Putus Asa

Aska menghela napas berat dihadapan pusara bertuliskan Bima Ramadhan. Matanya menatap nanar kearah gundukan tanah merah yang masih diselimuti taburan bunga segar. Pasti beberapa orang datang untuk melayat. Bima dikenal sebagai pribadi yang ramah dan baik sehingga banyak orang menyukainya. Pasti diantara orang-orang yang menabur bunga merupakan para guru dan murid di sekolah tempat Bima mengajar.

Dalam diamnya, Aska mengumamkan sebait doa untuk siapapun yang ada dibalik pusara itu dan mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan.

Dimana Bima?

...***...

Satu jam setelah meninggalkan area pemakaman, Aska berdiri di seberang jalan raya, memandang jauh ke tempat dimana lokasi kecelakaan Bima terjadi. Begitu turun dari bus, entah mengapa semangat yang tadinya begitu berapi-api seketika padam. Ketakutan merayapi hati Aska, membuatnya ragu untuk melangkahkan kaki.

Aska memaksakan kakinya mendekati police line yang masih melingkupi tempat itu. ia mengangkat tali itu dan masuk kedalamnya. Tidak ada apapun ditempat ini, normalnya jalan buntu. Area ini hanya dijadikan tempat berjualan bagi pedagang kaki lima ataupun rest area dihari-hari libur. Mengherankan bila tiba-tiba mobil Bima ditemukan terbakar di ruas jalan ini, menginggat daerah ini cukup jauh dari kawasan perumahan Bima dan Aska.

Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?

Aska memperhatikan ke sekeliling, mencari sisa-sisa petunjuk yang luput dari pantauan polisi. Aska bingung kemana lagi harus mencari Bima, semua rumah sakit di kota ini sudah ditelusurinya namun tidak ada sedikitpun jejak keberadaan Bima yang ditemukannya. Aska memperhatikan aspal yang masih menghitam akibat kebakaran yang terjadi. Airmata seketika mengalir membuat pandangan Aska menjadi buram. Ia membayangkan rasa sakit dan penderitaan jasad didalam mobil itu. Sendirian menghadapi ajal, panasnya api yang membakar seluruh tubuh turut dirasakan pula membungkus tubuh Aska dalam bentuk peningkatan suhu tubuhnya.

Aska terperanjat saat merasakan sebuah tepukan halus di bahunya. Ia segera berpaling dan menatap sosok yang berdiri disampingnya.

Hervi Nugroho, polisi yang menangani kasus Bima, tengah menatap Aska dengan raut prihatin yang terpancar dibalik bola mata gelapnya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Aska. Ia menyeka jejak airmata di pipinya.

Hervi mengangsurkan sebuah sapu tangan berwarna putih.

“Sama sepertimu. Melihat lokasi kejadian," sahutnya datar.

Sebenarnya Hervi baru saja menyelesaikan sebuah kasus di dekat tempat ini, dalam perjalanan pulang dia melihat Aska berdiri di persimpangan jalan menatap lurus ke sudut jalan buntu. Hervi mengerti apa yang membuat wanita itu selama tiga jam berdiri seperti patung dengan tatapan kosong.

Sejak pertemuan pertamanya dengan Aska, Hervi seolah tidak bisa melupakan kata-kata wanita itu. Hervi memang merasakan beberapa kejanggalan dalam kasus ini tapi dia tidak dapat menyusuri lebih jauh saat kepala bidang memerintahkannya untuk menutup kasus ini sebagai kecelakaan biasa.

"Apa yang kamu temukan?" Tanya Aska. Ia sangat berharap polisi dihadapannya bisa membantu Aska menemukan sahabatnya. Namun hanya gelengan lemah yang Aska dapatkan. Membuatnya mendesah, kembali menatap aspal hitam.

...***...

Aldi menarik kopernya dengan kasar. Telepon singkat dari ibu membuatnya tergesa-gesa kembali ke Indonesia. Dia meninggalkan riset yang tengah dikerjakannya dan segera terbang dengan jadwal penerbangan pertama dari Jerman. Ibu hanya mengabarkan tentang meninggalnya Bima tapi dari suaranya Aldi tahu, sesuatu telah terjadi di rumah dan itu pasti berhubungan dengan Aska. Tidak ada yang bisa membuat ibu bersedih selain Aska.

Gadis itu selalu berhasil membuat ibu menangis sendirian pada malam hari disaat semua orang tertidur. Aska juga bisa membuat ibu marah seharian hanya karena kenakalannya di sekolah. Aska membuat Ibu kandungnya menderita tapi Aldi tidak dapat membenci dan mengabaikan gadis itu. Semua orang tidak bisa melakukannya karena mereka sadar Aska melakukan itu semua bukan karena niatnya untuk bersikap jahat. Gadis itu hanya menunjukkan sikap pemberontakan untuk menarik perhatian Ayahnya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.

Setelah hidup bersama, Aldi menyadari bagaimana sifat Aska yang sebenarnya. Dari kecil, gadis itu hidup sendirian, makan makanan instan dan mengisi harinya dengan duduk di depan televisi, beralih dari satu channel ke channel lainnya dari pagi hingga menjelang waktu tidur. Kehilangan pelukan seorang ibu dan kasih sayang seorang ayah di umur balita membuatnya menjalani hari-hari dalam kesepian. Aldi yakin, dia pun tidak akan pernah sanggup bila harus mengalami hal yang sama.

Meski tidak pernah mengenal sosok Ayah, Aldi masih merasa cukup beruntung. Dia mempunyai Ibu yang selalu ada untuknya, menyayanginya melebihi apapun di dunia ini. Semua itu cukup untuk membuatnya menjadi anak yang paling bahagia tapi Aska berbeda, gadis itu tidak punya siapapun disisinya, hidupnya suram dan sepi. Setelah bertemu Bima, Aldi baru bisa melihat perubahan pada adik tirinya itu. Aska mulai bersosialisasi dengan lingkungan luar, tiba-tiba saja sekolah menjadi kegiatan yang disukainya. Perlahan mulai berbicara pada ibu meskipun hanya beberapa patah kata tanpa menyadari bahwa hal itu mampu membuat ibu sangat bahagia.

Begitu mendengar kabar meninggalnya Bima, hal pertama yang dipikirkan Aldi adalah Aska. Sanggupkah dia menerima kenyataan ini?

“Ma?” Aldi berkeliling ke seluruh rumah mencari ibunya. Begitu turun dari taksi, dia mendapati pintu depan terbuka dan tidak seorangpun menyahut panggilannya.

“Ma.”

Aldi berjalan ke taman belakang, tempat favorit ibu. Wanita yang sangat disayanginya itu betah menghabiskan waktu berlama-lama di sana, bersama beraneka ragam bunga yang ditanamnya sendiri.

“Ma,” Aldi tersenyum, mendekati Ibu yang tengah menganti potbunga krisan. Dia memindahkan tanaman itu ke dalam pot yang lebih besar.

Nirmala berbalik, terkejut melihat putranya. Tidak pernah menyangka Aldi akan muncul dihadapannya, pemuda itu tidak mengatakan apapun di telepon terakhir mereka.

“Al, kenapa kamu pulang?”

“Mama tidak senang liat aku pulang?” tanya Aldi lirih, berpura-pura memasang wajah sedih.

Nirmala terkekeh kecil menanggapi sifat humoris putranya yang tidak pernah berubah. Dia memeluk putranya erat. Dua tahun waktu yang cukup lama bagi keduanya hidup di dua benua yang berbeda. Meskipun video call dilakukan setiap hari, Nirmala tetap merasakan kerinduan yang sangat mendalam pada putra kandungnya.

“Mama sangat senang sayang," ucapnya setelah melepaskan pelukan.

Aldi memperhatikan wajah ibunya. Wanita itu terlihat lelah dengan beberapa kerutan menghiasi wajahnya. “Kapan terakhir kali ibu tidur?” tanyanya cemas.

“Wajah ibu penuh keriput dan mata, oh liat! Mata ibu seperti panda," lanjutnya semakin mengoda Ibunya.

Nirmala menyentuh pipinya dengan kedua telapak tangan. “Apa ibu keliatan tua?”

“Tentu saja. Kalau begini Papa pasti akan berpaling pada wanita yang lebih muda. Ayo, ibu harus segera ke salon untuk masker emas.”

Aldi merangkul ibunya mengajaknya masuk kedalam rumah. Nirmala terkekeh mendengar gurauan putranya. Dia mengikuti Aldi yang berjalan menuntunnya.

Aldi duduk di meja makan sedangkan ibu sibuk menyiapkan makanan. “Bu, bagaimana keadaan Aska?” tanyanya perlahan.

Nirmala meletakkan secangkir kopi, kemudian duduk didepannya. Di menghela napas berat, “Buruk Al, sampai sekarang Aska tidak mau keluar dari kamarnya.”

“Sudah berapa hari?”

“Lima.”

“Lima hari, Ma?” serunya kaget. Dia meletakkan sendok kembali ke piring. “Apa dia turun untuk makan?” tanyanya memastikan.

Nirmala menggeleng lemah. “Aska tidak pernah keluar sejak pulang dari kantor polisi.”

“Buat apa dia ke kantor polisi?”

Nirmala menggeleng lagi. Dia benar-benar tidak tahu apapun yang dilakukan ataupun dipikirkan Aska. Terakhir kali Nirmala bicara pada Aska sebelum pemakaman, setelah itu keduanya bahkan tidak pernah bertatap muka.

“Kita harus memaksanya keluar untuk makan, Ma," ujar Aldi serius. Dia menyisingkan kedua lengan baju keatas, “Mama masih simpan kunci cadangan kamar Aska?”

Nirmala mengangguk. Dia segera bangkit mencari kunci cadangan di laci lemari ruang tengah. Keduanya naik ke lantai atas, berdiri didepan kamar Aska. Aldi mengambil kunci ditangan ibunya, memasukkannya ke lubang pintu dan perlahan memutarnya. Pintu terbuka pelan begitu kenop pintu diputar. Aldi melangkah masuk diikuti ibunya. Nirmala menghampiri ranjang tapi Aska tidak ada di sana, gadis itu tidak ada di manapun.

Aldi membuka pintu kamar mandi dan kaget melihat Aska duduk disudut ruangan dengan air dari shower menguyur seluruh tubuhnya. Aldi segera mendekati adiknya, menguncang tubuh dingin nyaris beku itu. Aska tidak bereaksi, dia duduk menekuk tubuhnya dengan memeluk lututnya. Aldi meraba leher Aska mencari denyut nadinya, detaknya terlalu lemah. Dia segera mengendong Aska sambil meminta Ibu segera menghubungi ambulan.

...****************...

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!