His Virgin Ex Wife
Hanya ada satu kata yang mewakili penampilan Rayya hari ini, pas. Bayangkan bagaimana seorang pecinta kopi yang menyesap dan menghidu aroma kopi hasil racikan barista ternama. Senikmat itu tampilan seorang Tsurayya siang ini.
Rambutnya ditata sederhana dengan poni yang menutup kening. Bagian belakangnya dibuat sanggul longgar ala messy hair. Wajah yang dipoles dengan make up natural membuatnya bukan hanya terkesan tiga atau enam tahun lebih muda, Rayya bahkan terlihat seperti seorang remaja yang akan menghadiri acara kelulusan sekolah! Demi Tuhan! Tidak ada seorang keluarga Busro pun yang mampu membayangkan kalau seorang Tsurayya bisa terlihat “semenyenangkan” ini.
Oh God, she did that!
Kebayanya, jangan lupakan kebaya yang Rayya kenakan. Demi Tuhan, yang melihatnya pun tahu kalau itu hasil jahitan berkelas- Haute couture- kata orang, yang tidak mungkin didapatkan di sembarang departement store!
Kebaya itu transparan di bagian pundak, memperlihatkan dengan jelas tulang selangka yang menonjol serta betapa jenjang leher Rayya. Bordir bunga ditempel apik, melintang di atas dada lalu melingkari lengannya. Dengan lipitan-lipitan di bagian dada, mempertegas “aset” wanita itu, menambah kesan provokatif. Tapi… kombinasi warna lembut dan teduh berkesan lugu membuatnya bagaikan remaja innocent yang… ya Tuhan… termaafkan! Mungkin ini yang dimaksud Taylor Swift dengan a nightmare dressed like a day dream.
Tidak berlebihan sebenarnya kalau kebaya apik bersetelan dengan kain songket sutera keemasan itu disebut nightmare. Untuk mendapatkannya, asisten Rayya harus mengitari ibu kota dan berhari-hari menyusun jadwal juga janji temu dengan seorang perancang kebaya nomor satu di Indonesia. Ia bahkan memohon-mohon agar pakaian itu bisa dikerjakan dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya, menyempil di sela kesibukan menyiapkan pakaian untuk kontes Puteri Indonesia di ajang Miss Universe!
Keruwetan itu dimulai ketika sebuah undangan mendarat di meja Rayya satu setengah bulan lalu. Tepat ketika ia melihat kertas berwarna marun dengan tulisan berpendar keemasan, jantungnya seolah berlompatan. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Detik berikutnya, ia memanggil Shanaz, asisten kepercayaannya dan menitahkan untuk menyiapkan segala yang ia perlukan.
“Pakaian itu harus pas. Demi Tuhan, Naz! Saya tidak mau terlihat seperti badut ulang tahun dan menjadi bulan-bulanan tetua Busro!” pekiknya setengah histeris.
Asistennya bahkan mengernyit tidak percaya, mempertanyakan apa benar wanita di hadannya ini adalah Tsurayya Busro, seseorang yang terkenal dengan keanggunan dan ketenangannya yang melegenda. Tsurayya pernah bernegosiasi dengan para petinggi negara dan meng-gol-kan proyek triliunan rupiah yang hampir dibekukan pemerintah tanpa kepanikan sedikit pun. Tapi hari itu seolah seluruh emosinya tumpah… ruah, muntah. Bagaikan bom waktu, Rayya “meledak” dan mengeluarkan rangkaian perintah konyol yang membuat asistennya mendadak ingin pingsan. Mungkin kalau boleh, ia lebih memilih dipecat dari pada melaksanakan permintaan Rayya.
“Nggak boleh terlalu konservatif! Itu bisa membuat saya terlihat seperti wanita tua yang menyedihkan!” tukasnya setengah memekik. Hampir saja Shanaz terkekeh saat mendengar ucapan bosnya. Wanita tua mana yang memakai Louboutin dengan hak lima belas senti?!
“Kebaya itu harus tepat. Cutting-nya tidak boleh terlalu kaku. Jangan kutu baru, demi Tuhan! Itu sudah soo yesteryears even maybe yestercentury. Memang modelnya long last, tapi saya tidak mau dianggap kembaran dengan para eyang Busro. Tapi ingat, tolong pastikan potongannya tidak terlalu abstrak. Nanti saya disangka pakai kain gorden!”
Astaga!
Shanaz hampir saja memekik kencang namun kesadarannya membatalkan keinginan itu, membuat mulutnya tetap terkatup, rapat. Seingatnya, sekalipun Rayya mengalami bad day terberat dengan pakaian terburuk pun, dia tidak pernah terlihat jelek atau berantakan. Jadi, kebaya model apa yang bisa membuat seorang Rayya seolah memakai kain gorden?!
“Jangan yang murahan! Demi Tuhan, pasang beberapa swarowski! Saya tidak mau disangka mendadak melarat oleh keluarga besar Busro. Tapi jangan berlebihan! Nanti orang pikir saya pasang lampu kelap-kelip di kebaya saya! Dan… tolong bordirannya juga nggak perlu kelewat melimpah. Saya tidak mau orang menganggap saya taman bunga berjalan,” tukasnya ketus.
“Pastikan bawahannya kain songket yang sudah dijahit menjadi rok, jangan cuma dibentuk sarung! Saya tidak mau baju saya melorot!” imbuhnya.
Rayya menghela napas dan menatap lurus. “Pastikan kebaya itu cukup menarik. Ya, hanya cukup menarik… bukan yang membuat saya jadi pusat perhatian! Saya tidak mau dianggap se- desperate itu sampai-sampai haus perhatian!” tegasnya.
Shanaz tetap terdiam sambil tersenyum, pura-pura tenang padahal kepalanya seolah penuh dengan benang kusut. Bayangan model-model kebaya yang pernah dilihatnya seolah tidak ada satupun yang memenuhi kriteria yang diminta Rayya. Ia bertanya-tanya sendiri ke planet mana ia harus mencari kebaya yang memenuhi tiap… segenap kriteria yang disebutkan atasannya ini. Ia bahkan hampir terjungkal saat tiba-tiba Rayya mendekat dan berdiri tepat beberapa senti di hadapannya.
“Gimana? Kamu bisa kan, mencarikan kebaya yang pas untuk saya?!”
Shanaz langsung merasa pening nyaris menangis. Bagaimana bisa mendapatkan pakaian “pas” versi Rayya? Pas yang… tidak konservatif tapi tidak terlalu abstrak, menarik tapi tidak mencolok, sederhana namun sekaligus mewah. Seketika daftar butik dalam list langganannya tidak ada yang pantas pun memenuhi syarat. Mendadak, ia merasa senasib dengan Anne Hathaway di Devil Wears Prada!
Hanya ada satu hal dalam pikiran Shanaz waktu itu, ia harus mendapatkan janji temu dengan perancang kebaya nomor satu di negara ini. Demi Tuhan, penjahit awam tidak akan mampu memenuhi keinginan bosnya sekalipun ia kayang dan gelundungan keliling Tugu Pancoran.
Kemudian, pencarian itu terbayar ketika Rayya dengan apiknya mengenakan pakaian impian itu. Bahkan tiap langkahnya terlihat menyerupai model di peragaan busana. Mereka tidak tahu… keluarga besar Busro yang duduk berkumpul di bawah tenda itu tidak akan tahu… bagaimana beratnya hari demi hari yang dilalui Rayya. Mereka juga tidak tahu bahwa saat ini, meskipun pakaiannya semenawan ini, dengan riasan secantik ini, batinnya terluka… perih, berdarah-darah. Tapi ia tidak boleh kalah. Kepalanya harus tetap tegak, langkahnya harus tepat.
Iya, bukan kiasan semata. Rayya harus memastikan kakinya mendarat di tempat yang tepat. Salah-salah ia akan terpeleset atau tercebur dalam kubangan lumpur. Hujan kemarin sore menyisakan genangan air dan tanah lunak bak pasir hisap, membuat hak sepatunya terbenam beberapa kali. Demi Tuhan, kalau ia tahu acara ini di tengah kampung, maka ia akan menyetujui saran asistennya untuk memakai sepatu berhak rendah yang hampir ia bawa.
Seharusnya Rayya tahu bahwa pulau kecil seperti ini tidak akan mungkin memiliki gedung mewah untuk mengadakan acara semegah ini. Tentunya kalaupun ada gedung serbaguna, tidak akan mampu menampung banyaknya tamu yang pasti datang ke acara ini.
“Astaga!” pekiknya tiba-tiba saat kakinya memijak kubangan yang ternyata cukup dalam. Rayya menggeleng tidak percaya dan pasrah saat melihat bagian bawah kain songketnya terkena cipratan dan berubah keruh “Ya Tuhan!” gumamnya lagi.
Ia menarik napas dan mengusap peluh yang mulai merusak riasannya. Asistennya menatap dari pinggir, menimbang-nimbang apakah ia perlu mengikuti Rayya melangkah di tengah kerumunan. Bosnya itu memutuskan untuk kembali berjalan dan membelah orang-orang yang memadati lapangan.
“Permisi… pemisi… ya Tuhan… permisi!” pekiknya beberapa kali sambil berusaha masuk ke tengah lingkaran. Tatapannya mulai menangkap objek yang dari tadi ia buru. Di kejauhan nampak sepasang pengantin sedang duduk manis lalu tersenyum malu. Para pria berseragam ala pendekar silat memeragakan beberapa adegan. Entah jurus apa, Rayya tidak tahu… tidak mau tahu karena… demi Tuhan, matanya tidak pernah sedikitpun lepas dari kedua mempelai.
Wanita itu mencengkeram tas sambil mengatur napas yang mulai tersengal. Rayya pernah menantang dirinya mengikuti lomba lari marathon dan demi Tuhan, lelahnya saat itu tidak akan pernah sebanding dengan rasa lelahnya saat ini. Mungkin, menguras sumur dengan sendok masih lebih menyenangkan daripada menatap pemandangan di hadapannya.
Kekuatannya melemah pun pijakannya goyah. Kakinya mulai tidak mampu menahan dorongan dari warga yang berkerumun dan berdesakan untuk menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Rayya lalu sadar bahwa sekeras apa pun ia berusaha, tepat ketika ia menyaksikan-- memastikan betapa bahagianya lelaki itu duduk di pelaminan, ia sudah kalah… teramat telak.
Pada titik itu, ia tidak memedulikan dorongan warga dan mulai menyingkir dari kerumunan. Perlahan ia mundur dengan tertatih. Tiba-tiba seorang pria tanpa sengaja mendorongnya. Ia mungkin terlalu lelah, pasrah kalau memang ia harus terjungkal dalam kubangan. Demi Tuhan, harga diri apa lagi yang harus ia jaga setelah kekalahan sebesar itu?
“Kamu… nggak apa-apa?” sebuah suara menyadarkan Rayya. Menghantam kesadarannya dan mengembalikan akal sehat dalam sekejap. Detik berikutnya, ia sudah ada dalam adegan hampir berpelukan dengan seorang pria, seolah mengingatkannya pada drama Korea.
Iya, lelaki itu tampan namun apalagi? Rayya bukan remaja kemarin sore yang mudah terpesona oleh pria tinggi berlesung pipi dengan setelan jas rapi dan wajah di atas rata-rata. Tolong ingatkan potongan rambutnya yang tersisir apik dan tubuh beraroma maskulin yang… seolah menebarkan feromon pada siapa saja wanita di dekatnya termasuk Rayya! Detik kemudian, Rayya menegakkan punggung lalu menepis tangan lelaki itu yang masih menempel di punggungnya. Padahal ia hanya ingin memastikan kalau Rayya masih mampu kembali berdiri.
“Maaf,” ujarnya mengangkat kedua tangan dan menjaga jarak. “Nggak ada terima kasih?” tukas pria itu saat menatap Rayya yang langsung berbalik, kembali “berdansa” di antara genangan air.
“Nggak ada terima kasih?” pekiknya antusias lalu mengekori gerakan Rayya. Adegan ini terekam jelas oleh keluarga besar Busro yang masih setia berkumpul di bawah tenda pinggir lapangan.
“Ya Tuhan!” pekik lelaki itu saat menangkap Rayya yang hampir saja terpeleset. Rayya lalu menepis keras tangan itu. “Lagi? Nggak ada terima kasih?” tuntutnya sambil tersenyum dan memungut tas tangan milik Rayya yang untungnya, tidak terbenam dalam kubangan.
Rayya mulai merasa tidak nyaman saat meyakini dirinya menjadi objek buah bibir dari para tetua Busro. Demi Tuhan, mereka memandang Rayya seakan ini adalah adegan film murahan! Rayya mempertaruhkan reputasinya di sini. Kalau pun harga dirinya sudah dikalahkan sedari tadi, setidaknya ia harus membuktikan kalau ia bukan wanita gampangan. Ia tetap seorang Rayya, wanita terhormat yang memiliki hati terkuat di antara para wanita Busro.
“Tasmu,” pekik pria itu saat Rayya mulai menjauh. Bergegas ia mengejar wanita itu dan menghalangi jalannya.
“Kalau kamu nuntut terima kasih, saya nggak bisa. Saya nggak pernah minta kamu untuk menyelamatkan saya,” tukas Rayya tenang. Ia tahu bahwa Kakek Busro tidak pernah mendidiknya menjadi wanita tanpa sopan santun. Tapi, melihat betapa gigihnya lelaki ini mengekorinya sedari tadi membuat Rayya jengah.
Hal lain yang ia pelajari dari Kakek Busro adalah membaca lawan bicaranya. Rayya berani mempertaruhkan keahliannya hanya untuk menilai kalau pria ini tertarik padanya, mungkin yah… sedang berusaha mempermainkannya. Maaf saja, kalau ia pikir kemampuannya itu bisa membuat Rayya luluh, dia salah besar. Ooh… atau jangan-jangan dia cuma salah satu kolega bisnis entah anak buah siapa yang pura-pura baik pada Rayya demi mencari keuntunga? Cih!
Mimpi!
“Saya Iman, Sulaiman…,” ucapnya cepat sambil mengulurkan tangan.
Rayya menatap malas dan mengangkat satu alisnya. Tanpa ragu ia mendorong lelaki itu, memperlihatkan betapa tidak pentingnya informasi yang ia dengar. Rayya bersiap untuk melangkah dan mengabaikan pria itu.
“Tas kamu,” ujarnya sambil mengulurkan sebuah benda persegi bermanik warna-warni yang berkilauan di bawah matahari.
Kalau tidak ingat ponsel dan juga dompetnya dalam tas itu, Rayya tidak akan berhenti melangkah.
“Tas kamu,” ulangnya sambil kembali mendekat dan berdiri tepat di depan Rayya. Tangannya menahan kuat saat Rayya mencoba merebut tas itu. “Iman, nama saya Iman,” ucapnya dan kembali mengulurkan tangan. “Saya belum tahu nama kamu.”
Rayya terkesiap. Keningnya mengernyit dan matanya menatap lurus, mencari sebuah kebenaran dari ucapan lelaki itu. Demi Tuhan… kebohongan macam apa yang ia dengar? Laki-laki ini tidak tahu sedang berhadapan dengan wanita macam apa? Dia tidak mengenal Rayya?
Lelaki itu tersenyum. Bola matanya membulat seolah memastikan begitu senangnya ia dengan perkenalan mereka. Sikapnya yang terlampau antusias menyadarkan Rayya kalau pria di depannya ini benar-benar tidak mengenalnya. Tunggu, lelaki itu… benar-benar tidak tahu siapa lawan bicaranya?
“Saya bukan laki-laki jahat,” ucapnya sambil tersenyum. “Saya Iman, abang kandung pengantin wanita,” imbuhnya. Senyumnya yang lebar mengisyaratkan betapa ia bangga dengan statusnya. Mungkin ia begitu bangga karena menjadi kakak laki-laki dari wanita yang berbahagia di pelaminan itu. Tapi bisa jadi, ia hanya pamer karena menjadi ipar dari keluarga terpandang yang… namanya ada dalam daftar orang terkaya di majalah bisnis?!
Rayya tersenyum lantas mendecih pelan. Dengan langkah tegap, ia mendekat dan menyambut uluran tangan lelaki itu. “Rayya, Tsurayya Busro… saya… mantan istri pengantin pria,” tukasnya sambil tersenyum dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments