Zinnia masih terduduk di salah satu kursi ruangan kantor polisi setelah Ren pergi bersama dengan pengacara dan sekretarisnya. Ia bersedekap sambil menggoyang-goyangkan kursi yang ia duduki.
“Cepetan telfon keluargamu.” Perintah salah satu petugas.
“Saya gak punya keluarga, Pak.” Jawabnya santai.
“Kalau gitu saudaramu.”
“Saya juga gak punya saudara, Pak.”
“Ya ampun Mbak. Mana mungkin ada orang yang gak punya saudara.”
“Ada, buktinya saya.”
“Kamu bawa KTP, kan? Mana sini KTP-mu?” Pinta petugas.
Awalnya Zinnia enggan untuk memberikannya. Namun setelah melihat petugas yang melotot ke arahnya, ia jadi meringsut dan kemudian mengeluarkan dompetnya. Dengan terpaksa menyerahkan KTP kepada petugas.
“Dari tadi gini kan udah Selesai kerjaan.” Gerutu petugas yang kesal karna Zinnia keras kepala.
Petugas itu memperhatikan kartu identitas milik Zinnia kemudian mencatatnya di komputer.
“Umur udah 25 masih demen nyopet, Kamu. Cari kerja yang halal, Mbak. Banyak di luar sana kerja yang halal.”
“Bapak kok mental shamming sih! Bapak bisa saya tuntut lho, atas perbuatan tidak menyenangkan karna bapak udah nyinggung saya.”
“Ya,,, ya,,, ya,,,” petugas itu nampak enggan menanggapi Zinnia.
Zinnia merogoh saku celananya saat ponSelnya berbunyi. Ada nama ‘Joo’ yang muncul di layar ponSelnya.
“Joooooo....” Rengeknya tiba-tiba saat mengangkat ponSelnya.
“Dimana? Aku udah di lokasi ini.” Ujar pria bernama Joham Syah itu. Suaranya terdengar kesal.
“Di kantor polisi.” Jawab Zinnia santai.
“Hah? Kok di kantor polisi? Ngapain?”
“Biasa....”
Joham sepertinya mengerti apa yang dimaksud oleh Zinnia dengan ‘biasa’.
“Ya ampun. Kamu ini ya. Gak ada kapok-kapoknya sih!” Joham malah ikut menggerutu.
“Buruan kesini.” Perintah Zinnia kemudian mematikan ponsel secara sepihak.
“Kamu tau ancaman hukumanmu?” Tanya petugas kembali.
“3 tahun.” Lagi-lagi Zinnia menjawabnya dengan santai.
“Nah itu tau. Kenapa masih ngelakuin?”
Zinnia terdiam.
Namun obrolan itu terhenti saat ada seorang wanita berkacamata yang mengetuk pintu dan kemudian masuk ke dalam ruangan. Wanita muda itu memperkenalkan dirinya sebagai wali dari Zinnia.
Zinnia nampak melengos tidak peduli. Ia sudah menduga kalau Selvi akan datang. Mengingat kalau ibunya pastilah sudah dikabari oleh orang-orang kenalannya yang berada di kantor polisi.
Sekretaris pribadi ibunya itu langsung menyelesaikan masalah saat itu juga.
“Jadi ini anaknya Bu Arsa?” Petugas itu nampak berbisi-bisik kepada sesama rekannya.
Tidak heran. Karna ibunya terkenal sebagai hakim yang banyak di kagumi oleh orang-orang yang bergelut di bidang hukum. Termasuk para polisi.
“Kalau begitu kami permisi dulu, Pak. Terimakasih atas kerja samanya.” Ucap Selvi sambil memaksa Zinnia untuk keluar dari ruangan itu lewat kode kepalanya.
Zinnia yang masih bersedekap mengikuti Selvi dengan diam. Berjalan keluar dari kantor polisi ke arah mobil terparkir.
“Kenapa gak masuk?”
“Kak Selvi duluan aja. Aku nunggu temen.”
Selvi tidak peduli. Ia mengangguk kemudian masuk sendiri ke dalam mobil.
Zinnia mengikuti kepergian mobil Selvi yang mulai menghilang dari pandangan. Berdiri sambil sesekali menendang-nendang kerikil untuk mengusir bosan.
Kalau teringat kejadian sore tadi, rasanya enggan sekali ia pulang ke rumah. Karna bisa di pastikan kalau ia hanya akan mendapat omelan dari ayah, ibu, bahkan adiknya yang ‘sempurna’ itu.
******
Flasback di ruang keluarga tadi sore.
Zinnia sedang sibuk dengan ponselnya. Duduk bersila di sofa dengan TV yang menyala tanpa ada yang melihatnya. Tangan kanannya sibuk menjumputi snack kue bawang dari dalam toples di pangkuannya.
Saat terdengar suara mobil ibunya yang sudah kembali dari bekerja, ia segera merapikan duduk dan menutup toples serta menaruhnya kembali ke atas meja. Ia juga menepis-nepis remahan yang mungkin terjatuh di atas sofa.
“Mama udah pulang?” Sapanya dengan tersenyum.
“iya.” Jawab Arsa yang ikut duduk di sofa. Wanita paruh baya itu meletakkan tasnya di atas meja kemudian menyandarkan kepalanya.
Zinnia menutup ponsel lipatnya kemudian membenahi duduknya untuk menghadap ibunya.
“ma...” Lirihnya.
“Apa? Mau minta apa?”
“Hehehe.. Ehmmm,, Zinnia mau lihat konser di Malang, boleh?”
“Konser apa?”
“Ya konser musik metal.”
“Gak.” Jawab Arsa tegas.
Dan seketika suasana hati Zinnia berubah kesal. Ia merengut kepada ibunya dengan mendengus kecil. Mengutarakan kekesalannya padahal ia belum mengatakan alasannya.
“Kamu ini mau sampai kapan begini terus? Gak pengen berubah apa? Gak iri lihat adikmu yang udah berhasil dan sukses di umur semuda itu? Gimana caranya Mama bisa ngerubah kamu, Zinnia?”
Mulaiiii... Batin Zinnia kesal.
“Di umur segini, seharusnya kamu ini udah mikirin kerjaan. Gimana nasib masa depan kamu nanti? Lihat adikmu itu. Masa depannya sudah terjamin. Kenapa kalian ini beda? Kamu seperti bukan anak mama aja.” Dengus Arsa yang sudah kesal. Ia sudah lelah bekerja, ditambah dengan putri sulungnya yang selalu membuat masalah. Sibuk mengurusi konser apalah itu.
“Mungkin memang aku bukan anak Mama, kali.” Jawab Zinnia.
“Zinnia!!” Arsa sudah terpancing emosi.
“Memang apa salahku, Ma? Berhenti banding-bandingin aku sama Navya! Selama ini Mama gak pernah urusin hidupku dan terlalu fokus sama hidup Navya! Mama bahkan gak peduli saat aku minta berhenti sekolah dan malah biarin aku gitu aja. Di hidup Mama cuma ada Navya! Navya! Dan Navya! Cuma dia yang bisa banggain Mama sama Papa tanpa melihat kepadaku!” Zinnia sudah kepalang emosi.
Plak!
Sebuah tamparan dari Hanafi yang baru pulang bekerja tapi sudah mendapati istri dan anaknya bertengkar.
“Kamu ini apa gak pernah di ajari buat hormat sama orang tua?! Tiap hari melawan terus kalau di bilangin.” Dengus Hanafi dengan tatapan marahnya.
Hati Zinnia kembali terkoyak. Tamparan di pipi sakitnya tidak sebanding dengan yang ia rasakan di hatinya. Ia masih ingin melawan. Tapi saat melihat sekelebatan bayangan Navya yang berdiri di pintu masuk, membuatnya enggan untuk melanjutkan.
Seperti baisa, Navya melihat dengan tatapan menjijikkan dan remeh kepadanya. Membuat sakit di hatinya semakin berambah saja.
Zinnia muak tinggal di rumah ini. Ia muak dengan semua perlakuan yang selalu ia terima dari orangtua dan adiknya. Ia ingin pergi tapi ia tidak punya tempat pelarian.
saking kesalnya, Zinnia langsung mendengus pergi begitu saja melewati Navya. ia keluar dari rumah dan tidak mempedulikan teriakan ibunya yang memanggil namanya.
Di mata keluarganya, ia seperti tidak terlihat. Selalu dipandang remeh dengan apapun yang ia lakukan. Ia ingin keluar dari tempurung yang menyesakkan itu. Pergi ke tempat dimana orang tidak memandang rendah dirinya. Dan tidak di banding-bandingkan dengan siapapun.
Untuk saat ini, pelariannya adalah musik metal. Saat ia mendengar dentuman demi dentuman di telinganya, membuat hati dan fikirannya kosong. Sesaat, ia bisa melupakan tempat yang membuatnya sesak tak berkesudahan itu.
Sejak kecil tidak di anggap dan Selalu diremehkan oleh keluarga sendiri. Itu ibarat seperti hidup di tengah padang kaktus. Kemanapun ia bergerak, duri-duri yang menyakitkan akan terus menusuk menembus kedalam kulitnya. Hingga menyebabkan luka itu gatal dan perlahan membusuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Dwi ratna
nyesek deh, aq pernh dposisi itu jin
2023-05-01
0
Ney Maniez
msh nyimak
2022-12-09
0
neng ade
anak nya Rai dan Semesta brarti ada 2 ya thor .. yg 1 kan nama nya Ranu di novel my handsome richman
2022-08-30
1