Seteleh selesai menunaikan shalat Zuhur bersama istrinya, pak Usman tetap meminta istrinya itu untuk menyiapkan hidangan untuk keluarga yang akan datang dengan niatan mempersunting putrinya. Yah walaupun Anisa entah dimana keberadaannya saat ini, namun pak Usman tetap ingin menyambut kedatangan mereka dengan baik.
Sepeninggalan istrinya menuju dapur, pak Usman masih duduk termenung di atas sajadahnya. Entah apa yang salah sehingga putrinya itu pergi seperti ini. Jika memang kepergiannya karena tak ingin dijodohkan, seharusnya Anisa mengatakan padanya, dan bukannya melarikan diri seperti ini disaat keluarga itu akan datang.
Entah berapa lama ia termenung di atas sajadahnya, hingga usapan dipundaknya membuyarkan lamunannya.
"Pak, hidangannya sudah siap. Sudah Ibu tata juga diruang tamu." ucap bu Fatimah sembari mengusap pundak suaminya, kemudian ia mensejajarkan duduknya dengan sang suami.
"Pak, apa yang akan kita katakan nanti pada mereka?" bu Fatimah menundukkan kepalanya, perasaannya berkecamuk antara kecewa bercampur malu.
"Sudah, Bu gak usah terlalu dipikirkan. Nanti kita bicarakan baik-baik pada mereka, dan meminta maaf atas apa yang terjadi hari ini." pak Usman mengusap pucuk kepala istrinya, meyakinkannya jika semuanya akan baik-baik saja.
"Lalu bagaimana dengan Anisa, dimana dia sekarang? Tadi Ibu coba telepon tapi nomornya gak aktif, Ibu khawatir, Pak. Anisa anak perempuan dan ini pertama kalinya dia pergi sendirian tanpa kita. Bapak tau sendiri bagaimana kejamnya kota ini." bu Fatimah mulai terisak.
Pak Usman menghela nafas berat, sejujurnya iapaun mengkhawatirkan hal yang sama. Meski Palembang terkenal Kota yang asri, dan banyak peminatnya untuk berlibur berburu berbagai tempat wisata. Namun, tak mengelakkan jika Kota tempat tinggalnya ini rawan begal dan pencopet.
Entah bagaimana nasib putrinya diluar sana jika bertemu komplotan yang banyak meresahkan warga itu. Semoga putrinya selalu dalam lindungan-NYA.
"Seteleh ini, kita cari Anisa ya, Bu." pak Usman kembali mengusap pucuk kepala istrinya.
Bu Fatimah pun menganggukkan kepala sembari mengusap air matanya.
Hingga keduanya beranjak dari ruangan itu saat terdengar ketukan diluar sana beriringan dengan ucapan salam.
_______________----------------___________
"Maaf, Pak Usman. Kami ingin melihat calon menantu kami secara langsung," ucap abi Ridwan, ia melirik putranya yang tertunduk malu bak seorang gadis. Untung saja pipinya tak memerah seperti tomat.
"Waktu itu kami hanya melihat fotonya, dan sekarang kami ingin melihat nya secara langsung." sambung abi Ridwan, ia terkekeh melihat putranya yang nampak menahan senyumnya.
"Kata Rahmat, dilihat dari fotonya saja cantik, pasti jauh lebih cantik jika dilihat orangnya langsung." ucapnya lagi, yang membuat putranya semakin tertunduk malu.
"Duh, rasanya udah gak sabar ingin segera memboyong Anisa." sahut Umi Kalsum.
Pak Usman dan istrinya saling pandang, kemudian ia berdehem untuk mengurai ketegangan yang menerpanya saat ini.
"Pak Ridwan, Bu Kalsum dan Nak Rahmat. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih banyak atas kedatangannya dengan membawa niat baik," ucap pak Usman, ia menatap ketiga orang dihadapannya bergantian, kemudian beralih menatap istrinya yang terlihat tegang.
"Dan kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya, putri kami kabur." ucapnya lirih yang membuat abi Ridwan dan umi Kalsum seketika terperangah begitupun dengan Rahmat yang langsung mengangkat wajahnya menatap pak Usman dan bu Fatimah.
"Apa Anisa menolak perjodohan ini?" tanya abi Ridwan tetap tenang meskipun dalam hati ia begitu terkejut.
Pak Usman menggelengkan kepalanya. "Kami gak tau persis, tapi sejak awal kami memberitahunya tentang perjodohan ini. Anisa tidak menolak, lebih tepatnya dia tidak mengatakan apapun." jawab pak Usman.
Abi Ridwan menghela nafas nya, begitupun dengan Umi Kalsum. Sementara Rahmat kembali menundukkan kepalanya, namun kali ini ia tertunduk lesu mengetahui calon istrinya lari dari perjodohan.
Meski belum melihat secara langsung, namun Rahmat sudah tertarik pada Anisa dengan hanya melihat fotonya saja. Dan baru itu ia merasakan ketertarikan pada lawan jenis, selama ini ia tak pernah memikirkan soal pernikahan, seteleh menyelesaikan pendidikannya di Kairo, ia lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di pesantren milik orangtuanya.
Namun, seteleh mendapat teguran dari kakak iparnya, iapaun seolah tersadar jika usianya sudah melebihi kata matang untuk berkeluarga. Iapun meminta orangtuanya untuk mencarikannya seorang wanita untuk ia persunting, dan berakhirlah ia disini. Di rumah wanita yang akan dijodohkan dengannya. Namun, ia harus menelan kekecewaan, calon istrinya kabur entah kemana.
"Pak Usman, Bu Fatimah kalau begitu kami izin pamit pulang." ucap abi Ridwan pada akhirnya, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi selain berpamitan untuk pulang.
Pak Usman tersentak, ia merasa benar benar tak enak hati pada keluarga yang sudah datang dengan niat baiknya. Dan yang mereka dapati mungkin kekecewaan yang lebih besar dari pada apa yang ia rasakan.
"Atas nama putri saya, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya." pak Usman mengatupkan kedua tangannya seraya menatap ketiga orang didepannya dengan mata berkaca-kaca.
Meski kecewa, abi Ridwan tetap tersenyum. Ia tak mungkin menyalahkan pak Usman atas apa yang terjadi hari ini. Mungkin anak anak mereka belum berjodoh, begitulah abi Ridwan menyimpulkannya.
"Tak perlu meminta maaf, Pak Usman. Yang terjadi hari ini, anggap saja sebagai pelajaran agar kita selalu yakin akan takdir-NYA. Kita seperti orang yang tak berkeyakinan saja," ucapnya terkekeh. "Padahal jodoh, maut dan rezeki sudah diatur dengan sangat baik oleh-NYA." sambungnya.
Pak Usman pun ikut terkekeh mendegar penuturan abi Ridwan, ia mengangguk membenarkan. Namun, itu semua belum sepenuhnya membuatnya merasa tenang.
_______________________________________
Di sisi jalanan yang tak lekang dari keramaian kendaraan yang berlalu lalang, Anisa berjalan menyusuri jalanan itu dengan sejuta rasa yang berkecamuk didadanya.
Rasa bersalah karena melarikan diri dari perjodohan yang seharusnya ia bicarakan baik-baik pada orangtuanya.
Rasa bakti yang seolah ia renggut dengan paksa karena pergi dari rumah secara diam-diam. Hal yang tak pernah ia lakukan selama ini.
Dan Rasa takut seorang diri berada diantara keramaian yang terasa asing baginya karena untuk yang pertama kalinya ia berada diluar rumah tanpa ayah dan ibunya, meski ia sendiri asli penduduk kota tersebut.
Anisa terus menyusuri jalanan itu sembari berdoa dalam hati agar ia tak bertemu komplotan menyeramkan yang selalu membuat warga resah karena ulahnya yang banyak merugikan orang.
Hingga ia sampai pada persimpangan jalan kecil, yang terdapat dua bangunan yang saling berhadapan dengan jalanan kecil yang menjadi pembatas antar bangunan itu.
Sebuah pesantren yang berhadapan dengan masjid.
Anisa memutuskan untuk pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya yang belum terlaksana karena aksinya yang kabur dari rumah.
Beberapa saat kemudian ia keluar dari masjid itu, kemudian menatap pesantren yang berhadapan dengan masjid tersebut.
Terbesit sebuah keinginan untuk tinggal di sana, tak masalah jika ia dijadikan pesuruh atau menjadi pelayan para santri, yang terpenting ia mendapat tempat tinggal untuk saat ini.
Dengan langkah pasti ia melangkah menyebrangi jalan, dan kini ia sudah berdiri dihadapan gerbang pesantren tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
andi hastutty
lari dari perjodohan pemilik pesantren dan pergi ke pesantren orang yg dijodohkan hahhaha
2023-02-25
1
Baihaqi Sabani
eeeh kaburyaaaa k rmh oesantren jodohy kli kn td abi ridwan pnya psantren n anky yg mau d jodohkn ngjr d psntrn lulusan ksiro😄😄😄
2022-09-29
1
TikaPermata
hai kak, aku mampir❤️
2022-09-07
1