Maaf Aku Mencintaimu, Teman!
Prolog
"Bima, aku janji akan selalu menjaga mu.”
Jari kelingking kecil saling bertaut membentuk jalinan ala pinky swear, janji sepasang sahabat.
Gadis berseragam merah putih dengan potongan rambut bulat gaya bob, bibirnya merekah memamerkan barisan gigi mentimun yang tersusun rapi. Dia menepuk pelan pundak sahabatnya.
Bima menatap haru sahabatnya, Aska. Gadis yang telah ia anggap saudara yang tidak pernah dimilikinya.
“Aku juga janji. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama," balasnya. Suaranya berubah riang sembari mengusap jejak airmata di pipinya. Kesedihan yang sempat menggelayuti hatinya seketika menguap. Janji yang dilupakan oleh sang ibu terganti dengan janji manis yang diucapkan gadis kecil yang selalu setia disisinya.
...***...
Aska menyisir rambut sebahunya dengan jari, ia menghela nafas sejenak untuk melepaskan penat setelah seharian berkutat dengan tumpukan kertas. Matanya menyusuri kertas kir dihadapannya, memperhatikan setiap detil dari sketsa yang baru saja selesai dikerjakannya. Finish!
“Aska, Pak Edgar mau bicara dengan mu,” Ela menerobos masuk ke ruangan bos-nya dengan wajah panik, deadline dari beberapa pekerjaan yang semakin dekat membuat semua karyawan mulai kehilangan akal.
Aska mendesah kesal. Ia baru saja berniat istirahat tapi begitu melihat Ela muncul dari balik pintu, seketika kata istirahat yang sangat diinginkannya menguap di telan kabar buruk.
“Ada masalah?”
Ela mengangkat bahunya sebagai pertanda tidak tahu. "Dia tidak mengatakan apapun."
"Ah ya, dia menunggu jawaban mu di line tiga," tunjuk Ela ke telepon diatas meja kerja Aska.
“Baiklah," putus Aska dengan berat hati. "La tolong panggil anak kreatif ke sini. Ada yang harus aku diskusikan dengan mereka," perintahnya sebelum Ela menghilang dibalik pintu.
Aska menarik napas dalam lalu menghembuskan perlahan. Ia butuh persiapan untuk menghadapi Edgar yang terkenal sebagai klien paling sulit diatasi.
“Selamat siang Pak,”
Aska mengerutkan keningnya. Sial! Batinnya kesal. Begitu mendengar suara Aska, laki-laki bawel itu langsung melancarkan berbagai keluhan.
“Baiklah. Saya akan mengirimkan petugas terbaik untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.” Aska mengatur nada suaranya agar tetap terdengar tenang. Dia mencengkeram erat gagang telepon ditangannya hingga benda berlapis plastik itu nyaris retak.
Aska menutup telepon dengan kasar. Kalau bukan karena proyek besar, aku pasti segera memutuskan kontrak dengan laki-laki bawel itu, rutuknya kesal. Suara ketukan pintu menyadarkan Aska dari segala umpatan yang bergumam dalam otaknya. "Masuk.”
“Siang bos, Ela mengatakan anda memanggil saya.”
Aska memperhatikan Rudi, salah satu karyawan kepercayaannya, “ya, duduklah.”
“Pak Edgar mengajukan beberapa komplain tentang hasil dekorasi. Kamu harus menanganinya langsung, jangan mengirimkan junior," tutur Aska.
Rudi mengangguk cepat.
“Lalu yang ingin aku bicarakan adalah proyek Singapore Park. Kamu bisa langsung memulai kerja sama dengan para konsultan. Tapi ingat, ini project besar. Pastikan semuanya berjalan lancar.”
Rudi mengangguk lagi. Dia cukup tahu reputasi bos-nya sebagai perfeksionis dalam menangani setiap pekerjaan.
“Kalau ada masalah, segera laporkan padaku. Kamu boleh pergi.” Aska menutup diskusi sepihak-nya dan beralih kembali menatap laptop. Barisan pekerjaan masih mengantri untuk segera diselesaikan.
Rudi mengangguk pelan dan segera beranjak, langkahnya setengah berlari saat menyusuri lantai dan dengan cepat menutup pintu ruangan bertuliskan CEO.
INFINITY Design and Décor dibangun di tahun ketiga setelah Aska menetap di Singapura. Diawal karirnya Aska memilih untuk mengejar pengalaman di salah satu perusahaan kontruksi terbesar di negara ini. Saat di berada di puncak karir, Aska tersadar bahwa dia tidak bisa meneruskan pekerjaan yang bertentangan dengan jalur minatnya. Keputusan untuk resign dan membangun sebuah biro konsultan arsitektur dari nol jelas menjadi bahan cemoohan di kalangan para arsitek sukses lainnya.
Aska dianggap terlalu bangga diri dan ceroboh. Menurut mereka tidak semua orang bisa membangun perusahaan dan menjadi sukses. Sayangnya apa yang mereka pikirkan salah. Jalan Aska menuju kesuksesan terbilang cukup mulus. Reputasinya yang telah dibangun sejak awal sebagai arsitek berbakat ditambah latar belakang pendidikan dan nama besar sang Ayah yang notabene merupakan pemilik perusahaan konstruksi besar di Indonesia membuat Infinity bergerak cukup cepat menguasai pasar design interior.
Aska melirik ponselnya yang kembali berdering, sepanjang hari ini beberapa panggilan masuk terus-menerus menganggu pekerjannya. Begitu melihat nama "Tante Nirmala" di layar, Aska memilih melanjutkan pekerjaan. Dia yakin, ibu tirinya hanya akan menanyakan jadwal kepulangannya ke Indonesia dalam rangka persiapan pernikahan Aldi - saudara tirinya. Semenjak menetap di Singapura, Aska jarang pulang ke rumah orangtuanya di Indonesia. Terakhir kali dia menginjakkan kakinya di rumah satu tahun yang lalu, itupun terpaksa karena Papa mengancam akan menyeretnya pulang kalau tidak melihat batang hidungnya di momen ulang tahunnya.
Panggilan masuk disusul pemberitahuan lowbat kembali menghiasi layar, sepertinya smartphone itu mulai lelah berkedip dan bergetar memberitahukan pemiliknya agar mengangkat panggilan masuk. Kali ini Aska mengalah, dia melepaskan pekerjaan dan meraih ponselnya.
“Aska, akhirnya kamu jawab juga. Kamu harus cepat pulang," seru Nirmala cepat begitu Aska menerima panggilan.
Aska mendesah malas. “Tan, aku masih banyak pekerjaan. Lagipula bulan depan aku pulang,”
“Aska, Bima meninggal! Kamu harus pulang sekarang," potong Nirmala, kali ini dia mengeraskan nada suaranya bersama isak pelan diantara kalimatnya.
Aska terdiam. Otaknya sedang memproses setiap kata yang baru saja didengarnya.
Bima? Meninggal?
“Tante tidak bercanda kan?” tanyanya ragu. Ia sangat berharap kali ini Nirmala hanya bercanda sebagai alasan untuk memaksanya pulang lebih cepat.
“Cepat pulang Aska, kami menunggu mu sebelum pemakaman Bima.”
Nirmala menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Aska. Nirmala yakin, Aska akan segera pulang. Nama Bima jauh lebih berharga bagi Aska dibandingkan orang lain di dunia ini.
Tubuh Aska bergetar, dia menekan angka satu berkali-kali di layar ponselnya, panggilan cepat yang disambungkan langsung ke nomor ponsel Bima, beberapakali mencoba tidak satupun tersambung. Aska terdiam sesaat sebelum mengangkat gagang telepon di mejanya.
"La pesan tiket ke Jakarta sekarang juga," perintahnya tanpa menunggu jawaban dari balik telepon.
Ela setengah berlari masuk ke ruangan CEO. “Kenapa?” tanyanya panik begitu melihat wajah pucat Aska.
“Kamu handle semua pekerjaan. Aku harus segera ke Indonesia," Aska membereskan barangnya tanpa tahu apa saja yang masuk ke dalam tasnya.
“Ada apa?” Ela semakin panik melihat tangan Aska yang bergetar. Apalagi melihat wanita itu tanpa sengaja menumpahkan kopi diatas kertas gambar yang baru diselesaikannya.
“Aska! Tenangkan dirimu. Apa yang terjadi?” Ela menarik lengan Aska, mengiringnya duduk di sofa terdekat. “Coba tenanglah, ceritakan padaku.” Ela kaget melihat bulir airmata mengalir dikedua pipi Aska, dia tidak pernah melihat wanita itu menangis.
“Bima, Bima,” gumam Aska dengan suara bergetar. “Bima meninggal.”
“Ya tuhan!” Ela tercekat. Kini dia tahu apa yang menyebabkan Aska begitu panik.
“Bima, dia meninggalkanku," gumam Aska lagi disela isak.
Ela menatapnya sedih, dia tahu betapa dekatnya hubungan antara Aska dan sahabat kecilnya Bima. Mereka tumbuh bersama layaknya saudara kembar yang tidak terpisahkan. Bila Aska bersedih, Bima akan ikut bersedih. Begitu pula sebaliknya.
“Aku akan carikan penerbangan sore ini. Lebih baik kamu istirahat sebentar sebelum ke bandara," ujarnya sebelum meninggalkan Aska.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments