The Boss Dirty Affair
“Kalian bisa beristirahat malam ini. Saya harap besok tidak ada yang terlambat. Jam 9 kalian harus sudah siap untuk pulang.”
Begitu kira-kira ucapan seorang Dosen yang mendampingi Study Tour kali ini.
Wajah kusut dan lelah Mahasiswa sangat kentara. Universitas Nusa Bangsa memanglah bertaraf Internasional, untuk Studi Tour mereka memilih Australia. Hotel yang akan digunakan menginap juga sangat mewah.
Bangunan tinggi di depan lebih dari cukup menampung jumlah mahasiswa yang ikut kegiatan Studi Tour.
“Yey bisa tidur, capek banget dah,” keluh Cleo pada sahabatnnya.
Anindira Pramesti yang biasa dipanggil Anin itumeregangkan otot-ototnya. “Gila—capeknya baru kerasa sekarang,” balasnya.
“Anin.” Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat memanggil. Masih satu jurusan namun tidak satu kelas. “Aku tadi beli minum buat kamu.” Menyerahkan minuman kelengan berwarna hijau.
Anin tersenyum. “Makasih.”
Lelaki itu berjalan menjauh. Disambut sorakan heboh dari teman-temannya yang telah menunggu melihat aksinya memberikan minuman pada gadis idola kampus.
Selain cantik, Anin juga pintar. Wajahnya sering wara-wiri di sosial media Universitas karena prestasinya sebagai Duta Kampus. Beberapa kali wajahnya dipajang mading karena memenangkan beberapa lomba. Ramah dan humble membuatnya diidolakan hampir seluruh laki-laki di kampus.
Senggolan dari Cleo membuat Anin menoleh. “Ciee dapet hadiah. Satu kampus kayaknya naksir kamu deh.” Bersindekap menilai Anin dari atas hingga bawah. “Siapa juga yang gak suka sama Anindira—cantik, body goals, pinter, polos, gak macem-macem, anggun + anak baik-baik lagi.”
“Waaah makasih mbak ya—tapi saya gak punya uang receh,” canda Anin. Saat tersenyum Anin semakin cantik dengan lesung pipinya yang terlihat jelas.
Cleo menjepit leher Anin dengan tangannya. Susah payah Anin menepuk tangan Cleo agar dilepaskan.
“Cle-Clee… lepasin,” keluh Anin. Hingga Cleo melepaskan tangannya diiringi tawa puas.
Cleo pernah mengikuti kelas Judo meskipun tidak lama tapi jangan meragukan kemampuannya. Anin saja dibuat sesak nafas akibat perbuatannya.
Sembari menyeret kopernya, Anin mulai berbicara. “By the way ada kali yang gak suka. Kayaknya mereka benci banget sama aku.”
Menatap segerombolan gadis yang berpakaian minim. Mereka nampak mencolok karena tampilan mereka yang sangat berbeda dari mahasiswa lain.
Mereka disebut-sebut geng paling kece di Kampus. Berisi anak-anak konglomerat yang hartanya tidak habis-habis. Selain kaya mereka juga sangat cantik dan seksi. Siapapun pasti suka, namun dengan kepopuleran mereka, Anin justru dianggap sebagai pesaing—apalagi saat salah satu gebetan mereka terang-terangan mendekati Anin.
“Gak ada habisnya mikirin mereka. Mau sebaik apapun kamu—pasti aja yang gak suka. Artis yang baik aja masih ada hatersnya apalagi kita yang manusia biasa.”
Benar juga apa kata Cleo. Bagaimanapun Anin merasa tidak enak karena ada yang membencinya. Saat tengah menatap mereka, salah satu mereka menyadari membuat Anin cepat-cepat menatap ke arah lain.
Berada di depan kamar yang akan di tempati malam ini. Anin dan Cleo bersiap masuk namun sebuah suara menghentikan mereka.
“Boleh minta waktunya sebentar?” tanya perempuan bernama Vanya.
Anin ragu-ragu mengangguk. Di depannya kini ada tiga perempuan yang seminggu lalu melabraknya karena didekati oleh laki-laki yang katanya berstatus sebagai pacar salah satu dari mereka.
“Boleh.” Sembari melirik Cleo yang bersikap sinis pada tiga gadis di hadapannya.
Mengambil tangan Anin dengan tiba-tiba. Vanya tersenyum. “Aku mau minta maaf seminggu lalu aku ngelabrak kamu. Aku gak tahu ternyata Ferdi yang deketin kamu duluan.”
Meski sedikit ragu Anin kembali tersenyum dan kembali menggenggam tangan Vanya. “Gak papa—kamu cuma salah paham. Aku ngerti kok.”
“Sebagai permintaan maaf, gimana kalau nanti aku traktir kamu makan.”
“Ehm—“ lagi-lagi melirik Cleo yang menggeleng agar tidak menerima ajakan mereka.
“Aku gak macem-macem. Aku cuma mau minta maaf. Di lantai atas hotel ini ada Restoran yang enak. Aku gak bohong—aku udah sering datang ke sini,” bujuk Vanya.
Di dalam benak Anin, Vanya tidak mungkin berbohong. Postingan di media sosial perempuan itu memang sering pergi ke luar negeri. Dari raut wajah juga terlihat tulus. Jadi—entah sebaiknya menolak atau menerima.
“Kamu boleh ajak Cleo—kalau kamu mau aku tunggu.” Vanya pergi bersama dua temannya.
“Cle—“ panggil Anin karena Cleo yang acuh langsung masuk ke dalam kamar. Terlihat sekali Cleo sangat tidak suka pada geng tersebut.
“Cle—“ panggil Anin lagi. Lagi Cleo acuh menyibukkan diri dengan mengambil pakaian di dalam koper. “Apa kamu ingin ikut denganku?”
Cleo menghentikan aktivitasnya. “Jadi kamu akan pergi dengan mereka? Kamu mau bersama mereka yang sudah menghinamu seminggu lalu?”
“Itu kesalahan—mereka pasti tidak bermaksud seperti itu. Aku yakin mereka benar-benar tulus kali ini. Aku ingin memperbaiki hal yang bisa kuperbaiki.”
“Baiklah terserah—aku tidak ingin ikut.”
Anin menghela nafas. “Kamu tidak marah?”
“Jaga dirimu baik-baik dengan mereka. Aku tidak hal buruk terjadi denganmu. Aku tidak ingin ikut karena aku muak dengan mereka. Aku juga lelah ingin istirahat.”
Anin mengangguk. Mengambil pakaiannya—pilihannya jatuh pada skirt dan sweater oversize. Beberapa menit setelah membersihkan diri—Anin mematut dirinya di depan cermin. Bel pintu berbunyi, Anin menoleh pada Cleo yang berbaring dengan ponsel di tangan.
“Aku pergi—Cle,” pamitnya.
Saat membuka pintu—disambut dengan Vanya dan kedua temannya. Sebenarnya Anin bukan tipe pendendam, ia cenderung lebih gampang memaafkan orang. Mengalunkan tangan di bahu Anin, Vanya nampak tersenyum senang.
“Ayo—aku ingin memberimu kejutan,” ucapnya.
Sampai di lantai paling atas hotel. Melewati lorong yang tidak terlalu panjang hingga sampai pada sebuah pintu hitam.
“Kalian yakin di sini?” tanya Anin nampak ragu. Ia juga berusaha melepaskan diri dari rangkulan Vanya.
“Yeah—memang di sini, tempatnya memang tertutup.” Vanya tetap merangkul Anin dan membawanya masuk.
Saat sudah benar-benar masuk—Anin menyadari tempat ini bukan terlihat seperti Restoran pada umumnya. Lebih seperti Klub yang dihiasi hingar-bingar lampu dan musik yang keras namun anehnya tidak terdengar dari luar. Menatap sekeliling—Anin yakin meski belum pernah menginjakkan kaki di Klub tapi tempat ini bukan Restoran melainkan memang benar-benar Klub. Ada meja bar yang diisi bartender yang meracik minuman.
“Aku tidak bisa di sini—kalian membohongiku,” lirih Anin. Berbalik ingin pergi—namun usahanya gagal saat Vanya menarik dirinya untuk duduk di salah satu sofa.
“Tapi di sini makanannya enak—aku ingin kau mencobanya sekali saja,” Vanya berusaha meyakinkan Anin. “Kau boleh pergi setelah mencoba satu makanan yang ada di sini. Aku mohon cobalah sekali saja.”
Menutup mata sebentar—Anin setuju. Setelah menunggu beberapa menit—akhirnya makanan di sajikan. Vanya nampak santai minum dari gelas kecil yang berisi cairan berwarna putih. Anin memilih mencoba l makanan—enak juga.
Vanya seakan tahu apa yang dirasakan Anin. “Sudah kubilang makanan di Klub ini enak.”
Anin menghabiskan makanannya hingga tak tersisa. Akibat kerongkongannya yang haus ia menerima saja saat Vanya menyodorkannya minuman. Mengeryit saat merasakan pahit—namun entah kenapa malah candu. Anin ingin minum lagi dan lagi. Hingga gelas ke tiga kepalanya mulai berputar.
“Aku ingin minum lagi,” lirih Anin dengan mata setengah terpejam.
“Sure.” Vanya memberikannya segelas lagi. Anin langsung meminumnya hingga tandas.
Vanya dan teman-temannya tertawa senang. Kini giliran mereka menjalankan misi. Mereka bertiga melucuti Sweater Oversize yang digunakan Anin. Tubuh polos Anin hanya terbalut tanktop putih yang membuat gadis itu terlihat sangat seksi. Anin yang sudah kehilangan kesadarannya tidak memperdulikan apapun. Ia berjalan ke arah segerombolan orang yang menari. Bergabung dengan mereka, meliuk-liukkan badannya mengikuti irama.
Ditengah keramaian orang-orang, Anin merasakan deru nafas seseorang mengenai area belakangnya, tubuhnya di peluk oleh tangan seseorang. Anin menoleh—meski samar ia bisa melihat wajah seorang pria berkulit sawo matang yang terseyum padanya.
Pria itu membelai pipinya dengan lembut, membuat getaran aneh pada dirinya. Menerima saja saat tangan pria itu menyusuri pinggangnya. “Hai babe—your so beautiful,” bisiknya sensual sembari mengecup telinga kiri.
Semua hal itu terekam di layar ponsel Vanya. Mereka tertawa puas—bersiap akan meledakkan bom yang akan membuat hidup Anin hancur. Setelah puas merekam—mereka bertiga keluar dari Klub tidak lagi memperdulikan Anin yang telah ditarik oleh pria itu ke sebuah tempat remang-remang.
“Lepaskan aku.” Anin berusaha memberontak. Setiap sentuhan kecil dari pria itu membuat tubuhnya aneh. Sangat panas—Anin merasa ingin lebih disentuh lebih dalam.
“No—Your mine babe.” Saat hendak merobek tanktop yang dikenakan Anin—tendangan di aset berharga membuat pria itu meringis. Mundur sembari memegangi selangkanannya.
Anin berhasil menendang—namun saat hendak kabur. Tubuhnya kembali dipeluk dari belakang, lalu dihempaskan begitu saja ke lantai. “Kau berani memukulku—aku juga bisa memukulmu kembali.”
Pria itu menendang kaki Anin hingga membuat sang gadis meringis kesakitan. Pria itu berjongkok. Mengapit pipi Anin dengan kasar. “Aku sudah tidak nafsu menyentuhmu—aku ingin melihatmu meringis kesakitan.”
Tangannya pria itu ke atas. Namun satu.. dua..tiga.. Anin tidak merasakan apapun. Ternyata tubuh pria itu telah tersungkur dari hadapannya. Seorang pria berperawakan tinggi menghajar pria itu hingga tergeletak tidak sadar.
“Bangun,” perintah pria yang menyelamatkanAnin.
Meski susah payah—Anin tetap berusaha bangun. Meski tidak terlalu jelas—Anin bisa melihat jika lelaki di depannya memang tampan. Bibir berwarna merah itu membuatnya panas. Tubuhnya semakin panas saat tangan kekar pria itu menyentuh bahunya.
“Pulang,” perintahnya.
“Panas,” lirih Anin setengah memejamkan matanya.
Panas luar biasa—Anin bergerak ingin melepaskan tanktopnya. Sial lagi-lagi tangan pria yang ingin mencegahnya justru membuatnya semakin kelakabakan. Sentuhan kecil membuatnya hilang kendali.
Anin berjinjit, mengikuti instingnya. Ia menempelkan bibirnya dengan pria itu. Mengalunkan tangannya di leher pria itu—Anin hanya terdiam membuat sang pria mengumpat.
“Shit! Kau diberi obat perangsang.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments