Hujan Dan Kamu
💌 HUJAN DAN KAMU 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Diawal Desember. Hujan turun semakin deras. Langit gelap nan pekat, terlihat kilatan cahaya jelas masuk ke celah-celah gorden.
Alessa tengah berada di depan laptop. Dengan perlahan, ia melepaskan kacamata bening yang sudah dikenakannya sejak tadi. Matanya tidak minus sama sekali, tapi ia wajib menggunakannya, karena Alessa sering duduk di depan laptop.
Alessa memijat pangkal hidungnya yang mancung sambil menghembuskan napas panjang. Ia mendorong sedikit kursi beroda itu. Posisinya santai, ia sengaja merilekskan diri sejenak. Sesekali matanya menatap keluar sambil mengulas senyum yang manis.
"Hujan dan impian," gumamnya.
"Bisakah aku menyamakannya bahwa hujan adalah impian?" Ucapnya pelan sambil memutar-mutar kursi beroda itu.
Alessa memang menyukai hujan. Baginya, Hujan yang dirasakannya selalu memberikan kebahagiaan dan penuh ke syukuran. Hujan juga menurutnya memiliki makna perjuangan, khususnya untuk orang yang selalu memaknai langit yang sudah berbaik hati, memandikan bumi dengan impian-impian yg indah.
Apalagi, jika setelah hujan rintik itu langit cerah menghangat. Saat seperti itu adalah saatnya bersenandung, melihat kembali dan merefresh kembali memori yang indah tentang kata masa depan, dan memaknai hidup melalui celah satu peristiwa.
Lagi-lagi bibir Alessa mengulas senyum yang indah. Pikirannya melayang membayangkan sosok lelaki yang dicintainya.
"Besok kita bertemu, sayang. Aku merindukanmu, Jordan." Alessa menahan senyum haru, enam bulan tak bertemu membuatnya benar-benar merindukan sosok lelaki tampan yang memiliki wajah tegas itu. Sejak Jordan di tempatkan di rumah sakit yang ada di kota A, mereka hanya bisa melepas rindu lewat komunikasi saja.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunannya. Alessa segera meraih benda pipih yang ditaruhnya di atas meja. Dilayar handphonenya tercantum sebuah nama yang membuatnya terkadang tersenyum sendiri.
"Alessa, hari ini jadwalku benar-benar padat. Ada tujuh pasien di rawat hari ini. Satu pasien harus lakukan operasi karena memang kondisinya harus dioperasi. Menyusul ada tiga pasien yang akan dioperasi lagi, dan operasinya tidak sebesar tadi pagi. Semuanya bisa ditangani dan berjalan lancar sesuai yang diharapkan." Sebuah pesan masuk tanpa basa-basi.
Dalam hitungan detik Alessa jadi ingin mendengar suara pria yang mengirimkan pesan itu. Pria pertama yang berhasil membuat hatinya berdebar-debar. Ia langsung mencari kontak nama 'Kekasih hati'.
"Cih...kau bahkan tidak menanyakan kabarku." Awal kata yang ia ucapkan saat Jordan mengangkat panggilannya.
Mendengar kalimat itu. Jordan terkekeh.
"Maafkan aku sayang. Aku bahkan terlalu sibuk tidak lagi menanyakan kabarmu. Sampai-sampai aku lupa untuk tarik napas." Jordan mengembuskan napas kasar diujung kalimatnya.
"Tidak apa-apa, yang penting operasinya berjalan lancar, bukan?" Ucap Alessa tersenyum tulus.
Jordan ikut tersenyum diujung telepon. Pengertian Alessa membuatnya semakin mencintai wanita ini. "Terima kasih, sayang atas pengertiannya. Kamu sudah makan?"
"Aku tidak pernah makan malam, sayang."
Jordan menepuk jidatnya, "Astaga, aku lupa."
"Bagaimana kamu bisa melupakan itu, kau benar-benar curang."
"Maafkan aku,"
Alessa mengerucutkan bibirnya, "Baiklah, kali ini aku maafkan."
Jordan tertawa renyah di balik telepon. Mereka tetap saling menempelkan handphone ke telinga masing-masing dengan sangat rapat. Bahkan d*sahan napas dari keduanya terdengar menyambar bergantian di speaker telepon.
"Besok jangan lupa jemput aku di bandara."
"Siap! aku sudah mengosongkan jadwalku untuk menyambut ke datanganmu."
Alessa kembali tersenyum di balik telepon. Ia merebahkan tubuhnya berbaring dengan handphone di telinga. "Ehm, Jordan..." Panggil Alessa dengan suara berat dan pelan.
"Iya, sayang."
"Apa kau merindukanku?" Alessa tersipu di balik telepon dan menggigit jarinya.
"Tentu saja, aku merindukanmu. Aku bahkan tidak sabar ingin bertemu denganmu."
"Benarkah?" Alessa mengambil bantal dan menutup wajahnya. Mencoba meredam rasa malu dan tersipu yang terus meluap dari sana. Apakah karena efek tak pernah bertemu, Alessa juga tidak tahu. Ia gemas dengan tingkahnya sendiri.
"Sayang...kau masih di sana?" ucapan Jordan semakin pelan, lembut dan sedikit m*ndesah.
"Oh, maaf. Apa kau sudah ingin tidur?"
"Hmmm. Hari ini benar-benar melelahkan."
"Baiklah. Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, iya."
"Apa tidak salah, seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu."
"Hehehehe...tidak masalah. Sampai bertemu besok." Alessa menggigit bibir bawahnya sambil menahan senyum.
"Hhmmm." Jordan tersenyum mengangguk. "Sampai bertemu besok, sayang."
"Oke,... bye sayang."
TUT
Panggilan terputus.
Alessa mengangkat telepon dari telinga dan menatap layar display yang terpampang foto profil Jordan yang sedang memeluk dirinya di sana. Alessa mengusapnya pelan, lalu meletakkan handphonenya di dada dan memeluk singkat. Seakan ada Jordan di sana. Alessa tertawa geli setelahnya, tidak menyangka ia begitu merindukan Jordan. Alessa m*ndesah lalu menaruh handphonenya di atas nakas.
⭐⭐⭐⭐⭐
TOK TOK TOK
Terdengar suara ketukan pintu dari kamarnya.
"Sayang?" panggil Jenny dari luar.
"Ia bu... ada apa?" Alessa bangun dari tidurnya sembari membuka pintu.
"Ibu boleh masuk?" Tanya Jenny terlebih dahulu, saat pintu sudah terbuka untuknya.
"Tentu saja bisa bu, emang aku pernah melarang ibu masuk ke kamar Alessa?" Ucapnya tersenyum sambil mempersilakan wanita paruh baya itu masuk.
Jenny melangkah masuk yang diikuti Alessa juga. Ia duduk ditepi ranjang. "Duduk bersama ibu di sini!" Jenny menepuk kasur itu dengan lembut.
Alessa menurut dan duduk di samping ibunya. Jenny mengambil tangan Alessa dan memberikan usapan lembut di punggung tangannya.
"Kamu serius mau bekerja di rumah sakit A?" tanya Jenny menatap ke arah Alessa.
Alessa mengerti maksud ibunya. Bagaimana mungkin Alessa bekerja di rumah sakit lain sementara keluarga Alessa memiliki rumah sakit terbesar di kota ini.
"Kamu sudah mantap bekerja di sana? Apa kau tidak bisa merubah pikiranmu lagi?" tanya Jenny lagi.
Dengan tarikan napas panjang Alessa mengangguk lemah sambil menunduk. Alessa tak berani menatap ke arah ibunya.
Jenny mengangguk dan kembali mengusap tangan Alessa lagi. "Ayahmu belum tahu hal ini,"
Alessa terkejut menatap ke arah ibunya. "Ibu belum cerita?"
Jenny mengangguk lagi. "Ayahmu pernah bertanya saat kamu resign dari rumah sakit."
Alessa mengangkat alisnya. "Ibu Jawab apa?"
"Ibu hanya bilang jika kamu ingin melanjutkan pendidikan di kota A."
Alessa menarik napas panjang, menatap lurus ke depan. "Kenapa ibu tidak terus terang jika aku sudah diterima bekerja di rumah sakit. Ini akan mempersulit ibu, aku tahu seperti apa ayah jika mengetahui kebenarannya."
"Ibu belum bisa mengatakan sebenarnya. Kamu tidak akan diizinkan bekerja di rumah sakit lain, kecuali di rumah sakit Charlett."
"Aku ingin mencari pengalaman baru bu, aku juga tidak mau dipandang orang hanya bisa bergantung dan mengandalkan kekuasaan Ayah. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Bekerja sesuai kemampuanku sendiri, tanpa harus berlindung dibalik nama keluarga."
"Ya, ibu mengerti sayang. Tapi ayahmu berharap kau adalah penerus di rumah sakit Charlett."
Alessa berdiri dengan posisi memunggungi ibunya. "Aku tidak bisa bu, aku bahkan tidak mau menjadi direktur rumah sakit."
Jenny ikut bangun dan berdiri di belakang Alessa. "Kenapa tidak bisa? kau harus terbiasa dengan itu, sayang. Tidak ada yang bisa menggantikan ayah kecuali kamu."
"Masih ada Monika."
"Ayahmu tidak akan setuju jika Monika yang mengambil alih rumah sakit."
"Tidak ada yang salah dengan Monika. Dia pekerja keras dan bisa membimbing dan menggerakkan pegawai dan bertanggungjawab terhadap kinerja pegawai."
Jenny berdiri di depan Alessa, lalu menatap putrinya dengan wajah serius. "Kau tidak tahu seperti apa Monika. Mereka tidak seperti yang kau pikirkan."
Alessa menatap tak kalah serius. Ia bahkan mengunci tatapannya seakan meminta penjelasan lebih dari ibunya. "Apa yang tidak aku ketahui mengenai Monika? uncle dan aunty perhatian dengan Lessa, bu. Jadi ibu jangan berprasangka buruk mengenai mereka."
Jenny menarik napasnya. "Suatu hari nanti, kamu akan tahu sendiri. Yang jelas untuk saat ini, ibu akan merahasiakan ini dari ayahmu. Cukup hanya satu tahun saja."
"Tapi bu?" Alessa protes tak terima dengan ucapan ibunya.
"Ibu tidak mau tahu, kau harus pikirkan baik-baik."
"Aku tidak siap." Alessa mengikuti langkah ibunya yang hendak keluar dari kamarnya.
"Ibu tidak mau tahu. Sekarang istirahatlah. Jangan mengikutiku." Jenny langsung menutup pintu kamar dan Alessa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia terduduk di pinggiran kasur sambil membuang napas panjang. Perkataan ibunya terus terngiang di telinganya.
"Kenapa mommy selalu mengatakan hal yang sama jika menyangkut keluarga uncle?"
"Ada apa dengan Monika? dan apa yang membuat ibu tidak menyukai Monika?"
Tak mau ambil pusing, Alessa melangkah menuju balkon kamarnya. Mungkin dengan melihat hujan bisa melupakan keresahan hatinya. Alessa berdiri memejamkan mata, merasakan dinginnya malam. Ada ketenangan dirasakannya. Perlahan Alessa membuka matanya kembali. Lampu jalan yang bersinar, seakan saling berpantulan dengan rintik-rintik hujan. Kali ini pemandangan malam terlihat berbeda, tapi selalu saja terlihat begitu indah. Ranting-ranting pohon sebagian berjatuhan di jalanan. Jalanan terlihat licin, dingin dan basah.
Sudah hampir tengah malam, tapi Alessa masih duduk di atas balkon kamarnya. Ia tengah duduk menengadah ke arah langit, hujan sudah berhenti, mempersilakan rembulan unjuk gigi menyinari malam yang semakin sunyi.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kedelapan aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Zanuela Gita
Salam sehat
2022-12-22
0
Zanuela Gita
Saya hadir author cantik
2022-12-22
0
💢 Vanie Joe 💢
😊😊😊😊😇😇😇😇😇
2022-12-21
0