Keraguan

Berkat koneksi Ela, Aska berhasil duduk di pesawat tepat jam empat sore untuk terbang ke Indonesia. Didalam pesawat, Aska tidak bisa berhenti memikirkan sahabatnya. Dalam video call terakhir, Bima terlihat baik-baik saja, masih ceria dan bawel seperti biasanya. Durasi dua jam pembicaraan mereka di isi dengan celoteh Bima tentang kehidupan sekolah dimana dia mengajar, deretan surat cinta yang diterimanya, ditambah berbagai petuah agar Aska sering pulang ke rumah untuk mengunjungi orangtuanya, dan tak lupa peringatan untuk mengurangi konsumsi kafein dan alkohol.

Satu-satunya yang membuat Aska terusik hanya hubungan Bima dengan wanita bernama Angel. Untuk beberapa alasan Aska tidak menyukai wanita yang telah dipacari Bima selama dua tahun belakangan ini. Aska merasa wanita itu palsu, wanita itu hanya bersikap manis didepan Bima dan orang sekitar. Saat bersama Aska, Angel cenderung menunjukkan sifat aslinya. Arogan dan murahan, Itu yang bisa dipikirkan Aska tiap kali mendengar nama Angel dari mulut Bima.

Begitu pesawat take off, Aska mencoba memejamkan matanya. Penerbangan ke Indonesia memakan waktu sekitar tiga jam, tidur adalah satu-satunya cara menenangkan dirinya sejenak. Perlahan kantuk membawa Aska ke alam mimpi, dimana pertemuan pertamanya dengan Bima.

“Hei bocah, berikan kami uang," perintah Gery, bocah laki-laki bertubuh tambun. Wajahnya sengaja menggerut, dibuat agar tampak se-kejam mungkin untuk menakuti mangsanya.

Bersama dua temannya, Gery memaksa bocah kurus memakai kacamata tebal untuk menyerahkan uang jajannya. Sebagai senior kelas enam yang terkenal kejam, Gery ditakuti oleh seluruh juniornya di sekolah.

Anak laki-laki yang menjadi target Gery mengerang pelan, cekalan tangan Gery di kerah seragam putih merah membuatnya susah bernapas. “Jangan,” mohonnya dengan suara tercekat.

“Cepat!” sentak Gery mulai tidak sabar. Dia mencubiti perut bocah dalam cekalannya.

Bocah itu meringis kesakitan. Ketiga pelaku yang menawannya tertawa, mereka merasa diatas angin. Bocah malang itu tidak pernah menyangka, dihari pertamanya menginjakkan kaki di sekolah baru ia harus mengalami tindakan bully.

“Hoi, ngapain kalian?!” suara nyaring melengking mengalihkan perhatian ketiga bocah nakal itu.

Ditengah ketakutannya, bocah kurus turut memandang kearah datangnya suara. Dia tidak menyangka seorang gadis seumurannya berdiri dengan wajah sangar menantang para seniornya.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya seiring dengan teriakan keras dan panjang.

“Bu Guru! Gery menganggu murid lain," pekiknya.

Nyaris memekakkan telinga keempat bocah laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.

Begitu mendengar suara langkah orang dewasa mendekat, seketika ketiga anak nakal melepaskan sandera-nya dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

Gadis berambut pendek mendekati bocah malang yang duduk sambil meringis kesakitan.

"Hei, kamu baik-baik saja?”

Bocah itu mengangkat wajahnya memandang gadis manis dengan lesung di pipi kirinya tengah menatapnya menunggu jawaban. Dia mengangguk pelan.

“Te-terima kasih," ucapnya ragu. Entah mengapa ia merasa aura gadis ini lebih menyeramkan dibandingkan bocah-bocah nakal yang merudungnya.

“Namaku Aska, kamu?” gadis itu meraih tangan bocah dihadapannya sambil memasang senyum semanis mungkin.

“Bi, Bima," sahut Bima terbata-bata. Ia menunduk takut.

“Oke Bima. Mulai sekarang kita sahabat. Tenang saja, aku akan selalu melindungi mu," Aska tersenyum riang sambil menggoyang jemari yang saling bertautan.

Begitu keluar dari gate kedatangan, Aska mengedarkan pandangannya ke segala arah. Mencari sosok Raka yang datang untuk menjemputnya. Raka adalah salah satu teman yang dekat dengan Bima. Keduanya kuliah di jurusan yang sama dan mengajar di sekolah yang sama pula. Bima sering memaksa Aska untuk berkumpul bersama teman-temannya setiap kali Aska pulang ke Indonesia. Bima tidak memperdulikan protes Aska maupun sikap canggung teman-temannya akan kehadiran Aska yang pada dasarnya sulit untuk bergaul dengan orang lain.

“Aska!” panggil Raka begitu melihat Aska. Dia melambai dari balik pagar pemisah.

Aska segera berlari mendekatinya. Tanpa banyak bicara keduanya langsung keluar dari bandara menuju parkiran. Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam, berkutat dengan pikiran masing-masing.

...***...

Raka menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah sakit swasta. Aska mengernyit heran, namun dia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. Aska memilih tetap diam mengikuti langkah Raka masuk ke dalam rumah sakit menuju sebuah ruangan yang ternyata kamar mayat. Didepan ruangan Rena - ibu Bima duduk dengan wajah duka didampingi Nirmala.

“Ma,” sapa Aska begitu berdiri cukup dekat, ia memperhatikan wajah Mama Rena. Matanya sembab dan merah. Pasti wanita ini menangis sepanjang hari. “Mama Rena,” panggilnya lagi.

“Aska, Bima sudah pergi," rintih Rena. Entah ke berapa kalinya dalam sehari ini dia menyebut nama anaknya hingga suaranya berubah serak dan kasar.

Aska mengangguk. Perlahan airmata kembali mengalir dari sudut matanya. Aska cepat-cepat menghapusnya ketika menangkap kode dari Nirmala yang menggeleng meminta Aska untuk tidak menangis. Aska mengerti, saat ini yang harus dilakukannya adalah bersikap tegar didepan Mama Rena. Bagaimanapun dukungan dari orang-orang terdekat yang bisa menguatkan wanita itu.

“Ka, kamu mau masuk?” tanya Raka.

Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar mayat. Pasti didalam sana dia menangis, terlihat jelas dari matanya yang sembab.

Aska mengangguk dan kembali mengikuti langkah Raka memasuki ruangan bersuhu dingin. Puluhan laci besi berukuran besar tersusun merapat ke dinding, mengelilingi sebuah ranjang yang juga terbuat dari besi yang diatasnya terdapat plastik hitam panjang, terbujur kaku.

Langkah Aska terasa berat seiring jarak yang semakin dekat dengan tempat jasad Bima terbaring. Dia terdiam sesaat, mencoba menguatkan hatinya lagi.

Aska kamu tidak boleh menangis! Bima paling tidak suka melihat airmata mu, jerit batinnya menguatkan diri.

Dengan bantuan Raka yang memapahnya, Aska berhasil berdiri didepan jasad hitam legam hingga wajahnya tidak dapat dikenali. Aska menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, dia menelan semua teriakkan yang berusaha keluar dari kerongkongannya.

Bima!

“Apa yang terjadi pada Bima?” gumamnya pelan.

Raka merangkul pundak Aska semakin erat. Dia tahu bagaimana terguncang wanita disampingnya. Hancur, sama seperti yang ia rasakan saat pertama kali melihat jasad Bima. “Bima mengalami kecelakaan. Mobilnya terbakar," sahutnya dengan susah payah.

Aska terisak, tidak mampu lagi menahan airmatanya. “Bima,” rintihnya. Ia meraih tangan sahabatnya. Menggenggam tangan penuh luka bakar yang terasa dingin. Tidak ada rasa takut ataupun jijik yang tampak di raut wajahnya, hanya kehilangan yang amat dalam hingga ia tidak mampu mengekspresikan perasaannya.

Tak lama, Aska merasa ada sesuatu yang berbeda saat menyentuh tangan ini. Dia menggenggamnya lebih erat, entah bagaimana menjelaskannya tapi Aska merasa asing. Ini bukan tangan yang selalu mengelus kepalanya dan memeluknya saat ia bersedih. Bukan tangan yang mengengam jemarinya saat menyeberangi jalan. Buka tangan yang menghapus air matanya.

Ini bukan Bima!

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!