“Kalian bisa beristirahat malam ini. Saya harap besok tidak ada yang terlambat. Jam 9 kalian harus sudah siap untuk pulang.”
Begitu kira-kira ucapan seorang Dosen yang mendampingi Study Tour kali ini.
Wajah kusut dan lelah Mahasiswa sangat kentara. Universitas Nusa Bangsa memanglah bertaraf Internasional, untuk Studi Tour mereka memilih Australia. Hotel yang akan digunakan menginap juga sangat mewah.
Bangunan tinggi di depan lebih dari cukup menampung jumlah mahasiswa yang ikut kegiatan Studi Tour.
“Yey bisa tidur, capek banget dah,” keluh Cleo pada sahabatnnya.
Anindira Pramesti yang biasa dipanggil Anin itumeregangkan otot-ototnya. “Gila—capeknya baru kerasa sekarang,” balasnya.
“Anin.” Tiba-tiba seorang laki-laki mendekat memanggil. Masih satu jurusan namun tidak satu kelas. “Aku tadi beli minum buat kamu.” Menyerahkan minuman kelengan berwarna hijau.
Anin tersenyum. “Makasih.”
Lelaki itu berjalan menjauh. Disambut sorakan heboh dari teman-temannya yang telah menunggu melihat aksinya memberikan minuman pada gadis idola kampus.
Selain cantik, Anin juga pintar. Wajahnya sering wara-wiri di sosial media Universitas karena prestasinya sebagai Duta Kampus. Beberapa kali wajahnya dipajang mading karena memenangkan beberapa lomba. Ramah dan humble membuatnya diidolakan hampir seluruh laki-laki di kampus.
Senggolan dari Cleo membuat Anin menoleh. “Ciee dapet hadiah. Satu kampus kayaknya naksir kamu deh.” Bersindekap menilai Anin dari atas hingga bawah. “Siapa juga yang gak suka sama Anindira—cantik, body goals, pinter, polos, gak macem-macem, anggun + anak baik-baik lagi.”
“Waaah makasih mbak ya—tapi saya gak punya uang receh,” canda Anin. Saat tersenyum Anin semakin cantik dengan lesung pipinya yang terlihat jelas.
Cleo menjepit leher Anin dengan tangannya. Susah payah Anin menepuk tangan Cleo agar dilepaskan.
“Cle-Clee… lepasin,” keluh Anin. Hingga Cleo melepaskan tangannya diiringi tawa puas.
Cleo pernah mengikuti kelas Judo meskipun tidak lama tapi jangan meragukan kemampuannya. Anin saja dibuat sesak nafas akibat perbuatannya.
Sembari menyeret kopernya, Anin mulai berbicara. “By the way ada kali yang gak suka. Kayaknya mereka benci banget sama aku.”
Menatap segerombolan gadis yang berpakaian minim. Mereka nampak mencolok karena tampilan mereka yang sangat berbeda dari mahasiswa lain.
Mereka disebut-sebut geng paling kece di Kampus. Berisi anak-anak konglomerat yang hartanya tidak habis-habis. Selain kaya mereka juga sangat cantik dan seksi. Siapapun pasti suka, namun dengan kepopuleran mereka, Anin justru dianggap sebagai pesaing—apalagi saat salah satu gebetan mereka terang-terangan mendekati Anin.
“Gak ada habisnya mikirin mereka. Mau sebaik apapun kamu—pasti aja yang gak suka. Artis yang baik aja masih ada hatersnya apalagi kita yang manusia biasa.”
Benar juga apa kata Cleo. Bagaimanapun Anin merasa tidak enak karena ada yang membencinya. Saat tengah menatap mereka, salah satu mereka menyadari membuat Anin cepat-cepat menatap ke arah lain.
Berada di depan kamar yang akan di tempati malam ini. Anin dan Cleo bersiap masuk namun sebuah suara menghentikan mereka.
“Boleh minta waktunya sebentar?” tanya perempuan bernama Vanya.
Anin ragu-ragu mengangguk. Di depannya kini ada tiga perempuan yang seminggu lalu melabraknya karena didekati oleh laki-laki yang katanya berstatus sebagai pacar salah satu dari mereka.
“Boleh.” Sembari melirik Cleo yang bersikap sinis pada tiga gadis di hadapannya.
Mengambil tangan Anin dengan tiba-tiba. Vanya tersenyum. “Aku mau minta maaf seminggu lalu aku ngelabrak kamu. Aku gak tahu ternyata Ferdi yang deketin kamu duluan.”
Meski sedikit ragu Anin kembali tersenyum dan kembali menggenggam tangan Vanya. “Gak papa—kamu cuma salah paham. Aku ngerti kok.”
“Sebagai permintaan maaf, gimana kalau nanti aku traktir kamu makan.”
“Ehm—“ lagi-lagi melirik Cleo yang menggeleng agar tidak menerima ajakan mereka.
“Aku gak macem-macem. Aku cuma mau minta maaf. Di lantai atas hotel ini ada Restoran yang enak. Aku gak bohong—aku udah sering datang ke sini,” bujuk Vanya.
Di dalam benak Anin, Vanya tidak mungkin berbohong. Postingan di media sosial perempuan itu memang sering pergi ke luar negeri. Dari raut wajah juga terlihat tulus. Jadi—entah sebaiknya menolak atau menerima.
“Kamu boleh ajak Cleo—kalau kamu mau aku tunggu.” Vanya pergi bersama dua temannya.
“Cle—“ panggil Anin karena Cleo yang acuh langsung masuk ke dalam kamar. Terlihat sekali Cleo sangat tidak suka pada geng tersebut.
“Cle—“ panggil Anin lagi. Lagi Cleo acuh menyibukkan diri dengan mengambil pakaian di dalam koper. “Apa kamu ingin ikut denganku?”
Cleo menghentikan aktivitasnya. “Jadi kamu akan pergi dengan mereka? Kamu mau bersama mereka yang sudah menghinamu seminggu lalu?”
“Itu kesalahan—mereka pasti tidak bermaksud seperti itu. Aku yakin mereka benar-benar tulus kali ini. Aku ingin memperbaiki hal yang bisa kuperbaiki.”
“Baiklah terserah—aku tidak ingin ikut.”
Anin menghela nafas. “Kamu tidak marah?”
“Jaga dirimu baik-baik dengan mereka. Aku tidak hal buruk terjadi denganmu. Aku tidak ingin ikut karena aku muak dengan mereka. Aku juga lelah ingin istirahat.”
Anin mengangguk. Mengambil pakaiannya—pilihannya jatuh pada skirt dan sweater oversize. Beberapa menit setelah membersihkan diri—Anin mematut dirinya di depan cermin. Bel pintu berbunyi, Anin menoleh pada Cleo yang berbaring dengan ponsel di tangan.
“Aku pergi—Cle,” pamitnya.
Saat membuka pintu—disambut dengan Vanya dan kedua temannya. Sebenarnya Anin bukan tipe pendendam, ia cenderung lebih gampang memaafkan orang. Mengalunkan tangan di bahu Anin, Vanya nampak tersenyum senang.
“Ayo—aku ingin memberimu kejutan,” ucapnya.
Sampai di lantai paling atas hotel. Melewati lorong yang tidak terlalu panjang hingga sampai pada sebuah pintu hitam.
“Kalian yakin di sini?” tanya Anin nampak ragu. Ia juga berusaha melepaskan diri dari rangkulan Vanya.
“Yeah—memang di sini, tempatnya memang tertutup.” Vanya tetap merangkul Anin dan membawanya masuk.
Saat sudah benar-benar masuk—Anin menyadari tempat ini bukan terlihat seperti Restoran pada umumnya. Lebih seperti Klub yang dihiasi hingar-bingar lampu dan musik yang keras namun anehnya tidak terdengar dari luar. Menatap sekeliling—Anin yakin meski belum pernah menginjakkan kaki di Klub tapi tempat ini bukan Restoran melainkan memang benar-benar Klub. Ada meja bar yang diisi bartender yang meracik minuman.
“Aku tidak bisa di sini—kalian membohongiku,” lirih Anin. Berbalik ingin pergi—namun usahanya gagal saat Vanya menarik dirinya untuk duduk di salah satu sofa.
“Tapi di sini makanannya enak—aku ingin kau mencobanya sekali saja,” Vanya berusaha meyakinkan Anin. “Kau boleh pergi setelah mencoba satu makanan yang ada di sini. Aku mohon cobalah sekali saja.”
Menutup mata sebentar—Anin setuju. Setelah menunggu beberapa menit—akhirnya makanan di sajikan. Vanya nampak santai minum dari gelas kecil yang berisi cairan berwarna putih. Anin memilih mencoba l makanan—enak juga.
Vanya seakan tahu apa yang dirasakan Anin. “Sudah kubilang makanan di Klub ini enak.”
Anin menghabiskan makanannya hingga tak tersisa. Akibat kerongkongannya yang haus ia menerima saja saat Vanya menyodorkannya minuman. Mengeryit saat merasakan pahit—namun entah kenapa malah candu. Anin ingin minum lagi dan lagi. Hingga gelas ke tiga kepalanya mulai berputar.
“Aku ingin minum lagi,” lirih Anin dengan mata setengah terpejam.
“Sure.” Vanya memberikannya segelas lagi. Anin langsung meminumnya hingga tandas.
Vanya dan teman-temannya tertawa senang. Kini giliran mereka menjalankan misi. Mereka bertiga melucuti Sweater Oversize yang digunakan Anin. Tubuh polos Anin hanya terbalut tanktop putih yang membuat gadis itu terlihat sangat seksi. Anin yang sudah kehilangan kesadarannya tidak memperdulikan apapun. Ia berjalan ke arah segerombolan orang yang menari. Bergabung dengan mereka, meliuk-liukkan badannya mengikuti irama.
Ditengah keramaian orang-orang, Anin merasakan deru nafas seseorang mengenai area belakangnya, tubuhnya di peluk oleh tangan seseorang. Anin menoleh—meski samar ia bisa melihat wajah seorang pria berkulit sawo matang yang terseyum padanya.
Pria itu membelai pipinya dengan lembut, membuat getaran aneh pada dirinya. Menerima saja saat tangan pria itu menyusuri pinggangnya. “Hai babe—your so beautiful,” bisiknya sensual sembari mengecup telinga kiri.
Semua hal itu terekam di layar ponsel Vanya. Mereka tertawa puas—bersiap akan meledakkan bom yang akan membuat hidup Anin hancur. Setelah puas merekam—mereka bertiga keluar dari Klub tidak lagi memperdulikan Anin yang telah ditarik oleh pria itu ke sebuah tempat remang-remang.
“Lepaskan aku.” Anin berusaha memberontak. Setiap sentuhan kecil dari pria itu membuat tubuhnya aneh. Sangat panas—Anin merasa ingin lebih disentuh lebih dalam.
“No—Your mine babe.” Saat hendak merobek tanktop yang dikenakan Anin—tendangan di aset berharga membuat pria itu meringis. Mundur sembari memegangi selangkanannya.
Anin berhasil menendang—namun saat hendak kabur. Tubuhnya kembali dipeluk dari belakang, lalu dihempaskan begitu saja ke lantai. “Kau berani memukulku—aku juga bisa memukulmu kembali.”
Pria itu menendang kaki Anin hingga membuat sang gadis meringis kesakitan. Pria itu berjongkok. Mengapit pipi Anin dengan kasar. “Aku sudah tidak nafsu menyentuhmu—aku ingin melihatmu meringis kesakitan.”
Tangannya pria itu ke atas. Namun satu.. dua..tiga.. Anin tidak merasakan apapun. Ternyata tubuh pria itu telah tersungkur dari hadapannya. Seorang pria berperawakan tinggi menghajar pria itu hingga tergeletak tidak sadar.
“Bangun,” perintah pria yang menyelamatkanAnin.
Meski susah payah—Anin tetap berusaha bangun. Meski tidak terlalu jelas—Anin bisa melihat jika lelaki di depannya memang tampan. Bibir berwarna merah itu membuatnya panas. Tubuhnya semakin panas saat tangan kekar pria itu menyentuh bahunya.
“Pulang,” perintahnya.
“Panas,” lirih Anin setengah memejamkan matanya.
Panas luar biasa—Anin bergerak ingin melepaskan tanktopnya. Sial lagi-lagi tangan pria yang ingin mencegahnya justru membuatnya semakin kelakabakan. Sentuhan kecil membuatnya hilang kendali.
Anin berjinjit, mengikuti instingnya. Ia menempelkan bibirnya dengan pria itu. Mengalunkan tangannya di leher pria itu—Anin hanya terdiam membuat sang pria mengumpat.
“Shit! Kau diberi obat perangsang.”
Anin berjinjit, mengikuti instingnya. Ia menempelkan bibirnya dengan pria itu. Mengalunkan tangannya di leher pria
itu—Anin hanya terdiam membuat sang pria mengumpat.
“Shit! Kau diberi obat perangsang.” Setelahnya mendorong tubuh Anin menjauh darinya. Memegang lengan Anin dan menyeretnya keluar dari Klub. Pria itu ingin membawa Anin ke lobi dan menyuruh seseorang mengantar pulang.
“Tolong aku,” lirih Anin saat tubuhnya dipaksa berjalan oleh pria asing itu.
“Di mana rumahmu?” tanya pria itu mendadak berhenti hingga membuat Anin membentur punggungnya.
“Tolong aku,” lirih Anin kembali dengan mata setengah terpejam.
“Aku tidak mau bercinta dengan wanita yang diberi obat perangsang,” balas sengit pria itu seakan menolak keras.
Anin menggeleng. Memeluk pria asing di depannya. Sedikit berjinjit untuk mengucapkan sesuatu. “Help me, Please,” lirihnya.
Merasa terpancing—pria itu memeluk pinggang Anin. Akhirnya Anin membiarkan pria asing itu merenggut sesuatu yang selama ini ia jaga.
“Double ****! Are you virgin?”
Meski Anin tidak sadar. Pukul tiga baru selesai. Setelah puas, pria itu memeluk Anin dari belakang tak lama jatuh tertidur.
~~
Mata cantik itu perlahan terbuka. Kepalanya pusing luar biasa. Menatap sekeliling. Yakin sekali kamar ini bukan kamarnya. Pandangannya turun ke bawah. Membuka mata lebar menyadari saat tubuhnya hanya terbalut selimut putih. Menutup mulutnya yang akan menjerit histeris. Anin menoleh ke samping. Mendapati bahu lebar seorang lelaki.
Berusaha mengingat kembali apa yang terjadi tadi malam. Anin hanya mengingat secara garis besar saja. Ia mengingat seorang pria menolongnya kemudian ia malah menggoda pria itu lalu berakhir bercinta. Sekarang ia harus pergi—perlahan ia menyibak selimut. Sangat berhati-hati agar pria di sampingnya tidak bangun.
Anin berusaha berdiri meski selangkangannya terasa sangat ngilu. Ia berusaha mencari pakaiannya namun hanya ada rok yang tersisa. Melihat kemeja putih pria itu tergeletak—Anin langsung mengambilnya dan menggunakannya.
Berjalan mengendap-endap. Terus berjalan mencari kamarnya. Langsung memencet bel tergesa agar segera dibuka. Cleo melebarkan mata melihat penampilan Anin yang berantakan. “APA YANG TERJADI DENGANMU?” jeritnya histeris.
Menutup mulut Cleo. Anin mendorongnya masuk. Hingga pintu kembali tertutup. Anin menghela nafas panjang. “Aku dijebak—Cle.”
“Kamu dijebak Vanya?” tebak Cleo.
Anin mengangguk. Jawaban Anin membuat Cleo menyugar rambutnya gusar.
“Tadi malam aku diajak ke Klub bukan Restoran.Aku setuju karena dia bilang setelah aku mencicipi makanan aku boleh pergi. Tapi saat aku kehausan merekamemberiku minuman berakohol yang dicampur obat perangsang. Setelah itu mereka meninggalkanku.”
Cleo menatap Anin teliti. Mendapati sebuah tanda merah keunguan yang hampir memenuhi leher hingga dada sahabatnya. “Jadi—kamu berakhir tidur dengan seseorang?”
Anin memejamkan mata sebentar. “Iya.”
“Anin kenapa kamu bodoh sekali—aku sudah melarangmu tapi kamu masih kekeh pergi bersama mereka.” Tidak habis pikir dengan sahabatnya yang percaya saja pada geng yang berisi anak-anak setan. “Aku akan memberi mereka pelajaran karena menjebakmu.” Cleo menggulung lengan bajunya.
“Jangan—Cle. Kita tidak punya bukti. Lebih baik diam saja agar masalah ini tidak sampai ditelinga orang banyak.” Anin juga bingung menghadapi situasi seperti ini—ia tidak ingin bertemu lagi dengan pria yang tidur dengannya.
“Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi—Cle,” pinta Anin.
“Dia di mana?”
“Masih di kamar. Kamarnya di lantai 20.”
“Masih satu jam lagi keberangkatan. Kita berada di lantai paling bawah—kamu punya waktu untuk membersihkan diri sebelum meninggalkan tempat ini.”
Anin mengangguk. Setelah membersihkan diri. Cleo menyuruhnya bertukar style. Gaya pakaian Cleo lebih cenderung tomboy sedangkan Anin lebih feminim. Sekarang Anin menggunakan celana gombrong jeans selutut dan kaos panjang. Menggunakan topi agar pria semalam tidak mengenalinya.
Setelah puas melihat penampilannya—barulah Anin dan Cleo keluar dari kamar. Langsung berjalan keluar hotel. Memasuki Bus dan memilih duduk di bangku paling pojok. Saat melihat geng Vanya masuk—tangan Anin mengepal erat. Demi apapun—Anin tidak akan pernah memaafkan mereka.
Mereka nampak acuh. Sama sekali tidak tergangung dengan tatapan tajam Anin. Mereka memilih duduk di bangku paling depan. Nampak berbincang dan tertawa dengan keras seperti tidak terjadi sesuatu. ‘Kalian masih bisa tertawa setelah menghancurkanku—dasar ******,’ umpat Anin dalam hati.
~~
Semua berjalan begitu cepat. Video Anin yang tengah mabuk dan menari dengan seorang pria menyebar diseluruh antero. Mereka yang semula memuja-muja kini berbalik menghujat. Hanya satu kesalahan semua kebaikan selalu terlupakan. Meski menjelaskan jika dirinya dijebak, semua orang juga tidak akan percaya. Mereka hanya akan mempercayai apa yang mereka lihat.
“Diam-diam bergerak jadi ******.”
“Kukira polos ternyata suhu.”
“Malu-maluin lah.”
“Masih punya muka berani ke kampus.”
“Anjay gak tahu malu—kebal mukanya.”
“Jangan-jangan simpenan om-om lagi.”
Begitulah cibiran yang diterima Anin saat berjalan di sepanjang koridor kelas. Menatapnya sinis dan benci. Anin hanya diam berusaha tuli. Masuk ke dalam kelasnya yang telah terisi beberapa Mahasiswa. Ia memilih duduk di pojok dan mengeluarkan tabletnya. Melihat Cleo yang memasuki kelas membuatnya tersenyum. Tapi—apa Cleo mengacuhkannya dan memilih duduk di bangku paling depan.
Anin masih bisa menahan jika semua orang membencinya—namun sekarang sahabatnya juga menjauhinya. Padahal biasanya Cleo menjadi orang yang paling terdepan untuk membelanya. Usai kelas berakhir Anin langsung mengejar Cleo yang pergi ke arah Toilet.
“Cle-“ Anin memanggil Anin yang tengah berkaca. Terlihat Cleo sangat dingin bahkan tidak memperdulikan Anin sama sekali.
“Cle—kamu menjauhiku? Jangan seperti ini Cle—kamu tahu sendiri aku dijebak oleh mereka.” Masih berusaha membunjuk sahabatnya—Anin tidak mau kehilangan Cleo.
Mengambil tangan Cleo lalu menggenggamnya. “Aku minta maaf membuatmu terganggu. Aku janji kamu tidak akan terkena imbas dari beritaku.”
Terdengar helaan nafas panjang dari Cleo. Ia menutup pintu toilet rapat. Setelah itu memeluk Anin erat. “Sorry, Anin. Aku gak bisa deket sama kamu lagi. Orang tuaku tahu video kamu. Mereka larang aku deket sama kamu—kalau aku masih aja temenan sama kamu, mereka bakal kirim aku ke Amsterdam. Aku gak mau—Nin. Sorry.”
Jadi inilah alasan Cleo menjahuinya. Anin mengangguk. Memeluk erat sahabatnya untuk yang terakhir kalinya. Meski tidak rela persahabatan mereka terputus begitu saja—namun ia juga tidak boleh egois. Tidak mungkin membuat Cleo sampai dikirim ke Amsterdam. “Aku gak akan deketin kamu lagi—terima kasih selama ini kamu sudah menjadi sahabat terbaikku. Terima kasih Cleo.”
Perlahan keadaan semakin memburuk. Usaha orang tua Anin mengalami kemunduran. Uang yang diberikan oleh orang tuanya sangat menipis. Tidak seperti biasanya yang sampai tersisa dan bisa ditabung. Menerima dengan lapang dada—Anin menjalani semuanya—berusaha bertahan sampai lulus sampai ia bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri.
“Hueeeek.” Anin berlari ke wastafel. Akhir-akhir ini tubuhnya memang sangat lemas. Indra penciumannya mendadak sangat tajam. Jika mencium bau yang menyengat langsung membuatnya mual.
Berjalan gontai kembali ke kamar. Anin merebahkan dirinya ke kasur. Wajahnya terlihat pucat—ada yang bilang Anin tidak secantik dulu. Tubuhnya kian kurus dan wajahnya tidak sesegar dulu. Anin tidak peduli lagi tentang penampilan. Ia hanya ingin bertahan kuliah sampai lulus.
5 tahun kemudian. Terlihat seorang wanita tengah menikmati sore di balkon Apartemen kecilnya. Menyesap kopi racikannya sendiri. Angin sepoi-sepoi membuat rambut sebahunya bergerak tidak berirama.
Ponselnya berbunyi membuatnya bergegas melihatnya. Jantungnya berpacu dengan cepat. Hingga ia mendapat sebuah notifikasi yang membuatnya berjingkrak bahagia.
“Saudara Anidira Pramesti anda telah diterima menjadi bagian dari perusahaan Rexton. Untuk informasi lebih lanjut kami telah mengirim detailnya.”
“YAAAAAS WOAAAH.” Teriakannya menggema. Tangannya mengepal ke atas. Seminggu yang lalu ia memang melamar di perusahaan Rexton. Memilih hengkang dari perusahaan lamanya—Anin berhasil diterima di perusahaan yang jauh lebih besar.
Untuk posisi yang ia lamar juga sangat pas. Anin berhasil lolos menjadi Staff administrasi di Perusahaan Rexton. Menatap sekali lagi layar ponselnya—mengusapnya dengan sayang. Tidak ingin moment ini berakhir begitu saja Anin akan merayakan keberhasilannya dengan makan bakso sepuasnya.
“Waktunya merayakan kemenangan. Perut udah meronta ingin segera diisi.” Menjadi penggila bakso akut. Akhir-akhir ini ia membatasi diri tidak memakan bakso karena diet agar diterima bekerja. Namun saat sudah diterima tidak ada alasan lagi meneruskan diet. Jadi hari ini adalah waktunya memuaskan diri sendiri dengan makan Bakso.
“Pak Bakso jumbonya satu sayurnya banyakin sama es tehnya satu,” ucap Anin saat sudah berada di kedai Bakso langganannya.
“Kemana aja neng gak pernah ke sini,” tanya penjual Bakso yang hapal dengan Anin.
“Lagi diet, Pak. Tapi sekarang dietnya udah selesai.” Anin terkekeh. Ia memilih duduk di bangku dekat dengan jendela. Melihat jalanan yang masih ramai lalu lalang motor dan mobil. Jakarta memang tidak pernah sepi. Kota metropolitan yang setiap hari sangat sibuk.
“Gak usah diet-dietan neng. Makan bakso tuh bikin bahagia. Selain perut kenyang rasanya juga nikmat,” ujar Pak Marto.
Anin hanya bisa menggeleng. “Bapak bisa aja.”
Pak Marto tersenyum. Menaruh Bakso pesanan Anin di atas meja. Tapi ada sebuah suara yang membuat fokusnya beralih. Di depan ada sebuah gerobak yang terjatuh karena diserempet mobil. Melihat orang-orang yang acuh, Anin berinisiatif membantu.
“Pak tunggu dulu, saya mau lihat.” Anin segera keluar dari kedai. Langsung mendekati seorang laki-laki paruh baya yang duduk lemas setelah jatuh.
Anin melihat dengkul laki-laki berdarah dan gerobak yang berisi barang-barang bekas berantakan. “Bapak gak papa?” tanya Anin.
“Gak papa nak. Perih dikit,” jawab bapak itu.
Seorang pria turun dari mobil. Sepatunya yang mengkilat dapat dilihat Anin saat menunduk mengambil topi bapak itu yang terjatuh. Mendongak—ia langsung dihadapkan oleh pria yang tinggi, tegap dan memakai kacamata. Dengan tangan yang berada disaku membuatnya terlihat sangat arogan.
“Sebaiknya anda membawa bapak ini ke rumah sakit,” ucap Anin. Meski mendengar bapak itu bilang tidak apa-apa. Tapi setidaknya harus mendapat pertolongan.
“Saya tidak punya waktu. Saya akan beri uang untuk pergi sendiri ke rumah sakit,” ucapnya dengan nada rendah.
“Heh gimana sih? tanggung jawab dong, pak. Bawa ke rumah sakit sebentar. Gimana ceritanya abis nyerempet cuma ngasih duit,” sulut Anin tidak terima karena si pelaku penyerempetan tidak mau membawa bapak itu ke rumah sakit untuk berobat.
“Udah gak papa neng. Bapak bisa obatin sendiri,” sela Bapak itu membuat Anin semakin tidak terima karena bapak itu cukup berbaik hati tidak menuntut pertanggung jawaban. Mengeluarkan dompetnya. Pria itu mengeluarkan dua puluh lembar uang berwarna merah.
“Ini, saya harus segera pergi.” Menaruh uang itu di atas gerobak begitu saja. Pria itu langsung berbalik berjalan dan langsung masuk mobil kembali.
“Dasar orang kaya seenaknya. Minta maaf enggak langsung pergi aja. Emang dikira apaan?” omel Anin. Mengambil uang itu dengan kasar. Anin memberikannya pada Bapak yang masih duduk lemas.
“Bapak harus berobat. Luka bapak harus segera dibersihin.” Anin berjongkok. Melihat luka bapak di lutut. Ternyata selain di lutut juga ada di lengan.
“Luka kecil gini gak papa, Nak. Bapak udah biasa,” ucap bapak itu pelan.
“Bapak pergi ke klinik terdekat. Saya pesenin taksi online.”
“Bener apa kata neng Anin, Pak. Lebih baik ke klinik dulu. Gerobaknya biar saya taruh di kedai. Nanti bapak bisa ambil di sini lagi,” ucap Pak Marto yang datang.
“Baiklah.” Akhirnya bapak itu mau dibawa ke klinik.
Mengenai pembayaran taksi Anin telah membayarnya pulang-pergi. Jadi saat bapak itu selesai tidak perlu bingung kendaraan. Usai memastikan bapak itu pergi dengan aman. Anin kembali ke kedai bakso. Mengusap peluhnya yang mengucur akibat terlalu lama dibawah terik matahari.
“Orang kaya tuh seenaknya banget,” lirih Anin yang telah duduk di kursi.
“Gimana lagi neng. Mereka pikir semua bisa diselesaikan pakai uang,”
balas Pak Marto.
Anin setuju. Memasukkan bakso kemulutnya. Dalam hati ia berdoa semoga jangan sampai dipertemukan dengan orang kaya yang seperti itu. Semoga jodohnya kelak orang kaya juga tapi yang baik hati, tidak sombong dan mencintainya dengan setulus hati.
‘loh kok request’ Anin menggeleng. Memang jodoh bisa request?
Pagi hari Anin sudah siap dengan pakaian rapi. Kemeja putih dengan bawahan celana bahan sangat pas di tubuhnya. Memutuskan menggerai rambutnya, Anin terlihat semakin manis. Ia melangkah masuk ke dalam gedung tinggi yang telah menjadi tempatnya bekerja. Senyum merekah yang tak pernah luntur saat ia
menginjakkan kaki di sini.
“Saudara Anindira?” tanya seorang wanita yang seminggu lalu menginterviewnya. Wanita yang mungkin umurnya pertengahan kepala tiga.
“Iya saya,” jawab Anin.
Wanita itu tersenyum. “Selamat bergabung di perusahaan Rexton. Semoga kamu betah. Saya Citra. Saya HRD yang bertugas merekrut Karyawan baru. Saya juga yang bertanggung jawab atas karyawan baru.” Bibirnya yang terbalut lipstik merah itu menyunggingkan senyum.
“Baik—terimakasih telah mempercayai saya.” Anin sedikit menunduk. Terimakasih sekali pada Bu Citra yang memilihnya untuk mengisi lowongan staff di Rexton.
“Saya akan menunjukkan ruangan kamu.”
Anin mengikuti langkah Citra. Ruangannya berada di lantai dua. Berisi dua ruangan yang hanya terisi bagian Administrasi dan Pemasaran saja. Perlahan masuk—ruangan di dalam telah terisi oleh beberapa staff Administrasi yang telah berada di kursinya. Mereka nampak acuh dengan kedatangan Anin.
Tapi memang seperti itu bukan dunia kerja? tidak memandang teman apalagi orang asing seperti dirinya. Anin mengekori Citra yang berjalan di antara bangku-bangku karyawan lain. Hingga terhenti pada sebuah bangku kosong.
“Di sini tempat kamu. Di samping kamu adalah karyawan paling lama—jika kebingungan kamu bisa bertanya padanya,” jelas Citra pada Anin.
Seorang pria muncul dari bilik samping. Tersenyum dengan ramah. “Hai aku David—semoga betah di sini. Jangan sungkan-sungkan bertanya padaku. Aku akan selalu menjawab semua pertanyaanmu—mau itu masalah pekerjaan, kantor ataupu asmara. Aku bisa memecahkan segala permasalahan.”
“Halah moduss,” celetuk Citra membuat David mengedipkan mata.
“Bilang kamu cemburu karena aku tidak menggodamu lagi,” balasnya dengan
percaya diri.
Setelah memutar bola matanya malas—Citra menatap Anin. “Hati-hati banyak Crocodille.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut—Citra memilih pergi. Meninggalkan Anin dan David.
Menaruh tasnya di atas meja. Citra merasa ada yang menatapnya dengan intens. Benar saja sedari tadi—David masih menatapnya. Tatapan intensnya membuat Citra menggaruk tengkuknya kikuk. “Kenapa ya?”
“Tidak.” David menggeleng. “Aku hanya penasaran. Dulu sebelum ke sini kamu bekerja di mana?” seakan ingin mengulik lebih dalam tentang Anin. David ingin tahu dari mana asal Anin sebelum datang ke perusahaan.
“Aku dulu bekerja di Zolla.”
David mengangguk. “Jadi kamu mungkin mengenal Sinta? Rosa? Intan?
Feziya?”
Anin mengerutkan keningnya. Semua nama wanita yang disebutkan oleh David adalah primadona kantor. Empat wanita yang langganan sering diajak ke acara besar kantor. “Woah bagaimana kamu mengenal mereka?”
David mengangguk bangga. Menyugar rambutnya dengan percaya diri. Berpose menunjukkan wajahnya. “Kamu tahu jawabannya.”
Anin tertawa ringan. Kepedean seorang David membuatnya terhibur. Namun tak lama senyumnya hilang saat ada seorang wanita membanting tumpukkan dokumen ke atas mejanya.
“Bukan waktunya ngobrol apalagi ketawa ketiwi. Tiga puluh menit lagi dokumen ini harus sudah berbentuk salinan di komputer. Tidak ada kata terlambat—satu detik pun aku tidak mentolerirnya.” Usai mengatakan hal tersebut dengan nada yang menusuk, wanita yang menggunakan pakaian minim itu pergi. Masuk ke dalam sebuah ruangan yang di depannya bertuliskan. ‘Kepala Devisi Adiministrasi.’
“Rania—kepala Devisi Administrasi. Tingkahnya emang seenaknya. Dia adalah alasan kenapa orang yang kau gantikan keluar. Dia tidak sanggup menghadapi Rania seperti macan yang selalu lapar ingin memakan orang,” jelas
David.
Anin menghela nafas. Hanya begini saja tidak akan membuatnya menyerah. Mungkin Rania akan berubah
seiringnya waktu. Positif thingkin aja dulu, ya walaupun hasilnya juga tidak pasti. Anin berusaha secepat mungkin mengerjakan tugasnya. Setelah selesai—Rania langsung memberinya tugas lagi dan lagi. Seperti sedang diospek, demi apapun Anin sangat kelelahan sampai pada jam makan siang.
“Kudengar akan ada pesta,” ucap David saat berjalan bersama Anin menuju
Kafetaria kantor.
“Pesta?”
David mengangguk. “Pesta Anniversarry pernikahan CEO yang ke-dua. Biasanya sih yang diundang seluruh kepala Devisi—kita yang rempahan kayak gini gak mungkin lah diundang.”
“Aku tidak tahu CEO perusahaan ini,” balas Anin. Mereka mengambil tempat makan dan mulai mengantre.
“Orangnya misterius. Gak kecium media luar sama sekali. Tapi seluruh karyawan lama-kelamaan bakal ketemu—soalnya beliau sering banget mantau kegiatan per Devisi secara langsung. Contohnya rapat tiap beberapa bulan sekali, biasanya per Devisi ada jadwal buat evaluasi langsung sama CEO.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!