NovelToon NovelToon

Hujan Dan Kamu

HUJAN DAN IMPIAN.

💌 HUJAN DAN KAMU 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

Diawal Desember. Hujan turun semakin deras. Langit gelap nan pekat, terlihat kilatan cahaya jelas masuk ke celah-celah gorden.

Alessa tengah berada di depan laptop. Dengan perlahan, ia melepaskan kacamata bening yang sudah dikenakannya sejak tadi. Matanya tidak minus sama sekali, tapi ia wajib menggunakannya, karena Alessa sering duduk di depan laptop.

Alessa memijat pangkal hidungnya yang mancung sambil menghembuskan napas panjang. Ia mendorong sedikit kursi beroda itu. Posisinya santai, ia sengaja merilekskan diri sejenak. Sesekali matanya menatap keluar sambil mengulas senyum yang manis.

"Hujan dan impian," gumamnya.

"Bisakah aku menyamakannya bahwa hujan adalah impian?" Ucapnya pelan sambil memutar-mutar kursi beroda itu.

Alessa memang menyukai hujan. Baginya, Hujan yang dirasakannya selalu memberikan kebahagiaan dan penuh ke syukuran. Hujan juga menurutnya memiliki makna perjuangan, khususnya untuk orang yang selalu memaknai langit yang sudah berbaik hati, memandikan bumi dengan impian-impian yg indah.

Apalagi, jika setelah hujan rintik itu langit cerah menghangat. Saat seperti itu adalah saatnya bersenandung, melihat kembali dan merefresh kembali memori yang indah tentang kata masa depan, dan memaknai hidup melalui celah satu peristiwa.

Lagi-lagi bibir Alessa mengulas senyum yang indah. Pikirannya melayang membayangkan sosok lelaki yang dicintainya.

"Besok kita bertemu, sayang. Aku merindukanmu, Jordan." Alessa menahan senyum haru, enam bulan tak bertemu membuatnya benar-benar merindukan sosok lelaki tampan yang memiliki wajah tegas itu. Sejak Jordan di tempatkan di rumah sakit yang ada di kota A, mereka hanya bisa melepas rindu lewat komunikasi saja.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunannya. Alessa segera meraih benda pipih yang ditaruhnya di atas meja. Dilayar handphonenya tercantum sebuah nama yang membuatnya terkadang tersenyum sendiri.

"Alessa, hari ini jadwalku benar-benar padat. Ada tujuh pasien di rawat hari ini. Satu pasien harus lakukan operasi karena memang kondisinya harus dioperasi. Menyusul ada tiga pasien yang akan dioperasi lagi, dan operasinya tidak sebesar tadi pagi. Semuanya bisa ditangani dan berjalan lancar sesuai yang diharapkan." Sebuah pesan masuk tanpa basa-basi.

Dalam hitungan detik Alessa jadi ingin mendengar suara pria yang mengirimkan pesan itu. Pria pertama yang berhasil membuat hatinya berdebar-debar. Ia langsung mencari kontak nama 'Kekasih hati'.

"Cih...kau bahkan tidak menanyakan kabarku." Awal kata yang ia ucapkan saat Jordan mengangkat panggilannya.

Mendengar kalimat itu. Jordan terkekeh.

"Maafkan aku sayang. Aku bahkan terlalu sibuk tidak lagi menanyakan kabarmu. Sampai-sampai aku lupa untuk tarik napas." Jordan mengembuskan napas kasar diujung kalimatnya.

"Tidak apa-apa, yang penting operasinya berjalan lancar, bukan?" Ucap Alessa tersenyum tulus.

Jordan ikut tersenyum diujung telepon. Pengertian Alessa membuatnya semakin mencintai wanita ini. "Terima kasih, sayang atas pengertiannya. Kamu sudah makan?"

"Aku tidak pernah makan malam, sayang."

Jordan menepuk jidatnya, "Astaga, aku lupa."

"Bagaimana kamu bisa melupakan itu, kau benar-benar curang."

"Maafkan aku,"

Alessa mengerucutkan bibirnya, "Baiklah, kali ini aku maafkan."

Jordan tertawa renyah di balik telepon. Mereka tetap saling menempelkan handphone ke telinga masing-masing dengan sangat rapat. Bahkan d*sahan napas dari keduanya terdengar menyambar bergantian di speaker telepon.

"Besok jangan lupa jemput aku di bandara."

"Siap! aku sudah mengosongkan jadwalku untuk menyambut ke datanganmu."

Alessa kembali tersenyum di balik telepon. Ia merebahkan tubuhnya berbaring dengan handphone di telinga. "Ehm, Jordan..." Panggil Alessa dengan suara berat dan pelan.

"Iya, sayang."

"Apa kau merindukanku?" Alessa tersipu di balik telepon dan menggigit jarinya.

"Tentu saja, aku merindukanmu. Aku bahkan tidak sabar ingin bertemu denganmu."

"Benarkah?" Alessa mengambil bantal dan menutup wajahnya. Mencoba meredam rasa malu dan tersipu yang terus meluap dari sana. Apakah karena efek tak pernah bertemu, Alessa juga tidak tahu. Ia gemas dengan tingkahnya sendiri.

"Sayang...kau masih di sana?" ucapan Jordan semakin pelan, lembut dan sedikit m*ndesah.

"Oh, maaf. Apa kau sudah ingin tidur?"

"Hmmm. Hari ini benar-benar melelahkan."

"Baiklah. Tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah, iya."

"Apa tidak salah, seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu."

"Hehehehe...tidak masalah. Sampai bertemu besok." Alessa menggigit bibir bawahnya sambil menahan senyum.

"Hhmmm." Jordan tersenyum mengangguk. "Sampai bertemu besok, sayang."

"Oke,... bye sayang."

TUT

Panggilan terputus.

Alessa mengangkat telepon dari telinga dan menatap layar display yang terpampang foto profil Jordan yang sedang memeluk dirinya di sana. Alessa mengusapnya pelan, lalu meletakkan handphonenya di dada dan memeluk singkat. Seakan ada Jordan di sana. Alessa tertawa geli setelahnya, tidak menyangka ia begitu merindukan Jordan. Alessa m*ndesah lalu menaruh handphonenya di atas nakas.

⭐⭐⭐⭐⭐

TOK TOK TOK

Terdengar suara ketukan pintu dari kamarnya.

"Sayang?" panggil Jenny dari luar.

"Ia bu... ada apa?" Alessa bangun dari tidurnya sembari membuka pintu.

"Ibu boleh masuk?" Tanya Jenny terlebih dahulu, saat pintu sudah terbuka untuknya.

"Tentu saja bisa bu, emang aku pernah melarang ibu masuk ke kamar Alessa?" Ucapnya tersenyum sambil mempersilakan wanita paruh baya itu masuk.

Jenny melangkah masuk yang diikuti Alessa juga. Ia duduk ditepi ranjang. "Duduk bersama ibu di sini!" Jenny menepuk kasur itu dengan lembut.

Alessa menurut dan duduk di samping ibunya. Jenny mengambil tangan Alessa dan memberikan usapan lembut di punggung tangannya.

"Kamu serius mau bekerja di rumah sakit A?" tanya Jenny menatap ke arah Alessa.

Alessa mengerti maksud ibunya. Bagaimana mungkin Alessa bekerja di rumah sakit lain sementara keluarga Alessa memiliki rumah sakit terbesar di kota ini.

"Kamu sudah mantap bekerja di sana? Apa kau tidak bisa merubah pikiranmu lagi?" tanya Jenny lagi.

Dengan tarikan napas panjang Alessa mengangguk lemah sambil menunduk. Alessa tak berani menatap ke arah ibunya.

Jenny mengangguk dan kembali mengusap tangan Alessa lagi. "Ayahmu belum tahu hal ini,"

Alessa terkejut menatap ke arah ibunya. "Ibu belum cerita?"

Jenny mengangguk lagi. "Ayahmu pernah bertanya saat kamu resign dari rumah sakit."

Alessa mengangkat alisnya. "Ibu Jawab apa?"

"Ibu hanya bilang jika kamu ingin melanjutkan pendidikan di kota A."

Alessa menarik napas panjang, menatap lurus ke depan. "Kenapa ibu tidak terus terang jika aku sudah diterima bekerja di rumah sakit. Ini akan mempersulit ibu, aku tahu seperti apa ayah jika mengetahui kebenarannya."

"Ibu belum bisa mengatakan sebenarnya. Kamu tidak akan diizinkan bekerja di rumah sakit lain, kecuali di rumah sakit Charlett."

"Aku ingin mencari pengalaman baru bu, aku juga tidak mau dipandang orang hanya bisa bergantung dan mengandalkan kekuasaan Ayah. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Bekerja sesuai kemampuanku sendiri, tanpa harus berlindung dibalik nama keluarga."

"Ya, ibu mengerti sayang. Tapi ayahmu berharap kau adalah penerus di rumah sakit Charlett."

Alessa berdiri dengan posisi memunggungi ibunya. "Aku tidak bisa bu, aku bahkan tidak mau menjadi direktur rumah sakit."

Jenny ikut bangun dan berdiri di belakang Alessa. "Kenapa tidak bisa? kau harus terbiasa dengan itu, sayang. Tidak ada yang bisa menggantikan ayah kecuali kamu."

"Masih ada Monika."

"Ayahmu tidak akan setuju jika Monika yang mengambil alih rumah sakit."

"Tidak ada yang salah dengan Monika. Dia pekerja keras dan bisa membimbing dan menggerakkan pegawai dan bertanggungjawab terhadap kinerja pegawai."

Jenny berdiri di depan Alessa, lalu menatap putrinya dengan wajah serius. "Kau tidak tahu seperti apa Monika. Mereka tidak seperti yang kau pikirkan."

Alessa menatap tak kalah serius. Ia bahkan mengunci tatapannya seakan meminta penjelasan lebih dari ibunya. "Apa yang tidak aku ketahui mengenai Monika? uncle dan aunty perhatian dengan Lessa, bu. Jadi ibu jangan berprasangka buruk mengenai mereka."

Jenny menarik napasnya. "Suatu hari nanti, kamu akan tahu sendiri. Yang jelas untuk saat ini, ibu akan merahasiakan ini dari ayahmu. Cukup hanya satu tahun saja."

"Tapi bu?" Alessa protes tak terima dengan ucapan ibunya.

"Ibu tidak mau tahu, kau harus pikirkan baik-baik."

"Aku tidak siap." Alessa mengikuti langkah ibunya yang hendak keluar dari kamarnya.

"Ibu tidak mau tahu. Sekarang istirahatlah. Jangan mengikutiku." Jenny langsung menutup pintu kamar dan Alessa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia terduduk di pinggiran kasur sambil membuang napas panjang. Perkataan ibunya terus terngiang di telinganya.

"Kenapa mommy selalu mengatakan hal yang sama jika menyangkut keluarga uncle?"

"Ada apa dengan Monika? dan apa yang membuat ibu tidak menyukai Monika?"

Tak mau ambil pusing, Alessa melangkah menuju balkon kamarnya. Mungkin dengan melihat hujan bisa melupakan keresahan hatinya. Alessa berdiri memejamkan mata, merasakan dinginnya malam. Ada ketenangan dirasakannya. Perlahan Alessa membuka matanya kembali. Lampu jalan yang bersinar, seakan saling berpantulan dengan rintik-rintik hujan. Kali ini pemandangan malam terlihat berbeda, tapi selalu saja terlihat begitu indah. Ranting-ranting pohon sebagian berjatuhan di jalanan. Jalanan terlihat licin, dingin dan basah.

Sudah hampir tengah malam, tapi Alessa masih duduk di atas balkon kamarnya. Ia tengah duduk menengadah ke arah langit, hujan sudah berhenti, mempersilakan rembulan unjuk gigi menyinari malam yang semakin sunyi.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kedelapan aku 😍

Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.

^_^

BERTEMU DENGAN LELAKI ANEH.

💌 HUJAN DAN KAMU 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

Alessa memeluk ibunya dengan erat. Walau ini adalah kemauannya sendiri, tapi ada rasa sedih yang tak bisa Alessa tutupi. Sesungguhnya ia berat meninggalkan ayah dan ibunya. Tapi demi masa depan, Alessa harus bisa berjuang sendiri.

"Bu..." Alessa semakin memeluk ibunya dengan erat di bahunya.

"Sudah, Alessa. Jangan menangis. Nanti ayahmu bisa curiga." Bisik Jenny sambil membelai rambut Alessa dengan lembut.

Alessa melepaskan pelukan dan menatap Jenny dengan wajah mengerut. Alexander yang sejak tadi memperhatikan istri dan putrinya mulai curiga. Dahinya mengernyit. Alessa pun sedikit menunduk. Gelagat Alessa membuat Alexander makin mengerutkan dahi. Ia mendapati ada sesuatu yang dirahasiakan dua wanita itu.

"Ada apa ini? apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?" Mata Alexander memicing menatap Jenny dan Alessa bergantian.

Jenny tersenyum sambil mendekat ke arah suaminya. "Sesuatu apa? Kau seperti tidak mengenal Alessa. Dia memang seperti itu, terkadang seperti anak kecil." Ucapnya seraya duduk di samping suaminya.

Alexander yang tengah menyeruput kopi panasnya, segera meletakkan cangkir ke atas meja. Ia bangkit dan mendekat dengan langkah pelan yang mengintimidasi.

"Apa itu benar, Alessa? Kau tidak merahasiakan sesuatu dari ayah, kan?" Alisnya menukik tajam, ia menatap mata Alessa seakan mencari jawaban.

"Ah..." Alessa melepaskan tawanya. "Rahasia apa, yah? aku tidak merahasiakan apa-apa." Jawabnya tenang. Alessa bahkan sudah mempersiapkan kalimat dalih. Ia tahu seperti apa Alexander. Dengan hanya melihat gelagatnya saja ayahnya bisa tahu.

"Sungguh?" Alexander mencari kebenaran dari wajah Alessa.

Alessa tertawa lagi, "Tentu saja. Tujuanku hanya melanjutkan pendidikan di kota A. Tidak lain dari itu."

Alexander menarik napasnya. "Baiklah, belajar yang benar. Aku berharap kau bisa menggantikan posisi ayah secepatnya. Jangan menunda-nunda lagi."

Alessa meremas tangannya. Wajahnya berubah saat ayahnya kembali membahas itu lagi. "Aku akan belajar sungguh-sungguh." Jawabnya lembut. Suara itu nyaris tak terdengar saking pelannya.

"Jangan mengecewakan daddy." Alexander membelai lembut rambut di samping kepala Alessa.

Jenny tersenyum dan mendekat ke arah putrinya. "Hati-hati sayang, langsung hubungi kami saat kamu sudah mendarat."

Alessa mengangguk. "Baik bu,"

Mereka pun melangkah mengantarkan Alessa sampai di teras rumah.

"Alessa pergi dulu."

"Jaga dirimu baik-baik." Alexander kembali mengingatkan saat melihat Alessa masuk ke dalam mobil. Edwin supir keluarga Charlett pun ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Alessa membuka kaca mobil pada sisinya dan melambai terus ke arah Alexander dan Jenny, hingga bayangan itu mengecil dan menghilang di balik pagar kediaman Charlett.

Dengan senyuman tipis, Alessa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatap ke arah jalanan. Alessa larut dalam pikirannya. Ia tidak akan menyesal dengan keputusannya.

⭐⭐⭐⭐⭐

Pengumuman itu terdengar begitu merdu di telinga Alessa. Alessa perlahan-lahan membuka matanya. Ia menyisihkan cardigan yang dikenakannya untuk melihat jam. Pukul 12 siang. Alessa menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali.

"Untuk keselamatan dan kenyamanan Anda, mohon tetap duduk dengan memakai sabuk pengaman Anda."

Kata-kata yang biasa diucapkan oleh salah satu pramugari jika pesawat akan landing. Semua hening menunggu saat pesawat mendarat dengan sempurna. Dengung pesawat mulai terdengar jelas. Lampu-lampu di kabin mulai dipadamkan sebagian, sebagai prosedur standar keselamatan untuk membuat mata para penumpangnya menyesuaikannya dengan keadaan dan para awak kabin dapat lebih jelas memantau keadaan di luar pesawat.

Setelah penerbangan tiga jam, mereka akhirnya mendarat dengan selamat.

Alessa menghembuskan napas lega. Penerbangannya aman dan tidak kurang suatu apapun.

"Atas nama seluruh kru, saya ingin berterima kasih kepada Anda atas ikut sertanya dalam perjalanan ini. Kami berharap bisa berjumpa dengan anda lagi dalam penerbangan dalam kesempatan yang akan datang. Semoga hari Anda menyenangkan!”

Alessa berjalan ke depan pintu, terdengar sapaan ramah terima kasih dan sampai jumpa dari dua orang pramugari yang berdiri di dekat pintu keluar. Alessa terus berjalan di ujung pintu pesawat yang terhubung dengan pintu terowongan menuju airport. Ia terus berjalan mengeluarkan handphonenya dan mengaktifkannya. Banyak panggilan WhatsApp dan pesan notifikasi beruntun masuk. Ia mencari pesan yang lebih penting. Membuka pesan dari Jordan. Ia tersenyum membuka lebih dulu pesan dari kekasihnya itu.

"SAYANG, MAAFKAN AKU TIDAK BISA MENJEMPUTMU. TIBA-TIBA ADA PASIEN YANG HARUS OPERASI HARI INI. AKU SUDAH KIRIM ALAMAT YANG AKAN KAU TUJU. NANTI KALAU OPERASINYA SUDAH SELESAI, AKU AKAN SEGERA MENEMUIMU."

"Heeeehhh." Alessa membuang napas singkat dan langsung menekan tombol tanda panggil kepada Jordan. Tak menunggu lama, terdengar suara Jordan dari seberang.

"Iya, sayang? kamu sudah sampai?" Terdengar suara Jordan di balik telepon.

"Aku baru saja sampai," Ucapnya.

"Syukurlah, aku minta maaf tidak bisa menjemputmu. Ini benar-benar mendadak sekali. Maafkan aku." ucap Jordan dengan hati-hati.

"Tidak apa-apa, sayang." Sahut Alessa tak bersemangat.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku sudah memberi alasan tapi pihak rumah sakit meminta aku menangani operasi hari ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena pimpinan rumah sakit yang menghubungiku."

Alessa tersenyum samar mendengar perkataan Jordan. Ia juga tidak bisa marah karena Jordan tidak bisa menjemputnya. Ya semua itu karena pekerjaan. Alessa mengerti karena ia juga seorang dokter.

"Sayang, kau masih di sana?"

"Ah, maaf, aku menunggu barang dari bagasi."

"Permisi dok, operasinya sudah bisa dimulai." Terdengar suara seorang perawat berbicara dibalik telepon.

"Oke, tunggu lima menit lagi." ucap Jordan diujung telepon.

"Baik dok." ucap perawat itu menutup kembali pintu ruangan.

"Sayang...." panggil Jordan beberapa saat kemudian.

"Hmm."

"Aku tutup teleponnya dan sekali lagi aku...."

"Oke. Semoga operasinya berjalan lancar." potong Alessa sebelum Jordan melanjutkan kalimatnya.

"Ah, terima kasih, sayang. Sampai bertemu nanti."

"Baik. Sampai bertemu nanti."

TUT

Panggilan terputus.

Alessa mengembuskan napas panjang dan melangkah menuju tempat pengambilan bagasi untuk mengambil barangnya. Ia sudah berdiri di samping conveyor untuk menunggu koper keluar. Barang bagasi itu keluar satu per satu dan ia tidak harus menunggu lama. Alessa langsung mengambil barangnya.

Alessa terus berjalan ke depan. Ia mengembuskan napas panjang karena mobil taksi tidak ada satu pun yang parkir di depan pintu kedatangan. Ia terpaksa berjalan mencari taksi.

"Taksi!" panggil Alessa.

"Sudah ada penumpang non, anda ke sebelah taksi saya saja."

"Ah...maaf!" Alessa mengangguk dan melangkah ke mobil taksi seperti yang dikatakan pria tadi. Ia langsung duduk dan memerintahkan supir taksi untuk memasukkan kopernya.

"Pak, tolong masukkan barang-barang saya ke bagasi ya!" Ucap Alessa tanpa melihat di dalam sudah ada penumpang. Alessa sibuk membalas pesan masuk di handphonenya.

Supir taksi terlihat bingung, namun tetap keluar memasukkan koper Alessa ke dalam bagasi.

"Kenapa kamu di sini?"

Alessa terkejut melihat seorang pria berpakaian rapi berbicara dan menatapnya dengan tajam.

"Nah ...kamu sendiri ngapain di sini?" Balas Alessa menatap heran ke arah pria yang duduk di sampingnya.

"Naik pesawat. Ya...naik taksi lah." Pria itu mendengkus kesal. Ia mulai jengkel.

"Siapa yang suruh kamu naik ke sini, sekarang kamu keluar!" Alessa berucap ketus.

"Jelas-jelas aku naik duluan." protes pria itu tak mau kalah.

"Gak bisa. Aku terburu-buru. Sekarang kamu yang turun dan cari taksi sendiri."

"Eh...siapa kamu ngatur-ngatur. Aku lebih dulu masuk. Dan itu artinya kamu yang harus keluar dan cari taksi sendiri!"

"Astaga, ini lelaki kok gak bisa ngalah sih..." umpat Alessa dalam hati.

"Kamu gak mau keluar?"

"Enggak!" jawab Alessa melipat tangannya di depan dada sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Permisi, tuan, nona. Sekarang tujuan kalian kemana? Saya bisa mengantar kalian ke tempat tujuan, tanpa harus berdebat seperti ini."

Kedua penumpang itu saling menatap ke arah supir. "Ke perumahan Flower." Ucap mereka serentak.

"Heuh?" Alessa melotot menatap tajam ke arah pria itu. "Kamu sengaja mengikutiku?"

"Siapa juga mengikutimu? Aku sudah dua tahun tinggal di sana dan aku tak pernah melihatmu."

Alessa tersenyum sinis memalingkan wajahnya. Ia tak menghiraukan ucapan pria itu.

"Bagaimana? tujuan kalian sama. Apa salah satu dari kalian masih minta turun?"

"Yang waras ngalah pak. Kita bisa jalan." Ucap pria itu menatap ke arah jalanan.

"Begitu dong," ucap supir taksi tersenyum. Mobil taksi pun melaju meninggalkan bandara.

"Oke, karena saya berbaik hati, saya yang akan membayar uang taksimu." Ucap Alessa berniat meminta maaf karena ini memang kesalahannya. Ia juga tidak mau berdebat dengan orang yang baru dikenalnya.

"Kamu mencoba merayuku?"

"Merayu?" Alessa memutar bola matanya. Ia jengah melihat sikap pria itu. "Siapa yang merayumu. Maaf, aku gak tertarik dengan cowok model kayak kamu."

"Yang nyuruh tertarik dengan aku siapa? gak ada kan?"

"Oh my God. Aku bisa gila. Mimpi apa aku sampai bertemu dengan pria aneh seperti ini?"

Alessa lagi-lagi mengembuskan napas kesal. Baru kali ini ia bertemu dengan pria aneh yang mulutnya melebihi perempuan. Tak ada lagi pembicaraan setelah itu. Mobil melaju membawa dua penumpang yang larut dalam pikirannya masing-masing.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kedelapan aku 😍

Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.

^_^

RUMAH BARU.

💌 HUJAN DAN KAMU 💌

 

🍀 HAPPY READING 🍀

.

.

Alessa berniat meminta maaf karena ini memang kesalahannya. Ia juga tidak mau berdebat dengan orang yang baru dikenalnya. Ia pun menawarkan diri untuk membayar uang taksi pria itu.

"Karena suasana hatiku sedang baik. Biarkan aku membayar uang taksimu." ucapnya pelan dan hati-hati.

Pria yang tengah asyik memeriksa ponselnya sejenak menghentikan aktifitasnya. Ia menatap gadis yang baru ditemuinya hari ini. "Kamu mencoba merayuku?" Ucapnya pelan namun tatapnya dingin dan tajam.

Alessa terbeliak karena terkejut mendengar perkataan pria itu. "Merayu?" Batinnya tak percaya. Seumur hidup baru kali ini ia dituduh merayu lelaki yang tampangnya pas-pasan. Kekasihnya bahkan jauh lebih tampan dari lelaki brengsek yang duduk di sampingnya itu. Sungguh dalam batin, Alessa mengumpat dirinya. Kenapa ia tak memilih turun saja. Sekarang ia benar-benar berhadapan dengan pria aneh ini.

Karena wanita itu hanya diam, sudut bibir Levin mengukir ke atas.

"Benar dugaanku, kau hanyalah seorang wanita yang mencari target dengan dalih masuk ke taksi untuk merayu pria yang menjadi targetmu selanjutnya."

Alessa mengembuskan napas sambil memejamkan mata. Ia jengah melihat sikap pria itu. Tadinya ia masih bisa bersabar, sekarang lagi-lagi ia dituduh "mencari target?" Alessa masih tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Ia menatap tajam dengan mengibarkan bendera permusuhan di sana. "Siapa yang merayumu? Aku?" tunjuk Alessa ke dirinya.

Pria itu melipat tangannya di depan dada. Pembawanya santai, sampai ia tidak sadar telah melukai wanita yang duduk disampingnya. "Ya kamu, siapa lagi jika bukan kamu."

"Hahahaha..." Alessa tertawa hambar. "Siapa juga yang merayumu? Maaf, aku gak tertarik dengan cowok model kayak kamu." Alessa menaikkan intonasi suara karena teramat kesal.

Supir taksi bahkan menggelengkan kepalanya sambil sesekali melihat mereka dari tengah kaca spion yang ada di tengah mobil. Perdebatan dua insan itu benar-benar menghiburnya hari ini.

"Aku tidak tertarik dengan lelaki yang mulutnya melebihi perempuan." Alessa menekan kalimat 'perempuan' untuk menyindir lelaki sialan itu.

"Yang nyuruh tertarik dengan aku siapa? gak ada kan?" Pria itu tersenyum tak mau kalah. Ia memalingkan wajahnya menatap ke arah luar.

"Oh my God. Aku bisa gila. Mimpi apa aku sampai bertemu dengan pria aneh seperti ini?"

"Dasar pria angkuh, sombong, aku bersumpah tidak akan pernah bertemu denganmu lagi! Camkan itu!"

Pria itu hanya diam tak merespon, Ia memilih bicara dengan supir taksi.

"Pak bisa pasang musik? Setidaknya bisa mengalihkan keributan di mobil ini." Sindir pria itu sambil melirik Alessa yang mendengkus kesal.

"Ah ..tentu saja tuan." Ucap supir taksi tersenyum sambil menghidupkan musik audio yang ada di mobilnya.

Tidak ada pembicara setelah itu. Sepanjang perjalanan Alessa lebih memandang keluar dengan perasaan kesal. Sementara pria yang duduk di sampingnya terbawa dengan lagu yang dinyanyikan dari audio. Lagu yang sesuai dengan perasannya saat ini. Kesempatan kedua.

Seperti menceritakan perjalanan cintanya dengan Monika. Hubungannya dengan Monika sempat putus nyambung berkali-kali. Keduanya bahkan sempat lost contact dan bahkan saling tak peduli. Meski demikian, akhir cerita keduanya pun tak terduga. Ia dipertemukan lagi dengan Monika saat kekasihnya itu menjadi tenaga sukarelawan yang membantu korban atas musibah bencana alam yang terjadi di kotanya. Setelah pertemuan itu, mereka memutuskan menjalin hubungan lagi.

Pria itu tersenyum menatap ke arah jalanan sambil terus menikmati lagu itu. Memori yang selalu mengajaknya untuk mengenang semua. Bila mengingat hal itu, rasa pesimis kian menebal bagai awan yang menebal menjelang hujan. Kegelisahan yang ada di batinnya kini sirna. Ketakutan yang terus menusuk-nusuk seluruh jiwanya perlahan-lahan tertiup angin dan siap membawanya pergi jauh.

Tidak terasa lagu pertama sudah habis mereka dengarkan. Kini lagu kedua tentang percintaan yang berakhir kesedihan. Dengan cepat Alessa memegang pundak pak supir.

"Maaf pak, bisa ganti lagunya? Semua lagu galau." ucap Alessa menatap sinis ke arah pria yang duduk di sampingnya.

"Kita matikan saja nona, kita sebentar lagi akan sampai" Kata Supir taksi, menekan tombol untuk mematikan audio yang ada di mobil. Sementara pria itu asyik mengutak-atik handphonenya.

Hening menyeruak di antara keduanya, tidak ada yang bersuara. Alessa memandangi jalan dalam kebisuan. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Tatapannya kalut, seperti memikirkan sesuatu dan hanya terdiam sepanjang jalan. Yang dilakukannya hanyalah mendesah panjang sambil menatap keluar. Ini awal kehidupan yang baru baginya meninggalkan keluarga dan menjadi diri sendiri tanpa mengandalkan ayahnya.

Mobil taksi membelok dan memasuki perumahan mewah sesuai alamat yang di kirimkan Jordan. Perumahan itu tampak berbeda. Ini seperti penthouse mewah yang memiliki jarak tak terlalu jauh dengan rumah lainnya. Tak butuh waktu lama, supir taksi menghentikan mobilnya.

"Apa ini tempatnya pak?" tanya Alessa memastikan lagi. Tadi Ia sempat berpikir akan tiba di apartemen biasa yang sering ditemuinya. Namun diluar dugaannya ternyata perumahan ini mewah dan dijaga ketat oleh security.

"Benar nona, kita sudah sampai di depan perumahan Flower sesuai dengan alamat yang anda berikan." ucapnya lagi.

Alessa mengedarkan pandangannya, menatap sekelilingnya. Perumahan ini tampak sepi. Sementara pria yang duduk di sampingnya tadi sudah lebih dulu turun dan langsung memberikan uang taksinya. Alessa masih bisa melihat punggung tegap itu melangkah sambil menggendong tas ransel yang dibawanya.

"Apa dia tinggal di sini juga?" gumamnya mengingat pertemuannya dengan pria itu menjadi hari terburuk dalam hidupnya.

Supir taksi sudah menurunkan kopernya dari bagasi mobil. Alessa masih tampak bingung menatap alamat sambil mengedarkan pandangannya. Menatap rumah mana yang akan ditempatinya.

Terdengar sapaan membuat Alessa tersentak. Alessa membalikkan badannya dan melihat seorang lelaki bertubuh gempal menunduk sopan.

"Selamat siang, nona! Benar anda nona Alessa Charlett?"

"Selamat siang! Iya, saya sendiri."

"Perkenalkan nama saya Antonio. Saya ditugaskan Dokter Jordan untuk mengantar anda ke rumah yang akan anda tempati." Ucapnya dengan senyum ramah sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Ah, terima kasih pak. Senang bertemu dengan anda." Alessa menyambut tangan pria itu dengan jabatan tangan yang singkat. Ia berusaha tersenyum. Walau ia masih tampak bingung.

"Senang bertemu dengan anda juga, nona. Dokter Jordan menyampaikan bahwa ia tidak bisa menjemput anda dari bandara."

"Jordan sudah menghubungi saya pak."

"Oh, begitu ya. Sebenarnya dokter Jordan meminta saya untuk menjemput anda. Tapi saya tidak bisa, karena ada urusan mendadak yang tidak bisa saya tinggalkan."

"Tidak apa-apa pak."

"Mari nona, saya bawakan kopernya," ucapnya menawarkan diri.

Alessa tersenyum mengizinkan. Ada dua koper yang ia bawa dari kota A. Alessa hanya membawa pakaian secukupnya saja. Antonio pun mengambil koper itu. "Lewat sini, nona." ucapnya menunjukkan arah sambil berjalan lebih dulu.

Alessa mengikuti pria itu, dan sesekali melihat ke segala arah. Perumahan ini benar-benar mewah dan siapa saja yang menempatinya akan merasa nyaman.

"Saya yakin anda akan betah tinggal di sini." Kata Antoni tersenyum.

"Benarkah? Saya juga berharap seperti itu pak."

"Perumahan mewah ini di desain menyatu dengan alam, seperti merasakan hidup bebas dengan langit biru dan gema hijau. Apa lagi jika di pagi hari, dari atap langit biru membuat siapa saja akan tahan berlama-lama sambil bersantai di teras sambil menghirup udara bebas."

"Saya juga bisa merasakan sensasinya pak." Alessa tertawa kecil sambil mengikuti pria paruh baya itu.

"Bukankah dia?" Mata Alessa memicing menatap pria sedang berjalan membawa sesuatu di tangannya. Sepertinya ia baru saja dari supermarket. Alessa membuang wajahnya, saat pria itu menoleh ke arahnya.

"Bagaimana aku bisa bertemu dengan pria angkuh itu? Aku bahkan sudah bersumpah tak ingin bertemu dengannya." Umpat Alessa dalam hati.

"Anda tinggal di sini, nona." Antoni membuka pagar kecil.

"Heuh?" Konsentrasinya buyar. "Maksudnya pak?"

Antoni tersenyum lebar. "Anda akan tinggal di sini."

"Di sini pak?"

"Ya, di sini." Jawab Antoni lagi.

Alessa tersenyum menganggukkan kepalanya. "Terima kasih pak, sudah repot-repot." Ucapnya dengan senyuman manis.

"Ini sudah bagian dari tugas saya nona, jangan merasa terbebani. Saya hanya bisa mengantar anda sampai depan pagar, sesuai perintah dokter Jordan." Antonio mempersilakan dan menyerahkan kunci kepada Alessa.

"Terima kasih pak. Sampai bertemu lagi."

"Baik, nona. Besok saya akan kembali menjemput anda dan mengantar anda ke rumah sakit." Kata Antonio menundukkan kepalanya. Lalu melangkah pergi.

Alessa lalu berjalan memasuki taman mini dan jalan setapak yang melewati bagian tengah taman kecil itu untuk masuk ke rumahnya. Taman yang memiliki rumput luas yang besar, ditutupi dengan jalan batu yang melengkung, sehingga Alessa bisa mengambil beberapa langkah untuk menikmati suasana taman yang asri di luar. Dinding kaca terlihat berkilau karena pantulan sinar cahaya matahari.

Rumah ini menawarkan banyak fasilitas yang nantinya bisa dinikmati Alessa. Alessa mengembuskan napas dan tersenyum. Ia pun berjalan masuk untuk membuka pintu rumahnya.

Pintu pun terbuka. Sofa berwarna krem berbentuk letter L dengan meja kecil menyambutnya lebih dulu. Alessa berjalan masuk, menjelajah area baru itu. Kamar dengan kasur ukuran king size tertata rapi dan kelihatan sangat empuk nyaman. Lemari-lemari ekslusif dengan design cermin elegan, ditampilkan dengan beberapa bilik dan sekat yang memudahkannya mengorganisir pakaiannya.

Alessa berjalan terus ke area dapur. Sebuah kitchen set mini, lengkap dengan kulkas, oven dan kabinet. Sangat pas jika ia sedang memasak sendiri. Alessa berjalan ke arah jendela. Ia membentangkan gorden, hingga pemandangan dibaliknya terlihat. Sebuah keindahan perumahan terlihat jelas di sana. Pemandangan yang indah untuk ia nikmati mulai sekarang. Alessa sangat menikmati aktifitas perkenalan dengan tempat tinggal barunya ini.

BERSAMBUNG.....

^_^

Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini Novel kedelapan aku 😍

Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.

^_^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!