Kenapa Harus Aku?

“Oh….” Anin mengangguk-angguk. Antrian tidak banyak. Kini giliran mereka, wadah makan mereka sekarang telah terisi penuh dengan nasi, ayam, tumis sayur dan sebagai pelengkap satu iris buah melon.

“Jadi Devisi Administrasi di bulan apa?”

“Gak pasti sih—tergantung jadwal CEO juga. Kadang Akhir bulan ini, kadang awal bulan depan,” jelas David. Ia memasukkan satu suapan besar ke dalam mulutnya seperti orang yang sangat kelaparan. Mulutnya mengembung karena penuh dengan makanan.

“Kamu laper banget ya?”

David sedikit tertawa. “Aku sering nonton mukbang orang korea jadi ya kebiasaan ngikutin cara mereka. Aku udah biasa masukkin banyak makanan ke dalam mulut.” David mengambil suapan besar lagi. Kali ini benar-benar besar hingga membuat pria itu tidak bisa berbicara sama sekali.

Anin bertepuk tangan polos. Betapa kagumnya pada David yang bisa menghabiskan makanan hanya dengan beberapa suap saja. “Waaah kamu benar-benar hebat.”

David mengambil minumnya. “Kamu orang pertama yang muji. Orang di sini jijik lihat caraku makan kayak orang kelaparan.”

Anin menunjukkan kedua jempolnya. “Aku pendukungmu sekarang,” ucapnyan sungguh-sungguh.

David tertawa. Ia tidak menyangka mendapat teman baru yang sangat konek dengannya. “Aku akan jaga kamu di kantor ini. Hati-hati di sini banyak buaya yang bertebaran.” David menunjuk dengan dagunya gerombolan staff pria yang baru saja datang ke kantin.

“Mereka Devisi IT. Jangan ketipu sama mereka yang ganteng-ganteng.” Anin mengangguk saja dengan penjelasan David. Sembari makan dengan tenang dan menyimak semua penjelasan David tentang kantor ini.

“Pokoknya kalau bisa jangan cari pacar di kantor inilah. Kebanyakan dari mereka buaya.”

“Termasuk kamu?” tanya Anin polos. Ia telah selesai dengan makanannya. Kini mengusap bibirnya dengan tisu.

“Ya juga sih. Tapi kali ini aku akan jadi kakak buat kamu. Aku akan melindungi kamu dari para buaya yang ada di kantor ini.”

Anin hanya tertawa kecil. Reflek menoleh saat kursi di sampingnya berderit pelan menandakan ada orang yang menggunakannya. Benar saja—seorang pria tengah duduk di sampingnya sembari tersenyum menatapnya.

“Hai—anak baru ya?” tanyanya pelan. Pria tampan yang memiliki jenggot tipis di sekitar dagu.

Anin hanya mengangguk tipis.

“Kenalin aku Edo—devisi IT.” Mengulurkan tangannya. Meski ragu Anin tetap menjawab tangan Edo. Saat hendak melepaskan justru tangannya digenggam lebih erat membuatnya melotot.

“Kamu belum menyebutkan namamu.”

Anin melepaskan tangannya dengan paksa. “Aku Anin.”

“Oke cukup perkenalannya,” sela David. Ia mengambil tangan Anin seraya berkata. “Ayo Anin kita pergi.”

Anin yang nampak kaget hanya melotot. Tapi dengan anggukan David akhirnya ia ikut berdiri dan mengikuti David berjalan.

“Dia sudah punya istri,” ucap David saat masuk ke lift.

“WHAT?!” sangat kencang sampai-sampai bisa memekakkan gedang telinga. “Sorry-sorry terlalu kaget. Oh My goodness jadi dia udah punya istri tapi malah ganggu wanita lain.”

“Mangkanya sudah kubilang—pria di sini rata-rata berbahaya.”

Anin mendadak menatap David menyelidik. “Jadi kamu juga sudah punya istri?”

“Pernah.”

“WHAT?!” Anin memang masih tahap perkenalan. Ia masih culture shock dengan apa saja yang ada di dalam perusahaan Rexton. Mungkin butuh beberapa bulan lagi membiasakan diri dengan semuanya yang ada di Rexton.

~~

Merenggangkan ototnya yang pegal. Hari ini sungguh melelahkan. Barus aja masuk namun sudah disuguhi pekerjaan yang sangat banyak. Berjalan lambat memasuki Lift. Anin hanya terdiam sembari mengetukkan heelsnya ke lantai. Hingga lift terbuka—ia melihat seorang pria berjalan dengan sangat berwibawa.

Karyawan yang dilintasinya menunduk hormat.

“Siapa ya,” gumamnya.

Saat melihat pria itu masuk ke dalam mobil—kepalanya berputar melihat mobil itu berjalan. Seakan kembali ke beberapa hari yang lalu—akhirnya Anin sadar jika pria itu adalah pria tidak bertanggung jawab yang menyerempet bapak tua membawa gerobak.

“Jangan-jangan dia CEO?” tanya Anin pada dirinya sendiri. “Tidak bisa—bagaimana jika dia mengingatku dan langsung memecatku. Tidak—aku tidak ingin dipecat saat baru mulai bekerja.” Mengetuk dahinya dengan jari telunjuknya. Berpikir keras hal apa yang bisa dilakukan untuk menghindari pria itu. “Aku tahu—aku akan berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam.”

“Yaah itu lebih baik.” Anin menurunkan bahunya kesal. “Kenapa juga harus dia sih—kau gila Anin.” Mengacak rambutnya frustasi.

Setelah sampai di Apartemennya—Anin langsung merebahkan diri di atas sofa. Memejamkan mata—sebentar lagi akan sampai di alam tidur jika panggilan diponselnya tidak berbunyi. Melihat siapa yang meneleponnya malam-malam seperti ini.

“Hallo.”

“Hallo, Anin. Kamu bisa ngirim uang buat adik kamu? Adik kamu harus bayar spp,” ucap Ibu Anin di seberang sana.

“Iya Anin langung kirim supaya Dion bisa langsung bayar.” Anin bangkit. Duduk lebih nyaman mendengar suara ibunya.

“Maafin Mama, Anin. Mama sama Papa gak bisa lagi bantu kamu.”

“Gak papa, Ma. Udah jadi tugas Anin sebagai anak pertama. Kalau ada apa-apa jangan ragu kasih tahu Anin. Dion juga—kalau uang sakunya kurang—suruh bilang sama Anin.”

Menjadi anak pertama—Anin harus siap membantu ekonomi keluarganya. Usaha keluarganya bangkrut 4 tahun lalu—orang tuanya memutuskan membuka usaha kecil-kecilan. Namun penghasilan yang mereka dapatkan hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Anin harus bekerja keras untuk membantu orang tuanya. Apalagi ia masih punya adik laki-laki yang saat ini masih dibangku SMA.

“Yaudah kamu jaga kesehatan ya. Kami di sini selalu doain kamu semoga selalu lancar kerjaannya.”

“Makasih, Ma. Anin tutup ya, Bye.” Anin menutup panggilan ponselnya. Merebahkan kembali tubuhnya ke kasur sembari mengotak-atik ponselnya. Uang yang diminta ibunya telah dikirim. Kini isi rekeningnya sangat menipis. Hanya bisa dibelikan bakso satu porsi setiap harinya.

Tentang Bakso—Anin ingin memakannya sekarang. Namun ia tidak ingin berat badanya bertambah—jadi ia akan menundanya sampai besok.

~~

Sudah tiga minggu lamanya Anindira bekerja di perusahaan Rexton. Semuanya berjalan baik, David yang selalu melindunginya dari para buaya yang siap menerkam Anin, teman kantor yang mulai saling menyapa dengan dirinya tapi ada satu, yakni Rania si kepala Devisi  yang sangat suka memberi Anin tugas sangat banyak. Tapi tidak masalah bagi Anin—karena artinya Rania mempercayakan pekerjaan pada Anin.

“Jadi saya selain akan mengevaluasi pekerjaan—saya juga ingin memberitahukan satu hal. Minggu ini saya diundang di acara Anniversary pernikahan CEO. Tapi minggu ini saya harus pergi bersama kepala Devisi Marketing ke Bali untuk survey cabang di sana. Jadi siapa yang ingin menggantikan saya?” tanya Rania pada 8 staff Administrasi yang sedang berkumpul di meja bundar.

“Saya.” “Saya.” Sinta dan Rosa mengacungkan tangan secara bersamaan.

“Kalian?” tanya Rania.

“Lebih baik saya saja.” Kini di susul Olive yang mengacungkan tangan.

Melihat rekan kerjanya yang sibuk ingin menggantikan Rania. Justru Anin tidak sama sekali—ia hanya ingin minggunya bebas dan bisa beristirahat. Jujur saja bekerja dibawah Rania membuat punggungnya sangat pegal. Punggungnya butuh istirahat supaya tidak bengkok karena terlalu lama duduk di depan komputer.

Ditengah lamunannya—Anin sayup-sayup mendengar namanya disebut serta senggolan di tangannya membuatnya menoleh.

“Anindira apa kamu mau menggantikan saya datang ke pesta itu?” tanya Rania sembari bersindekap.

“Saya?” cengo Anin menunjuk diri sendiri. Ia menatap satu persatu rekan kerjanya yang kecewa karena tidak terpilih.

“Saya—“

“Kamu mau menolak perintah saya?” tanya Rania menusuk.

Kan tadi bertanya kok malah jadi perintah. Bagaimana sih kepalanya—Anin ingin berkata kasar pada Rania yang seenaknya saja. Apalagi memilihnya yang masih bukan siapa-siapa di kantor ini.

“Tidak—Miss.”

Rania telah memutuskan Anin yang menggantikannya. Melihat Anin melamun ditengah wanita lain berebut ingin menggantikan posisinya, membuatnya menarik kesimpulan akan lebih baik Anin yang datang supaya tidak norak dan mempermalukan Devisi Administrasi.

“Jadi kamu akan berangkat ke acara menggantikan saya.” Keputusan final yang dibuat oleh Rania tidak bisa ditentang oleh siapapun. Mau mengemis, merengek atau mengancam—Rania tidak akan terpengaruh.

“Baik,” pasrah Anin tidak bisa menentang perintah Anin. ‘Kenapa harus aku sih?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!