Jangan di pecat

Aslan melanjutkan pekerjaannya dengan teliti, meski sesekali dalam benaknya ada bayang-bayang wajah Samira yang memberinya kopi baru yang lebih pantas di minum.

"Pokoknya bapak jangan minta yang aneh-aneh sama saya." celetuk Samira tadi.

"Memangnya kamu tidak pernah minum kopi pakai kayu manis?" tanya Aslan.

"Boro-boro minum kopi pakai kayu manis, minum kopi biasa saja aku nggak suka." omel Samira.

Aslan cuma bisa mengangguk dan mengusir gadis itu keluar dari ruangannya.

"Kerja yang bener, jangan cuma makan gaji buta." teriak Aslan, sedangkan Samira yang sedang membuka pintu langsung menoleh kepadanya.

"Bapak curiga banget sih orang, yang percaya dong sama anak buahnya."

Aslan tertawa. Ternyata, gadis itu tak semengerikan yang ia pikir. Aslan masih cukup normal seperti kebanyakan wanita di sekelilingnya. Kecuali senyum manisnya dan caranya menjaga diri. Berbeda.

***

Samira menyenandungkan Asmaul Husna sambil mengepel lantai dengan pelan. Pagi itu ia sudah mulai bekerja dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Sementara Aslan yang kembali kesiangan dalam bekerja tergesa-gesa menuju ruang kerjanya hingga tak menyadari jika lantai yang ia pijak masih sangat basah.

Bruk. Arghhh.

Suara erangan kesakitan membuat Samira menoleh. Matanya membulat seketika dan bergegas mendekati Aslan dengan hati-hati. Ia juga takut terpeleset.

"Bapak gak apa-apa?"

"Samira!" teriak Aslan dengan geram dan penuh amarah.

Samira menghela napas, teriakan Aslan itu seperti seolah ia tersengat listrik.

"Astaghfirullah, aku bakal dipecat! Aku lupa jika belum menaruh tanda lantai licin!" batin Samira seraya komat-kamit membaca doa.

"Bapak kenapa? Kalau main seluncuran air jangan di kantor! Malu sama umur!" omel Samira untuk menutupi kegugupannya.

Aslan mengaduh saat kesulitan untuk berdiri.

"Baru berapa hari kamu kerja?" tanya Aslan nyolot. Sekuat tenaga ia mencoba untuk berdiri tapi gak bisa-bisa.

"Dua hari, pak! Saya panggilkan satpam ya, saya tidak bisa bersentuhan dengan bapak soalnya!" ujar Samira dengan nada menyesal.

Aslan menggeram kesal. "Baru dua hari kerja sudah berapa kali mengerjaiku? Minta di pecat!" kata Aslan penuh tekanan.

Samira kembali istighfar dengan nada kesal.

"Nanti saya panggilkan tukang urut untuk memijat kaki bapak, setuju?" tawar Samira, "tapi jangan pecat saya, saya masih ingin bekerja dan belum gajian!" Samira memohon.

Aslan menyeringai, seakan mendapat ide untuk mengerjai Samira.

"Panggilkan satpam dan Robby! Mereka ada di lantai lobi, katakan padanya saya mengalami kecelakaan!"

"Kecelakaan? Lebay banget!" gumam Samira dalam hati lantas menaiki lift. Namun, ia langsung di rundung ketakutan saat Aslan masih bersimpuh di atas lantai tanpa sedikitpun bergeser.

"Apa benar-benar parah caranya kepeleset!" Samira bergumam. "Semoga pantatnya tidak apa-apa! Berabe urusannya kalau sampai tulang belakangnya mengalami pergeseran!"

Pintu lift terbuka, Samira langsung menghampiri Robby yang duduk di sofa ruang tunggu.

"Pak Robby! Di panggil bos ke atas. Pak Aslan mengalami kecelakaan maut!" Adu Samira sambil meringis.

Robby terkekeh, ia sudah menduga kalau Aslan kenapa-kenapa karena lama sekali ia menunggunya. "Aslan kamu apakan lagi, Sam?"

"Lantainya terlalu licin, Pak!" jawab Samira.

Robby menghela napas, ia berdiri sambil mengajak Samira untuk kembali ke lantai atas.

"Semoga jodoh! Kalau gak cuma kasian Aslan dapet kesialan terus!" batin Robby.

Pintu lift terbuka. Samira mengerutkan kening, ia celingukan mencari Aslan.

"Loh, pak, tadi batang hidungnya ada di depan lift. Kemana pak Aslan pergi?" tanya Samira bingung.

Robby mengangkat bahu. "Paling sudah dibawa ke ruangannya! Sudah bereskan pekerjaanmu, lalu buatkan Aslan teh hangat."

Samira mengangguk tanpa keraguan. "Tolong beri tahu saya kalau terjadi apa-apa dengan pak Aslan ya, pak Robby!" pintanya tulus, merasa bersalah karena kejadian tadi.

Robby menaikkan kedua alisnya.

"Memangnya kamu mau tanggung jawab kalau Aslan kenapa-kenapa? Dokter pribadi Aslan sekali periksa bayarnya mahal lho, lebih dari gajimu sebulan!" jelas Robby yang langsung membuat Samira melototkan matanya.

"Saya akan berdoa jika pak Aslan hanya mengalami encok! Jika iya nanti saya panggilkan tukang urut langganan Abah saja, lebih murah dan ramah dikantong!" ujar Samira lembut.

Robby tertawa meninggalkan Samira yang kembali melanjutkan pekerjaannya.

Robby mendorong pintu ruang kerja Aslan, dan mendapati bosnya sudah berganti pakaian.

"Encok gak bro?" tanya Robby seraya mengambil berkas yang Aslan ulurkan.

"Bokongku ngilu, Rob! Tolong awasi proyek hari ini!"

Robby terkekeh, baginya kejadian yang menimpa Aslan karena kedatangan Samira menambah warna di kehidupan Aslan.

"Lebih ngilu daripada sakit gigi, As?" tanya Robby. Aslan mengangguk dan mengelus bokongnya sendiri. "Apes banget aku hari ini!"

"Berawal dari ketidaksengajaan. Berujung keterikatan!" ucap Robby penuh arti. "Oh ya, tadi Samira bilang kalo kamu encok mau dipanggilkan tukang urut langganan Abahnya! Kami terima gak tawarannya?"

***

Samira menggeber motornya keluar dari parkiran kantor, ia harus menjemput tukang urut langganan ayahnya di pagi hari yang mendung. Sedangkan di ruangannya Aslan terkekeh, balas dendamnya segera di mulai saat ia menyetujui permintaan maaf Samira untuk mendatangkan tukang urut langganan ayahnya. Pak Munadi.

Setengah jam berlalu. Samira sudah kembali ke kantor dengan membawa pak Munadi yang beraroma minyak urut dan memakai kaca mata hitam.

"Apa keluhannya, pak Aslan?" tanya pak Munadi, ia mengeluarkan minyak urut dari tas selempangnya, sedangkan Samira berdiri di belakang pak Munadi untuk melihat apakah Aslan benar-benar harus ke dokter tulang.

"Saya tadi kepeleset, pak! Kaki saya sedikit terkilir, pantat saya nyeri, dan telapak tangan saya rasanya kaku!" keluh Aslan, ia menepuk pantatnya dan pergelangan kakinya dengan raut wajah kesakitan.

Pak Munadi mengangguk paham, sangat tahu urat-urat mana yang harus di urut saat terpeleset.

"Mohon maaf, bapak Aslan harus membuka celananya agar memudah saya untuk mengurut urat-urat syaraf yang tegang!" kata pak Munadi.

Wajah Samira langsung merona. Ia menundukkan kepala.

"Saya pamit keluar dulu, pak Aslan! Maafkan saya atas keteledoran tadi pagi." ucap Samira, suaranya lembut dan hati-hati.

Samira keluar dari ruangan Aslan. Dia yang khawatir mendengar teriakan kesakitan sewaktu Aslan di pijat jadi cemberut.

"Bahaya ini, aku pasti di pecat."

Samira melangkah gontai ke pantry. Dia terdiam, memikirkan Aslan. Tanpa dia ketahui. Kedatangan tukang urut dan beredarnya kabar jika sang direktur utama terpeleset membuat staff lain yang bekerja menyipitkan matanya ke arah Samira. Mereka seakan tidak suka dengan kinerja Samira yang ceroboh.

"Kalau bos besar kenapa-kenapa, itu karena salahmu!" ujar seorang wanita sembari menarik kerudung Samira. "Gak usah berlagak sok alim kalo cuma buat godain dan caper!" ucap wanita berbaju ketat dengan sinis.

Samira buru-buru merapikan jilbabnya untuk menutupi rambut hitamnya yang lurus di depan orang lain yang menatapnya dengan asal-asalan.

"Gak gitu maksud ku."

Samira memilih bersembunyi di tangga darurat dan tak menghiraukan ucapan mereka. Baginya ia memang salah dan sepatutnya ia meminta maaf secara tulus kepada Aslan.

"Aku pasti akan minta maaf kok, tenang aja bos. Tapi jangan pecat aku. Hiks...hiks."

Terpopuler

Comments

Anonim

Anonim

ini Samira gadis lugu tapi berani juga ya...

2023-10-27

0

DhilaZiya Ulyl

DhilaZiya Ulyl

🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 bener sam🤣

2023-01-01

1

Devinta ApriL

Devinta ApriL

kasihannya anak Abah😌😌

2022-11-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!