Hania dan Bu Mirna baru usai menghantar pak Efendi ke peristirahatan terakhir.
"Hania antar ke kamar ya, Bu. Ibu harus banyak istirahat. Jangan sampai Ibu sakit." Hania memapah ibunya masuk ke dalam kamar.
"Sepi dan kosong di tinggal ayahmu, ya, Nduk. Bagaimana kita jalani hari tanpa ayahmu." Setetes air mata lolos di pipi Bu Mirna. Tak terkecuali juga dengan Hania, gadis itu pun menunduk menyembunyikan tangisan.
Kehilangan pak Efendi tentu saja menjadi pukulan berat bagi mereka. Selama ini hidup mereka damai dan bahagia meski dalam kekurangan.
"Bu, kesedihan jangan buat kita lupa akan takdir Allah. Semua atas kehendak-Nya. Kita sayang ayah, tapi Allah siapin tempat yang terbaik buat ayah. Lebih baik kita banyak berdoa untuk ketenangan ayah."
"Astagfirullah hal'adzim. Kamu benar, nduk, semua sudah takdir dari Allah. Sekarang yang bisa kita lakuin hanya mendoakan ayahmu."
Hania mengangguk, lalu memeluk ibunya. "Mudah-mudahan kita kuat melewati ini ya, Bu."
~
Tiga hari berlalu.
Tuan Haru baru saja meninggalkan kediaman Bu Mirna. Pria paruh baya itu memberi kompensasi dengan jumlah banyak, akan tetapi Bu Mirna tidak menerima semuanya. Dia hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan mereka. Dia tak mau memanfaatkan musibah almarhum suaminya.
Meski begitu, Tuan Haru berjanji pada dirinya sendiri akan tetap membantu Bu Mirna, karena mengetahui bagaimana kehidupan Bu Mirna yang ternyata sangat sederhana.
Keesokan harinya Bu Mirna dan Hania kembali mengadu nasib berjualan di pinggir jalan. Uang kompensasi yang diberi Tuan Haru kemarin sudah dipakai untuk melunasi hutang bank, lalu ada sisa sedikit untuk menambah modal usaha.
Siang hari dagangan mereka masih tersisa banyak, Hania menyuruh ibunya untuk sholat lebih dulu sedangkan dia yang menunggu lapak mereka.
Hania duduk menopang dagu, hari ini lumayan sepi sampai dia tidak begitu sibuk.
"Assalamualaikum, Mbak. Niat jualan enggak? Ngelamun aja."
Hania dikejutkan dengan suara itu, lalu menoleh pada sumber suara. Tatapan mereka bertemu.
"Masih inget, nggak?"
"Inget. Mas masih punya kembalian lima ribu di sini," kata Hania.
Pria itu tertawa. "Ha ha ... inget aja, Mbak." Dia mengambil duduk di seberang Hania. "Tiga hari berturut-turut saya ke sini, tapi tutup terus," ceritanya.
"Iya, memang baru jualan hari ini. Tiga hari lalu sedang mendapat musibah, ayah saya meninggal dunia." Entah mengapa Hania tiba-tiba bercerita, padahal dia cukup introvert terhadap orang yang tidak dikenalnya.
"Innalillahi waina'illahi rajiun. Turut berduka cita, ya, Mbak."
Hania mengangguk, meski tercetak jelas kesedihan di wajahnya, dia mencoba menerbitkan senyum.
"Aduh, siang-siang alhamdulillah dapet sedekah menyegarkan," ucap pemuda tadi. Yang mana membuat Hania mengerutkan kedua alisnya. Tidak mengerti.
"Ituh, dapet sedekah senyum, Mbak, buat hati adem."
Hania tersenyum dan menggelengkan kepala pelan. "Mas mau pesen apa?"
"Gorengan campur, minta sepuluh bungkus."
"Banyak banget, Mas?" tanya Hania. Gadis itu membuka etalase dan mulai menghitung gorengan pesanan pria tadi.
"Iya. Hari ini saya mendapat rezeki lebih. Saya ingin berbagi sedikit untuk orang-orang yang saya temui di jalan."
Hania menoleh sebentar, "Alhamdulillah. Mudah-mudahan rezeki yang mas dapat berkah," doanya.
"Amiin amiin amiin ya robbal'allamin."
"Masih kurang dua bungkus lagi, apa Mas bersedia untuk menunggu?" tanya Hania.
"Nggak apa. Hari ini saya nggak buru-buru, bisa sekalian nunggu sedekah dari Mbak lagi."
Dari tempatnya berdiri, Hania tidak menoleh sama sekali, namun bibirnya tersenyum tipis.
~
Selama satu minggu terakhir, pria itu menjadi pelanggan tetap di lapak Hania. Entah kebetulan atau tidak, setiap dagangan Hania masih banyak, pria itu selalu datang dan memborong habis gorengannya. Alasannya untuk sedekah, dan itu satu minggu hampir empat kali pria itu memborong semuanya.
"Hari ini sedekah lagi dalam rangka apa, Mas?"
"Apa, ya?" Pria itu nampak berpikir. "Em ... dalam rangka minta rezeki."
"Minta rezeki?" ulang Hania yang tidak mengerti.
"Minta rezeki supaya tiap hari bisa dapet sedekah senyum dari seseorang."
Deg ... Hania terdiam. Apa maksudnya?
"Saya sudah lumayan jadi pelanggan. Tapi sampai saat ini belum tahu nama, Mbak."
"Mau modus, Mas?" Hania melirik, pria tersebut justru terbahak.
"Modusnya kentara banget, ya?"
Hania mengangkat bahu.
"Saya, Abian." Tiba-tiba pria itu bangkit dan mengusungkan telapak tangan kanannya di depan Hania.
Hania melihat sebentar lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Saya, Hania."
Usungan tangannya tak terbalas, pria bernama Abian itu menarik tangannya. "Nama yang manis," ujarnya, " ... semanis orangnya," sambungnya.
Hania tersenyum tipis. Dia memang bukan keturunan ahli ulama, tetapi didikan dari kedua orang tuanya yang taat agama menjadikan Hania tumbuh menjadi gadis sholehah. Kedua orang tuanya selalu berpesan agar Hania pandai menjaga marwah sebagai wanita. Dalam artian harus bisa menjaga diri.
"Ini nggak salah lagi," celetuk Abian sambil kembali duduk.
"Nggak salah apanya, Mas?"
"Nggak salah untuk diperjuangkan," jawab Abian dengan senyuman teduh.
"Hai, Han ...," sapa riang dari seorang wanita yang baru datang.
"Ya Allah, Ge. Ini kamu?" pekik Hania terkejut. Namun binar matanya menunjukkan kebahagiaan. Mereka berdua berpelukan, dilanjut cipika cipiki untuk melepas rindu setelah tiga bulan tidak bertemu.
"Kamu sehat?"
Wanita bernama Gea mengangguk antusias. "Aku sehat. Maaf ya, Han. Aku baru dengar musibah yang menimpa ayahmu. Aku turut berduka."
Hania mengangguk memaklumi. "Sudah, sudah berlalu. Aku dan Ibu sedang mencoba ikhlas."
"Ge, kamu duduk dulu, aku mau lanjutin goreng bakwan sebentar. Nggak enak udah ditungguin."
Gea mengangguk. Dia mengedar pandangan untuk mencari tempat duduk, namun dikejutkan keberadaan Abian.
"Kak Bian?"
Abian acuh tak acuh dengan sapaan Gea.
"Abis ketemuan sama badboy itu?"
"Kak, dia sodara Kakak."
Abian menghendikan bahu. "Memang kenapa kalau sodara?"
"Nggak apa, sih. Cuma hubungan kalian enggak begitu dekat, ya."
"Mas, ini pesanannya." Percakapan Abian dan Gea terhenti karena kedatangan Hania. Abian berdiri dan merogoh saku, lalu membayar.
"Makasih, Han."
"Aku yang makasih, Mas."
Abian mengangguk. "Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Setelah tak ada pembeli, Hania langsung menghampiri Gea, sahabatnya.
"Kamu kenal Mas Abian, Ge?"
"Dia sodaranya pacarku."
"Oh. Tapi bukannya pacarmu orang Jakarta?" Hania tahu karena Gea sempat bercerita.
"Iya. Ada juga sodaranya di sini, bahkan cabang perusahaan ayahnya juga ada di sini."
"Pacarmu orang berada ya, Ge?"
"Bukan berada lagi. Tapi sangat berada."
Hania bangkit untuk mengambilkan segelas air putih untuk Gea.
"Han, aku bener-benar minta maaf nggak datang di waktu terakhir ayahmu dikebumikan."
"Nggak apa. Aku tau kamu sibuk, Ge."
"Kamu dan ibu kuat, Han." Gea mengusap bahu Hania.
"Aku berusaha kuat, Ge. Memang kepergian ayah tanpa disangka-sangka."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
bungaAaAaA
astaga baru ngeuh, gea gea pacare si anak gada akhlak itu
2022-09-30
0
Bunga
semoga hania berjodoh sma abian bukan gaka amiin...meski gaka peran utama disini tpi aq gak rela hania sma gaka😅
2022-09-27
0
@shiha putri inayyah 3107
ini Gea teman hania ,,, yg pacaran sama si Gaka manusia yg ga punya akhlak....
2022-09-20
0