Firasat

Kantor polisi penuh sesak, seketika suasana didalamnya menjelma menjadi pasar yang ramai dengan suara riuh rendah di setiap sudut ruangan. Deretan pelaku kejahatan yang berhasil dibekuk polisi seperti pemerkosa, pengedar narkoba kelas teri, pencuri kelas kakap sampai pencuri musiman yang kambuh saat gejolak ekonomi semakin menekan keuangan, duduk berjejer di kursi panjang dengan wajah ditekuk.

“Hei, kenapa kau membawa cungkring ini ke hadapanku?” teriak polisi berkepala plontos. Pencuri ayam yang duduk dihadapannya terus menangis menyesali perbuatannya.

Polisi itu kesal, dia bangkit dan membanting map berisi laporan peredaran narkoba yang sedang dikerjakannya hingga membuat si pencuri terdiam dan beringsut mundur.

“Pie, tangani itu dulu. Disini sibuk," seru polisi bernama Dion yang tengah sibuk mengetik di komputer. Dihadapannya duduk tersangka pemerkosaan yang terus menerus menyangkal dan berbelit-belit menjawab setiap pertanyaannya.

“AKH! Kau tidak lihat aku juga sibuk," bentak laki-laki yang dipanggil Pie itu, mengamuk sambil menunjuk tumpukan map di mejanya.

“Memangnya kamu pikir siapa yang tidak sibuk sekarang?!” Balas Dion. Dia membuang map merah yang dipegangnya ke lantai dengan emosi.

Dion sudah tidak pulang berhari-hari, dia hanya mengisi perut dengan roti dan mie instan. Sampai saat ini bagian tubuhnya yang tersentuh air hanya wajah, tangan dan kelamin, menyebabkan sebagian tubuhnya di dera gatal-gatal yang menganggu. Hal ini mulai membuatnya lelah, jengah dan mudah marah.

Aska memasuki kantor polisi dengan langkah yakin, ia membulatkan tekadnya untuk mencari tahu penyebab kematian Bima palsu. Meski sudah mendengar ringkasan cerita dari Raka, Aska tetap merasa perlu mendengarkannya langsung dari pihak berwenang yang menangani kasus ini.

“Permisi,” Aska berdiri dihadapan Pie. Laki-laki itu hanya melirik sekilas lalu kembali menekuni pekerjaannya.

“Maaf, saya mau menanyakan perihal kematian Bima Ramadhan," ucap Aska menjelaskan maksud kedatangannya.

Pie mendesis jengkel, matanya melotot menatap Aska. Dia sudah cukup sibuk dan tidak akan mentolerir siapapun yang menganggu pekerjaannya saat ini, meskipun itu seorang wanita.

“Pergilah," tanggapnya acuh.

“Tapi,”

“Pergi!” Usir Pie dengan nada mengancam.

Aska mendesis jengkel tapi tidak memaksakan diri mungkin dia datang di waktu yang tidak tepat. Aska menghela napas pelan kemudian menarik paksa sebaris senyum untuk menarik perhatian lelaki dihadapannya.

“Maaf, bisa bertemu dengan polisi yang menangani kasus kecelakaan Bima Ramadhan.”

Pie meletakkan pulpen nya kesal. “Bu, bila anda tidak punya masalah serius, lebih baik anda keluar sekarang. Saat ini polisi punya banyak pekerjaan," desisnya sambil melambaikan tangan mengusir wanita dihadapannya.

Aska mengernyitkan dahinya, “Ibu? IBU?!” desisnya tidak terima.

Apa aku se-tua itu? pekik Aska dalam hati. Ia kesal bila seseorang memanggil dengan sebutan yang membuatnya terkesan lebih tua, walaupun itu hanya untuk sekedar formalitas.

“Apa hak mu memanggilku dengan sebutan ibu? Kau kira aku ibu mu? Hah,” sentak Aska. Ia mengebrak meja dan menepis tumpukan kertas diatas meja membuatnya berserakan dilantai.

Pie terkejut, dia bangun dari kursinya dan mundur beberapa langkah. Bingung kenapa wanita dihadapannya tiba-tiba saja mengamuk. Beberapa rekannya tertawa geli menanggapi wajah kaget Pie yang berangsur berubah pucat.

“Tenanglah Bu,” Pie menurunkan nada suaranya, dia memaksa sebuah senyum yang lebih terlihat seperti cengiran ngeri.

“BU?” Aska kembali meninggikan suaranya.

“Ah, bukan, bukan, nona.” Ralat Pie gelagapan.

Aska mengacak rambutnya gemas. “Hei, dengarkan aku!”

“Aku disini untuk menuntut kinerja polisi yang tidak becus dalam menangani kasus teman ku. Aku mau kalian segera mencarinya!” Cerca Aska tanpa jeda. Tidak memberikan kesempatan laki-laki didepannya untuk menyela.

Selain kesal dengan perlakuan semena-mena polisi ini, Aska juga ingin segera menemukan sahabatnya, Aska takut terjadi hal-hal buruk pada Bima diluar sana.

“Duduklah dulu," suara Pie melunak. Dia sedikit takut melihat Aska yang mulai bertingkah seperti orang gila.

Aska membanting pantatnya dengan kasar. Ia duduk dengan memasang wajah masam.

Hervi yang baru saja menginjakkan kakinya di ruangan reserse kriminal keheranan begitu melihat seluruh perhatian penghuni ruangan tertuju ke arah meja Pie.

Apa lagi yang dilakukan lelaki itu, setiap hari ada saja masalah yang ditimbulkannya, pikir Hervi.

Dia mendekati sumber keributan. Di sana Pie berdiri dengan wajah panik sambil menatap kearah wanita berambut sebahu, raut kesal mendominasi wajah oval dengan lesung di kedua pipi itu.

“Ada apa?”

Pie menatap atasannya itu serba salah. “Emm ini, ah siapa nama anda?” Pie beralih pada wanita dihadapannya, menunggu jawaban.

“Askia Sahara Ferbriani,” sahut wanita itu ketus.

Pie menatap kaptennya cemas, meminta pertolongan. Sepertinya ia tidak akan berhasil menangani wanita dihadapannya itu.

Hervi mengangguk, mengisyaratkan Pie untuk segera menyingkir, menyerahkan masalah ini padanya.

“Ada yang bisa saya bantu?” Hervi duduk di kursi Pie.

“Aku mau melihat laporan kecelakaan Bima Ramadhan,"

Hervi mengernyit. Dia tidak suka dengan nada memerintah yang terlihat jelas dari cara wanita ini bicara, membuatnya merasa terintimidasi.

“Maaf, anda keluarganya?”

“Ya.”

Bima Ramadhan, Hervi mengingat jelas kasus mobil dengan jasad terbakar di perempatan jalan menuju puncak yang ditemukan beberapa hari yang lalu. Meski ada beberapa kejanggalan dari hasil olah TKP tapi Hervi tidak dapat berbuat banyak. Bukti yang ditemukan mengarah pada kecelakaan tunggal membuat ketua segera memerintahkannya untuk menutup kasus ini.

“Kenapa diam?” Wanita itu mengetuk meja dua kali untuk menyadarkan polisi dihadapannya.

“Ah, Askia," Hervi berpikir sejenak, mencari alasan yang tepat.

"Aska, anda bisa memanggil ku Aska," desis Aska.

Hervi mengangguk mengerti. Sekilas dia menangkap ekspresi kesal dari wanita itu saat Hervi menyebut nama depannya.

“Begini, polisi tidak bisa sembarangan memperlihatkan laporan penyelidikan kepada siapapun. Termasuk keluarganya," jelasnya setenang mungkin.

Aska menghela napas lelah. Ia telah melewati hari yang berat, kata-kata formalitas yang berujung pada penolakan tidak dapat memuaskannya.

“Ada yang kalian sembunyikan?” tanyanya dengan nada penuh selidik.

Hervi mendelik, wanita ini terlalu blak-blakan. “Maaf, kami benar-benar tidak bisa memperlihatkannya," putusnya tegas.

“Oke. Aku tidak akan minta berkas itu,” desahnya pasrah. “Tapi aku yakin Bima belum meninggal, kalian harus segera mencarinya aku takut terjadi sesuatu padanya.”

“Apa alasan anda bicara seperti itu?”

Aska menunduk. Dia belum menemukan alasan yang masuk akal untuk menjelaskan keyakinannya.

“Apa?” Hervi kembali mengulang pertanyaannya.

Hervi meneliti penampilan wanita bernama Aska. Tidak ada hal yang mencurigakan, rambut lurus sebahu yang lepek, baju dan celana jeans ditambah jaket yang basah akibat hujan yang mengguyur kota sepanjang hari. Selain muka pucat yang terlihat lelah tidak ada yang aneh dari wanita ini.

“Hmm, firasat," gumam Aska pelan. Ia tahu apa yang dikatakannya ini konyol dan layak menjadi bahan tertawaan. Tapi hanya ini yang Aska punya, firasat bahwa Bima masih hidup.

“Firasat?” Hervi mengernyit, tidak lama ia menghela napas panjang. “Anda tahu kan? Firasat tidak bisa dijadikan bukti?”

Aska mengangguk lemah lalu mengangkat wajahnya menatap Hervi. “Tapi aku yakin Bima masih hidup. Tolong temukan dia," pintanya nyaris memelas.

Hervi menangkap keyakinan dalam raut wajah wanita itu tapi kasus ini sudah ditutup dan tidak ada alasan yang logis untuk melakukan penyelidikan lanjut. “Aska, aku tahu kamu masih bersedih atas kematian saudara mu. Tapi firasat tidak bisa dijadikan alasan untuk mengingkari kenyataan," ujar Hervi. Ia mencoba menyakinkan wanita dihadapannya untuk menerima kenyataan.

“Kurasa kamu cuma mengalami syok atas kematian,” Hervi melirik berkas mencari nama korban. “Bima Ramadhan.”

Aska mulai terisak pelan. Pikirannya membenarkan kata-kata Hervi namun hatinya tetap bersikeras bahwa sahabatnya masih hidup.

Hervi bangkit dari kursinya mendekati Aska, “Cobalah untuk menerima ini semua. Semua orang akan merasakan hal yang sama bila mereka kehilangan orang yang dicintainya, tapi hidup harus tetap berlanjut Aska. Kamu harus kuat," lanjutnya sambil menepuk pundak wanita itu pelan.

Aska masih terisak, suaranya seakan terkunci dibalik kegundahan hatinya. Bima, apa yang harus aku lakukan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!