Istikharah Cinta
...Untuk calon imamku yang entah dimana keberadaanmu. Ketahuilah bahwa aku selalu menunggumu. Menunggu menjadi kendaraan yang nyaman buatmu. Menjadi rumah yang lapang untukmu. Menjadi penunjuk jalan yang lurus untukmu. Menjadi penyejuk hatimu....
...Wahai calon imamku. Di sini aku ditempa untuk menjadi dewasa, agar aku lebih bijak menyingkapi sebuah kehidupan dan siap mendampingimu kelak....
...Duhai calon pemilik tangan gagah yang menolongku ketika aku terpuruk dan jatuh. Lindungi aku dalam perjalanan hidup kita kelak, ketika engkau terluka kan kubalut dengan cinta jiwa yang merona, menyembuhkan segala perih dalam jiwamu. Begitupun sebaliknya agar kita saling melengkapi....
...Semoga Allah selalu menjagamu agar tak tersentuh yang bukan mahrammu, meski hanya seujung kuku. Agar kau bisa mempersembahkan dirimu seutuhnya untukku seperti halnya aku yang ingin mempersembahkan diriku seutuhnya hanya untukmu....
...Inilah sekilas harapanku yang terukir dalam rangkaian kata. Seperti kata orang, tidak semua yang dirasa dapat diungkapkan dengan kata-kata....
..............
Anisa terkekeh setelah membaca ungkapan hatinya saat ia masih remaja. Selembar kertas yang sudah terlihat usang itu ditatap nya dengan lekat seiring senyum tipis dibibirnya.
Diusianya yang kini sudah 25 tahun, ia masih memimpikan sosok calon imam seperti yang ia tulis didalam selembar kertas itu. Senyumnya kian merekah mengingat laki-laki impiannya.
Namun, perlahan senyumnya memudar kala mengingat perkataan orangtuanya kemarin, yang mengatakan akan menjodohkannya.
Menikah adalah impian setiap wanita, terlebih jika menikah atas dasar cinta. Perjodohan? Tidak sedikit diluar sana yang menikah atas dasar perjodohan, dan mereka baik-baik saja. Namun, bukan pernikahan seperti itu yang diharapkan oleh Anisa, terlebih jika laki-laki yang akan dijodohkan dengannya bukanlah seperti yang selalu ia impikan. Ia yang hanya lulusan Madrasah Aliyah bermimpi mendapatkan laki-laki sholeh yang bisa membimbingnya. Menjadi pelengkap separuh agamanya, dan menjadikan ia penyempurna ibadah.
Tok... tok... tok...
Anisa terkesiap mendengar ketukan dibalik pintu kamarnya, dengan cepat ia melipat kembali kertas yang masi ia genggam, kemudian memasukkannya kedalam laci. Lalu, ia bergegas untuk membuka pintu kamarnya.
"Anisa, persiapkan dirimu ya, Nak. Setelah Zuhur mereka akan datang." ucap bu Fatimah sembari mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu yang terbalut hijab, kemudian berlalu dari sana.
Anisa menatap langkah ibunya yang kian menjauh, dengan nanar. Ingin sekali ia mengatakan 'Ibu tolong batalkan perjodohanku'. Namun, itu hanya bisa ia ungkapkan dalam hati.
Setelah ibunya sudah tak terlihat, ia menutup kembali pintu kamarnya. Lalu ia menoleh melihat jam yang tergantung didinding kamarnya yang bernuansa putih. Waktu menunjukkan pukul 11:30, dan artinya kurang dari satu jam lagi laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu akan datang bersama kedua orangtuanya.
Di dalam kamarnya, ia terus mondar-mandir bak setrikaan sembari menautkan jari-jari tangannya. Ia memikirkan cara bagaimana agar bisa terbebas dari perjodohan nya ini.
Hingga terdengar suara Azan berkumandang yang menandakan sudah masuk waktu Zuhur. Namun, ia belum juga menemukan cara agar ia bisa terbebas dari perjodohan nya.
Anisa semakin gelisah, ia melepas tautan jari-jarinya kemudian mengusap wajah serta kepalanya yang terbalut hijab.
Hanya ada satu cara yang bisa ia lakukan saat ini. Pergi dari rumah adalah satu-satunya cara jika ia ingin terbebas dari perjodohan.
"Ibu, Bapak maafkan aku karena kali ini aku tidak menurut pada kalian. Aku terpaksa melakukan ini, aku tidak mau dijodohkan."
Tanpa menunaikan shalat Zuhur terlebih dahulu, ia segera mengambil tas berukuran sedang dari atas lemarinya, kemudian memasukkan beberapa pakaiannya. Tak banyak yang ia bawa, karena ia akan kembali pulang setelah memastikan perjodohan itu tidak dilanjutkan lagi.
______________-------------------------_______________
"Bu, panggil Anisa," perintah pak Usman pada istrinya. "Kita shalat dulu, setelah itu siapkan hidangan untuk menyambut calon mantu dan calon besan kita." sambungnya sembari tersenyum. Sebuah sajadah yang dipeganngya ia bentangkan diatas lantai, didalam ruangan yang biasa mereka pakai untuk shalat berjamaah.
"Iya,Pak." jawab Bu Fatimah sambil menganggukkan kepalanya, kemudian segere pergi kekamar putrinya.
Sesampainya didepan kamar Anisa. Bu Fatimah mengetuk pintu sembari memanggil Nama putrinya itu.
"Anisa, ayo kita sholat, Nak. Bapak sudah nungguin." panggil Bu Fatimah, namun beberapa saat pintu kamar itu belum juga terbuka.
"Anisa, ayo sholat, Nak. Kok tumben sih lambat keluar kamarnya? Biasanya sebelum Azan selesai kamu sudah siap duluan." panggil bu Fatimah lagi, namun si penghuni kamar belum juga membukakannya pintu.
Merasa ada yang janggal, bu Fatimah langsung membuka pintu kamar Anisa. Dan setelah masuk ia tak mendapati Anisa didalam kamar itu.
Bu Fatimah memeriksa kamar mandi, namun putrinya itu juga tak ada didalam sana. Bu Fatimah jadi panik, ia mengedarkan pandangannya dan seketika kedua matanya membulat saat tatapannya tertuju pada jendela yang terbuka lebar.
Raut wajah bu Fatimah semakin terlihat cemas, ia tahu betul jika Anisa tak pernah membuka jendela selebar itu. Putrinya itu hanya menyingkap horder jendela nya saja.
Tak ingin menduga-duga, bu Fatimah kembali mengedarkan pandangannya didalam kamar itu. Hingga ia teringat sesuatu.
Bu Fatimah membuka lemari pakaian Anisa, jika dilihat sekilas isi lemari itu masih utuh. Namun bu Fatimah tahu jika ada beberapa pakaian Anisa yang tidak ada didalam lemari.
"Tas," ucapnya lirih. Ia segera memeriksa tas kecil yang Anisa taruh diatas lemari. Dan kini dugaan nya bahwa putrinya kabur, benar, setelah mendapati tas kecil itu tidak ada diatas lemari.
Tak ingin membuang waktu, bu Fatimah segera berlari keluar dari kamar Anisa, dan langsung menghampiri suaminya yang kini tengah melaksanakan shalat sunah.
"Pak, Anisa gak ada dikamarnya." ucap bu Fatimah yang bertepatan diakhir salam pak Usman menunaikan shalat sunahnya.
Namun, pak Usman tetap terlihat tenang. Ia mengusap wajahnya, kemudian beranjak dari atas sajadah.
"Kita shalat ya, Bu." ucapnya lalu mengambil posisi seperti biasanya.
"Pak, Anisa gak ada dikamarnya. Tas serta beberapa pakaiannya juga gak ada, dia pasti kabur." ujar bu Fatimah, dengan nada yang terdengar khawatir.
Pak Usman kembali berbalik menatap istrinya.
"Aduh ini gimana, Pak? Sebentar lagi calon besan kita datang, tapi Anisa gak ada."
"Bu, gak baik menunda-nunda waktu shalat. Ibu juga belum shalat sunah, kalau Ibu mau shalat sunah dulu silahakan, Bapak tunggu. Kalau enggak kita langsung shalat ya." ucap pak Usman dengan tenang.
"Bapak ini gimana sih, Ibu ngomong apa dijawabnya apa. Anak kita kabur dari rumah, Pak. Dan kita harus cari!" seru bu Fatimah yang sedikit emosi.
"Astagfirullah. Istighfar, Bu. Sahabat Nabi saja 'Abbad bin Bisyr' tetap melanjutkan shalat meski terkena anak panah. Sementara Anisa, dia hanya kabur dan itu bukan penghalang untuk kita meninggalkan shalat. Lagian mau kabur kemana sih dia? Nanti juga kalau menemui jalan buntu anak itu pasti juga bakal pulang." Pak Usman kembali ke posisinya sebagai imam shalat.
Sementara bu Fatimah, ia mengambil mukenah dan sajadahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
hadir thor
2023-05-14
1
andi hastutty
bapak yg luar biasa 😂
2023-02-25
1
Fahry Imama
awal yg bagus langsung ...
semangat up kak thor
2022-09-19
3