NovelToon NovelToon

His Virgin Ex Wife

Her Ex's Wedding

Hanya ada satu kata yang mewakili penampilan Rayya hari ini, pas. Bayangkan bagaimana seorang pecinta kopi yang menyesap dan menghidu aroma kopi hasil racikan barista ternama. Senikmat itu tampilan seorang Tsurayya siang ini.

Rambutnya ditata sederhana dengan poni yang menutup kening. Bagian belakangnya dibuat sanggul longgar ala messy hair. Wajah yang dipoles dengan make up natural membuatnya bukan hanya terkesan tiga atau enam tahun lebih muda, Rayya bahkan terlihat seperti seorang remaja yang akan menghadiri acara kelulusan sekolah! Demi Tuhan! Tidak ada seorang keluarga Busro pun yang mampu membayangkan kalau seorang Tsurayya bisa terlihat “semenyenangkan” ini.

Oh God, she did that!

Kebayanya, jangan lupakan kebaya yang Rayya kenakan. Demi Tuhan, yang melihatnya pun tahu kalau itu hasil jahitan berkelas- Haute couture- kata orang, yang tidak mungkin didapatkan di sembarang departement store!

Kebaya itu transparan di bagian pundak, memperlihatkan dengan jelas tulang selangka yang menonjol serta betapa jenjang leher Rayya. Bordir bunga ditempel apik, melintang di atas dada lalu melingkari lengannya. Dengan lipitan-lipitan di bagian dada, mempertegas “aset” wanita itu, menambah kesan provokatif. Tapi… kombinasi warna lembut dan teduh berkesan lugu membuatnya bagaikan remaja innocent yang… ya Tuhan… termaafkan! Mungkin ini yang dimaksud Taylor Swift dengan a nightmare dressed like a day dream.

Tidak berlebihan sebenarnya kalau kebaya apik bersetelan dengan kain songket sutera keemasan itu disebut nightmare. Untuk mendapatkannya, asisten Rayya harus mengitari ibu kota dan berhari-hari menyusun jadwal juga janji temu dengan seorang perancang kebaya nomor satu di Indonesia. Ia bahkan memohon-mohon agar pakaian itu bisa dikerjakan dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya, menyempil di sela kesibukan menyiapkan pakaian untuk kontes Puteri Indonesia di ajang Miss Universe!

Keruwetan itu dimulai ketika sebuah undangan mendarat di meja Rayya satu setengah bulan lalu. Tepat ketika ia melihat kertas berwarna marun dengan tulisan berpendar keemasan, jantungnya seolah berlompatan. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Detik berikutnya, ia memanggil Shanaz, asisten kepercayaannya dan menitahkan untuk menyiapkan segala yang ia perlukan.

“Pakaian itu harus pas. Demi Tuhan, Naz! Saya tidak mau terlihat seperti badut ulang tahun dan menjadi bulan-bulanan tetua Busro!” pekiknya setengah histeris.

Asistennya bahkan mengernyit tidak percaya, mempertanyakan apa benar wanita di hadannya ini adalah Tsurayya Busro, seseorang yang terkenal dengan keanggunan dan ketenangannya yang melegenda. Tsurayya pernah bernegosiasi dengan para petinggi negara dan meng-gol-kan proyek triliunan rupiah yang hampir dibekukan pemerintah tanpa kepanikan sedikit pun. Tapi hari itu seolah seluruh emosinya tumpah… ruah, muntah. Bagaikan bom waktu, Rayya “meledak” dan mengeluarkan rangkaian perintah konyol yang membuat asistennya mendadak ingin pingsan. Mungkin kalau boleh, ia lebih memilih dipecat dari pada melaksanakan permintaan Rayya.

“Nggak boleh terlalu konservatif! Itu bisa membuat saya terlihat seperti wanita tua yang menyedihkan!” tukasnya setengah memekik. Hampir saja Shanaz terkekeh saat mendengar ucapan bosnya. Wanita tua mana yang memakai Louboutin dengan hak lima belas senti?!

“Kebaya itu harus tepat. Cutting-nya tidak boleh terlalu kaku. Jangan kutu baru, demi Tuhan! Itu sudah soo yesteryears even maybe yestercentury. Memang modelnya long last, tapi saya tidak mau dianggap kembaran dengan para eyang Busro. Tapi ingat, tolong pastikan potongannya tidak terlalu abstrak. Nanti saya disangka pakai kain gorden!”

Astaga!

Shanaz hampir saja memekik kencang namun kesadarannya membatalkan keinginan itu, membuat mulutnya tetap terkatup, rapat. Seingatnya, sekalipun Rayya mengalami bad day terberat dengan pakaian terburuk pun, dia tidak pernah terlihat jelek atau berantakan. Jadi, kebaya model apa yang bisa membuat seorang Rayya seolah memakai kain gorden?!

“Jangan yang murahan! Demi Tuhan, pasang beberapa swarowski! Saya tidak mau disangka mendadak melarat oleh keluarga besar Busro. Tapi jangan berlebihan! Nanti orang pikir saya pasang lampu kelap-kelip di kebaya saya! Dan… tolong bordirannya juga nggak perlu kelewat melimpah. Saya tidak mau orang menganggap saya taman bunga berjalan,” tukasnya ketus.

“Pastikan bawahannya kain songket yang sudah dijahit menjadi rok, jangan cuma dibentuk sarung! Saya tidak mau baju saya melorot!” imbuhnya.

Rayya menghela napas dan menatap lurus. “Pastikan kebaya itu cukup menarik. Ya, hanya cukup menarik… bukan yang membuat saya jadi pusat perhatian! Saya tidak mau dianggap se- desperate itu sampai-sampai haus perhatian!” tegasnya.

Shanaz tetap terdiam sambil tersenyum, pura-pura tenang padahal kepalanya seolah penuh dengan benang kusut. Bayangan model-model kebaya yang pernah dilihatnya seolah tidak ada satupun yang memenuhi kriteria yang diminta Rayya. Ia bertanya-tanya sendiri ke planet mana ia harus mencari kebaya yang memenuhi tiap… segenap kriteria yang disebutkan atasannya ini. Ia bahkan hampir terjungkal saat tiba-tiba Rayya mendekat dan berdiri tepat beberapa senti di hadapannya.

“Gimana? Kamu bisa kan, mencarikan kebaya yang pas untuk saya?!”

Shanaz langsung merasa pening nyaris menangis. Bagaimana bisa mendapatkan pakaian “pas” versi Rayya? Pas yang… tidak konservatif tapi tidak terlalu abstrak, menarik tapi tidak mencolok, sederhana namun sekaligus mewah. Seketika daftar butik dalam list langganannya tidak ada yang pantas pun memenuhi syarat. Mendadak, ia merasa senasib dengan Anne Hathaway di Devil Wears Prada!

Hanya ada satu hal dalam pikiran Shanaz waktu itu, ia harus mendapatkan janji temu dengan perancang kebaya nomor satu di negara ini. Demi Tuhan, penjahit awam tidak akan mampu memenuhi keinginan bosnya sekalipun ia kayang dan gelundungan keliling Tugu Pancoran.

Kemudian, pencarian itu terbayar ketika Rayya dengan apiknya mengenakan pakaian impian itu. Bahkan tiap langkahnya terlihat menyerupai model di peragaan busana. Mereka tidak tahu… keluarga besar Busro yang duduk berkumpul di bawah tenda itu tidak akan tahu… bagaimana beratnya hari demi hari yang dilalui Rayya. Mereka juga tidak tahu bahwa saat ini, meskipun pakaiannya semenawan ini, dengan riasan secantik ini, batinnya terluka… perih, berdarah-darah. Tapi ia tidak boleh kalah. Kepalanya harus tetap tegak, langkahnya harus tepat.

Iya, bukan kiasan semata. Rayya harus memastikan kakinya mendarat di tempat yang tepat. Salah-salah ia akan terpeleset atau tercebur dalam kubangan lumpur. Hujan kemarin sore menyisakan genangan air dan tanah lunak bak pasir hisap, membuat hak sepatunya terbenam beberapa kali. Demi Tuhan, kalau ia tahu acara ini di tengah kampung, maka ia akan menyetujui saran asistennya untuk memakai sepatu berhak rendah yang hampir ia bawa.

Seharusnya Rayya tahu bahwa pulau kecil seperti ini tidak akan mungkin memiliki gedung mewah untuk mengadakan acara semegah ini. Tentunya kalaupun ada gedung serbaguna, tidak akan mampu menampung banyaknya tamu yang pasti datang ke acara ini.

“Astaga!” pekiknya tiba-tiba saat kakinya memijak kubangan yang ternyata cukup dalam. Rayya menggeleng tidak percaya dan pasrah saat melihat bagian bawah kain songketnya terkena cipratan dan berubah keruh “Ya Tuhan!” gumamnya lagi.

Ia menarik napas dan mengusap peluh yang mulai merusak riasannya. Asistennya menatap dari pinggir, menimbang-nimbang apakah ia perlu mengikuti Rayya melangkah di tengah kerumunan. Bosnya itu memutuskan untuk kembali berjalan dan membelah orang-orang yang memadati lapangan.

“Permisi… pemisi… ya Tuhan… permisi!” pekiknya beberapa kali sambil berusaha masuk ke tengah lingkaran. Tatapannya mulai menangkap objek yang dari tadi ia buru. Di kejauhan nampak sepasang pengantin sedang duduk manis lalu tersenyum malu. Para pria berseragam ala pendekar silat memeragakan beberapa adegan. Entah jurus apa, Rayya tidak tahu… tidak mau tahu karena… demi Tuhan, matanya tidak pernah sedikitpun lepas dari kedua mempelai.

Wanita itu mencengkeram tas sambil mengatur napas yang mulai tersengal. Rayya pernah menantang dirinya mengikuti lomba lari marathon dan demi Tuhan, lelahnya saat itu tidak akan pernah sebanding dengan rasa lelahnya saat ini. Mungkin, menguras sumur dengan sendok masih lebih menyenangkan daripada menatap pemandangan di hadapannya.

Kekuatannya melemah pun pijakannya goyah. Kakinya mulai tidak mampu menahan dorongan dari warga yang berkerumun dan berdesakan untuk menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Rayya lalu sadar bahwa sekeras apa pun ia berusaha, tepat ketika ia menyaksikan-- memastikan betapa bahagianya lelaki itu duduk di pelaminan, ia sudah kalah… teramat telak.

Pada titik itu, ia tidak memedulikan dorongan warga dan mulai menyingkir dari kerumunan. Perlahan ia mundur dengan tertatih. Tiba-tiba seorang pria tanpa sengaja mendorongnya. Ia mungkin terlalu lelah, pasrah kalau memang ia harus terjungkal dalam kubangan. Demi Tuhan, harga diri apa lagi yang harus ia jaga setelah kekalahan sebesar itu?

“Kamu… nggak apa-apa?” sebuah suara menyadarkan Rayya. Menghantam kesadarannya dan mengembalikan akal sehat dalam sekejap. Detik berikutnya, ia sudah ada dalam adegan hampir berpelukan dengan seorang pria, seolah mengingatkannya pada drama Korea.

Iya, lelaki itu tampan namun apalagi? Rayya bukan remaja kemarin sore yang mudah terpesona oleh pria tinggi berlesung pipi dengan setelan jas rapi dan wajah di atas rata-rata. Tolong ingatkan potongan rambutnya yang tersisir apik dan tubuh beraroma maskulin yang… seolah menebarkan feromon pada siapa saja wanita di dekatnya termasuk Rayya! Detik kemudian, Rayya menegakkan punggung lalu menepis tangan lelaki itu yang masih menempel di punggungnya. Padahal ia hanya ingin memastikan kalau Rayya masih mampu kembali berdiri.

“Maaf,” ujarnya mengangkat kedua tangan dan menjaga jarak. “Nggak ada terima kasih?” tukas pria itu saat menatap Rayya yang langsung berbalik, kembali “berdansa” di antara genangan air.

“Nggak ada terima kasih?” pekiknya antusias lalu mengekori gerakan Rayya. Adegan ini terekam jelas oleh keluarga besar Busro yang masih setia berkumpul di bawah tenda pinggir lapangan.

“Ya Tuhan!” pekik lelaki itu saat menangkap Rayya yang hampir saja terpeleset. Rayya lalu menepis keras tangan itu. “Lagi? Nggak ada terima kasih?” tuntutnya sambil tersenyum dan memungut tas tangan milik Rayya yang untungnya, tidak terbenam dalam kubangan.

Rayya mulai merasa tidak nyaman saat meyakini dirinya menjadi objek buah bibir dari para tetua Busro. Demi Tuhan, mereka memandang Rayya seakan ini adalah adegan film murahan! Rayya mempertaruhkan reputasinya di sini. Kalau pun harga dirinya sudah dikalahkan sedari tadi, setidaknya ia harus membuktikan kalau ia bukan wanita gampangan. Ia tetap seorang Rayya, wanita terhormat yang memiliki hati terkuat di antara para wanita Busro.

“Tasmu,” pekik pria itu saat Rayya mulai menjauh. Bergegas ia mengejar wanita itu dan menghalangi jalannya.

“Kalau kamu nuntut terima kasih, saya nggak bisa. Saya nggak pernah minta kamu untuk menyelamatkan saya,” tukas Rayya tenang. Ia tahu bahwa Kakek Busro tidak pernah mendidiknya menjadi wanita tanpa sopan santun. Tapi, melihat betapa gigihnya lelaki ini mengekorinya sedari tadi membuat Rayya jengah.

Hal lain yang ia pelajari dari Kakek Busro adalah membaca lawan bicaranya. Rayya berani mempertaruhkan keahliannya hanya untuk menilai kalau pria ini tertarik padanya, mungkin yah… sedang berusaha mempermainkannya. Maaf saja, kalau ia pikir kemampuannya itu bisa membuat Rayya luluh, dia salah besar. Ooh… atau jangan-jangan dia cuma salah satu kolega bisnis entah anak buah siapa yang pura-pura baik pada Rayya demi mencari keuntunga? Cih!

Mimpi!

“Saya Iman, Sulaiman…,” ucapnya cepat sambil mengulurkan tangan.

Rayya menatap malas dan mengangkat satu alisnya. Tanpa ragu ia mendorong lelaki itu, memperlihatkan betapa tidak pentingnya informasi yang ia dengar. Rayya bersiap untuk melangkah dan mengabaikan pria itu.

“Tas kamu,” ujarnya sambil mengulurkan sebuah benda persegi bermanik warna-warni yang berkilauan di bawah matahari.

Kalau tidak ingat ponsel dan juga dompetnya dalam tas itu, Rayya tidak akan berhenti melangkah.

“Tas kamu,” ulangnya sambil kembali mendekat dan berdiri tepat di depan Rayya. Tangannya menahan kuat saat Rayya mencoba merebut tas itu. “Iman, nama saya Iman,” ucapnya dan kembali mengulurkan tangan. “Saya belum tahu nama kamu.”

Rayya terkesiap. Keningnya mengernyit dan matanya menatap lurus, mencari sebuah kebenaran dari ucapan lelaki itu. Demi Tuhan… kebohongan macam apa yang ia dengar? Laki-laki ini tidak tahu sedang berhadapan dengan wanita macam apa? Dia tidak mengenal Rayya?

Lelaki itu tersenyum. Bola matanya membulat seolah memastikan begitu senangnya ia dengan perkenalan mereka. Sikapnya yang terlampau antusias menyadarkan Rayya kalau pria di depannya ini benar-benar tidak mengenalnya.  Tunggu, lelaki itu… benar-benar tidak tahu siapa lawan bicaranya?

“Saya bukan laki-laki jahat,” ucapnya sambil tersenyum. “Saya Iman, abang kandung pengantin wanita,” imbuhnya. Senyumnya yang lebar mengisyaratkan betapa ia bangga dengan statusnya. Mungkin ia begitu bangga karena menjadi kakak laki-laki dari wanita yang berbahagia di pelaminan itu. Tapi bisa jadi, ia hanya pamer karena menjadi ipar dari keluarga terpandang yang… namanya ada dalam daftar orang terkaya di majalah bisnis?!

Rayya tersenyum lantas mendecih pelan. Dengan langkah tegap, ia mendekat dan menyambut uluran tangan lelaki itu. “Rayya, Tsurayya Busro… saya… mantan istri pengantin pria,” tukasnya sambil tersenyum dingin.

Waktunya menyerah?

Wanita itu menatap bangunan setinggi tiga tingkat di depannya, satu dari beberapa hotel yang ada di pulau ini. Itu juga kalau bangunan semacam ini bisa dibilang sebagai hotel. Kalau ia mau jujur, kondominium milik kakek Busro bahkan lebih menarik dan terawat dibandingkan bangunan yang-- katanya hotel ini. Bahkan, cat dindingnya sudah terkelupas di sana-sini. Kalau semisalnya ia mendapat kabar bahwa pulau ini termasuk jalur gempa, maka ia tidak akan pernah sudi menginap di tempat ini.

Demi Tuhan… bangunannya mungkin memiliki beberapa retakan di sana-sini!

Rayya memejamkan mata, lalu menghirup napas panjang, berusaha mengembalikan pikirannya. Bukannya ia tidak memiliki alternatif lain, namun ia sendiri yang memilih untuk menolak tawaran basa-basi keluarga Busro untuk kembali ke daratan-- pulau utama dari provinsi ini yang memiliki puluhan hotel lebih layak dari tempat ini. Kalau ia mau, ia bisa menumpang salah satu helikopter yang sedang wara-wiri di atas sana dan disediakan untuk transportasi para keluarga Busro.

“Tidak, saya ingin kamu membuat itinerary perjalanan kita ke pulau itu dan sebisa mungkin, saya minta… kamu minimalkan interaksi saya dengan anggota keluarga Busro,” tukasnya tegas kepada Shanaz. Kontan asistennya itu, setelah bernapas lega mendapatkan kebaya pesanannya-- yang nyaris mustahil ditemukan, kembali dipusingkan untuk membuat rangkaian perjalanan termasuk akomodasi ke pulau yang semi terpencil ini.

“Ini kuncinya, Miss,” pekik asistennya tertahan ketika mendapati atasannya tengah melamun dan mengabaikan beberapa panggilan yang ia lakukan.

Rayya menatap ke arah kunci yang memiliki bandul sebuah plakat usang bertuliskan nomor 3B, mengingatkannya kalau ia harus menaiki tangga sebanyak dua tingkat karena kamar itu berada di tingkat paling atas.

Misalnya ini adalah hotel bintang lima, beberapa penempatan kamar mewah memang di tingkat tertinggi. Namun, di hotel yang seperti ini, Rayya berani bertaruh-- meskipun bertaruh itu dosa, hanya saja ia meyakini kalau kamar di tingkat tiga itu merupakan bagian dari penyiksaan yang ia harus terima.

Rayya menatap ke arah asistennya yang sedang menurunkan setumpuk  barang dibantu oleh pengemudi yang ia sewa.

“Cuma ini hotel yang feasible, Miss,” tukas asistennya beberapa waktu lalu. Ia menekankan kata feasible yang bearti layak, seakan ia ingin memberitahu atasannya kalau dua hotel lainnya, yang tersedia di situs pesan online itu jauh dari kata masuk di akal untuk dipilih-- meskipun hotel ini pun agak terpaksa dianggap layak.

Rayya-- lagi-lagi, masih bisa memilih untuk menggunakan pengaruhnya dan mendapatkan kamar hotel atau akomodasi yang lebih baik. Namun, bukankah ia yang menginginkan untuk sesegera mungkin melepaskan bayang-bayang Busro? Karena itu, ia harus bisa membuktikan bahwa ia mampu menjalani kehidupan sebagai masyarakat biasa tanpa nama besar Busro.

“Kalau Miss menolak, Tuan Ibrahim….”

“Take it! Kita pesan kamarnya lalu pastikan kalau perjalanan kali ini, kita memakai transportasi umum,” titahnya mantap.

asistennya mengerjap mendengar perintah itu. Bukannya Rayya kelewat anti atau tidak pernah mau naik transportasi umum, hanya saja tujuannya kali ini pulau nun jauh di seberang sana. Pulau itu bukan daerah tujuan wisata. Itu artinya pulau itu semi terpencil bukan karena sengaja untuk dijaga keasriannya-- demi pariwisata, namun memang benar-benar mengalami ketertinggalan pembangunan. Jangankan bandara, satu-satunya transportasi penyeberangan dari ibukota provinsi yang disediakan hanya kapal Feri yang memiliki jadwal satu hari tiga kali-- lebih sedikit dari jadwal Rayya retouch skin care-nya.

Demi Tuhan!

Coba tolong, siapa pun, tolong bantu Shanaz untuk merayu Rayya, kali ini saja… mau menaiki helikopter milik keluarga Busro. Karena, bosnya pun mengerti kalau keputusannya ini akan mendatangkan banyak konsekuensi yang akan ia terima. Ia tahu bahwa keluarga Busro pasti akan berulah. Setidaknya, tinggal di hotel serba pas-pasan seperti ini bukan apa-apa.

Dari awal ia hanyalah anak panti asuhan yang sempat beruntung. Sempat beruntung karena diasuh oleh Ibrahim Busro, sempat beruntung menikahi pewaris utama keluarga kaya raya itu, meskipun memang, ia telah belajar bahwa bahagia selama-lama-lamanya itu tidak ada. Itu semua hanya dongeng yang diciptakan oleh industri film agar penonton terhipnotis menikmati kisah omong kosong buatan mereka.

Tepat ketika ia diceraikan oleh suaminya, maka detik itu pula Rayya harus bangun dari mimpinya. Ia kembali menerima kenyataan bahwa perannya di keluarga itu telah usai. Ia… bertahun-tahun dipersiapkan untuk mendampingi seorang Daus Busro, membangun keluarga itu, memastikan kalau perusahaan mereka tetap kokoh dari berbagai masalah. Tapi bagaimana mungkin ia menjaga keluarga serba rumit itu? Segalanya menjadi mustahil ketika rumah tangganya saja… bubar diterpa masalah. Hingga tadi pagi mereka-- Rayya dan asistennya mendapat pemberitahuan kalau kamar mereka dipindah ke lantai tiga.

Rayya berani menjamin kalau orang yang bernyali memindahkannya ke lantai teratas pasti keluarga Busro lainnya. Mereka berulah karena mereka mulai meremehkan Rayya. Mungkin mereka sengaja berpura-pura menyewa hotel ini, lalu memindahkan Rayya di lantai teratas sebagai sindirian. Betapa selama ini dengan kemampuan, kecerdasan dan keahlian Rayya, ia menduduki jabatan penting di perusahaan itu.

Ia menjadi kesayangan Tuan Ibrahim Busro. Ia bahkan memiliki kedudukan tinggi, punya andil untuk pengambilan keputusan… baik dalam urusan keluarga maupun perusahaan. Rayya memegang posisi strategis bahkan daripada tetua Busro lainnya. Menempatkannya ke lantai paling atas hotel ini bagai mengolok-olok Rayya. Ia mendapatkan kamar di lantai paling atas hanya untuk merasakan kesengsaraan mengingat hotel ini tidak memiliki lift pun tangga berjalan.

Tuhan pasti tahu kehidupan macam apa yang harus ia hadapi. Karenanya Rayya cukup tahu diri dan memilih untuk mulai menerima kenyataan ini. Ia hanya anak kecil yang diangkat sebagai cucu oleh Ibrahim Busro dan dipersiapkan untuk menjadi istri dari seorang Daus Busro.

Tapi ia gagal!

Tuhan tahu kalau ia telah gagal dan seperti yang diajarkan oleh kakek Busro bahwa di dunia ini, setidaknya di “dunia” maha mewah milik keluarga Busro, tidak ada kata kegagalan. Mereka tidak menerima orang-orang gagal. Maka ketika Rayya yang memang bukan siapa-siapa telah gagal menjalankan misi seumur hidupnya, ia diharuskan untuk pergi dan menyingkir dari daftar keluarga tersebut.

Bagaikan Cinderella yang dipaksa meninggalkan pun menanggalkan keajaiban ibu peri ketika jam dua belas malam tiba, Rayya diharuskan menanggalkan segala keajaiban itu ketika jam dalam kehidupannya berdentang. Bagaikan petir yang menyambar, bagaikan panas bertahun-tahun dihapus air hujan sehari, tepat ketika seorang Daus Busro mengirimkan berkas perceraiannya, menjatuhkan talaknya, maka menit itu juga Rayya harus kembali menjadi upik abu.

Tuhan tahu kalau ia rela menukar segala kemampuan, kecerdasan, beserta keberuntungan yang ia miliki hanya untuk mendapatkan cinta suaminya. Tapi nyatanya, pesta siang ini, pernikahan penuh tawa di sana tadi, membuka matanya bahwa Daus Busro sudah menjadi milik orang lain. Perjuangannya berpuluh tahun tidak berarti apa-apa dan tanpa statusnya itu, ia harus kembali menjadi bukan siapa-siapa.

Ini kenyataan macam apa?

Lelaki itu menatap langit-langit kamar. Tawanya tertahan, jenis tawa yang sumbang seakan sedang menertawakan nasibnya. Ia mencemooh takdirnya yang membuatnya harus melewatkan malam ini di tempat seperti ini.

Kalau beberapa tahun lalu ada orang yang mengatakan ia akan menikahi wanita biasa dari kalangan yang benar-benar biasa, bukan siapa-siapa, ia akan menganggapnya sebagai pelecehan. Ia bahkan tidak pikir pusing untuk menghadiahi orang itu sebuah tinju hanya untuk membuktikan kalau ia adalah Daus Busro. Memberitahunya untuk menikahi seorang wanita yang bukan siapa-siapa hanyalah sebuah penghinaan.

Seperti waktu itu tepat ketika Ibrahim Busro membawa wanita itu masuk ke dalam hidupnya, lebih dari dua dasawarsa lalu, membuat Daus menyumpah serapah kakeknya dalam hati. Daus pikir, keberhasilannya menjadi juara umum dan masuk sekolah elite karena kemampuannya-- bukan hanya karena statusnya sebagai pewaris Busro, membuat Ibrahim memberinya hadiah spesial. Ia kira hadiah itu berupa liburan keliling dunia atau mainan paling canggih yang bisa didapatkan oleh kakeknya. Namun… sore itu, Ibrahim Busro membawa hadiah yang kelak… akan merubah kehidupannya.

Wanita itu berambut pirang. Bukan pirang karena sengaja di highlight-- seperti teman-temannya yang melakukan performance di acara graduation beberapa waktu lalu. Anak-anak ABG itu, meskipun baru lulus elementary, namun mereka terlihat cantik dan meng-ombre rambut mereka dengan gradasi bermacam warna menggemaskan. Sedangkan, Rayya ini berambut pirang karena terbakar matahari.

Daus mendelik lalu melirik malas ketika meneliti perempuan itu bolak-balik dari ujung kepala hingga ujung kaki berkali-kali. Apa sih yang dilakukan anak ini? Kulitnya belang! Ia bisa melihat kalau area betisnya putih, mungkin karena ketika sekolah, bagian itu tertutup kaos kaki. Namun lengan-- seluruh tangannya, wajah, leher, mengusam. Demi Tuhan! Untung saja dia tidak bau!

Detik itu ia berpikir kalau kakeknya ini sedang kehilangan kewarasan. Bagaimana bisa ia tiba-tiba mengumumkan kepada Daus bahwa ia kelak harus menikahi wanita dekil di depannya itu?!

Daus tau betapa ia menimbun banyak dosa kepada Rayya. Betapa banyaknya perundungan beserta hinaan yang ia dan teman-temannya lakukan di sekolah dulu. Lantas di kemudian masa, ia mendapati kalau ia menyesal. Wanita itu kemudian tumbuh menjadi perempuan tercantik yang ia kenal. Meski ia mengakui kalau cantik itu relatif, namun Rayya memiliki bermacam alasan untuk membuat lelaki manapun enggan melepaskan pandangan darinya.

Penampilannya selalu nyaris tanpa cela. Wajahnya cerah merona juga mulus bercahaya seperti beningnya kristal. Pakaiannya bukan hanya karena bermerk, namun perpaduan warna serta gaya yang ia pilih selalu membuat orang merasa… terpana. Ditambah dengan tutur kata dan pembawaan yang anggun, namun di waktu-waktu tertentu, ia bisa memiliki ribuan taktik untuk mengalahkan lawannya di meja-meja negosiasi, membuat Rayya menjadi paket komplit.

Tuhan tahu kalau Rayya lebih dari sekedar hebat!

Bohong kalau ia di masa ini tidak jatuh cinta pada wanita itu. Omong kosong kalau ia membual bahwa ia tidak menginginkan Tsurayya Busro tapi… tepat ketika malam pernikahannya, percakapannya dengan salah satu sepupu jauh, membuka matanya. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang… kenapa kakeknya selama ini bersikeras untuk membuat Rayya, membentuk sedemikian rupa agar menjadi istri Daus? Kenapa wanita itu selalu bisa mengalahkannya di berbagai sisi kehidupan? Atau kenapa… Ibrahim Busro berani terang-terangan memusuhi siapa saja yang menyakiti Rayya.

Memangnya, dia siapa?

Itu pertanyaan yang tertanam dalam pikiran setiap orang di sekitar Ibrahim Busro. Siapa Rayya? Anak siapa ia sebenarnya? Atau mungkin ia adalah cucu haram dari selingkuhan Ibrahim di masa lalu? Dengan wanita mana Ibrahim Busro pernah berselingkuh?

Daus mengerjap ketika mengingat pembicaraannya dengan sepupunya. Kakinya bergerak tidak nyaman seakan ingin mengenyahkan bayangan Rayya dan kenyataan kelam yang mengejarnya dua tahun ini. Kakinya menyentuh pakaian yang menumpuk di tepi ranjang. Refleks ia bergetar ketika meraba-- tidak sengaja, kulit wanita yang tertidur di sampingnya.

Benar, tadi pagi ia menikahinya. Wanita lain telah masuk ke dalam kehidupannya. Wanita malang yang ia seret untuk ikut ke dalam pusaran keruwetan hidupnya. Seseorang yang bisa dijadikan pegangan sekadar untuk membuatnya tetap sadar bahwa ada dinding yang menghalanginya dari Rayya karena… tanpa batasan begini, ia berani memastikan kalau Rayya tidak akan melepaskannya.

Bukan tanpa alasan kalau lelaki itu memilih Rinai menjadi istrinya. Pada diri wanita ini, Daus menemukan kemudahan. Betapa mudahnya membuat Rinai bahagia. Wanita ini bisa tertawa hanya karena hal yang mungkin terlalu sepele. Ia pun bisa menangis hanya karena hal remeh seperti… menonton drama televisi. Belum lagi, ia tulus memuji Daus ketika lelaki itu mau memberikan tempat duduk kepada seorang nenek dalam transportasi umum.

Ya! Seorang Daus Busro menaiki transportasi umum untuk pertama kalinya dan itu karena wanita ini! Banyak kejadian tidak terduga yang ia pikir terlalu lebay saat mereka pacaran dulu. Terlalu banyak hal mudah dan remeh yang dipelajari dari Rinai hingga Daus mendapati kenyamanan bahwa ternyata, hidup bisa sesederhana ini.

“Sayaaang! Sayang… aku… mo… hon!” pekik Rinai setengah mati tertahan, tepat di telinganya. Kalau ini apartemennya maka Daus akan membebaskan wanita itu untuk berteriak sekerasnya, sebagai bukti kemenangannya memuskan wanita itu. Tapi ini adalah rumah orang tua Rinai. Bangunan berdinding kayu ini bisa membuat teriakan Rinani terdengar ke mana-mana. Para tamu beserta keluarga di luar sana bisa mendengar “kegiatan” mereka di dalam kamar. Karena itu terpaksa Rinai menahan suaranya.

Daus merinding ketika kenangan malam pertamanya beberapa jam tadi kembali melintas. Wanita ini bahkan bisa mendapatkan ******* berkali-kali meski hanya dengan foreplay sederhana, sesuatu yang mustahil bisa dirasakan oleh Rayya. Sesuatu yang menuntun seorang Daud merasa dipecundangi ribuan kali oleh mantannya itu.

Kenyataan kelam… tepat ketika malam pernikahan mereka dulu mengguncang mental Daus, membuatnya merasa bersalah untuk merebut keperawanan Rayya. Berbagai cerita beserta alasan ia pikirkan untuk membuat Rayya berhenti menuntut keintiman di antara mereka. Bermacam cara ia coba untuk membuat Rayya lupa akan impiannya untuk memiliki anak.

Bukannya Daus benar-benar abai dengan tugasnya sebagai lelaki. Ia bersedia melakukan jutaan foreplay dengan Rayya. Bahkan Daus mempelajari berbagai teknik untuk membuat mantan istrinya puas namun… alih-alih berhasil ia justru lebih dulu terpuaskan. Rayya lagi-lagi mengalahkannya. Wanita itu tahu titik-titik rangsang yang membuat Daus Busro, bahkan tanpa perlu melakukan inti permainan, mampu berteriak puas sampai merasa tidak berdaya oleh kelakuan Rayya.

Hingga dulu ketika pernikahan itu menginjak lebih dari satu tahun, Daus menyadari kalau ia, berusaha keras sekeras apapun, tidak akan mampu mengalahkan Rayya-- Tsurayya Busro. Meski ia berlari kencang, Rayya akan mengejar lebih kencang. Meski ia bertarung dengan hebat, wanita itu bertarung dengan lebih hebat lagi. Lalu… meski ia setengah mati berusaha membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi seseorang yang diinginkan, maka Rayya berhasil menjadi wanita yang jauh, lebih dari sekadar diinginkan. Nyatanya, bukan Rayya yang tidak pantas menjadi istrinya tapi Daus lah yang tidak pantas menjadi suami seorang Tsurayya Busro.

                                                                       

 --His Virgin

Ex Wife--

Suara kesibukan di luar membuat wanita itu mengumpat tertahan, menjadi bukti kalau pulau ini sedang ada acara super megah. Malam ini, meski ia berusaha keras namun matanya enggan terpejam. Berbeda dengan asistennya yang setelah melakukan obrolan panjang sekadar melantur ke sana-sini, Shanaz bisa tertidur pulas.

Ia menghela napas panjang, terdiam sejenak. Tatapannya fokus ke arah Shanaz yang masih terlelap dalam selimut. Ia menggeleng pelan lantas kembali meratakan krim pada wajah dengan telaten.

Bagi sebagian orang, make up dekorasi adalah hal yang penting. Karena itu wanita berlomba-lomba mengoleksi bermacam jenis foundation dengan beragam shades. Konon menurut para ahli per-make up-an, foundation merupakan hal yang penting karena kalau sampai salah pilih, bisa membuat riasan pecah-pecah lantas luntur di sana-sini. Namun Rayya menganggap kalau riasan berlapis-lapis hanyalah omong kosong! Baginya, wajah itu harus dirawat, bukannya di “cat”!

Dibandingkan mengoleksi blush on, eye shadow, dan lipstick, daftar kosmetiknya dipenuhi dengan berbagai skin care. Tahapan perawatan wajahnya mungkin malah jauh lebih berlapis daripada shading para Make Up Artist. Mulai dari pembersih… mau sabun cuci muka atau milk cleanser, ia punya! Toner, mau yang dioles pakai kapas atau pun model spray, ada. Essence plus serum, mau produk negeri Ginseng, negeri Sakura, negeri Panda, hingga Uni Emirat Arab, yang dipakai dengan cara dioles, ditepuk perlahan hingga ditampar, Rayya mengoleksinya. Krim perawatan, mau resep dari Benua Asia, Eropa, bahkan Afrika, Rayya punya. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya free paraben dan free sls, produk kecantikan yang ia miliki rata-rata berbahan organik yang konon… berasal dari tumbuhan yang ditanam nyaris tanpa pestisida!

“Daebak! Commoners can’t relate!” pekik Shanaz waktu itu. Kali pertama Shanaz dipercaya untuk datang ke penthouse Raya, sekaligus pagi pertama tanpa Daud. Memori itu terekam nyata dalam ingatannya.

Hampir-hampir ia terlonjak saat mendengar suara yang menyerupai sirine dari pemadam kebakaran. Lamunannya berantakan! Rayya berdecak gemas, menyadari kalau asal suara itu adalah ponsel Shanaz. Ia nyaris memekik saat menemukan Shanaz seketika terduduk dengan balutan selimut, menyerupai ulat dalam daun pisang. Semenit kemudian, asistennya berdiri dan nyaris berlari ke kamar mandi. Rayya hanya menggeleng dan melanjutkan ritual paginya yang… oke, sedikit terlalu pagi.

Ini kali pertamanya satu kamar dengan asistennya. Dulu waktu mantan suaminya memilih untuk pergi dari apartemen mereka, ia meminta Shanaz untuk datang menemaninya. Sendirian di tempat sesepi itu membuatnya merasa terlalu miris. Namun saat itu mereka tidur di kamar berbeda.

Kemarin petang, tepat ketika wanita itu berhasil membawa setumpuk koper dibantu dengan pengemudi sewaan dari pusat kota, Shanaz terengah-engah lalu menatap sendu ke arah pintu kamar. Rayya paham bahwa entah bagaimana hotel ini sudah full booked. Terlepas dari keluarga Busro mana yang mengerjai mereka, namun asistennya itu membutuhkan kamar untuk tidur. Rayya bisa saja menyuruhnya untuk mencari hotel lain namun, itu tidak efisien dan mengingat melewati malam sendirian hanya untuk meratapi nasib… bukan tipikal Rayya, maka tanpa ragu ia mempersilakan wanita itu untuk memakai kamar ini berdua. untungnya, supir sewaan mereka memiliki kerabat di pulau ini dan bisa menginap di sana.

Ternyata, tidak terlalu buruk melepaskan kekacauan yang berputar-putar di kepalanya. Terlebih lagi, seperti yang ia duga… Shanaz merupakan wanita dengan pemikiran-pemikiran yang agak unik, kalau tidak mau dibilang ajaib. Sejak awal ia mempertimbangkan untuk mempertahankan asistennya itu, bukan karena ia orang yang cekatan atau serba bisa. Ia kelewat jauh dari kriteria ideal. Namun, Rayya tahu bahwa Shanaz anak baik dan tulus. Meski kinerjanya terkadang lamban, namun ia termasuk karyawan yang tekun. Ia bahkan beberapa kali mengejutkan Rayya dengan cara-caranya yang agak nyeleneh ketika menghadapi waktu-waktu genting.

Seperti sore tadi, ketika Rayya memikirkan keruwetan nasibnya sambil mempertimbangkan apakah ia harus datang lagi ke pesta pernikahan itu, Shanaz malah asyik selonjoran sambil maraton drama di ponsel.

“Naz… menurut kamu, saya perlu ke pesta itu lagi, nggak?”

 Refleks Shanaz menurunkan ponsel lalu mengernyit. Kepalanya dimiringkan ke kanan, ke kiri, serius mencari tahu jawaban apa yang akan ia berikan. Namun alih-alih menjawab pertanyaan bosnya, wanita itu malah membalikkan keadaan.

“Memangnya ada yang memaksa Miss untuk datang?” tanyanya bingung.

Rayya menghela napas. “Pestanya sehari semalam, Naz… dan nggak ada orang yang maksa saya untuk datang hanya… menurutmu, saya perlu datang atau tidak?”

Shanaz menatap iba. Sebulanan ini atasannya menjadi sedikit aneh. Rayya ini merupakan direktur keuangan sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi kecerdasannya dalam hal mencari strategi untuk menjalankan berbagai proyek bernilai triliunan. Lalu bagaimana ceritanya wanita ini tiba-tiba menjadi hilang akal mengenai masalah rumah tangganya? Sekali lagi, Shanaz mengakui bahwa cinta nyatanya bisa membuat orang mendadak senewen.

“Miss datang ke sini pagi tadi cuma bikin tambah sakit hati dan Miss mau ngulangin lagi? Datang ke sana lagi? Kenapa?”

Rayya mengerjap. Pemikiran Shanaz benar, namun… ia perlu menghadiri pesta itu agar orang tahu bahwa ia, Rayya-- Tsurayya Busro belum kalah… tidak akan kalah. Ia memiliki perasaan serta hati yang kuat dan menyaksikan pernikahan mantan suaminya hanyalah hal sepele. Ia perlu membuat kesan setegas itu agar tidak ada keluarga Busro yang kelak berani untuk menghinanya.

 Asistennya itu menatap kasihan. Demi Tuhan… Rayya benci tatapan seperti itu namun… ucapan Shanaz yang terdengar tulus menampar perasaannya.

“Kenapa Miss sibuk memikirkan apa yang orang bilang? Daripada memikirkan perasaan orang, kenapa Miss nggak mikirin tentang perasaan Miss sendiri?”

Shanaz benar, ini waktunya untuk mengutamakan perasaannya sendiri. Bukankah kita tidak bisa memuaskan seluruh manusia? Sekeras apapun usaha yang dilakukan, pasti akan ada orang yang tetap mencibir pilihan-pilihan yang kita buat.

Rayya mencerna percakapan itu kelewat serius hingga kemudian terlintas dalam kepalanya ide untuk bergegas keluar dari perusahan Busro lalu mulai menikmati hidupnya.

“Naz… kamu kalau lagi nggak ada kerjaan, kamu ngapain?”

Shanaz, sore tadi cuma melongo mendengar pertanyaan Rayya. “Miss mau pecat saya?” tanyanya panik.

Rayya melengos ketika menyadari kalau pertanyaannya salah. Ia bingung mau menjawab apa karena memang kalau ia mengundurkan diri, maka suka atau tidak suka, ia akan memecat Shanaz. Rayya akan menjadi pengangguran dan ia tidak membutuhkan seorang asisten.

“Jangan pecat saya, Miss… uang saya belum cukup untuk daftarin haji orang tua saya,” sahutnya jujur.

Rayya teperangah mendengar jawaban asistennya.

“Pecatnya nanti aja, Miss. Minimal kalau saya udah bisa daftarin haji orang tua saya,” tambahnya.

Rayya menghela napas panjang. Kenapa malah asistennya yang mengadu? “Saya cuma nanya, Naz… kalau lagi nganggur, kamu ngapain?”

Wanita itu mengernyit. “Miss bener mau pecat saya?” tanyanya serius. “Saya salah apa, Miss?”

Belum juga Rayya membuka mulut, asistennya kembali mengadu. “Saya kalo nganggur ya bakal cari kerja sampai dapat, Miss.” Kali ini nadanya makin sendu. Shanaz ingat bahwa banyak karyawan di kantor yang menduga kalau Rayya akan mengundurkan diri setelah perceraiannya dengan Daus.

“Saya pingin ngedaftarin haji orang tua saya, Miss. Kalau saya nganggur nanti impian saya makin lama terwujudnya. Apalagi, antrian haji sekarang katanya udah sampai enam puluh tahun!”

Rayya mengernyit mendengar ucapan asistennya. Ada dua hal yang membuatnya bingung. Antrian haji bisa selama itu? Ia bukan hamba yang taat namun, mendengar betapa banyaknya masyarakat yang rela mengantri puluhan tahun untuk melakukan satu ritual ibadah membuatnya amaze-- takjub. Selain itu, ia mengagumi pola pikir asistennya yang sederhana. Semudah menjawab: kalau menganggur ya cari kerja.

Segampang itu!

“Saya punya impian untuk daftarin haji orang tua saya,” tukasnya sore tadi. “Kalau Miss… impian Miss apa?” tanyanya tiba-tiba.

Rayya mengerjap ketika mengingat pertanyaan itu. Sesuatu yang tidak pernah ia duga akan ditanyakan seseorang. Selama ini, lebih dari belasan tahun kakek Busro merawatnya dan mengangkatnya sebagai cucu, ia bahkan belum pernah ditanya apa impiannya. Ibrahim Busro sibuk mendoktrin bahwa ia harus bisa menjadi seorang wanita yang layak untuk mendampingi Daus. Keseharian dalam hidupnya penuh dengan usaha untuk menyenangkan hati seorang Daus Busro. Lalu, ketika pernikahannya yang dipersiapkan sejak puluhan tahun hanya bertahan sekitar satu tahun lebih, Tsurayya bisa apa?

Ketika sebagian besar kehidupannya dihabiskan untuk berpikir mengenai menjadi pendamping yang sempurna untuk Daus Busro, Rayya bahkan tidak pernah mencari tahu cara untuk membahagiakan dirinya sendiri. Tuhan tahu bahwa bagi Rayya, bahagianya adalah berhasil menjadi istri yang pantas bagi Daus. Maka kebahagiannya adalah melihat Daus bahagia. Kesenangannya adalah melihat Daus merasa senang dan kegembiraannya adalah melihat Daus tertawa gembira, berbahagia. Tapi nyatanya, hari ini Daus tertawa gembira, namun bukan bersamanya. Kejadian pagi tadi bahkan meluluh lantahkan segenap bayangannya akan konsep bahagia yang ia punya.

Tsurayya menatap tajam ke arah asistennya yang tengah bersiap untuk melakukan sholat sepertiga malam-- menjelang shubuh, memerhatikan tetesan air wudhu yang membasahi wajah asistennya. Bertanya-tanya sendiri tentang seberapa perlu manusia menghamba kepada Tuhan? Tanpa sadar, i a bergumam dengan nada putus asa.

 “Naz… kalau saya minta sama Tuhan agar… Daus kembali pada saya, apa… Tuhan mau mengabulkan do’a saya?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!