Ini bukan Bima!
Aska melepaskan tangan dingin itu, ia berpaling untuk menatap Raka. Kemudian kembali memandang jasad dihadapannya, melihat lebih seksama. Kini dia semakin yakin, ini bukan tubuh Bima.
“Ini bukan Bima," desisnya.
Raka dan para petugas menatapnya keheranan.
“Raka, ini bukan Bima.”
Raka meraih tangan Aska untuk menenangkannya. “Aska, aku tahu kamu kaget. Kita semua belum bisa menerima kepergian Bima, tapi kita harus tabah," ujarnya.
Aska menggeleng cepat. “Raka, ini bukan Bima. Bima masih hidup. Kamu harus percaya sama aku.”
"Apa maksudmu?"
"Bima selalu memakai cincin yang sama. Dia tidak pernah melepasnya," tunjuk Aska pada cincin perak yang telah bertahun-tahun melingkar di jarinya. "Lihat ini, bahkan tidak ada tanda apapun di jari ini," alihnya pada jari di tubuh yang di identifikasi sebagai Bima. Tidak ada cincin ataupun jejak melingkar di jari itu.
Aska sempat menyarankan Bima untuk melepaskan cincin itu karena bentuk jari tengahnya yang tampak lebih kecil dibandingkan jari lainnya, efek tekanan dari cincin yang melingkar erat di jarinya. Lagipula sudah waktunya bagi mereka melepas cincin itu, mengingat sebentar lagi Bima dan Angel akan bertunangan.
Namun Bima menolak keras bahkan mendiamkan Aska selama sebulan. Bima marah karena menurutnya Aska melupakan arti dari cincin yang mereka kenakan. Cincin itu adalah hadiah Aska di hari ulang tahun ke tujuh belas Bima, saat itu mereka merayakan ulang tahun keduanya yang hanya berselang satu hari. Aska ditanggal 11 dan Bima 12. Bima menangis haru dan berjanji tidak akan pernah melepas cincin tanda persahabatan mereka. Jadi Aska sangat yakin, Bima tidak akan pernah melepaskan cincin itu.
Raka terdiam. Dia tahu apa yang di maksud Aska. Cincin perak dengan bingkai garis halus. Dibalik cincin terukir kalimat Aska & Bima selamanya. Beberapa hari yang lalu Bima sempat cerita, Angel memintanya untuk melepaskan cincin itu dan menggantinya dengan cincin yang telah dipersiapkan untuk pertunangan mereka.
"Mungkin Bima melepas-nya."
Aska menggeleng keras. "Bima tidak akan pernah melepas-nya. Itu janji yang akan selalu kami jaga," katanya yakin.
“Aska, kumohon tenangkan dirimu. Biarkan Bima pergi dengan tenang," Raka meninggikan suaranya, ia mulai kesal dengan tingkah Aska. Dia menganggap wanita itu terlalu terpukul hingga bersikap kekanak-kanakan.
Aska mengernyit. Pergi dengan tenang?! “
Bima masih hidup!” Sentaknya marah. Aska sangat yakin sahabatnya masih hidup. Dia orang yang paling mengenal Bima bahkan melebihi ibu yang melahirkan lelaki itu. Dia yakin 100% kalau jasad yang terbujur kaku itu bukanlah Bima.
“Aska," Rena masuk bersama Nirmala karena mendengar suara ribut dari dalam ruangan.
“Ma, Bima masih hidup," buru Aska mencari pembenaran, ia memegang lengan Rena untuk menyakinkannya. Tapi hanya raut wajah kosong dan kecewa yang ditampilkan wanita itu.
“Bima masih hidup!” teriak Aska. Dia mengacak rambutnya putus asa, bingung bagaimana cara menyakinkan orang-orang.
Raka dan beberapa orang petugas rumah sakit memegangi kedua tangan Aska menyeret tubuh wanita itu keluar dari ruangan. Sekuat tenaga Aska meronta sambil meminta Rena mendengarnya.
...***...
"Mama harus percaya sama Aska. Mayat itu bukan Bima. Aska yakin Ma. Tolong batalkan pemakaman ini. Mama Rena harus minta polisi buat otopsi," pinta Aska.
Berkali-kali dia mencoba untuk meyakinkan Rena kalau jasad yang sekarang terbaring diruang duka bukanlah Bima, anaknya. Meskipun tanpa bukti, Aska sangat yakin kalau mayat itu bukan sahabatnya.
"Cukup Aska!"
Agus menarik putrinya menjauh dari Rena. Wanita itu sudah cukup terpukul karena kepergian putranya. Sikap Aska hanya menambah kesedihannya. "Sudah cukup Aska, polisi sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dan mereka menyakinkan kalau itu benar jasad Bima," tegas Agus.
"Tapi Pa, itu bukan Bima. Mereka pasti salah!" Jerit Aska.
Aska kehabisan cara untuk menyakinkan semua orang. Dia pun lelah, sedih dan putus asa. Aska mencoba sangat keras menerima kenyataan ini tapi hatinya tetap menyangkal.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi Aska dan Bima. Keduanya menghabiskan setiap detik dan menit bersama. Bagi Aska, Bima itu lebih dari sekedar teman, sahabat, bahkan keluarga. Bima lebih dari itu. Setiap hal tentang Bima terekam jelas di ingatan. Aska bisa membedakan derap langkah, suara, bahkan aroma tubuh sahabatnya.
"Cukup Aska. Lebih baik sekarang kamu pulang. Mama ngak mau liat kamu disini sekarang dan berhentilah bersikap kekanak-kanakan," usir Rena dengan suara bergetar.
Aska tercengang, dia tidak pernah melihat wajah Rena yang marah padanya. Bahkan saat Aska menyebabkan pergelangan kaki Bima patah, Rena tidak marah padanya. Wanita itu tetap tersenyum sambil mengelus rambutnya.
Aska mendesah lelah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sekeras apapun Aska mencoba menyakinkan, mereka tetap pada pendiriannya. Dia menyeret langkahnya keluar dari rumah Bima. Tidak sedikitpun matanya menoleh untuk melihat jasad yang terbaring kaku diruang duka. Aska melewatinya diiringi tatapan heran dari para pelayat yang duduk mengelilingi jasad itu.
...***...
Aska mengurung diri didalam kamar, menenggelamkan tubuhnya dibalik selimut. Dia melewatkan acara pemakaman jasad yang diyakini orang-orang sebagai Bima. Nirmala dan Agus memaksanya hadir di pemakaman, tapi Aska menolak tegas. Sampai kapanpun Aska tidak akan pernah percaya bahwa yang terkubur dibawah pusara dengan nisan bertuliskan nama “Bima Ramadhan” adalah sahabatnya. Entah jasad siapa yang terbaring di sana diiringi tangisan kehilangan oleh orang-orang yang mencintai Bima.
Sederet pertanyaan terus muncul di benak Aska. Jika dia sangat yakin bahwa jasad itu bukanlah Bima. Kenapa jasad itu bisa ditemukan didalam mobil Bima dengan kondisi jasad yang rusak parah. Apa untuk menyulitkan polisi dalam mengindentifikasi identitas korban. Lalu, kenapa mereka dengan mudah menyimpulkannya sebagai Bima?
Aska bangkit dari ranjangnya, meraih ransel dan jaket. Dia mendesah pelan begitu melihat pantulan wajahnya di cermin, kusam dengan mata sembab akibat menangis sepanjang malam. Aska turun dari tangga dengan langkah terburu-buru tanpa menyadari Papa yang duduk diruang tamu tengah memperhatikan setiap gerakannya.
“Aska, mau kemana?”
Aska berpaling, kaget melihat Papa. “Keluar Pa, cari udara segar," sahutnya datar.
“Sini,” Papa melambai, meminta Aska menghampirinya. “Duduk. Papa mau ngobrol."
Dengan enggan Aska mendekat dan duduk di sofa yang letaknya paling jauh hingga memberikan jarak yang cukup untuk menghindari kontak mata langsung. Hubungannya dengan sang Ayah tidak terbilang harmonis meskipun keduanya berusaha keras membuat ikatan Ayah dan anak yang renggang ini tidak terlihat terlalu jelas dihadapan orang lain.
“Kamu baik-baik saja?” Agus mengamati perubahan ekspresi putri semata wayangnya.
Aska terdiam sesaat. “Baik,” gumamnya pelan.
“Lebih baik kamu istirahat di rumah saja sampai kondisi mu sehat.”
Aska mengernyit. “Papa tidak berpikir seperti orang lain, kalo Aska gila 'kan?” desisnya kecewa.
Agus sadar, dia baru saja menyinggung perasaan putrinya. “Bukan begitu sayang, Papa hanya mempertimbangkan kesehatan mu.”
Aska berdecak kesal. “Aska baik-baik saja, cukup waras hingga saat ini," sentaknya marah dan memilih pergi tanpa mau mendengar penjelasan apapun.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Cia_Ganteng
Thor saran ku nih yah,perbaiki lagi yah paragraf tulisannya agak di kasih jeda gitu,bukan apa sih cuman untuk mempermudah pembaca nya biar gak lari😁🙏
2022-09-21
2