrak kemarin meninggal."
"Apa?!"
"Papa tunggu di sana." Sambungan diakhiri.
Di rumah sakit.
Tuan Haru dan beberapa pengawal sudah datang lebih dulu. Bahkan Hania belum ada di sana.
Tuan Haru menanyakan keberadaan keluarga jenasah kepada perawat dan diberitahu jika Bu Mirna belum sadarkan diri, sedangkan keluarga yang lain juga tidak ada yang datang.
Di tempat Hania berjualan, tiba-tiba perasaan gadis itu mendadak cemas. Terus saja terpikirkan tentang ayahnya.
"Ya Allah, ada apa ini? Kenapa aku terus kepikiran bapak?" Hania terdiam sebentar, sampai pembeli mengejutkannya.
"Mbak, udah matang belum gorengannya, saya buru-buru nih."
"Oh iya ya, ini tinggal dihitung aja, Mas. Sebentar," ujar Hania. Selesai memasukan aneka gorengan ke dalam plastik, dia memberikan pada pembeli.
"Berapa Mbak?"
"Lima belas ribu, Mas."
Orang itu memberikan uang senilai dua puluh ribuan, Hania yang akan mengambil uang kembalian dicegah.
"Kembaliannya nggak saya ambil sekarang, Mbak. Saya buru-buru banget, kalau ada waktu, saya ke sini lagi."
"Oh, iya, Mas. Makasih." Hania tidak mendengar sahutan lagi karena pemuda itu sudah pergi.
"Perasaanku benar-benar nggak enak, lebih baik aku ke rumah sakit sekarang aja," gumam Hania dan mulai membereskan dagangannya.
~
Gadis mengenakan gamis abu-abu tua dengan pasmina putih bermotif bunga-bunga kecil itu tengah menyusuri lorong rumah sakit, karena sudah hapal ruang rawat ayahnya, Hania langsung menuju ke lantai tiga.
Begitu sampai di atas, Hania tak begitu terkejut mendapati Tuan Haru dan pengawalnya ada di depan pintu, bahkan ada pemuda 'tak berakhlak' juga di sana. Tebakannya mereka sedang menjenguk ayahnya.
"Assalamualaikum ...." Hania mengucap salam. Sedikit memberi senyuman.
"Wa'alaikum salam," jawab Tuan Haru dan pengawalnya. Namun mulut Gaka terkatup rapat.
Hania melihat pintu ruang ayahnya terbuka, gadis itu mengintip ke dalam. Namun, di dalam ruangan nampak kosong tak ada siapapun.
"Maaf, Pak, kenapa ruangan ayah saya kosong? Apa ayah saya sedang diperiksa di ruang lain?"
"Nak ...," suara Tuan Haru tercekat, rasanya tidak tega untuk memberitahu kepada gadis itu.
"Bokap lo dipindah ke ruang jenasah," sambar Gaka. Melihat ayahnya diam saja, Gaka mewakili untuk memberitahu.
Hania melebarkan bola mata, beralih menatap pemuda yang memasang muka ... entahlah! Tapi Hania belum langsung mempercayai perkataan Gaka. Pria itu hanya asal bicara.
"Bokap lo meninggal jam setengah dua belas tadi."
"A-ayah ... meninggal?" Hania mundur ke belakang, kebetulan Gaka lebih dekat dengan gadis itu dan reflek menyanggah tubuh Hania.
"Lepas! Jangan sentuh saya!" marah Hania.
Gaka terbelalak. Terkejut mendapat amarah dati gadis yang berusaha ditolongnya. "Udah untung gue pegang, tau gitu biar aja jatoh," gumamnya sinis.
Hania berkali-kali mengusap air mata pipinya bergantian, wanita itu menjangkau kursi tunggu dan duduk di sana karena badannya terasa lemas. Bibir yang bergetar terus beristigfar dan memanggil ayahnya. Sulit mempercayai kenyataan ini, padahal 3 hari lalu ayahnya sehat dan masih tersenyum dengan kalimat-kalimat wejangan. Tetapi, tiga hari kemudian, saat ini ayahnya dinyatakan meninggal.
Sungguh, umur manusia tak ada yang tahu. Bahkan Hania tak menyadari kalimat ayahnya 'Ayah nggak bisa terus bersama kamu, Nduk. Kamu harus bisa jaga diri. Jangan tinggalkan lima waktu, dan terus jaga ibumu.'
Entah, Hania tidak memiliki firasat buruk tentang kata-kata itu, namun kini dia sadar bahwa itu adalah kata-kata terakhir dari wejangan ayahnya.
Ibu?! Astagfirullah hal'adzim, Hania baru teringat dengan ibunya. Dia menghentikan tangisannya dan bertanya pada Tuan Haru.
"Maaf, Pak, di mana ibu saya?"
"Ibu kamu tadi tidak sadarkan diri, dan di bawa ke ruang rawat. No 101."
Tak menunggu lama, Hania langsung menuju ke ruang itu. Berjarak 1 ruangan dari bekas ruang ayahnya.
Selepas kepergian Hania, Tuan Haru menatap sendu ke arah Gaka. "Kamu tidak merasa bersalah membuat keluarga mereka kehilangan salah satu anggota keluarganya."
Gaka terdiam. Pertanyaan mudah yang tidak memiliki makna, tapi kenapa sulit untuk di jawabnya.
"Bagaimana kalau posisi ini terjadi pada kita? Papa yang sehat, dan tiba-tiba ditabrak lalu meninggal. Bagaimana perasaanmu?"
"Pa! Ngomong apa, sih, ngaco!" sahut Gaka.
"Ini gara-gara kamu, Gaka. Gara-gara keegoisanmu menggunakan jalan sampai membuat nyawa orang meninggal."
"Tinggal kita kasih kompensasi buat keluarganya juga kelar."
"Astagfirullah, Gaka! Seringan itu kamu bicara tanpa rasa bersalah?! Kita bisa memberi kompensasi materi, tapi apa kita bisa mengembalikan kebahagiaan keluarga mereka."
"Papa terlalu mempersulit. Namanya nyawa, pastilah mati. Lagian, semua udah ada takdirnya," gumam Gaka lirih.
"Sikapmu pantas di penjara, Gaka!" sentak Tuan Haru.
"Eh, Pa?"
Tuan Haru meninggalkan Gaka begitu saja. Berbicara dengan putranya tak pernah diterima dengan baik. Pria paruh baya itu sampai bingung harus bagaimana menyadarkan Gaka agar menjadi pemuda baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Ida Blado
makanya pak,kslau anak salah jgn di lindungi.didik yg benar,,,,begini kn jdinya kalau apa serba duit,jdi ngergiin org lain
2022-12-31
0
Bunga
awal aja udah sedih🥺...yg sabar ya Hana😔
2022-09-27
0
@shiha putri inayyah 3107
kelakuan Gaka sangat tidak baik,,, setelah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan menyebabkan nyawa orang menghilang tidak ada rasa bersalah sama sekali...
2022-09-20
0