Semesta Mempersatukan Kita
“Jingga, tolong catat pesanan tambahan di meja nomor 8, ya!” teriak salah satu pelayan cafe itu pada Jingga.
“Oke!” sahut salah seorang pelayan disana yang bernama Jingga, seorang gadis muda yang usianya masih 20 tahun.
Suasana Coffee Shop “Janji Kita” malam itu cukup ramai. Hampir semua meja yang ada disana terisi penuh. Belum lagi dengan para pembeli take away, semua pelayan yang bekerja disana tampak sibuk dengan orderan masing-masing.
Gadis yang dipanggil Jingga tadi segera pergi ke meja nomor 8 lalu mencatat pesanan tambahan pelanggan. Setelah itu ia juga harus mengantarkan lagi pesanan tersebut ke meja yang sama.
“Eh, itu ada yang datang lagi. Kau yang layani, ya. Aku ada salah catat menu. Harus ganti lagi,” kata seorang teman Jingga.
“Beres. Biar aku yang urus,” jawab Jingga dengan semangat. Gadis bernama Jingga ini memang sangat rajin dan cekatan dalam bekerja.
Jingga pun menghampiri pelanggan yang baru saja datang ke Coffee Shop itu dan duduk di salah satu meja yang masih kosong. Pelanggan tersebut adalah seorang pria yang mengenakan setelan jas lengkap. Tubuhnya yang tinggi kekar sempat membuat Jingga tertegun saat pertama kali melihatnya. Pelanggannya ini tampan juga.
Sepertinya Jingga baru pertama kali melihat pelanggan itu datang kesini. Sudah hampir setahun bekerja disana tapi Jingga belum pernah sama sekali melihatnya. Pelanggan pria yang menarik perhatian Jingga itu adalah Jefri, asisten pribadi Tuan Muda Dirgantara.
“Permisi, Tuan. Mau pesan apa?” tanya Jingga dengan ramah.
“Kopi hitam tanpa gula, tapi nyaman di lambung. Sama sekalian roti yang membuat kenyang tapi tidak kekenyangan,” jawab Jefri yang membuat Jingga itu mengerutkan keningnya.
Pesanan model apa itu? Apa dia tidak bisa membaca menu di depannya? Tanya Jingga dalam hati.
“Tuan, Tuan bisa memilih menu yang ada disini, Tuan,” kata Jingga sambil menggeser daftar menu yang ada di atas meja pada Jefri.
Jefri yang sedang mengecek pesan masuk di handphone-nya kini mendongak menatap pelayan di depannya. Ia sempat tertegun melihat wajah manis dari gadis yang sedang memegang buku catatan kecil dan pena di tangannya.
Manis juga. Batin Jefri.
Jingga pun ikut terkesima saat melihat wajah Jefri dengan jelas. Ia tak menyangka pria di depannya ini sangat tampan seperti artis luar negeri baginya.
Dia tampan sekali. Pantas saja menyebalkan. Biasanya yang tampan memang banyak gaya, suka menyebalkan. Tapi tidak masalah, untung ada modal tampan. Umpat Jingga dalam hati.
Jefri masih menatap wajah gadis itu lalu matanya tertuju pada name tag yang terletak di bagian dada sebelah kiri. Saat membaca nama di name tag itu, mata Jefri langsung membulat sempurna.
Jingga? Namanya Jingga? Tanya Jefri dalam hati.
Jingga pun dengan cepat menyilangkan tangannya di depan dada saat mata Jefri terlihat membesar memelototi asetnya. Ia mengira Jefri melihat miliknya.
“Tuan, jaga pandangan anda! Disini tempat menjual kopi dan roti, bukan dada!” hardik Jingga.
“Eh, maaf, maaf. Saya tidak bermaksud begitu,” ucap Jefri dengan cepat takut gadis di depannya salah paham.
“Saya hanya terkejut melihat namamu,” sambung Jefri sambil melirik lagi sekilas ke name tag itu lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Jingga tampak mendengus mendengar jawaban Jefri yang menurutnya mengada-ngada. Memang apa yang salah dengan namanya?
“Kalau Tuan mau memesan kopi, segeralah pesan sesuai menu disini. Jangan pesan yang tidak-tidak!” ucap Jingga setengah kesal.
“Hei, kau jangan kepedean! Aku memang ingin memesan kopi disini, bukan untuk macam-macam. Berikan aku apa yang tadi aku pesan,” kata Jefri yang ikut kesal karena Jingga seolah menuduhnya berbuat macam-macam.
“Tapi pesanan anda....”
“Buatkan saja apa yang aku minta!” potong Jefri dengan cepat.
Sabar, Jingga. Sabar. Tamu adalah raja. Sabar....ini cobaan saja. Umpat gadis itu dalam hati.
Ia pun pergi dari meja Jefri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan Jefri. Tak lama ia kembali datang dengan pesanan di nampannya.
“Silahkan, Tuan,” ucap Jingga berusaha ramah.
“Hm,” sahut Jefri tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone-nya. Lalu ia mulai meminum kopi dan memakan rotinya.
Tak sadar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jefri pun baru akan pulang saat Coffee Shop itu sudah mau tutup. Kalau tidak ditegur, mungkin ia tidak sadar dan akan terus duduk disana.
Saat keluar dari sana, ternyata di luar sudah hujan gerimis. Jefri pun segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Gadis bernama Jingga tadi berlarian menyebrang jalan di tengah gerimis menuju ke sebuah halte. Jefri tak sampai hati, ia pun pergi ke halte itu dan menghampiri Jingga.
“Sudah tidak ada bus lagi malam-malam begini,” teriak Jefri dari dalam mobilnya. Ia tak keluar, hanya membuka kaca mobilnya saja.
Eh, itu kan pelanggan menyebalkan tadi? Wah, keren sekali mobilnya. Selain tampan ternyata dia juga kaya. Gumam Jingga dalam hati.
“Saya menunggu ojek saja,” jawab Jingga.
“Kalau pesan ojek online kenapa menunggu di halte gelap begini? Sebaiknya tunggu di depan tempat kerjamu tadi,” ucap Jefri.
“Saya tidak pesan ojek online, menunggu ojek biasa lewat,” kata Jingga sambil memamerkan handphone bututnya yang hanya bisa untuk telepon dan SMS.
Jefri pun menepuk jidatnya. Masih ada ternyata jaman secanggih ini handphone seperti itu.
“Kau tinggal dimana? Biar aku antar malam ini,” tanya Jefri.
“Tidak usah. Saya naik ojek saja. Kita kan tidak kenal. Kalau Tuan menculik saya bagaimana?” jawab Jingga secara terang-terangan.
“Menculik? Apa yang aku ambil darimu? Hp bututmu? Dikasih juga aku tidak mau. Memegangnya saja bisa membuat tanganku alergi. Sudah, jangan jual mahal. Sebentar lagi hujan makin lebat. Ayo ikut, aku tidak akan menculikmu,” ajak Jefri lagi.
Jingga mengerucutkan bibirnya karena kesal Jefri menghina handphone miliknya. Lalu ia menatap langit yang semakin gelap tak berbintang. Gerimis sebentar lagi akan berubah menjadi hujan. Mana ada ojek yang lewat kalau hujan begini. Ia pun kembali melihat Jefri yang masih menunggunya. Akhirnya mau tak mau ia pun menerima tawaran Jefri dengan terpaksa.
“Pasang seat beltmu!” ucap Jefri.
Jingga malah celingukan ke kiri kanan.
“Sabuk pengamanmu,” ucap Jefri lagi. Mungkin gadis ini tidak mengerti bahasa inggris, pikirnya.
“Tuan meletakannya dimana?” tanya Jingga dengan polosnya.
Jefri pun geleng-geleng kepala dibuatnya. Dia bingung gadis ini turun dari planet mana. Mau tidak mau Jefri pun mendekat dan membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Jingga.
Deg.
Jantung keduanya sama-sama berdegup kencang saat mata mereka saling bertemu dalam jarak yang dekat. Jefri kembali terdiam sejenak. Gadis ini, makin cantik dilihat dari dekat.
Klik.
Sabuk pengaman pun terpasang. Jefri kembali menjauhkan dirinya dan menjalankan mobilnya. Saat mengantar Jingga, dia baru sadar kalau ternyata rumah gadis itu tak jauh dari tempat dimana Tuan Mudanya akan membangun rumah sakit. Jingga tinggal di sebuah rumah kontrakan yang masih satu kawasan dengan rumah Pak Aris.
"Terimakasih sudah mengantar saya, Tuan. Padahal kita tidak saling kenal," ucap Jingga sebelum turun dari mobil.
"Kau tinggal disitu?" tanya Jefri sambil menunjuk sebuah rumah berwarna kuning pucat.
"Bukan, Tuan. Rumah saya masih masuk gang itu lagi, gang di sebelah rumah berwarna kuning pucat itu," tunjuk Jingga.
"Kuning pucat?"
"Iya, kuning pucat. Seperti orang anemia," jawab Jingga sambil terkekeh.
"Ada-ada saja. Ya sudah, pulanglah. Sudah malam."
"Baik, Tuan. Sekali lagi terimakasih, Tuan....Tuan siapa?"
"Jefri."
"Ah iya, Tuan Jefri."
Jingga pun turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Jefri. Jefri yang seolah terhipnotis malah ikut melambaikan tangannya juga.
“Ternyata dia baik juga. Dia benar mengantarku sampai rumah, dia tidak menculikku. Lagian rugi juga kalau menculikku, aku kan makannya banyak,” gumam Jingga sambil terkekeh. Mobil Jefri pun kian menjauh semakin tak terlihat lagi.
***
Keesokan harinya entah kenapa Jingga merasa lebih semangat berangkat kerja. Di benaknya menyimpan harapan agar bisa bertemu lagi dengan pelanggan kemarin malam yang mengantarnya pulang. Tapi ternyata yang diharapkan tidak terjadi. Sampai Coffee Shop itu tutup, Jefri tak terlihat batang hidungnya.
Jingga masih belum berhenti menunggu. Jefri seolah menjadi pelanggan yang sangat dinantikan kedatangannya oleh Jingga. Hari ini pun tetap sama. Gadis itu masih terus menunggu sampai malam menjelma. Dan lagi-lagi Jefri tak datang jua.
Seminggu telah berlalu, Jefri belum juga datang kembali ke Coffee Shop itu. Setiap ada pelanggan yang masuk kesana, Jingga selalu melihat ke arah pintu. Entah kenapa ia selalu mengharapkan kedatangan pria itu. Tapi sayang, Jefri masih belum lagi memunculkan dirinya disana.
Hahhh, bodoh sekali! Kenapa aku tiba-tiba berharap dia datang lagi kesini? Bisa saja kemarin itu dia hanya sekedar singgah untuk minum kopi. Pelanggan yang lain juga banyak yang seperti itu kan? Seharusnya aku tidak terus-terusan menantikan kedatangannya. Gumam Jingga dalam hati.
Ia menggelengkan kepalanya lalu tertawa pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia menunggu pria yang baru sekali ia temui itu.
.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Nanda Lelo
dari senja lanjut ksini,,
2022-09-28
0
Erni Fitriana
akhirnya... setelah lega dengan hubungan bumi-senja yg happy ending..kini deg deg plas lagi baca kisah jefry-jingga-tunangan jingga...semoga deg deg plas nya jadi...gurih gurih nyoiiiiii ngalahin tahu bulat...digoreng dadakan...500 san...😀😀😀😀😀
2022-09-07
0
Erni Fitriana
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-09-07
0