Lelaki itu menatap langit-langit kamar. Tawanya tertahan, jenis tawa yang sumbang seakan sedang menertawakan nasibnya. Ia mencemooh takdirnya yang membuatnya harus melewatkan malam ini di tempat seperti ini.
Kalau beberapa tahun lalu ada orang yang mengatakan ia akan menikahi wanita biasa dari kalangan yang benar-benar biasa, bukan siapa-siapa, ia akan menganggapnya sebagai pelecehan. Ia bahkan tidak pikir pusing untuk menghadiahi orang itu sebuah tinju hanya untuk membuktikan kalau ia adalah Daus Busro. Memberitahunya untuk menikahi seorang wanita yang bukan siapa-siapa hanyalah sebuah penghinaan.
Seperti waktu itu tepat ketika Ibrahim Busro membawa wanita itu masuk ke dalam hidupnya, lebih dari dua dasawarsa lalu, membuat Daus menyumpah serapah kakeknya dalam hati. Daus pikir, keberhasilannya menjadi juara umum dan masuk sekolah elite karena kemampuannya-- bukan hanya karena statusnya sebagai pewaris Busro, membuat Ibrahim memberinya hadiah spesial. Ia kira hadiah itu berupa liburan keliling dunia atau mainan paling canggih yang bisa didapatkan oleh kakeknya. Namun… sore itu, Ibrahim Busro membawa hadiah yang kelak… akan merubah kehidupannya.
Wanita itu berambut pirang. Bukan pirang karena sengaja di highlight-- seperti teman-temannya yang melakukan performance di acara graduation beberapa waktu lalu. Anak-anak ABG itu, meskipun baru lulus elementary, namun mereka terlihat cantik dan meng-ombre rambut mereka dengan gradasi bermacam warna menggemaskan. Sedangkan, Rayya ini berambut pirang karena terbakar matahari.
Daus mendelik lalu melirik malas ketika meneliti perempuan itu bolak-balik dari ujung kepala hingga ujung kaki berkali-kali. Apa sih yang dilakukan anak ini? Kulitnya belang! Ia bisa melihat kalau area betisnya putih, mungkin karena ketika sekolah, bagian itu tertutup kaos kaki. Namun lengan-- seluruh tangannya, wajah, leher, mengusam. Demi Tuhan! Untung saja dia tidak bau!
Detik itu ia berpikir kalau kakeknya ini sedang kehilangan kewarasan. Bagaimana bisa ia tiba-tiba mengumumkan kepada Daus bahwa ia kelak harus menikahi wanita dekil di depannya itu?!
Daus tau betapa ia menimbun banyak dosa kepada Rayya. Betapa banyaknya perundungan beserta hinaan yang ia dan teman-temannya lakukan di sekolah dulu. Lantas di kemudian masa, ia mendapati kalau ia menyesal. Wanita itu kemudian tumbuh menjadi perempuan tercantik yang ia kenal. Meski ia mengakui kalau cantik itu relatif, namun Rayya memiliki bermacam alasan untuk membuat lelaki manapun enggan melepaskan pandangan darinya.
Penampilannya selalu nyaris tanpa cela. Wajahnya cerah merona juga mulus bercahaya seperti beningnya kristal. Pakaiannya bukan hanya karena bermerk, namun perpaduan warna serta gaya yang ia pilih selalu membuat orang merasa… terpana. Ditambah dengan tutur kata dan pembawaan yang anggun, namun di waktu-waktu tertentu, ia bisa memiliki ribuan taktik untuk mengalahkan lawannya di meja-meja negosiasi, membuat Rayya menjadi paket komplit.
Tuhan tahu kalau Rayya lebih dari sekedar hebat!
Bohong kalau ia di masa ini tidak jatuh cinta pada wanita itu. Omong kosong kalau ia membual bahwa ia tidak menginginkan Tsurayya Busro tapi… tepat ketika malam pernikahannya, percakapannya dengan salah satu sepupu jauh, membuka matanya. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang… kenapa kakeknya selama ini bersikeras untuk membuat Rayya, membentuk sedemikian rupa agar menjadi istri Daus? Kenapa wanita itu selalu bisa mengalahkannya di berbagai sisi kehidupan? Atau kenapa… Ibrahim Busro berani terang-terangan memusuhi siapa saja yang menyakiti Rayya.
Memangnya, dia siapa?
Itu pertanyaan yang tertanam dalam pikiran setiap orang di sekitar Ibrahim Busro. Siapa Rayya? Anak siapa ia sebenarnya? Atau mungkin ia adalah cucu haram dari selingkuhan Ibrahim di masa lalu? Dengan wanita mana Ibrahim Busro pernah berselingkuh?
Daus mengerjap ketika mengingat pembicaraannya dengan sepupunya. Kakinya bergerak tidak nyaman seakan ingin mengenyahkan bayangan Rayya dan kenyataan kelam yang mengejarnya dua tahun ini. Kakinya menyentuh pakaian yang menumpuk di tepi ranjang. Refleks ia bergetar ketika meraba-- tidak sengaja, kulit wanita yang tertidur di sampingnya.
Benar, tadi pagi ia menikahinya. Wanita lain telah masuk ke dalam kehidupannya. Wanita malang yang ia seret untuk ikut ke dalam pusaran keruwetan hidupnya. Seseorang yang bisa dijadikan pegangan sekadar untuk membuatnya tetap sadar bahwa ada dinding yang menghalanginya dari Rayya karena… tanpa batasan begini, ia berani memastikan kalau Rayya tidak akan melepaskannya.
Bukan tanpa alasan kalau lelaki itu memilih Rinai menjadi istrinya. Pada diri wanita ini, Daus menemukan kemudahan. Betapa mudahnya membuat Rinai bahagia. Wanita ini bisa tertawa hanya karena hal yang mungkin terlalu sepele. Ia pun bisa menangis hanya karena hal remeh seperti… menonton drama televisi. Belum lagi, ia tulus memuji Daus ketika lelaki itu mau memberikan tempat duduk kepada seorang nenek dalam transportasi umum.
Ya! Seorang Daus Busro menaiki transportasi umum untuk pertama kalinya dan itu karena wanita ini! Banyak kejadian tidak terduga yang ia pikir terlalu lebay saat mereka pacaran dulu. Terlalu banyak hal mudah dan remeh yang dipelajari dari Rinai hingga Daus mendapati kenyamanan bahwa ternyata, hidup bisa sesederhana ini.
“Sayaaang! Sayang… aku… mo… hon!” pekik Rinai setengah mati tertahan, tepat di telinganya. Kalau ini apartemennya maka Daus akan membebaskan wanita itu untuk berteriak sekerasnya, sebagai bukti kemenangannya memuskan wanita itu. Tapi ini adalah rumah orang tua Rinai. Bangunan berdinding kayu ini bisa membuat teriakan Rinani terdengar ke mana-mana. Para tamu beserta keluarga di luar sana bisa mendengar “kegiatan” mereka di dalam kamar. Karena itu terpaksa Rinai menahan suaranya.
Daus merinding ketika kenangan malam pertamanya beberapa jam tadi kembali melintas. Wanita ini bahkan bisa mendapatkan ******* berkali-kali meski hanya dengan foreplay sederhana, sesuatu yang mustahil bisa dirasakan oleh Rayya. Sesuatu yang menuntun seorang Daud merasa dipecundangi ribuan kali oleh mantannya itu.
Kenyataan kelam… tepat ketika malam pernikahan mereka dulu mengguncang mental Daus, membuatnya merasa bersalah untuk merebut keperawanan Rayya. Berbagai cerita beserta alasan ia pikirkan untuk membuat Rayya berhenti menuntut keintiman di antara mereka. Bermacam cara ia coba untuk membuat Rayya lupa akan impiannya untuk memiliki anak.
Bukannya Daus benar-benar abai dengan tugasnya sebagai lelaki. Ia bersedia melakukan jutaan foreplay dengan Rayya. Bahkan Daus mempelajari berbagai teknik untuk membuat mantan istrinya puas namun… alih-alih berhasil ia justru lebih dulu terpuaskan. Rayya lagi-lagi mengalahkannya. Wanita itu tahu titik-titik rangsang yang membuat Daus Busro, bahkan tanpa perlu melakukan inti permainan, mampu berteriak puas sampai merasa tidak berdaya oleh kelakuan Rayya.
Hingga dulu ketika pernikahan itu menginjak lebih dari satu tahun, Daus menyadari kalau ia, berusaha keras sekeras apapun, tidak akan mampu mengalahkan Rayya-- Tsurayya Busro. Meski ia berlari kencang, Rayya akan mengejar lebih kencang. Meski ia bertarung dengan hebat, wanita itu bertarung dengan lebih hebat lagi. Lalu… meski ia setengah mati berusaha membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi seseorang yang diinginkan, maka Rayya berhasil menjadi wanita yang jauh, lebih dari sekadar diinginkan. Nyatanya, bukan Rayya yang tidak pantas menjadi istrinya tapi Daus lah yang tidak pantas menjadi suami seorang Tsurayya Busro.
--His Virgin
Ex Wife--
Suara kesibukan di luar membuat wanita itu mengumpat tertahan, menjadi bukti kalau pulau ini sedang ada acara super megah. Malam ini, meski ia berusaha keras namun matanya enggan terpejam. Berbeda dengan asistennya yang setelah melakukan obrolan panjang sekadar melantur ke sana-sini, Shanaz bisa tertidur pulas.
Ia menghela napas panjang, terdiam sejenak. Tatapannya fokus ke arah Shanaz yang masih terlelap dalam selimut. Ia menggeleng pelan lantas kembali meratakan krim pada wajah dengan telaten.
Bagi sebagian orang, make up dekorasi adalah hal yang penting. Karena itu wanita berlomba-lomba mengoleksi bermacam jenis foundation dengan beragam shades. Konon menurut para ahli per-make up-an, foundation merupakan hal yang penting karena kalau sampai salah pilih, bisa membuat riasan pecah-pecah lantas luntur di sana-sini. Namun Rayya menganggap kalau riasan berlapis-lapis hanyalah omong kosong! Baginya, wajah itu harus dirawat, bukannya di “cat”!
Dibandingkan mengoleksi blush on, eye shadow, dan lipstick, daftar kosmetiknya dipenuhi dengan berbagai skin care. Tahapan perawatan wajahnya mungkin malah jauh lebih berlapis daripada shading para Make Up Artist. Mulai dari pembersih… mau sabun cuci muka atau milk cleanser, ia punya! Toner, mau yang dioles pakai kapas atau pun model spray, ada. Essence plus serum, mau produk negeri Ginseng, negeri Sakura, negeri Panda, hingga Uni Emirat Arab, yang dipakai dengan cara dioles, ditepuk perlahan hingga ditampar, Rayya mengoleksinya. Krim perawatan, mau resep dari Benua Asia, Eropa, bahkan Afrika, Rayya punya. Tak tanggung-tanggung, bukan hanya free paraben dan free sls, produk kecantikan yang ia miliki rata-rata berbahan organik yang konon… berasal dari tumbuhan yang ditanam nyaris tanpa pestisida!
“Daebak! Commoners can’t relate!” pekik Shanaz waktu itu. Kali pertama Shanaz dipercaya untuk datang ke penthouse Raya, sekaligus pagi pertama tanpa Daud. Memori itu terekam nyata dalam ingatannya.
Hampir-hampir ia terlonjak saat mendengar suara yang menyerupai sirine dari pemadam kebakaran. Lamunannya berantakan! Rayya berdecak gemas, menyadari kalau asal suara itu adalah ponsel Shanaz. Ia nyaris memekik saat menemukan Shanaz seketika terduduk dengan balutan selimut, menyerupai ulat dalam daun pisang. Semenit kemudian, asistennya berdiri dan nyaris berlari ke kamar mandi. Rayya hanya menggeleng dan melanjutkan ritual paginya yang… oke, sedikit terlalu pagi.
Ini kali pertamanya satu kamar dengan asistennya. Dulu waktu mantan suaminya memilih untuk pergi dari apartemen mereka, ia meminta Shanaz untuk datang menemaninya. Sendirian di tempat sesepi itu membuatnya merasa terlalu miris. Namun saat itu mereka tidur di kamar berbeda.
Kemarin petang, tepat ketika wanita itu berhasil membawa setumpuk koper dibantu dengan pengemudi sewaan dari pusat kota, Shanaz terengah-engah lalu menatap sendu ke arah pintu kamar. Rayya paham bahwa entah bagaimana hotel ini sudah full booked. Terlepas dari keluarga Busro mana yang mengerjai mereka, namun asistennya itu membutuhkan kamar untuk tidur. Rayya bisa saja menyuruhnya untuk mencari hotel lain namun, itu tidak efisien dan mengingat melewati malam sendirian hanya untuk meratapi nasib… bukan tipikal Rayya, maka tanpa ragu ia mempersilakan wanita itu untuk memakai kamar ini berdua. untungnya, supir sewaan mereka memiliki kerabat di pulau ini dan bisa menginap di sana.
Ternyata, tidak terlalu buruk melepaskan kekacauan yang berputar-putar di kepalanya. Terlebih lagi, seperti yang ia duga… Shanaz merupakan wanita dengan pemikiran-pemikiran yang agak unik, kalau tidak mau dibilang ajaib. Sejak awal ia mempertimbangkan untuk mempertahankan asistennya itu, bukan karena ia orang yang cekatan atau serba bisa. Ia kelewat jauh dari kriteria ideal. Namun, Rayya tahu bahwa Shanaz anak baik dan tulus. Meski kinerjanya terkadang lamban, namun ia termasuk karyawan yang tekun. Ia bahkan beberapa kali mengejutkan Rayya dengan cara-caranya yang agak nyeleneh ketika menghadapi waktu-waktu genting.
Seperti sore tadi, ketika Rayya memikirkan keruwetan nasibnya sambil mempertimbangkan apakah ia harus datang lagi ke pesta pernikahan itu, Shanaz malah asyik selonjoran sambil maraton drama di ponsel.
“Naz… menurut kamu, saya perlu ke pesta itu lagi, nggak?”
Refleks Shanaz menurunkan ponsel lalu mengernyit. Kepalanya dimiringkan ke kanan, ke kiri, serius mencari tahu jawaban apa yang akan ia berikan. Namun alih-alih menjawab pertanyaan bosnya, wanita itu malah membalikkan keadaan.
“Memangnya ada yang memaksa Miss untuk datang?” tanyanya bingung.
Rayya menghela napas. “Pestanya sehari semalam, Naz… dan nggak ada orang yang maksa saya untuk datang hanya… menurutmu, saya perlu datang atau tidak?”
Shanaz menatap iba. Sebulanan ini atasannya menjadi sedikit aneh. Rayya ini merupakan direktur keuangan sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi kecerdasannya dalam hal mencari strategi untuk menjalankan berbagai proyek bernilai triliunan. Lalu bagaimana ceritanya wanita ini tiba-tiba menjadi hilang akal mengenai masalah rumah tangganya? Sekali lagi, Shanaz mengakui bahwa cinta nyatanya bisa membuat orang mendadak senewen.
“Miss datang ke sini pagi tadi cuma bikin tambah sakit hati dan Miss mau ngulangin lagi? Datang ke sana lagi? Kenapa?”
Rayya mengerjap. Pemikiran Shanaz benar, namun… ia perlu menghadiri pesta itu agar orang tahu bahwa ia, Rayya-- Tsurayya Busro belum kalah… tidak akan kalah. Ia memiliki perasaan serta hati yang kuat dan menyaksikan pernikahan mantan suaminya hanyalah hal sepele. Ia perlu membuat kesan setegas itu agar tidak ada keluarga Busro yang kelak berani untuk menghinanya.
Asistennya itu menatap kasihan. Demi Tuhan… Rayya benci tatapan seperti itu namun… ucapan Shanaz yang terdengar tulus menampar perasaannya.
“Kenapa Miss sibuk memikirkan apa yang orang bilang? Daripada memikirkan perasaan orang, kenapa Miss nggak mikirin tentang perasaan Miss sendiri?”
Shanaz benar, ini waktunya untuk mengutamakan perasaannya sendiri. Bukankah kita tidak bisa memuaskan seluruh manusia? Sekeras apapun usaha yang dilakukan, pasti akan ada orang yang tetap mencibir pilihan-pilihan yang kita buat.
Rayya mencerna percakapan itu kelewat serius hingga kemudian terlintas dalam kepalanya ide untuk bergegas keluar dari perusahan Busro lalu mulai menikmati hidupnya.
“Naz… kamu kalau lagi nggak ada kerjaan, kamu ngapain?”
Shanaz, sore tadi cuma melongo mendengar pertanyaan Rayya. “Miss mau pecat saya?” tanyanya panik.
Rayya melengos ketika menyadari kalau pertanyaannya salah. Ia bingung mau menjawab apa karena memang kalau ia mengundurkan diri, maka suka atau tidak suka, ia akan memecat Shanaz. Rayya akan menjadi pengangguran dan ia tidak membutuhkan seorang asisten.
“Jangan pecat saya, Miss… uang saya belum cukup untuk daftarin haji orang tua saya,” sahutnya jujur.
Rayya teperangah mendengar jawaban asistennya.
“Pecatnya nanti aja, Miss. Minimal kalau saya udah bisa daftarin haji orang tua saya,” tambahnya.
Rayya menghela napas panjang. Kenapa malah asistennya yang mengadu? “Saya cuma nanya, Naz… kalau lagi nganggur, kamu ngapain?”
Wanita itu mengernyit. “Miss bener mau pecat saya?” tanyanya serius. “Saya salah apa, Miss?”
Belum juga Rayya membuka mulut, asistennya kembali mengadu. “Saya kalo nganggur ya bakal cari kerja sampai dapat, Miss.” Kali ini nadanya makin sendu. Shanaz ingat bahwa banyak karyawan di kantor yang menduga kalau Rayya akan mengundurkan diri setelah perceraiannya dengan Daus.
“Saya pingin ngedaftarin haji orang tua saya, Miss. Kalau saya nganggur nanti impian saya makin lama terwujudnya. Apalagi, antrian haji sekarang katanya udah sampai enam puluh tahun!”
Rayya mengernyit mendengar ucapan asistennya. Ada dua hal yang membuatnya bingung. Antrian haji bisa selama itu? Ia bukan hamba yang taat namun, mendengar betapa banyaknya masyarakat yang rela mengantri puluhan tahun untuk melakukan satu ritual ibadah membuatnya amaze-- takjub. Selain itu, ia mengagumi pola pikir asistennya yang sederhana. Semudah menjawab: kalau menganggur ya cari kerja.
Segampang itu!
“Saya punya impian untuk daftarin haji orang tua saya,” tukasnya sore tadi. “Kalau Miss… impian Miss apa?” tanyanya tiba-tiba.
Rayya mengerjap ketika mengingat pertanyaan itu. Sesuatu yang tidak pernah ia duga akan ditanyakan seseorang. Selama ini, lebih dari belasan tahun kakek Busro merawatnya dan mengangkatnya sebagai cucu, ia bahkan belum pernah ditanya apa impiannya. Ibrahim Busro sibuk mendoktrin bahwa ia harus bisa menjadi seorang wanita yang layak untuk mendampingi Daus. Keseharian dalam hidupnya penuh dengan usaha untuk menyenangkan hati seorang Daus Busro. Lalu, ketika pernikahannya yang dipersiapkan sejak puluhan tahun hanya bertahan sekitar satu tahun lebih, Tsurayya bisa apa?
Ketika sebagian besar kehidupannya dihabiskan untuk berpikir mengenai menjadi pendamping yang sempurna untuk Daus Busro, Rayya bahkan tidak pernah mencari tahu cara untuk membahagiakan dirinya sendiri. Tuhan tahu bahwa bagi Rayya, bahagianya adalah berhasil menjadi istri yang pantas bagi Daus. Maka kebahagiannya adalah melihat Daus bahagia. Kesenangannya adalah melihat Daus merasa senang dan kegembiraannya adalah melihat Daus tertawa gembira, berbahagia. Tapi nyatanya, hari ini Daus tertawa gembira, namun bukan bersamanya. Kejadian pagi tadi bahkan meluluh lantahkan segenap bayangannya akan konsep bahagia yang ia punya.
Tsurayya menatap tajam ke arah asistennya yang tengah bersiap untuk melakukan sholat sepertiga malam-- menjelang shubuh, memerhatikan tetesan air wudhu yang membasahi wajah asistennya. Bertanya-tanya sendiri tentang seberapa perlu manusia menghamba kepada Tuhan? Tanpa sadar, i a bergumam dengan nada putus asa.
“Naz… kalau saya minta sama Tuhan agar… Daus kembali pada saya, apa… Tuhan mau mengabulkan do’a saya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments