“Jingga, tolong catat pesanan tambahan di meja nomor 8, ya!” teriak salah satu pelayan cafe itu pada Jingga.
“Oke!” sahut salah seorang pelayan disana yang bernama Jingga, seorang gadis muda yang usianya masih 20 tahun.
Suasana Coffee Shop “Janji Kita” malam itu cukup ramai. Hampir semua meja yang ada disana terisi penuh. Belum lagi dengan para pembeli take away, semua pelayan yang bekerja disana tampak sibuk dengan orderan masing-masing.
Gadis yang dipanggil Jingga tadi segera pergi ke meja nomor 8 lalu mencatat pesanan tambahan pelanggan. Setelah itu ia juga harus mengantarkan lagi pesanan tersebut ke meja yang sama.
“Eh, itu ada yang datang lagi. Kau yang layani, ya. Aku ada salah catat menu. Harus ganti lagi,” kata seorang teman Jingga.
“Beres. Biar aku yang urus,” jawab Jingga dengan semangat. Gadis bernama Jingga ini memang sangat rajin dan cekatan dalam bekerja.
Jingga pun menghampiri pelanggan yang baru saja datang ke Coffee Shop itu dan duduk di salah satu meja yang masih kosong. Pelanggan tersebut adalah seorang pria yang mengenakan setelan jas lengkap. Tubuhnya yang tinggi kekar sempat membuat Jingga tertegun saat pertama kali melihatnya. Pelanggannya ini tampan juga.
Sepertinya Jingga baru pertama kali melihat pelanggan itu datang kesini. Sudah hampir setahun bekerja disana tapi Jingga belum pernah sama sekali melihatnya. Pelanggan pria yang menarik perhatian Jingga itu adalah Jefri, asisten pribadi Tuan Muda Dirgantara.
“Permisi, Tuan. Mau pesan apa?” tanya Jingga dengan ramah.
“Kopi hitam tanpa gula, tapi nyaman di lambung. Sama sekalian roti yang membuat kenyang tapi tidak kekenyangan,” jawab Jefri yang membuat Jingga itu mengerutkan keningnya.
Pesanan model apa itu? Apa dia tidak bisa membaca menu di depannya? Tanya Jingga dalam hati.
“Tuan, Tuan bisa memilih menu yang ada disini, Tuan,” kata Jingga sambil menggeser daftar menu yang ada di atas meja pada Jefri.
Jefri yang sedang mengecek pesan masuk di handphone-nya kini mendongak menatap pelayan di depannya. Ia sempat tertegun melihat wajah manis dari gadis yang sedang memegang buku catatan kecil dan pena di tangannya.
Manis juga. Batin Jefri.
Jingga pun ikut terkesima saat melihat wajah Jefri dengan jelas. Ia tak menyangka pria di depannya ini sangat tampan seperti artis luar negeri baginya.
Dia tampan sekali. Pantas saja menyebalkan. Biasanya yang tampan memang banyak gaya, suka menyebalkan. Tapi tidak masalah, untung ada modal tampan. Umpat Jingga dalam hati.
Jefri masih menatap wajah gadis itu lalu matanya tertuju pada name tag yang terletak di bagian dada sebelah kiri. Saat membaca nama di name tag itu, mata Jefri langsung membulat sempurna.
Jingga? Namanya Jingga? Tanya Jefri dalam hati.
Jingga pun dengan cepat menyilangkan tangannya di depan dada saat mata Jefri terlihat membesar memelototi asetnya. Ia mengira Jefri melihat miliknya.
“Tuan, jaga pandangan anda! Disini tempat menjual kopi dan roti, bukan dada!” hardik Jingga.
“Eh, maaf, maaf. Saya tidak bermaksud begitu,” ucap Jefri dengan cepat takut gadis di depannya salah paham.
“Saya hanya terkejut melihat namamu,” sambung Jefri sambil melirik lagi sekilas ke name tag itu lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Jingga tampak mendengus mendengar jawaban Jefri yang menurutnya mengada-ngada. Memang apa yang salah dengan namanya?
“Kalau Tuan mau memesan kopi, segeralah pesan sesuai menu disini. Jangan pesan yang tidak-tidak!” ucap Jingga setengah kesal.
“Hei, kau jangan kepedean! Aku memang ingin memesan kopi disini, bukan untuk macam-macam. Berikan aku apa yang tadi aku pesan,” kata Jefri yang ikut kesal karena Jingga seolah menuduhnya berbuat macam-macam.
“Tapi pesanan anda....”
“Buatkan saja apa yang aku minta!” potong Jefri dengan cepat.
Sabar, Jingga. Sabar. Tamu adalah raja. Sabar....ini cobaan saja. Umpat gadis itu dalam hati.
Ia pun pergi dari meja Jefri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan Jefri. Tak lama ia kembali datang dengan pesanan di nampannya.
“Silahkan, Tuan,” ucap Jingga berusaha ramah.
“Hm,” sahut Jefri tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone-nya. Lalu ia mulai meminum kopi dan memakan rotinya.
Tak sadar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jefri pun baru akan pulang saat Coffee Shop itu sudah mau tutup. Kalau tidak ditegur, mungkin ia tidak sadar dan akan terus duduk disana.
Saat keluar dari sana, ternyata di luar sudah hujan gerimis. Jefri pun segera masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Gadis bernama Jingga tadi berlarian menyebrang jalan di tengah gerimis menuju ke sebuah halte. Jefri tak sampai hati, ia pun pergi ke halte itu dan menghampiri Jingga.
“Sudah tidak ada bus lagi malam-malam begini,” teriak Jefri dari dalam mobilnya. Ia tak keluar, hanya membuka kaca mobilnya saja.
Eh, itu kan pelanggan menyebalkan tadi? Wah, keren sekali mobilnya. Selain tampan ternyata dia juga kaya. Gumam Jingga dalam hati.
“Saya menunggu ojek saja,” jawab Jingga.
“Kalau pesan ojek online kenapa menunggu di halte gelap begini? Sebaiknya tunggu di depan tempat kerjamu tadi,” ucap Jefri.
“Saya tidak pesan ojek online, menunggu ojek biasa lewat,” kata Jingga sambil memamerkan handphone bututnya yang hanya bisa untuk telepon dan SMS.
Jefri pun menepuk jidatnya. Masih ada ternyata jaman secanggih ini handphone seperti itu.
“Kau tinggal dimana? Biar aku antar malam ini,” tanya Jefri.
“Tidak usah. Saya naik ojek saja. Kita kan tidak kenal. Kalau Tuan menculik saya bagaimana?” jawab Jingga secara terang-terangan.
“Menculik? Apa yang aku ambil darimu? Hp bututmu? Dikasih juga aku tidak mau. Memegangnya saja bisa membuat tanganku alergi. Sudah, jangan jual mahal. Sebentar lagi hujan makin lebat. Ayo ikut, aku tidak akan menculikmu,” ajak Jefri lagi.
Jingga mengerucutkan bibirnya karena kesal Jefri menghina handphone miliknya. Lalu ia menatap langit yang semakin gelap tak berbintang. Gerimis sebentar lagi akan berubah menjadi hujan. Mana ada ojek yang lewat kalau hujan begini. Ia pun kembali melihat Jefri yang masih menunggunya. Akhirnya mau tak mau ia pun menerima tawaran Jefri dengan terpaksa.
“Pasang seat beltmu!” ucap Jefri.
Jingga malah celingukan ke kiri kanan.
“Sabuk pengamanmu,” ucap Jefri lagi. Mungkin gadis ini tidak mengerti bahasa inggris, pikirnya.
“Tuan meletakannya dimana?” tanya Jingga dengan polosnya.
Jefri pun geleng-geleng kepala dibuatnya. Dia bingung gadis ini turun dari planet mana. Mau tidak mau Jefri pun mendekat dan membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Jingga.
Deg.
Jantung keduanya sama-sama berdegup kencang saat mata mereka saling bertemu dalam jarak yang dekat. Jefri kembali terdiam sejenak. Gadis ini, makin cantik dilihat dari dekat.
Klik.
Sabuk pengaman pun terpasang. Jefri kembali menjauhkan dirinya dan menjalankan mobilnya. Saat mengantar Jingga, dia baru sadar kalau ternyata rumah gadis itu tak jauh dari tempat dimana Tuan Mudanya akan membangun rumah sakit. Jingga tinggal di sebuah rumah kontrakan yang masih satu kawasan dengan rumah Pak Aris.
"Terimakasih sudah mengantar saya, Tuan. Padahal kita tidak saling kenal," ucap Jingga sebelum turun dari mobil.
"Kau tinggal disitu?" tanya Jefri sambil menunjuk sebuah rumah berwarna kuning pucat.
"Bukan, Tuan. Rumah saya masih masuk gang itu lagi, gang di sebelah rumah berwarna kuning pucat itu," tunjuk Jingga.
"Kuning pucat?"
"Iya, kuning pucat. Seperti orang anemia," jawab Jingga sambil terkekeh.
"Ada-ada saja. Ya sudah, pulanglah. Sudah malam."
"Baik, Tuan. Sekali lagi terimakasih, Tuan....Tuan siapa?"
"Jefri."
"Ah iya, Tuan Jefri."
Jingga pun turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Jefri. Jefri yang seolah terhipnotis malah ikut melambaikan tangannya juga.
“Ternyata dia baik juga. Dia benar mengantarku sampai rumah, dia tidak menculikku. Lagian rugi juga kalau menculikku, aku kan makannya banyak,” gumam Jingga sambil terkekeh. Mobil Jefri pun kian menjauh semakin tak terlihat lagi.
***
Keesokan harinya entah kenapa Jingga merasa lebih semangat berangkat kerja. Di benaknya menyimpan harapan agar bisa bertemu lagi dengan pelanggan kemarin malam yang mengantarnya pulang. Tapi ternyata yang diharapkan tidak terjadi. Sampai Coffee Shop itu tutup, Jefri tak terlihat batang hidungnya.
Jingga masih belum berhenti menunggu. Jefri seolah menjadi pelanggan yang sangat dinantikan kedatangannya oleh Jingga. Hari ini pun tetap sama. Gadis itu masih terus menunggu sampai malam menjelma. Dan lagi-lagi Jefri tak datang jua.
Seminggu telah berlalu, Jefri belum juga datang kembali ke Coffee Shop itu. Setiap ada pelanggan yang masuk kesana, Jingga selalu melihat ke arah pintu. Entah kenapa ia selalu mengharapkan kedatangan pria itu. Tapi sayang, Jefri masih belum lagi memunculkan dirinya disana.
Hahhh, bodoh sekali! Kenapa aku tiba-tiba berharap dia datang lagi kesini? Bisa saja kemarin itu dia hanya sekedar singgah untuk minum kopi. Pelanggan yang lain juga banyak yang seperti itu kan? Seharusnya aku tidak terus-terusan menantikan kedatangannya. Gumam Jingga dalam hati.
Ia menggelengkan kepalanya lalu tertawa pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia menunggu pria yang baru sekali ia temui itu.
.
Bersambung....
Jefri, sebagai seorang asisten Tuan Muda Dirgantara tentu tugas yang diembannya tidak sedikit. Semua pekerjaan harus berjalan sesuai rencana. Setiap detail pekerjaan harus ada laporannya. Semua mesti tersusun rapi sesuai dengan kehendak Tuan Muda Dirgantara yang sangat teliti dan perfeksionis itu.
Hari-hari belakangan ini tentu makin banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Semenjak Senja, kekasih Tuan Mudanya, masuk ke rumah sakit karena kecelakaan, Tuan Mudanya yakni Bumi Langit Dirgantara tak pernah peduli soal urusan perusahaan. Pria itu bahkan tak mau beranjak sedikitpun dari kamar rumah sakit tempat kekasihnya dirawat.
Hari ini, pagi-pagi sekali Jefri sudah datang ke kantor untuk menghadiri meeting. Meeting pun berjalan lancar selama kurang lebih 2 jam. Setelah itu ia harus memeriksa beberapa laporan lagi di emailnya.
“Hah, banyak sekali laporan yang harus aku cek hari ini,” gumam Jefri pada dirinya sendiri.
Pria itu tampak meregangkan tangannya ke atas dan ke samping. Setelah itu ia pun mulai membuka laptop yang ada di depannya.
Sebelum memeriksa laporan tiba-tiba ia menginginkan sesuatu. Ya, ia menginginkan kopi. Ia butuh kopi saat ini agar matanya kembali segar dan tak merasa ngantuk.
Jefri tampak menelepon seseorang dari line telepon yang ada di atas mejanya.
“Hallo. Tolong bawakan secangkir kopi ke ruanganku,” titah Jefri lalu menutup panggilan itu.
Tak butuh waktu lama, seorang office girl yang tampak masih muda masuk ke ruangannya dengan membawa nampan berisi kopi. Dari awal masuk ke ruangan itu, gadis tersebut sudah senyum-senyum sendiri untuk tebar pesona dengan Jefri. Siapa yang bisa menolak pesona asisten yang tampan itu? Selain tampan, dia masih single juga.
Sebenarnya ada banyak sekali karyawan wanita yang sering tebar pesona padanya. Office girl ini bukan yang pertama. Tapi Jefri hampir sama seperti Tuan Mudanya, cuek dan tak mempedulikan wanita-wanita yang mencari perhatian mereka.
“Ini Tuan, kopinya. Silahkan diminum.” Office girl itu meletakkan secangkir kopi di meja Jefri.
“Terimakasih.” Hanya itu yang keluar dari mulut Jefri. Kemudian ia sibuk dengan laptopnya lagi.
Merasa tak lagi dibutuhkan, office girl itu pamit keluar dari ruangan Jefri.
Jefri melanjutkan pekerjaannya, sampai tenggorokannya sudah haus, ia meneguk kopi yang ia minta tadi.
“Ck, kopi apa ini? Rasanya aneh sekali.”
Jefri berdecak sebal. Ia meletakkan cangkir kopi itu kembali. Tiba-tiba ia teringat sesuatu tentang kopi. Ya, ia teringat Jingga! Eh, bukan. Ia teringat kopi buatan Jingga. Gadis itu sangat tau kopi yang ia inginkan.
Sudah lama sekali aku tidak kesana. Hari ini aku harus mampir ke Coffee Shop itu. Aku rindu dengan pelayan kopinya. Eh, salah. Rindu sama kopinya maksudku. Jefri tergelak dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
“Jingga....apa kau masih bekerja disana? Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” gumam Jefri sambil menatap ke arah cangkir kopi.
***
Malam pun menjelma, suasana di Coffee Shop Janji Kita masih ramai seperti biasa. Jingga yang bekerja disana hilir mudik kesana kemari mengantarkan pesanan dari meja ke meja. Pengunjung disana kebanyakan anak-anak muda yang hang out bersama teman-temannya.
Saat mengantar pesanan sesekali Jingga masih melirik ke arah pintu, dengan bodohnya ia masih berharap Jefri datang kembali ke tempat itu. Meski sudah 30 hari berlalu, tapi Jingga masih tak henti menunggu. Ia bahkan menandai kalender yang ada di kamarnya setiap hari hanya untuk menghitung berapa lama lagi pelanggan yang ditunggunya itu datang kembali.
Jingga yang baru saja selesai mengantarkan pesanan kopi ke pelanggannya mendadak membeku saat melihat Jefri datang lagi ke tempat itu. Mereka saling terdiam dan bertemu pandang dalam waktu beberapa detik.
Tuan, akhirnya kau datang juga. Ini beneran dirimu kan? Kenapa baru datang sekarang? Apa kau tidak tau sudah lama aku menunggumu? Gumam Jingga dalam hati.
“Jingga, meja nomor 8 ingin memesan tuh!” ucap salah seorang temannya yang membuat Jingga tersadar.
“Ah, iya. Baiklah,” ucap Jingga lalu menuju ke meja yang dimaksud.
Jefri menarik sudut bibirnya, ia senang melihat gadis itu salah tingkah seperti tadi. Ia pun duduk di salah satu kursi yang masih kosong disana. Saat ada seorang pelayan yang menghampirinya, ia malah meminta untuk dilayani oleh Jingga. Akhirnya pelayan itupun menghampiri Jingga dan memberitahunya. Tak lama, Jingga pun datang ke meja Jefri.
Seperti biasa Jefri memesan menu yang aneh malam itu. Ia memesan kopi yang sesuai dengan suasana hati dan Jingga harus bisa menebaknya sendiri. Akhirnya Jingga pun membawakan menu yang sesuai dengan keinginan Jefri.
“Selamat menikmati,” ucap Jingga lalu hendak pergi dari sana tapi Jefri menahannya.
“Tunggu!”
“Tuan mau tambah sesuatu?” tanya Jingga.
“Iya.”
“Apa Tuan?”
“Kamu.”
Eh?
Jefri tersenyum saat melihat Jingga dengan ekspresi terkejut seperti itu. “Aku hanya bercanda. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu,” ucap Jefri dengan entengnya.
Ah, bisa-bisanya Jefri dengan mudah berkata seperti itu setelah merayu Jingga. Tak tahukah ia jantung Jingga sudah berdegup kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu?
Setelah dari meja Jefri, Jingga kembali melanjutkan pekerjaannya. Sesekali ia masih curi-curi pandang ke arah Jefri. Bibirnya melengkung membuat seulas senyuman manis saat melihat Jefri menikmati kopi yang ia hidangkan tadi. Jika Jefri balas melihat ke arahnya, ia dengan cepat pura-pura melihat ke arah lain. Malam ini rasanya ia sangat bahagia sekali bisa kembali bertemu Jefri.
Sampai tiba waktunya pulang, Jingga cepat-cepat keluar dari Coffee Shop itu. Tadi ia lihat, Jefri pelanggan terakhir yang keluar dari sana. Kalau memang rejekinya, ia bisa pulang bersama lagi dengan Jefri. Dan ternyata semesta sedang berpihak padanya. Begitu keluar dari Coffee Shop, Jefri sudah memanggilnya.
"Jingga!" panggil Jefri sambil melambaikan tangannya.
Oh, Tuhan! Dia memanggilku! Apa kami akan pulang bersama lagi malam ini? Malam ini semesta kembali mempertemukan kami. Sorak Jingga dalam hati.
Rasanya ingin sekali ia meloncat-loncat kegirangan saat dipanggil namanya oleh Jefri. Tak mau membiarkan Jefri lama menunggu, ia pun menghampiri pria itu.
.
Bersambung...
Seperti yang Jingga harapkan, malam ini ia diantar pulang lagi oleh Jefri. Jangan ditanya seberapa bahagianya ia malam ini setelah sekian lama menunggu untuk bertemu Jefri kembali.
Saat melewati rumah sakit yang sedang dibangun di dekat kawasan rumahnya, Jingga mengajak Jefri mengobrol tentang rumah sakit yang terdapat plang perusahaan Dirgantara.
Yang membuat Jingga terkejut malam itu adalah pria yang sedang bersamanya sekarang adalah asisten Tuan Muda Dirgantara.
“Hah? Serius Tuan? Saya bisa satu mobil dengan asisten Tuan Muda Dirgantara? Tuan tidak becanda kan?” tanya Jingga yang hampir tidak percaya.
Jefri merasa lucu dengan Jingga yang terkejut seperti itu. Ia pun menepikan mobilnya, padahal belum sampai di tempat tujuan.
“Kau tidak percaya padaku?” tanya Jefri sambil menoleh ke arah Jingga.
“Hmm...percaya sih, Tuan. Tapi saya masih tidak menyangka saja. Pasti Tuan sibuk sekali ya setiap hari, karena yang saya tau Tuan Muda banyak bisnisnya. Pantas saja Tuan Jefri jarang berkunjung ke Coffee Shop tempat saya bekerja. Sudah 30 hari Tuan tidak kesana,” jawab Jingga panjang lebar.
“Kau menghitung berapa lama aku tidak datang kesana?” tanya Jefri penasaran.
Jingga pun mengangguk. “Saya pikir setelah hari itu, Tuan akan datang lagi, tapi ternyata Tuan tidak datang sampai 30 hari setelahnya,” jawab Jingga.
Jefri tertegun. Ia menelisik kedua bola mata Jingga yang duduk di sebelahnya. Ia tak menyangka gadis ini akan menunggunya. Ia merasa sangat keterlaluan membiarkan Jingga terlalu lama menunggunya.
Menunggu terlalu lama rasanya pasti sangat menyiksa. Ia tak pernah merasakan itu tapi ia tau saat melihat Tuannya yang menunggu Senja sadar dari koma.
Maafkan aku membiarkannmu terlalu lama menunggu. Seharusnya kau tak usah menungguku seperti itu. Ucap Jefri hanya dalam hati.
Jefri tak bicara banyak lagi. Ia pun kembali menjalankan mobilnya untuk mengantarkan Jingga sampai ke rumahnya.
***
“Sudah pulang?”
Jingga berjingkit karena terkejut mendengar ada suara yang tiba-tiba menyapanya saat ia akan masuk ke dalam kamarnya. Ternyata suara itu berasal dari ibunya yang baru saja dari kamar mandi di belakang.
“Iya, Bu. Ini baru saja sampai. Aku mau ke kamar dulu,” jawab Jingga.
“Tumben cepat sekali sampai rumah? Pulang sama siapa? Bayu, ya?” tebak sang ibu.
Jingga mengernyitkan dahinya. Kenapa ibunya tiba-tiba menyebutkan nama itu? Ditambah lagi raut wajah sang ibu tampak senang saat menyebut nama Bayu.
“Bayu? Bayu anak Pak Lurah maksud ibu?” tanya Jingga yang tak jadi masuk ke dalam kamarnya.
“Iya, Bayu mana lagi memangnya,” jawab ibu sedikit sewot sambil melangkahkan kakinya hendak masuk ke kamar yang bersebelahan dengan kamar Jingga.
“Tidak, aku tidak diantar sama dia. Kenapa ibu tiba-tiba membicarakan dia?” tanya Jingga penasaran.
Mendengar pertanyaan Jingga, ibu pun tak jadi masuk ke kamar. Ia menarik kembali tangannya yang baru saja memegang handle pintu.
“Ya siapa tau dia yang mengantarmu pulang. Kan kemarin dia sempat kesini mengambil berkas dari ayahmu untuk dibawa ke kelurahan. Dia sempat tanya-tanya tentang dirimu. Sayangnya waktu itu kau tidak di rumah,” jawab ibu yang membuat Jingga tambah mengerutkan dahinya.
“Mungkin dia hanya basa-basi,” ujar Jingga cuek.
“Hush, basa-basi apanya?! Apa ayahmu belum pernah cerita? Pak Lurah juga sempat beberapa kali menanyakan tentangmu,” ucap ibunya.
“Loh, tadi anaknya, sekarang bapaknya yang tanya tentang aku. Memangnya ada apa, Bu?” tanya Jingga tak mengerti.
Ibu nampak berdecak. Anaknya ini belum mengerti juga maksudnya. “Kau ini bagaimana, sih? Anak Pak Lurah itu ada perasaan padamu. Makanya dia tanya-tanya. Begitu saja tidak mengerti,” jawab ibu.
“Tidak, tidak! Dia bukan tipeku,” bantah Jingga dengan cepat.
"Tipa-tipe, tipa-tipe. Ada yang mau sama dirimu saja kau sudah bersyukur, jangan pakai tipa-tipe segala! Apalagi ini yang naksir anak Pak Lurah," omel sang ibu.
"Tapi dia memang bukan tipeku," bantah Jingga lagi lalu segera masuk ke dalam kamarnya.
Dari luar terdengar suara ibunya masih mengomel karena ia tinggalkan begitu saja. Jingga tak menghiraukan itu, ia malah terduduk lesu di pinggir tempat tidurnya.
“Ibu merusak kebahagiaan malam ini saja. Padahal malam ini aku lagi senang sekali karena bertemu Tuan Jefri. Dia bahkan mengantarkanku pulang ke rumah,” gerutu Jingga pada dirinya sendiri.
“Tuan Jefri, kalau dilihat dari dekat ternyata kau tampan sekali,” gumam Jingga sambil memegang kedua pipinya sambil membayangkan wajah Jefri.
“Boleh tidak kalau aku berharap besok kita akan bertemu lagi? Besok, lalu besoknya besok, lalu besok besok besok, pokoknya setiap hari aku ingin bertemu denganmu,” ucap Jingga sambil senyum-senyum sendiri.
“Tapi...dia itu kan asisten Tuan Muda Dirgantara. Pasti dia sangat sibuk sekali. Dia bahkan baru bisa datang lagi ke Coffee Shop setelah 30 hari berlalu,” keluh Jingga tiba-tiba.
“Tidak, tidak! Please, Tuan. Jangan terlalu lama untuk datang lagi!” ucap Jingga sambil menangkupkan kedua tangannya seolah sedang berbicara langsung dengan Jefri.
“Aku masih ingin melihat wajah tampanmu lagi. Meskipun kau suka menyebalkan saat memesan kopi, tapi justru itu yang aku rindukan darimu.”
“Please, Tuan. Kalau besok kau datang lagi, aku akan mentraktirmu kopi.”
Begitulah Jingga yang sudah menaruh harapan pada Jefri untuk segera datang kembali.
Akankah harapan itu terwujud?
.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!