NovelToon NovelToon

Kembalikan Bahagiaku

Pengendara Ugal-ugalan

Suara kokok ayam bersahutan, membangunkan tidur lelap sesosok gadis yang bersembunyi di bawah selimut. Matanya mengerjap pelan, lalu bangun dan mengangkat kedua tangan ke atas untuk merenggangkan otot-otot.

Dia turun dari ranjang, memakai sendal rumahan dan gegas ke kamar mandi untuk mensucikan diri sebelum menghadap pemilik napasnya.

Pukul 5, gadis itu menghampiri ibunya yang tengah berkutat di dapur.

"Ibu, maaf, Hania bangun kesiangan."

Sang ibu menoleh, "apa semalam kamu begadang?"

Gadis bernama Hania itu mengangguk. "Hania lembur bikin surat lamaran kerja."

"Han, cari kerja sekarang susah, apalagi ijasah mu cuma ijasah SMA. Apa kamu nggak mau terima tawaran Om Saman buat kerja jadi asisten rumah tangga di rumahnya." Ibu Mirna melihat ke arah putrinya sebentar, lalu lanjut memotong sayuran.

"Hania berat buat jauh dari Bapak dan Ibu. Hania pengen cari kerja yang dekat di sini aja, Bu."

Ibu Mirna kembali melihati Hania, namun kali ini tatapan ibu itu terlihat sendu. Mungkin karena umurnya yang sudah kepala lima, juga karena sakit yang divonis dokter, membuat putri semata wayangnya itu berat untuk meninggalkan keluarga. Tetapi Mirna sendiri ingin Hania pergi mencari pengalaman, tidak melulu berkutat di labirin yang sama. Dia ingin putrinya memiliki cerita dari dunia luar.

Hania terlahir dari keluarga pas-pasan, sang ayah bekerja sebagai satuan pengaman (Satpam) di sebuah perkantoran, sedangkan ibu Mirna sendiri ibu rumah tangga yang mengadu nasib berjualan di pinggir jalan.

Setiap hari yang dilakukan Hania hanya membantu ibunya berjualan. Sejak lulus SMA, Hania memutuskan untuk mengubur cita-citanya, semua karena dia tak bisa melanjutkan kuliah. Mau bagaimana lagi,untuk keluarganya bertahan hidup saja kesusahan, apalagi untuk membiayai kuliah yang membutuhkan banyak biaya. Hania tidak mau membebani keluarga. Dan, sayang, dia juga tidak memiliki kecerdasan lebih, hingga tidak bisa mendapat bea siswa.

Jam 8 pagi, gerobak 'Mendoan Bu Mirna' sudah mangkal di ujung jalan raya. Dibantu Hania, ibu Mirna mulai mengadu rezeki di tempat itu.

Hania menata kursi plastik di bawah tenda, sedangkan Bu Mirna memotong tempe untuk di campur dengan adonan tepung terigu.

"Nduk, gimana kabarnya Gea. Apa dia jarang pulang?"

"Gea sedang sibuk bikin tugas kuliah, Bu. Katanya setelah ujian, saat libur nanti dia mau pulang."

"Maaf, ya, Nduk. Gara-gara bapak sama ibu nggak punya uang, kamu jadi nggak bisa kuliah," sedih Bu Mirna.

"Bu, nggak apa. Hania sekarang cuma pengen kerja, do'ain aku biar keterima di salah satu perusahaan, biar bisa bantu ibu dan bapak." Tidak bermuluk-muluk, Hania melamar pekerjaan sebagai OB.

Sedih, tentu saja, tapi apa yang bisa Hania suarakan. Suatu hari, sempat dia iri dengan sahabatnya bernama Rumia Geana karena gadis itu memiliki keberuntungan bisa kuliah di kota lain. Hania memaklumi, nasib Gea lebih beruntung karena kedua orang tuanya berkecukupan. Gea juga gadis yang lumayan cerdas dan modis.

Perbincangan dengan ibunya terhenti karena satu per satu sudah ada yang antri untuk membeli dagangan mereka. Hanya seperti itulah rutinitas mereka sehari-hari.

Pukul 2 siang, Hania dan Bu Mirna masih tetap di sana. Mereka biasa pulang pukul 6 sore. Tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang pria berkisar 40 tahunan.

"Han, ibumu mana?"

"Ibu lagi ke Masjid. Ada apa, Paklek?"

Hania mengenal pria tersebut, karena itu rekan kerja ayahnya sebagai satpam.

"Pak Efendi keserempet mobil. Sekarang di bawa ke rumah sakit."

"Astagfirullah hal'azdim, bapak." Kabar barusan membuat Hania sangat terkejut. Segera dia menyusul ibunya di Masjid. Disanapun Bu Mirna tak kalah terkejut, bahkan badannya sampai terhuyung.

"Bu, yang tenang, Bu." Hania memegangi kedua bahu ibunya.

"Apa Pak Sule masih di sana?"

Hania mengangguk.

"Ibu ke rumah sakit lebih dulu. Kamu tutup dagangannya dan susul Ibu, ya, Nduk."

"Iya, Bu."

~

Di Rumah Sakit.

Seorang pria berjalan mondar mandir dengan raut gelisah. "Sial sial sial!" umpatnya berulang kali. Kaki panjangnya menendang angin dengan mulut terus mengumpat. Dia sedang cemas dan menyesali tindakannya yang menyetir dengan ugal-ugalan. Menyebabkan pria paruh baya sedang menyebarang jalan harus tertabrak begitu saja.

Dia bisa membayangkan jika si korban terluka parah, karena tubuhnya terpental dan kepalanya terbentur aspal dengan keras. Bahkan, saat di perjalanan menuju rumah sakit, darah tak henti-henti keluar.

Dia yang melamun dikejutkan dengan deringan ponsel. "******!!!" umpatnya kasar. Pria itu benar-benar terkejut.

"Iya, Pa?"

"Gaka, jujur! Kamu bikin masalah apa lagi!?" Belum-belum terdengar suara kemarahan dari ayahnya. Pria bernama Satrya Higaka itu membuang napas kasar.

"Sial! Bagaimana papa tahu aku lagi terkena masalah. Bisa panjang urusannya," gumam Gaka.

"Enggak, Pa, Gaka bisa tangani masalah ini."

"Kamu menabrak seseorang dan kamu bisa menangani sendiri? Coba saja," tantang Tuan Haru.

Gaka mendengus. Memang benar yang dikatakan ayahnya. Bisakah dia menangani sendiri? Bagaimana dengan urusan keluarga korban? Bagaimana dengan urusan polisi?

"Agrhh!!!" Pekiknya tertahan.

"Papa akan terbang sore nanti. Dan kamu jangan lari dari tanggung jawab!" pesan Tuan Haru, lalu sambungan telepon diakhiri begitu saja.

Gaka kembali menendang angin dengan kekesalan. "Ini pasti mata-mata papa yang lapor."

Dari lorong, terlihat ibu paruh baya menangis dan didampingi seorang pria di belakangnya.

Jantung Gaka berdetak cepat, mungkinkah itu keluarga korban? Bagaimana dia akan bersikap.

"Pak Efendi tadi ada di ruang ini, Bu Mirna."

"Pak Sule, bagaimana suamiku bisa keserempet mobil?" tanya Bu Mirna pada Sule. Di perjalanan mereka belum sempat membicarakan kronologinya.

"Pak Efendi dari warung seberang jalan dan akan menyebrang jalan, tapi dari arah timur ada mobil melaju kencang padahal lampu merah masih belum berganti. Dan ... kecelakaan itu terjadi," terang Sule.

"Astagfirullah, bapak." Mirna semakin terisak mengetahui kronologi kejadian. Menggeleng-geleng pelan, membayangkan nasib naas yang di alami suaminya.

Gaka terdiam di tempat, ada titik rasa bersalah dan kasihan.

"Maaf, Mas, kenapa kamu di sini?" Sule menyadari keberadaan Gaka dan menanyainya. Dia belum tahu kalau yang menabrak rekan kerjanya adalah pemuda itu. Dia tadi sibuk mengurus pak Efendi, sedangkan Gaka diamankan oleh teman yang lainnya.

Gaka justru beralih melihat Bu Mirna. "Bu, saya akan bertagung jawab untuk kesembuhan suami ibu."

"Apa!? Jadi kamu yang menabrak suamiku!?" Bu Mirna menghentikan tangisannya, menatap emosi pemuda yang berdiri 2 meter darinya.

Dengan ragu Gaka mengangguk.

"Kamu tadi mendengar ucapan Bapak ini, bagaimana berkendara dengan ugal-ugalan sampai membahayakan nyawa orang lain."

"Maaf." Hanya itu yang lagi-lagi dikatakan Gaka.

Akhlaknya Sangat Buruk

Tepat bada Ashar, Hania menyusul ibunya ke rumah sakit Medical Center. Hania menuju bagian resepsionis untuk menanyakan di mana ruang rawat pak Efendi, ayahnya.

"Ruang Cempaka Putih. No 102. Berada di lantai 3, Mbak," kata perawat bagian resepsionis.

Hania mengangguk. "Terima kasih, Mbak."

Lekas kaki itu menuju lift menuju lantai 3. Ketika lift berdenting, dia menyusuri lorong dan membaca setiap petunjuk ruangan. Menemukan ruang Cempaka Putih, sudut mata Hania menemukan ibunya yang sedang duduk di kursi tunggu. Ada pak Sule, ibunya dan satu lagi seorang pemuda yang dia sendiri tidak tahu itu siapa.

Hania mempercepat langkah. "Bu."

"Nduk."

"Bagaimana keadaan bapak, Bu?" Hania tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

"Bapakmu, Nduk. Bapakmu ... kondisinya kritis."

Hania langsung memeluk ibunya. Mereka menumpahkan tangis kembali. Lagi dan lagi, sesosok daging bernama Gaka kembali diselimuti setitik rasa bersalah.

Perlu diingat! Hanya setitik!

"Bu Mirna, karena Hania sudah ada di sini, saya harus pamit. Insya Allah, besok saya dan rekan-rekan lain akan menjenguk Pak Efendi," ucapan Sule membuat Bu Mirna dan Hania memperhatikan ke arah pria tersebut.

"Iya, Pak, silahkan. Terima kasih atas bantuannya," balas Bu Mirna.

Sule mengangguk. Lalu tatapannya beralih pada Gaka. "Anak muda, jangan coba-coba melarikan diri. Tanggung jawab dengan tindakanmu yang sudah mencelakai orang lain!"

Gaka memicing, kesal mendengar peringatan dari Sule. Yang sedari tadi mengatakan itu sampai berkali-kali. "Saya sudah bilang akan bertanggung jawab. Saya tidak akan kabur," jawabnya ketus.

Sule berlalu pergi.

Hania menggenggam tangan ibunya. "Bu." Memanggil sambil melirik ke arah Gaka.

Bu Mirna yang tahu lirikan putrinya langsung mengangguk. "Iya, dia yang nabrak bapak kamu. Dia melanggar lalu lintas dan bapak yang lagi nyebrang jadi korbannya."

Hania beristigfar lirih.

"Aku nggak konsentrasi, dan tiba-tiba bapak itu lewat, jadi ketabrak. Maaf," sahut Gaka.

Bu Mirna melirik sinis. "Maaf mu nggak bisa merubah keadaan suamiku."

Gaka mendengus dan memutar bola mata ke atas.

Bu Mirna menggenggam erat tangan Hania, emosi melihat sikap Gaka yang menurutnya kurang sopan.

Hania yang tahu itu segera menenangkan ibunya. "Ibu, tenang, Bu. Tenang. Jangan sampai darah tinggi ibu kambuh. Tolong, Bu, tenang."

Gaka menahan kesal. Dia sedari tadi ingin pergi tapi dicegah oleh Bu Mirna. Dia dituntut tanggung jawab, padahal tanpa diminta pun dia bakal tanggung jawab. Dia hanya bosan berada di sana. Bahkan untuk ke kantin juga tidak diperbolehkan. Takut kabur.

"Sial! Sampai kapan gue tertahan di sini!" gumamnya kesal. "Papa juga nggak dateng-dateng."

~

Pukul 9 malam, Gaka tertidur di kursi tunggu. Hania berada di kursi paling ujung juga tengah memejamkan mata, namun dalam posisi duduk. Dia diberi amanah ibunya untuk menjaga penabrak ayahnya agar tidak kabur, sedangkan Bu Mirna menunggu di dalam ruangan Efendi.

Gesekan-gesekan sepatu pantofel dari Tuan Haru dan 2 pengawalnya tidak berhasil mengusik lelap Gaka dan Hania. Sampai Tuan Haru menggoncang bahu Gaka, barulah pemuda itu terbangun.

"Pa."

"Tidak henti-hentinya kamu membuat ulah, Gaka! Setelah kabur dari rumah, sekarang mendapat masalah karna menabrak orang! Kapan kamu berubah!" Tercetak jelas gurat kemarahan dari wajah Tuan Haru. Mata tuanya menatap tajam ke arah Gaka.

"Papa dateng-dateng langsung marahin Gaka."

"Anak bo**h! Apa Papa harus memuji tindakanmu?!"

Gaka membuang napas kasar. Sedangkan Tuan Haru berusaha menurunkan emosinya.

"Mama nggak ikut?"

"Keadaan seperti ini kamu menanyakan mamamu?! Kamu mau jantung mama kambuh?"

Sementara Hening.

"Pa, tolong bantu Gaka."

"Kalau Papa punya anak lain, Papa nggak akan peduli lagi denganmu. Nggak akan bantu setiap masalah yang kamu timbulkan. Tapi, Papa harus memikirkan mamamu."

"Terima kasih, Pa," ucap Gaka. Dia tahu, ketika ayahnya datang, semua masalah akan beres. Tuan Haru tidak akan tinggal diam untuk masalah yang selalu dia timbulkan, dia tahu mamanya selalu berada di pihaknya.

Gaka sudah beranjak ingin pergi, tapi Tuan Haru menarik kerah jaketnya.

"Mau kemana kamu?!"

"Gaka mau kembali ke hotel dulu, Pa, dari jam 2 Gaka ke tahan di sini."

"Sebelum Papa bertemu dengan korban dan keluarganya, kamu nggak akan kemanapun!"

"Hah, Pa? Gaka udah lama nunggu Papa dari siang, sekarang masih belum boleh pergi." Gaka mengusap wajah kasar, "huh!" desaunya.

Hania yang terusik mulai membuka mata. Dilihatnya ada 3 orang yang datang. Salah satu dari mereka sedang berbincang dengan pemuda yang tadi menabrak ayahnya.

"Ikut Papa masuk untuk menemui keluarganya," perintah Tuan Haru pada Gaka.

"Itu anaknya." Gaka menunjuk gadis berkerudung lebar yang juga sedang melihat ke arah mereka.

Hania berdiri dan mendekati Tuan Haru.

"Nak, di mana keluargamu. Om ingin bicara."

"Ibu ada di dalam, biar saya panggilkan." Hania menunduk santun melewati Tuan Haru, lalu masuk ke dalam ruang rawat ayahnya. Bahkan tak sampai lama, dia sudah kembali dengan Bu Mirna.

Tuan Haru mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bu Mirna, tapi wanita paruh baya itu mengatupkan kedua tangan di depan da da. Tuan Haru lekas menarik tangannya.

"Saya orang tua dari Gaka, anak muda yang menabrak keluarga Anda. Saya meminta maaf atas perbuatan anak saya yang mencelakai keluarga ibu."

"Insya Allah, saya berusaha memaafkannya, Pak. Saya menahan anak bapak untuk meminta pertanggungjawabannya," ucap Bu Mirna.

Tuan Haru mengangguk. "Saya mengerti, Bu. Saya mewakili anak saya akan bertanggungjawab membiayai rumah sakit sampai keluarga ibu sembuh."

Tanpa mereka tahu, diam-diam Gaka menjauh dan akan kabur. Tetapi 2 pengawal Tuan Haru mengetahui itu.

"Tuan Gaka, sebaiknya Anda jangan pergi dulu." Salah satu dari pengawal menghadang di depan Gaka.

"Ah, bacot! Ngapain ikut campur! Gue capek dari tadi di sini, bego'!"

"Gaka!" panggil Tuan Haru dengan tatapan tajam.

"Ck! Mati lo. Mati! Awas aja!" Gaka bersungut menatap pengawal yang menghadangnya tadi. Dengan geram kembali mendekati ayahnya.

"Apa kamu sudah minta maaf dengan keluarga yang kamu tabrak?" tanya Tuan Haru.

"Udah berkali-kali, Pa," jawab Gaka malas menatap mereka.

"Gaka! Yang sopan kamu!"

Gaka membuang napas kasar. Lalu melihat ke arah papanya. Baru selanjutnya melihat ke arah Bu Mirna. "Sekali lagi, saya MINTA MAAF, Bu!" ucap Gaka dengan menekan kalimat minta maaf. Seolah ucapannya tidak tulus.

"Insya Allah, sekarang saya sudah memaafkanmu," balas Bu Mirna.

"Tuh, Pa, udah dapet maaf. Gaka pulang ke hotel, ya."

Tuan Haru menggeleng-geleng pelan. "Ikuti dia," titah Tuan Haru pada salah satu pengawalnya.

"Baik, Tuan."

Gaka melangkah dengan kesal. "Diikuti segala, sih! Nggak bisa mampir seneng-seneng," gumamnya.

"Bu, maafkan anak saya." Sekali lagi Tuan Haru meminta maaf untuk kelakuan putranya.

Bu Mirna mengangguk.

"Bisakah saya menjenguk keluarga ibu," izin Tuan Haru.

"Silahkan."

Di tempatnya berdiri. Hania bergumam, "akhlaknya sangat buruk."

Selalu Membuat Kesal

Di perjalanan menuju hotel, Gaka menerima panggilan dari seorang wanita.

"Halo, sayang." Bibir Gaka tersenyum, meskipun seseorang jauh disana tidak melihat ekspresinya.

"Gaka, I miss you."

"Hei, miss you to baby," sahut Gaka cepat. Sambil menerima telepon, mata Gaka teliti melihat jalanan. Dia tidak mau hal naas tadi terulang kembali, membuat orang celaka karena kecerobohannya.

"Besok gue pulang ke Surabaya. Gue di sana sampai 2 minggu," ujar wanita itu.

"Oke, kita bisa ketemu di sini."

"Loh, lo kabur ke Surabaya?"

Gaka terkekeh mendapati kekasihnya terkejut. Memang, kemarin dia sempat cerita dia sedang kabur dari rumah karena malas mendapat tugas dari papanya, namun tidak memberitahu kemana tujuannya.

"Lo jahat nggak kasih tahu. Tapi seneng sih bisa ketemu di kota kelahiran gue."

"Besok gue jemput lo di bandara."

"Oke. Always miss you, Gaka."

"By." Sesingkat itu Gaka membalas. Dia cinta kekasihnya, tetapi tidak dengan sikap lebainya.

~

Pukul 4 sore, Gaka memarkirkan mobil di pelataran Bandar Udara Internasional Juanda. Sebelum masuk ke loby, bahkan sudut matanya sudah melihat seluet yang sangat dikenali.

"Gaka!!!" Seorang wanita sexy setengah berlari menuju ke arahnya. Meski tangan wanita itu menarik koper, tapi terlihat tidak kesulitan. Setelah jarak mereka terkikis, wanita itu langsung mencium pipi Gaka.

"Ge! Lo sadar, kita di tempat umum," ujar Gaka memperingati. Matanya awas melirik kanan kiri. Di loby bandara, tentu ada banyak orang. Sebagian bersikap acuh, ada yang menatap sinis, bahkan ada juga yang mencibir.

"Persetan, Gaka! Kenapa peduli orang. Pedulikan saja rindu gue."

"Rumia Geana, gue tahu lo rindu, tapi jangan di tempat umum. Ayo, kita ke hotel."

Wanita bernama Gea itu mengerling. "Ayo, sayang."

~

Tuan Haru dibuat kesal oleh Gaka. Bagaimana tidak, putranya itu sudah kabur dari subuh tadi dan sampai petang belum juga memberi kabar. Ponsel sengaja dimatikan karena dia tidak bisa menghubungi.

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menangani Gaka. Anak itu semakin sulit di arahkan. Bahkan di umur 27 tahun, dia masih senang bermain-main! Seperti tidak punya masa depan!" Dia tak henti berusaha menghubungi Gaka.

Tok ... tok ...!

"Masuk!"

Satu pengawal masuk dan menundukkan kepala sebentar. Memberi hormat. "Tuan Gaka dari bandara menjemput seorang wanita dan langsung menuju hotel Bukit Barisan, Tuan."

Tangan Tuan Haru terkepal. Kesabarannya hampir menipis mendengar laporan barusan.

"Masih saja bermain wanita. Tapi disuruh menikah tidak mau!" Tuan Haru menghela napas panjang.

"Bawa paksa Gaka ke hadapanku. Sekarang!" perintahnya menahan geram.

"Siap, laksanakan, Tuan."

Di Hotel Bukit Barisan.

Brak brak brak!!!

"******! Bangsat! Siapa yang berani ganggu gue!" Kegiatan panas Gaka bersama kekasihnya harus terhenti karena gedoran keras di pintu.

Gaka meraih celana da lam, juga celana pendeknya, sedangkan Gea, menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

Ceklek.

"Tuan Haru menyuruh kami membawa Anda."

"Kenapa?! Bilang sama papa, gue akan menemui papa jam 9 nanti."

"Tidak bisa, Tuan! Tuan Haru menyuruh kami membawa Anda ke hadapannya, sekarang juga."

"Eh, gue lagi ***** sama cewek gue. Jangan ganggu! Kalau udah kelar, gue bakal temuin papa!"

"Kami mendapat izin dari Tuan Haru, kalau Tuan tidak ikut secara suka rela, kami diberi wewenang untuk membawa paksa Anda. Jadi, lebih baik Anda ikut sekarang juga."

Gaka terbelalak. Kurang ajar sekali!!!

"Keparat emang!" Gaka mendekus. Tidak mungkin dia melawan 5 orang pengawal ayahnya, bisa babak belur dengan konyol.

"Kalau enggak, tunggu satu jam lagi, deh. Biar gue kelarin urusan ***** gue," tawar Gaka.

"Maaf, kalau Anda tidak pergi sekarang, kami akan membawa Anda meski tanpa berpakaian lengkap."

Gaka kembali terbelalak. ******!!!

Pria itu masuk dan menghampiri Gea. "Gue harus pergi," katanya.

"Hah? Pergi gimana? Kita belum selesai. Ada apa, sih?" Gea penasaran.

"Noh, di depan ada pengawal bokap gue. Rese' emang!"

"Loh, bokap lo di sini juga?" Gea terkejut.

"Iya. Ceritanya panjang, ntar gue ceritain. Gue pergi dulu." Gaka memunguti pakaian lengkapnya dan memakai dengan cepat. "Ck! Sial sial! Gue bakal nuntasin sendirian abis ini," keluhnya kesal. Raut wajahnya merajuk namun menggemaskan. Sedangkan di tempatnya Gea justru tertawa.

~

Sedari Gaka berdiri di depan Tuan Haru, pria paruh baya itu sudah mengepalkan telapak tangannya.

"Gaka Gaka Gaka!" Tuan Haru memanggil Gaka tiga kali dengan gigi bergemeletuk. Serasa kemarahannya sudah mencapai puncak ambang kesabaran.

"Udah kayak manggil jaelangkung aja sampai tiga kali, sekali juga Gaka udah denger, Pa."

Tuan Haru melangkah satu kali, hampir saja dia melayangkan tinjunya ke wajah Gaka. Namun, kepalan tangannya hanya menggantung di udara. Mengingat, dari Gaka lahir sampai umur 27 tahun, belum pernah sekalipun dia menyakiti putranya. Dia tidak tega.

"Gaka, bagaimana lagi Papa harus mengatur mu."

"Nggak usah diatur, Pa. Gaka juga nggak suka di atur-atur."

"Kalau kamu masih seperti ini, Papa tidak akan melindungi masalahmu lagi. Biar saja kamu di tangkap polisi."

Mendengar ancaman serius papanya, air muka Gaka sedikit memucat. Pasalnya, dia bukan apa-apa tanpa pengaruh kekuasaan Tuan Haru.

"Pa ...."

"Kali ini Papa tidak main-main!"

"Setelah urusan ini selesai, segera pulang ke Jakarta dan urus perusahaan Papa dengan serius."

Gaka tidak menjawab, namun wajahnya terlihat sangat malas.

"Besok ikut Papa ke rumah sakit, kita jenguk korban yang kamu tabrak."

~

Pagi hari, seusai sholat Subuh, Hania meminta izin pulang. Dia membawa baju kotor yang dikenakan pak Efendi kemarin, juga harus membersihkan rumah.

Saat mengemasi barang, Hania melihat ke arah ibunya sebentar. "Bu, hari ini Hania jualan, ya. Ibu nggak papa 'kan di sini sendiri?"

"Jualan sendiri berat, Nduk. Dorong gerobaknya susah, belum lagi ngemasi barang-barangnya bakal lama. Nanti kamu kerepotan."

"Nggak papa, Bu. Hania bisa pelan-pelan. Kalau cuma di sini, uang kita bakal menipis."

Benar! Memang benar yang dikatakan Hania, keuangan mereka lekas menipis. Karena hasil jual mendoan yang tidak seberapa hanya cukup untuk makan sehari-hari, sedangkan gaji pak Efendi sudah digunakan untuk membayar tagihan listrik, air, kebersihan, juga angsuran kredit di bank.

"Tagihan rumah sakit sudah di tanggung Tuan Haru, kalau beberapa hari tidak jualan tidak apa," kata Bu Mirna.

"Benar biaya bapak dibayar mereka, tapi untuk makan dan kebutuhan lain, tetap kita sendiri yang cari 'kan, Bu?"

Bu Mirna menghela napas panjang. Sekali lagi memang benar yang dikatakan putrinya.

"Ya udah nggak apa-apa kalau mau jualan. Tapi hati-hati dan jangan ceroboh ya, Nduk. Kalau bisa yang cekatan jualinnya," pesan Bu Mirna dan diangguki oleh Hania.

"Hania pulang dulu, Bu. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!