“Kamu gak pulang?” Tanya Joham sehabis mengantarkan makan siang untuk Zinnia. Padahal Joham malas sekali mengantarkan makanan apalagi siang ini sedang hujan gerimis. Ia bahkan harus berhenti beberapa kali di emperan toko demi menunggu hujan mereda.
Awalnya dia hendak memesan lewat jasa online. Tapi ia khawatir kepada temannya itu. Lagipula, ia harus membujuk Zinnia untuk pulang. Atau gadis itu akan mendapat lebih banyak masalah nantinya.
Dengan segera Zinnia menggelengkan kepalanya. Ia membuka bungkusan nasi beserta tongseng yang baru saja di bawa oleh Joham.
“Kamu harus pulang, Jin.”
“Enggak mau.”
“Kamu bisa dapet lebih banyak masalah kalau terus begini.”
“Biarin. Aku gak peduli. Palingan juga cuma kena tamparan ini.”
“Palingan? Di tampar lho Jin?” Joham heran mendengar seolah tamparan bukan hal yang menyakitkan bagi Zinnia.
“Udah sering, Joo. Udah kebal pipiku.” Jawab Zinnia sambil mengunyah makanannya.
Joham hanya bisa menghela nafas tidak percaya. “Pokoknya aku gak mau. Kamu harus pulang. Abis ini aku antar ke rumahmu.” Paksa Joham. Ia menatap tegas kepada gadis itu.
Zinnia nampak pasrah dengan paksaan itu. Ia berusah untuk tetap menghabiskan makanannya.
Rasanya malas sekali saat ia harus naik ke atas sepeda motor milik Joham. Pria itu bahkan sudah bertengger di sana. Namun ia tidak punya pilihan. Ia harus tetap pulang ke rumah.
Joham memacu sepeda motornya sengan kecepatan sedang. Di perjalanan, Zinnia sama sekali tak membuka suara. Gadis itu terdiam bahkan setelah ia sampai di depan rumahnya.
Security di rumah Zinnia langsung membukakan pintu gerbang saat melihat Joham dan Zinnia. Kali ini, Joham tidak ikut masuk dan hanya berhenti di depan pos security saja untuk menurunkan Zinnia.
“Kok gak masuk, Mas?” Tanya Pak Tio.
“Enggak, Pak. Masih banyak kerjaan soalnya.” Jawab Joham ramah.
Sementara Zinnia, ia masih mengunci mulutnya rapat-rapat. Padahal ia selalu berterimakasih kepada Joham saat di antarkan pulang. Namun kali ini, ia hanya langsung ngeloyor masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sekalipun kepada Joham. Sepertinya ia kesal karna pria itu memaksanya untuk pulang. Ia bahkan tidak peduli saat suara sepeda motor Joham mulai menjauh dari rumahnya.
Zinnia melirik ke arah garasi mobil di bagian depan rumahnya. Mobil dinas kedua orangtuanya masih ada disana. Itu berarti ayah dan ibunya sedang berada di rumah. Membuatnya semakin enggan untuk masuk ke dalam.
Dengan perlahan, Zinnia mulai mendorong pintu utama setelah ia lama berdiri di depannya. Menimbang keputusan antara hendak masuk atau kembali pergi dari sana.
Ia melongokkan kepalanya kemudian melangkah mengendap-endap. Berharap tidak bertemu dengan ayah atau ibunya.
“Hebat ya? Anak gadis kelayapan di luar semalaman. Sampai ke kantor polisi segala.” Terdengar suara ibunya yang berasal dari arah sofa ruang tamu. Membuat Zinnia terpaksa menghentikan langkahnya.
Arsa bangun dari duduknya dan berjalan menghampiri putri sulungnya tersebut.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Zinnia. Gadis itu tidak berkutik. Ia hanya diam saja menerima tamparan itu karna ia sudah bisa menduganya.
“Kamu ini mau jadi apa sih, Zinnia?!!!!” Teriak Arsa penuh emosi. Ia nampak sudah kehabisan akal untuk mendisiplinkan putrinya itu.
Zinnia masih terdiam. Tidak berkutik apalagi menanggapi. Dalam kondisi seperti ini. Diam adalah senjata terbaiknya untuk melawan kemurkaan ibunya.
“Mama udah kehabisan cara buat ngajarin kamu. Kamu ini anak gadis, Zinnia. Bersikaplah seperti anak gadis. Jangan malu-maluin keluarga aja kerjanya kamu ini. Cobalah kayak adikmu. Mau jadi apa sebenernya kamu? Udah setua ini kok masih belum ada perubahan. Kamu ini di sayang kok gak tau sih?! Sampai kapan kamu mau jadi beban Mama sama Papa?!”
Deg.
Beban?
Kali ini, Zinnia sudah tidak tahan dengan penghinaan itu. Ia mengangkat wajahnya dan menatap marah kepada ibunya. Perasaan ingin memberontak itu sudah di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak melihat ayahnya keluar dari kamar, mungkin ia juga sudah mengamuk tak terkendali.
“Kamu gak punya malu apa gimana? Bolak balik keluar-masuk kantor polisi? Untung Papa sama Mama punya pengaruh, jadi kamu gak pernah sampai di penjara sekalipun. Kamu ini kurang uang apa gimana?” Hanafi ikut menimpali istrinya. Membebankan semua kesalahan kepada putri bengalnya itu.
Dinding perasaan Zinnia semakin menebal. Mencoba untuk melindungi intinya agar tidak semakin terluka.
Ucapan. Adalah senjata paling tajam yang ada di dunia. Tajamnya melebihi pedang Damaskus milik Salahuddin Al-Ayubi yang terkenal sebagai pedang tertajam di dunia.
Dan Zinnia, sudah tak terhitung berapa kalinya ia tercabik akibat ucapan itu. Bukan dari orang lain. Tapi dari keluarganya sendiri.
Ia memang pernah mendengar kalau sebagian orangtua ada yang kejam dan suka memukul anak-anak mereka untuk mendisiplinkan mereka.
Entahlah, yang jelas, hati Zinnia sudah tak utuh jika menyangkut dengan keluarganya. Ia tak punya kenangan indah sekalipun bersama mereka. Yang ia ingat, ia selalu mendapat cubitan dan pukulan bahkan saat Navya yang merebut mainan miliknya. Karna ia seorang kakak, ia di tuntut untuk selalu mengalah dengan apapun yang di inginkan oleh Navya.
“Zinnia capek, Ma, Pa. Zinnia mau ke kamar dulu.” Lirih Zinnia. Ia tidak mau melihat kepada ayah dan ibunya dan terus berjalan menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas.
“Kamu ini, dasarnya bengal. Dikasih tau bukannya dengerin, malah di tinggal pergi!” Arsa masih terdengar mengomel.
Zinnia mentulikan telinganya. Ia lantas masuk kedalam kamarnya dan langsung merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Ia memandangi langit-langit kamarnya yang berlukiskan wajah April Lavinge yang memenuhi hampir seluruh area langit-langit.
Perlahan, ia meraih earphone dari atas nakas dan memakainya di telinga. Memutar lagu-lagu metal hingga ia tidak lagi mendengar teriakan ibunya. Kepalanya mulai mengangguk-angguk. Dan ia mulai berteriak tanpa suara mengikuti suara penyanyi. Ia bahkan mengangkat tangannya untuk bergoyang. Namun, airmata tetap mengalir dari kedua netranya.
Ia sedang melarikan diri. Zinnia sedang bersembunyi di antara kerasnya musik yang memekakkan telinganya itu. Musik metal adalah guanya tempat bersembunyi. Ia sedang mengosongkan hati walaupun airmatanya terus mengalir deras melewati telinganya.
Beban. Ternyata selama ini ia hanya di anggap beban oleh ayah dan ibunya. Sesaat, ia meragukan statusnya sebagai anak kandung dari keluarga Hanafi.
Bukankah sudah cukup memberinya pelajaran di umur 25 tahun? Orangtua yang kejam yang memukuli anak-anak mereka, akan berhenti memukuli saat anak mereka beranjak dewasa.
Tapi Zinnia, ia masih terjebak dalam jiwa anak-anak yang masih terus mendapat perlakuan menyakitkan itu. Ia tak bisa keluar dari gurun kaktus yang mengelilinginya. Dan tak ada satu orangpun yang bisa menyelamatkannya dari gurun itu.
Karna orang yang akan menyelamatkannya, harus berani membabat habis kaktus-kaktus yang durinya siap melukai kapan saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ney Maniez
😔😔😔😔
2022-12-09
0
mayza delita
bukan fisiknya saja yang terluka namun sejak kecil pun luka batin kian membara dari hari ke hari ,sedih
2022-11-14
0
Dea Amira 🍁
km hrusx brubh tunjukin lw km bsa, bukn jd bgtu
2022-11-10
0