NovelToon NovelToon

Istikharah Cinta

KABUR

...Untuk calon imamku yang entah dimana keberadaanmu. Ketahuilah bahwa aku selalu menunggumu. Menunggu menjadi kendaraan yang nyaman buatmu. Menjadi rumah yang lapang untukmu. Menjadi penunjuk jalan yang lurus untukmu. Menjadi penyejuk hatimu....

...Wahai calon imamku. Di sini aku ditempa untuk menjadi dewasa, agar aku lebih bijak menyingkapi sebuah kehidupan dan siap mendampingimu kelak....

...Duhai calon pemilik tangan gagah yang menolongku ketika aku terpuruk dan jatuh. Lindungi aku dalam perjalanan hidup kita kelak, ketika engkau terluka kan kubalut dengan cinta jiwa yang merona, menyembuhkan segala perih dalam jiwamu. Begitupun sebaliknya agar kita saling melengkapi....

...Semoga Allah selalu menjagamu agar tak tersentuh yang bukan mahrammu, meski hanya seujung kuku. Agar kau bisa mempersembahkan dirimu seutuhnya untukku seperti halnya aku yang ingin mempersembahkan diriku seutuhnya hanya untukmu....

...Inilah sekilas harapanku yang terukir dalam rangkaian kata. Seperti kata orang, tidak semua yang dirasa dapat diungkapkan dengan kata-kata....

..............

Anisa terkekeh setelah membaca ungkapan hatinya saat ia masih remaja. Selembar kertas yang sudah terlihat usang itu ditatap nya dengan lekat seiring senyum tipis dibibirnya.

Diusianya yang kini sudah 25 tahun, ia masih memimpikan sosok calon imam seperti yang ia tulis didalam selembar kertas itu. Senyumnya kian merekah mengingat laki-laki impiannya.

Namun, perlahan senyumnya memudar kala mengingat perkataan orangtuanya kemarin, yang mengatakan akan menjodohkannya.

Menikah adalah impian setiap wanita, terlebih jika menikah atas dasar cinta. Perjodohan? Tidak sedikit diluar sana yang menikah atas dasar perjodohan, dan mereka baik-baik saja. Namun, bukan pernikahan seperti itu yang diharapkan oleh Anisa, terlebih jika laki-laki yang akan dijodohkan dengannya bukanlah seperti yang selalu ia impikan. Ia yang hanya lulusan Madrasah Aliyah bermimpi mendapatkan laki-laki sholeh yang bisa membimbingnya. Menjadi pelengkap separuh agamanya, dan menjadikan ia penyempurna ibadah.

Tok... tok... tok...

Anisa terkesiap mendengar ketukan dibalik pintu kamarnya, dengan cepat ia melipat kembali kertas yang masi ia genggam, kemudian memasukkannya kedalam laci. Lalu, ia bergegas untuk membuka pintu kamarnya.

"Anisa, persiapkan dirimu ya, Nak. Setelah Zuhur mereka akan datang." ucap bu Fatimah sembari mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu yang terbalut hijab, kemudian berlalu dari sana.

Anisa menatap langkah ibunya yang kian menjauh, dengan nanar. Ingin sekali ia mengatakan 'Ibu tolong batalkan perjodohanku'. Namun, itu hanya bisa ia ungkapkan dalam hati.

Setelah ibunya sudah tak terlihat, ia menutup kembali pintu kamarnya. Lalu ia menoleh melihat jam yang tergantung didinding kamarnya yang bernuansa putih. Waktu menunjukkan pukul 11:30, dan artinya kurang dari satu jam lagi laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu akan datang bersama kedua orangtuanya.

Di dalam kamarnya, ia terus mondar-mandir bak setrikaan sembari menautkan jari-jari tangannya. Ia memikirkan cara bagaimana agar bisa terbebas dari perjodohan nya ini.

Hingga terdengar suara Azan berkumandang yang menandakan sudah masuk waktu Zuhur. Namun, ia belum juga menemukan cara agar ia bisa terbebas dari perjodohan nya.

Anisa semakin gelisah, ia melepas tautan jari-jarinya kemudian mengusap wajah serta kepalanya yang terbalut hijab.

Hanya ada satu cara yang bisa ia lakukan saat ini. Pergi dari rumah adalah satu-satunya cara jika ia ingin terbebas dari perjodohan.

"Ibu, Bapak maafkan aku karena kali ini aku tidak menurut pada kalian. Aku terpaksa melakukan ini, aku tidak mau dijodohkan."

Tanpa menunaikan shalat Zuhur terlebih dahulu, ia segera mengambil tas berukuran sedang dari atas lemarinya, kemudian memasukkan beberapa pakaiannya. Tak banyak yang ia bawa, karena ia akan kembali pulang setelah memastikan perjodohan itu tidak dilanjutkan lagi.

______________-------------------------_______________

"Bu, panggil Anisa," perintah pak Usman pada istrinya. "Kita shalat dulu, setelah itu siapkan hidangan untuk menyambut calon mantu dan calon besan kita." sambungnya sembari tersenyum. Sebuah sajadah yang dipeganngya ia bentangkan diatas lantai, didalam ruangan yang biasa mereka pakai untuk shalat berjamaah.

"Iya,Pak." jawab Bu Fatimah sambil menganggukkan kepalanya, kemudian segere pergi kekamar putrinya.

Sesampainya didepan kamar Anisa. Bu Fatimah mengetuk pintu sembari memanggil Nama putrinya itu.

"Anisa, ayo kita sholat, Nak. Bapak sudah nungguin." panggil Bu Fatimah, namun beberapa saat pintu kamar itu belum juga terbuka.

"Anisa, ayo sholat, Nak. Kok tumben sih lambat keluar kamarnya? Biasanya sebelum Azan selesai kamu sudah siap duluan." panggil bu Fatimah lagi, namun si penghuni kamar belum juga membukakannya pintu.

Merasa ada yang janggal, bu Fatimah langsung membuka pintu kamar Anisa. Dan setelah masuk ia tak mendapati Anisa didalam kamar itu.

Bu Fatimah memeriksa kamar mandi, namun putrinya itu juga tak ada didalam sana. Bu Fatimah jadi panik, ia mengedarkan pandangannya dan seketika kedua matanya membulat saat tatapannya tertuju pada jendela yang terbuka lebar.

Raut wajah bu Fatimah semakin terlihat cemas, ia tahu betul jika Anisa tak pernah membuka jendela selebar itu. Putrinya itu hanya menyingkap horder jendela nya saja.

Tak ingin menduga-duga, bu Fatimah kembali mengedarkan pandangannya didalam kamar itu. Hingga ia teringat sesuatu.

Bu Fatimah membuka lemari pakaian Anisa, jika dilihat sekilas isi lemari itu masih utuh. Namun bu Fatimah tahu jika ada beberapa pakaian Anisa yang tidak ada didalam lemari.

"Tas," ucapnya lirih. Ia segera memeriksa tas kecil yang Anisa taruh diatas lemari. Dan kini dugaan nya bahwa putrinya kabur, benar, setelah mendapati tas kecil itu tidak ada diatas lemari.

Tak ingin membuang waktu, bu Fatimah segera berlari keluar dari kamar Anisa, dan langsung menghampiri suaminya yang kini tengah melaksanakan shalat sunah.

"Pak, Anisa gak ada dikamarnya." ucap bu Fatimah yang bertepatan diakhir salam pak Usman menunaikan shalat sunahnya.

Namun, pak Usman tetap terlihat tenang. Ia mengusap wajahnya, kemudian beranjak dari atas sajadah.

"Kita shalat ya, Bu." ucapnya lalu mengambil posisi seperti biasanya.

"Pak, Anisa gak ada dikamarnya. Tas serta beberapa pakaiannya juga gak ada, dia pasti kabur." ujar bu Fatimah, dengan nada yang terdengar khawatir.

Pak Usman kembali berbalik menatap istrinya.

"Aduh ini gimana, Pak? Sebentar lagi calon besan kita datang, tapi Anisa gak ada."

"Bu, gak baik menunda-nunda waktu shalat. Ibu juga belum shalat sunah, kalau Ibu mau shalat sunah dulu silahakan, Bapak tunggu. Kalau enggak kita langsung shalat ya." ucap pak Usman dengan tenang.

"Bapak ini gimana sih, Ibu ngomong apa dijawabnya apa. Anak kita kabur dari rumah, Pak. Dan kita harus cari!" seru bu Fatimah yang sedikit emosi.

"Astagfirullah. Istighfar, Bu. Sahabat Nabi saja 'Abbad bin Bisyr' tetap melanjutkan shalat meski terkena anak panah. Sementara Anisa, dia hanya kabur dan itu bukan penghalang untuk kita meninggalkan shalat. Lagian mau kabur kemana sih dia? Nanti juga kalau menemui jalan buntu anak itu pasti juga bakal pulang." Pak Usman kembali ke posisinya sebagai imam shalat.

Sementara bu Fatimah, ia mengambil mukenah dan sajadahnya.

PERMINTAAN MAAF

Seteleh selesai menunaikan shalat Zuhur bersama istrinya, pak Usman tetap meminta istrinya itu untuk menyiapkan hidangan untuk keluarga yang akan datang dengan niatan mempersunting putrinya. Yah walaupun Anisa entah dimana keberadaannya saat ini, namun pak Usman tetap ingin menyambut kedatangan mereka dengan baik.

Sepeninggalan istrinya menuju dapur, pak Usman masih duduk termenung di atas sajadahnya. Entah apa yang salah sehingga putrinya itu pergi seperti ini. Jika memang kepergiannya karena tak ingin dijodohkan, seharusnya Anisa mengatakan padanya, dan bukannya melarikan diri seperti ini disaat keluarga itu akan datang.

Entah berapa lama ia termenung di atas sajadahnya, hingga usapan dipundaknya membuyarkan lamunannya.

"Pak, hidangannya sudah siap. Sudah Ibu tata juga diruang tamu." ucap bu Fatimah sembari mengusap pundak suaminya, kemudian ia mensejajarkan duduknya dengan sang suami.

"Pak, apa yang akan kita katakan nanti pada mereka?" bu Fatimah menundukkan kepalanya, perasaannya berkecamuk antara kecewa bercampur malu.

"Sudah, Bu gak usah terlalu dipikirkan. Nanti kita bicarakan baik-baik pada mereka, dan meminta maaf atas apa yang terjadi hari ini." pak Usman mengusap pucuk kepala istrinya, meyakinkannya jika semuanya akan baik-baik saja.

"Lalu bagaimana dengan Anisa, dimana dia sekarang? Tadi Ibu coba telepon tapi nomornya gak aktif, Ibu khawatir, Pak. Anisa anak perempuan dan ini pertama kalinya dia pergi sendirian tanpa kita. Bapak tau sendiri bagaimana kejamnya kota ini." bu Fatimah mulai terisak.

Pak Usman menghela nafas berat, sejujurnya iapaun mengkhawatirkan hal yang sama. Meski Palembang terkenal Kota yang asri, dan banyak peminatnya untuk berlibur berburu berbagai tempat wisata. Namun, tak mengelakkan jika Kota tempat tinggalnya ini rawan begal dan pencopet.

Entah bagaimana nasib putrinya diluar sana jika bertemu komplotan yang banyak meresahkan warga itu. Semoga putrinya selalu dalam lindungan-NYA.

"Seteleh ini, kita cari Anisa ya, Bu." pak Usman kembali mengusap pucuk kepala istrinya.

Bu Fatimah pun menganggukkan kepala sembari mengusap air matanya.

Hingga keduanya beranjak dari ruangan itu saat terdengar ketukan diluar sana beriringan dengan ucapan salam.

_______________----------------___________

"Maaf, Pak Usman. Kami ingin melihat calon menantu kami secara langsung," ucap abi Ridwan, ia melirik putranya yang tertunduk malu bak seorang gadis. Untung saja pipinya tak memerah seperti tomat.

"Waktu itu kami hanya melihat fotonya, dan sekarang kami ingin melihat nya secara langsung." sambung abi Ridwan, ia terkekeh melihat putranya yang nampak menahan senyumnya.

"Kata Rahmat, dilihat dari fotonya saja cantik, pasti jauh lebih cantik jika dilihat orangnya langsung." ucapnya lagi, yang membuat putranya semakin tertunduk malu.

"Duh, rasanya udah gak sabar ingin segera memboyong Anisa." sahut Umi Kalsum.

Pak Usman dan istrinya saling pandang, kemudian ia berdehem untuk mengurai ketegangan yang menerpanya saat ini.

"Pak Ridwan, Bu Kalsum dan Nak Rahmat. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih banyak atas kedatangannya dengan membawa niat baik," ucap pak Usman, ia menatap ketiga orang dihadapannya bergantian, kemudian beralih menatap istrinya yang terlihat tegang.

"Dan kami juga memohon maaf yang sebesar-besarnya, putri kami kabur." ucapnya lirih yang membuat abi Ridwan dan umi Kalsum seketika terperangah begitupun dengan Rahmat yang langsung mengangkat wajahnya menatap pak Usman dan bu Fatimah.

"Apa Anisa menolak perjodohan ini?" tanya abi Ridwan tetap tenang meskipun dalam hati ia begitu terkejut.

Pak Usman menggelengkan kepalanya. "Kami gak tau persis, tapi sejak awal kami memberitahunya tentang perjodohan ini. Anisa tidak menolak, lebih tepatnya dia tidak mengatakan apapun." jawab pak Usman.

Abi Ridwan menghela nafas nya, begitupun dengan Umi Kalsum. Sementara Rahmat kembali menundukkan kepalanya, namun kali ini ia tertunduk lesu mengetahui calon istrinya lari dari perjodohan.

Meski belum melihat secara langsung, namun Rahmat sudah tertarik pada Anisa dengan hanya melihat fotonya saja. Dan baru itu ia merasakan ketertarikan pada lawan jenis, selama ini ia tak pernah memikirkan soal pernikahan, seteleh menyelesaikan pendidikannya di Kairo, ia lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di pesantren milik orangtuanya.

Namun, seteleh mendapat teguran dari kakak iparnya, iapaun seolah tersadar jika usianya sudah melebihi kata matang untuk berkeluarga. Iapun meminta orangtuanya untuk mencarikannya seorang wanita untuk ia persunting, dan berakhirlah ia disini. Di rumah wanita yang akan dijodohkan dengannya. Namun, ia harus menelan kekecewaan, calon istrinya kabur entah kemana.

"Pak Usman, Bu Fatimah kalau begitu kami izin pamit pulang." ucap abi Ridwan pada akhirnya, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi selain berpamitan untuk pulang.

Pak Usman tersentak, ia merasa benar benar tak enak hati pada keluarga yang sudah datang dengan niat baiknya. Dan yang mereka dapati mungkin kekecewaan yang lebih besar dari pada apa yang ia rasakan.

"Atas nama putri saya, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya." pak Usman mengatupkan kedua tangannya seraya menatap ketiga orang didepannya dengan mata berkaca-kaca.

Meski kecewa, abi Ridwan tetap tersenyum. Ia tak mungkin menyalahkan pak Usman atas apa yang terjadi hari ini. Mungkin anak anak mereka belum berjodoh, begitulah abi Ridwan menyimpulkannya.

"Tak perlu meminta maaf, Pak Usman. Yang terjadi hari ini, anggap saja sebagai pelajaran agar kita selalu yakin akan takdir-NYA. Kita seperti orang yang tak berkeyakinan saja," ucapnya terkekeh. "Padahal jodoh, maut dan rezeki sudah diatur dengan sangat baik oleh-NYA." sambungnya.

Pak Usman pun ikut terkekeh mendegar penuturan abi Ridwan, ia mengangguk membenarkan. Namun, itu semua belum sepenuhnya membuatnya merasa tenang.

_______________________________________

Di sisi jalanan yang tak lekang dari keramaian kendaraan yang berlalu lalang, Anisa berjalan menyusuri jalanan itu dengan sejuta rasa yang berkecamuk didadanya.

Rasa bersalah karena melarikan diri dari perjodohan yang seharusnya ia bicarakan baik-baik pada orangtuanya.

Rasa bakti yang seolah ia renggut dengan paksa karena pergi dari rumah secara diam-diam. Hal yang tak pernah ia lakukan selama ini.

Dan Rasa takut seorang diri berada diantara keramaian yang terasa asing baginya karena untuk yang pertama kalinya ia berada diluar rumah tanpa ayah dan ibunya, meski ia sendiri asli penduduk kota tersebut.

Anisa terus menyusuri jalanan itu sembari berdoa dalam hati agar ia tak bertemu komplotan menyeramkan yang selalu membuat warga resah karena ulahnya yang banyak merugikan orang.

Hingga ia sampai pada persimpangan jalan kecil, yang terdapat dua bangunan yang saling berhadapan dengan jalanan kecil yang menjadi pembatas antar bangunan itu.

Sebuah pesantren yang berhadapan dengan masjid.

Anisa memutuskan untuk pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya yang belum terlaksana karena aksinya yang kabur dari rumah.

Beberapa saat kemudian ia keluar dari masjid itu, kemudian menatap pesantren yang berhadapan dengan masjid tersebut.

Terbesit sebuah keinginan untuk tinggal di sana, tak masalah jika ia dijadikan pesuruh atau menjadi pelayan para santri, yang terpenting ia mendapat tempat tinggal untuk saat ini.

Dengan langkah pasti ia melangkah menyebrangi jalan, dan kini ia sudah berdiri dihadapan gerbang pesantren tersebut.

TINGGAL DI PESANTREN

"Loh kok berhenti di depan masjid sih?" tanya Umi Kalsum. Ia heran putranya itu menghentikan mobilnya didepan masjid, dan bukannya langsung masuk ke pesantren.

"Benar kata orang, kalau jodoh emang gak akan kemana." gumam Rahmat, ia tersenyum tipis sembari menatap seorang wanita yang berdiri didepan gerbang pesantren orangtuanya.

"Rahmat, dengerin Umi gak sih?" Umi Kalsum menarik rambut putranya itu.

"Eh, iya apa Umi?" tanya Rahmat gelagapan. Ia terkejut rambutnya ditarik oleh Umi nya.

Sementara Abi Ridwan hanya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, sebenarnya Abi Ridwan tahu kenapa Rahmat menghentikan mobilnya didepan masjid. Namun, ia lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu karena ingin melihat bagaimana rekasi putranya saat melihat gadis itu secara langsung.

"Umi tadi tanya, kenapa malah berhenti di depan masjid. Kenapa gak langsung masuk ke pesantren?" tanya Umi Kalsum lagi.

Bukannya menjawab pertanyaan Umi nya, Rahmat malah tersenyum kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya.

"Coba Umi dan Abi perhatikan foto ini baik-baik." Rahmat menunjukkan sebuah foto pada Abi dan Umi nya, di ponselnya.

"Lah, ini kan foto nya Anisa," Umi Kalsum mengerutkan keningnya, sementara Abi Ridwan mengulum senyum.

"Kenapa, kamu mau cari Anisa?" tanya Umi Kalsum.

"Gak perlu di cari, Umi. Dia sudah ada disini." jawab Rahmat, senyumnya semakin mengembang.

Umi Kalsum terkekeh, kemudian memegang kening Rahmat untuk memastikan kalau putranya itu baik-baik saja. Bagaimana putranya itu bisa mengatakan jika Anisa 'ada disini' padahal mereka baru saja kembali dari rumah gadis itu, dan ia gadis itu kabur dari rumah nya.

"Gak panas, gak demam. Tapi kok kamu ngigau sih?"

"Umi, siapa yang ngigau sih. Beneran Umi, Anisa ada disini, itu lihat disana." Rahmat menunjuk kearah gerbang pesantren, dimana disana seorang wanita berhijab berdiri sambil menenteng tas nya.

Umi Kalsum mengikuti arah tunjuk putranya, dan seketika ia mengucek kedua matanya melihat sosok wanita itu.

"Umi gak salah lihat kan, itu beneran Anisa?" Umi Kalsum langsung membuka kaca mobilnya, dan ia hendak memanggil Anisa namun Rahmat segera mencegahnya.

"Anis...

"Umi, Umi jangan dipanggil."

"Loh kenapa memangnya?" tanya umi Kalsum.

Rahmat kembali tersenyum. Kemudian ia membisikkan sesuatu pada Umi nya. Umi Kalsum tampak memanggut-manggutkan kepalanya, ia juga tersenyum setelah dibisikkan sesuatu oleh putranya itu.

Dan Abi Ridwan yang tadinya berpura-pura tidak melihat keberadaan Anisa, iapun bertekad akan membantu putranya itu untuk meluluhkan hati gadis yang sedang berdiri didepan gerbang pesantren nya itu, setelah melihat reaksi Rahmat yang sepertinya menyukai Anisa.

Namun, abi Ridwan juga tak habis pikir atas apa yang terjadi hari ini. Gadis yang akan dijodohkan dengan putranya, melarikan diri dari rumah. Dan lihatlah sekarang, gadis yang kabur itu melarikan diri ke pesantren miliknya. Abi Ridwan terkekeh.

______________----------------________________

Pip...

Anisa segera bergeser dari hadapan gerbang saat sebuah mobil memebunyikan klakson dan sepertinya akan masuk ke pesantren tersebut.

Terlihat seorang satpam lari tergopoh-gopoh dari dalam pesantren, kemudian membuka gerbang itu.

Setelah gerbang terbuka, sebuah mobil berwarna hitam itu memasuki area pesantren, dan tak lama kemudian sepasang paruh baya turun dari mobil itu lalu menghampiri Anisa yang masih berada didepan gerbang.

"Assalamualikum," sapa Umi Kalsum, ia tersenyum pada Anisa, dalam hati ia mengagumi kecantikan gadis itu. Jika saja putranya tak merencanakan sesuatu, ingin sekali ia merangkulnya dan melamarnya secara langsung. Namun, setelah dipikirkan lagi apa yang direncanakan oleh putranya itu ada benarnya juga.

"Waalaikumsalam." jawab Anisa sopan, ia sedikit menundukkan kepalanya.

"Ayo silahkan masuk," ajak Umi Kalsum. Dan Anisa pun mengikuti langkah wanita paruh baya itu masuk ke dalam pesantren.

"Mau menjenguk siapa? Sebutkan saja namanya nanti kami panggilkan." tanya Umi Kalsum. Ia mensejajarkan langkahnya dengan Anisa, sementara Abi Ridwan sudah tak terlihat lagi disana.

Anisa menghentikan langkahnya, begitupun dengan umi Kalsum yang juga berhenti melangkah. Ia menoleh menatap gadis disampingnya dengan kening mengkerut, sekali lagi umi Kalsum menahan keinginannya untuk bertanya pada Anisa, kenapa gadis cantik ini kabur dari perjodohannya.

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya disini bukan untuk menjenguk siapa-siapa," jawab Anisa. "Saya tadi hanya kebetulan lewat saja dan lihat pesantren ini." sambungnya.

"Apa kamu mau melamar jadi guru disini?" Anisa menggelengkan kepalanya.

"Bukan, Bu. Tapi saya ingin tinggal disini kalau diizinkan. Sebagai bayarannya saya bisa bantu-bantu apapun disini. Saya bisa masak, bersih-bersih saya juga mau asalkan saya diperbolehkan tinggal disini."

Umi Kalsum tercengang mendengar penuturan Anisa.

Awalnya umi Kalsum memang ingin menawarkan Anisa untuk ikut bantu-bantu mengajar di pesantren untuk tingkatan Ibtidaiyah, seperti perintah Rahmat agar bisa mendekati gadis itu sebelum mengatakan yang sebenarnya. Namun, yang umi Kalsum dapati ternyata Anisa memang berniat tingggal di pesantrennya. Sungguh, seperti sebuah keberuntungan untuk putranya itu.

"Maaf, kalau boleh tau alasannya apa ya kamu ingin tinggal disini?" tanya Umi Kalsum, ia berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja dan seolah tidak mengenal Anisa.

"Dan sebenarnya kamu ini dari mana?" tanya nya lagi.

"Saya dari seberang Musi, Bu. Tadi nya saya naik angkot dan berhenti dipangkalan becak didepan jalan sana. Terus saya jalan kaki masuk ke sini. Mau naik becak tapi uang saya gak cukup lagi buat bayar ongkos becak. Tadinya saya juga bingung mau kemana, tapi pas lihat pesantren ini saya jadi berkeinginan tinggal disini. Seperti yang saya bilang tadi, sebagai bayarannya saya bisa bantu-bantu apapun disini." jawab Anisa dengan polosnya.

Dalam hati umi Kalsum ingin sekali menertawakan kepolosannya calon mantunya ini. Namun, sebisanya ia menahan diri untuk terlihat biasa-biasa saja.

"Kamu gak lagi kabur dari rumah kan?" tanya Umi Kalsum spontan, dan saat menyadari ucapannya barusan umi langsung terkekeh agar Anisa tak curiga jika ia mengenal nya.

"Maaf, saya cuma bercanda." ujar umi tersenyum.

"Oh ya, panggil saya Umi saja ya seperti yang lainnya." sambungnya.

Anisa mengangguk canggung. "Iya U-mi."

"Ayo masuk kerumah Umi." ajak Umi Kalsum, namun Anisa menggelengkan kepalanya.

"U-mi, saya tinggal di asrama saja bareng sama santri-santri disini." ucap Anisa.

Umi Kalsum nampak berpikir, dan beberapa saat kemudian ia menganggukkan kepalanya sembari tersenyum menatap Anisa.

"Baiklah kalau begitu, tapi kamu ikut kerumah Umi dulu kenalan sama anak-anak Umi. Baru setelah itu nanti kamu diantar sama anak tertua Umi ke asrama putri."

Anisa mengangguk patuh, kemudian mengikuti langkah Umi menuju rumah nya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!