5. Pekerjaan Yang Tidak Ada Habisnya.

Krriiinnnggg kriiinngggg.

Suara handphone milik Dimas terus berteriak meminta sang empunya segera memberi tanggapan. Pria yang masih bersembunyi dibalik selimut itu dengan enggan menggerakkan tangannya untuk mencapai handphone yang berada di atas nakas tepat di samping tempat tidurnya.

Begitu handphone berhasil diambilnya, ia segera mengangkat panggilan itu tanpa membaca dengan jelas siapa yang menghubunginya.

“Ya, hallo,” sapa Dimas dengan suara berat khas orang baru bangun tidur. Matanya masih lagi terpejam.

“Tuan, jangan bilang anda belum bersiap-siap mengunjungi proyek hari ini.”

Dimas dapat menebak siapa pemilik suara di seberang sana. Tak ada lagi yang akan menghubunginya pagi-pagi begini untuk membicarakan soal pekerjaan kalau bukan Jefri.

“Hei, ini hari sabtu!” ucap Dimas dengan kesal.

“Tapi kita sudah ada jadwal, Tuan,” jawab Jefri yang terdengar kesal juga saat tau Dimas baru bangun tidur. Suaranya sangat kentara.

“Kau saja yang kesana. Aku lelah. Tadi malam aku bekerja sampai jam 12 malam, tau! Aku masih mengantuk,” tolak Dimas.

“Ini sudah hampir jam 10, Tuan. Ayolah segera bersiap-siap. Akan ada kunjungan dari investor juga disana,” desak Jefri.

“Kau saja lah. Aku lelah sekali. Lagipula para investor itu lebih mengenalmu dari pada aku.” Dimas beralasan. Tapi memang benar apa yang ia katakan. Karena Jefri selalu menemani Tuan Mudanya, ia lebih terkenal di kalangan para pebisnis dibanding Dimas.

Di seberang sana, Jefri terdengar menghela nafas dengan berat. Semangat kerja Dimas tidak ada apa-apa nya dibandingkan dengan Bumi.

“Ya sudah, saya temui mereka. Tapi nanti malam, Tuan yang menemani mereka makan malam. Saya ada urusan.”

“Tidak, tidak! Nanti malam kan malam minggu. Aku ada janji dengan seseorang,” tolak Dimas lagi.

“Saya juga ada urusan, Tuan.” Jefri terdengar mulai kesal.

“Urusan apa? Kau kan jomblo. Sudahlah, aku mau tidur lagi. Kau urus saja semuanya sampai selesai.”

Klik.

Dimas mematikan panggilannya begitu saja. Sementara Jefri hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mendapat perlakuan seperti itu oleh Dimas. Untung saja Dimas anak bosnya, kalau tidak rasanya ingin sekali ia menjewer kuping anak nakal itu.

“Banyak sekali pekerjaanku. Pekerjaan ini seolah tidak ada habisnya,” keluh Jefri sejenak.  

Jefri yang dari tadi sudah berpakaian rapi segera keluar dari apartemennya. Ia masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju ke sebuah proyek yang harus ia pantau hari itu.

Sesampainya ia di tempat tujuan, ia melihat ada beberapa orang di depan gerbang dekat pos security. Orang-orang tersebut berpakaian rapi dengan map di tangan mereka. Jefri pun segera turun dari mobil dan memanggil supervisor disana.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa supervisor itu.

“Pagi. Itu ada apa ramai-ramai di depan?” tanya Jefri sambil melihat ke arah depan.

Supervisor itu mengikuti arah pandang Jefri. “Oh, itu mereka para pencari kerja, Tuan. Mereka mau mencoba melamar pekerjaan saat melihat ada pembangunan disini.”

Jefri tampak manggut-manggut mendengar jawaban supervisor itu.

“Jaman sekarang mencari pekerjaan sangat susah, Tuan. Bersyukurlah kita masih punya pekerjaan seperti sekarang walaupun harus lelah bekerja di akhir pekan. Kalau kata istri saya, lebih baik lelah karena bekerja daripada lelah karena mencari kerja,” lanjut supervisor itu.

Jefri merasa tersentil. Baru saja tadi pagi dia mengeluh karena harus bekerja full di hari sabtu. Padahal dia sudah berencana untuk mampir lebih awal ke Coffee Shop tempat Jingga bekerja. Tapi melihat jadwal kegiatannya yang sangat padat hari ini, apa mungkin dia sempat kesana?

Jefri melihat lagi ke arah para pencari kerja yang mulai bubar meninggalkan tempat itu. Perkataan supervisor ini memang benar, jaman sekarang sudah susah mencari pekerjaan. Ia sudah seharusnya bersyukur berada di posisinya saat ini. Urusan Jingga, masih bisa menunggu nanti malam atau besok, pikirnya.

***

Siang pun dengan cepat berganti malam. Setelah selesai memantau perkembangan proyek dan menemani para investor di lapangan, Jefri masih harus menemani para investor tersebut untuk makan malam bersama. Seharusnya ini tugas Dimas, tapi pria itu malah asik-asikan bermalam minggu dengan Viona.

Sepanjang makan malam, Jefri sesekali melirik jam tangannya. Ia merasa tak nyaman disana. Ia berharap, masih bisa bertemu Jingga malam itu. Setidaknya dia masih bisa mengantarkan Jingga pulang ke rumah malam ini, pikirnya. Setelah selesai dari sini, ia akan langsung menyusul Jingga.

Jingga pun sama halnya dengan Jefri. Ia masih tetap menunggu pelanggan spesialnya itu. Ia ingin membuktikan pada temannya, Runi, bahwa apa yang Runi pikirkan salah. Jefri bukan pria kaya seperti apa yang ia pikirkan. Jingga yakin, Jefri adalah pria yang baik.

“Masih menunggu asisten Tuan Muda Dirgantara datang?” tanya Runi saat melihat Jingga membersihkan meja sambil memperhatikan pintu masuk.

“Tidak. Aku lihat pengunjung yang datang malam ini ramai sekali,” jawab Jingga berbohong.

“Jangan bohong! Aku tau kau masih mengharapkan kedatangannya,” ucap Runi.

Jingga sudah selesai membersihkan meja itu. Ia pun menatap temannya itu. “Kalau dia datang tidak masalah kan? Dia kan juga pelanggan disini.”

Runi tampak tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Aku berani bertaruh, dia pasti tidak datang malam ini. Apalagi ini malam minggu, bisa saja dia keluar dengan teman-temannya ke tempat lain, tapi bukan disini.”

“Kau seperti sangat mengenalnya,” ujar Jingga.

“Aku hanya menebak saja. Kemarin saat dia kesini paling hanya sekedar singgah saja, tidak lebih. Jadi, sebaiknya kau jangan berharap,” ucap Runi sambil menepuk pelan pundak Jingga lalu hendak pergi melanjutkan tugasnya.

Sudah beberapa langkah melewati Jingga, ia berbalik menengok ke arah temannya itu. “Aku rasa kalau sama tetanggamu lebih cocok. Dan yang pasti lebih jelas statusnya,” imbuh Runi lalu benar-benar pergi meninggalkan Jingga dengan segala kebingungannya.

Apa benar dia hanya sekedar singgah dan tak kembali lagi?

Apa malam ini kita tidak akan bertemu lagi?

Jingga jadi tak bersemangat melanjutkan pekerjaannya. Untungnya beberapa jam lagi jam kerjanya selesai. Sepanjang menunggu jam pulang dan Coffee Shop itu tutup, Jingga masih terus berharap Jefri akan datang kembali malam ini.

Pergantian jam dilalui Jingga dengan penuh harapan. Ia ingin sekali membuktikan pada Runi bahwa tebakannya salah. Jefri pasti datang malam ini. Ia terus berharap sampai akhirnya papan yang bertuliskan “OPEN" yang menempel di pintu kini sudah berganti menjadi “CLOSE".

Ternyata Runi benar. Keluh Jingga dalam hati. Terselip kekecewaan dalam hatinya kini.

Jingga pun keluar dari Coffee Shop itu dengan langkah terseok. Bolehkah ia masih menunggu kedatangan Jefri disana? Ia sangat yakin Jefri akan datang malam itu.

Satu per satu karyawan pulang meninggalkan Coffee Shop yang telah sepi. Sedangkan Jingga masih menunggu di depan tempat kerjanya itu. Hingga akhirnya ada sebuah suara yang memanggilnya.

“Jingga!”

.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Nanda Lelo

Nanda Lelo

suaranya Bayu itu

2022-09-28

0

Eko Nugroho

Eko Nugroho

uo

2022-09-11

0

Erni Fitriana

Erni Fitriana

kayaknya yg manggil bayu dehh

2022-09-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!