Benda berukuran cukup mungil itu tersudut di pojok ruangan. Barang paling mengenaskan milik Rayya. Mengingat bagi wanita itu, setiap benda yang ia miliki begitu berharga, dijaga kelewat ketat, maka penampilan sandal dengan hak tujuh senti itu amat… menyedihkan.
Beberapa orang mengatakan kalau hal-hal terbaik akan datang ketika kita menggunakan barang yang baik-baik. Bukankah dulu ada kisah mengenai orang yang berusaha menjadi alim, dengan amat berusaha mengharap ridho Allaah, berdo’a dengat begitu serius, namun nyatanya munajatnya malah ditolak. Do’anya mustahil bisa dikabulkan. Konon ketika dalam memohonkan do’a-do’a itu, ia menggunakan barang-barang yang tidak baik. Tubuhnya di penuhi barang-barang yang tidak baik pun ia dapat dengan cara tidak baik. Makanan dan minuman, cemilan, pakaian, pokoknya dalam kehidupan keseharian, dirinya banyak memiliki hal-hal kurang baik. Ia diharuskan menanggalkan keburukan itu kalau ingin do’anya dikabulkan.
Karena itu, Rayya amat berhati-hati dalam membeli sebuah barang. Apalagi ia bukan seorang penggila belanja, maka sekalinya ia butuh sesuatu, ia akan menyeleksi secara ketat apa yang akan ia pilih. Baginya, ia menyadari kalau ia masih kelewat jauh dari menjadi hamba yang baik. Maka setidaknya, berhati-hati dalam menjalani kehidupan adalah prinsipnya. Seperti sandal itu. Ia bisa mengatakan bahwa mereka mendapatkannya dengan cara yang baik. Benar… mereka-- Rayya dan Shanaz.
Itu merupakan barang yang sudah ia wishlist sejak beberapa lama. Ia mengincarnya bahkan ketika benda itu masih dalam waktu pre order. Begitu jadi, barang pesanannya malah salah ukuran! Ia ditawarkan untuk membeli barang milik orang lain yang belum juga diambil. Tsurayya menolak, mengingat itu adalah pesanan orang lain, hak orang lain. Meskipun supervisor toko itu mungkin sungkan dengan nama besar Busro, lalu mengutamakan Rayya, namun pada sandal itu ada hak orang lain. Maka, ia memilih untuk berburu di toko lain bahkan negara lain.
Dengan usaha penuh kepayahan, Shanaz musti keliling berbelanja online mencari tahu toko mana yang memiliki sepatu dengan ukuran atasannya. Kemudian, wanita itu terbang ke negeri singa, mendatangi toko official di sana, menenteng-nenteng tas belanja sepanjang Orchard Road untuk memenuhi permintaan Rayya. Dengan keberhasilan tersebut, Rayya pun menghadiahinya tas dengan merk yang sangat terkenal.
Sandal itu ia beli dengan cara baik, tanpa mengambil hak pelanggan lain. Ia pun mengupah Shanaz dengan begitu baik setelah berhasil mendapatkannya. Benda itu ia beli menggunakan uang yang halal, gajinya sendiri… bukan pakai kartu kredit, ia bayar tunai!
Demi Tuhan… ia berani bersaksi kalau bisnis yang ia jalan jujur.
“Kita itu mungkin memang hamba yang kurang baik. Ibadah kita masih jauh dari kata sempurna. Coba, kamu pikir… kalau kita menjalankan bisnis dengan cara kotor, maka bagaimana kelak kita bertanggung jawab kepada Tuhan?!” geram Ibrahim ketika ia mengetahui anak buahnya berusaha menyuap pejabat.
Perkatan itu tertancap begitu kuat mengakar dalam pikiran dan hati Rayya, bahwa bisnis yang kelak ia jalani merupakan bisnis yang memberi mafaat bukan sesuatu yang merugikan orang lain. Bahwa ia hidup dan diberi kesempatan serta fasilitas sebaik ini dari Tuhan memang untuk digunakan dengan baik, bukannya untuk meyulitkan manusia lain.
Benda itu bersinar ketika terkena terik matahari yang masuk melalui celah jendela. Kristal-kristal yang menghiasi bagian depannya serta taburan glitter bermacam warna membuat siapa saja menyetujui kalau sandal seharga jutaan rupiah itu memang layak untuk dimiliki. Modelnya masih bisa dikatakan sederhana meski ada beberapa hiasan kristal dan kupu-kupu di bagian tali.
Sandal itu baik, diperoleh dengan usaha-usaha baik, menggunakan uang yang Rayya jamin didapatkan dengan baik, lalu… di sebelah mananya keburukan yang membuatnya seakan mendapat kutukan? Benda itu justru mengantarkan Rayya menyaksikan, dengan nyaris berdarah-darah di dalam hati, mantan suaminya menikahi perempuan lain.
Hanya Tuhan yang tahu di bagian mana letak kesalahan Rayya!
Ia mendesah berat, menahan bergumpal kekecewaan kepada mantan suaminya. Ia belum paham di bagian mana kesalahannya sampai Daud menjatuhkan talak. Lelaki itu memberi alasan omong kosong tentang: perbedaan prinsip.
Itu kelewat tidak masuk di akal. Prinsip bagaimana yang dimaksud Daus? Bukankah selama ini Rayya rela mengorbankan pendapatnya dan mendahulukan keinginan Daus bahkan untuk hal paling tidak masuk akal sekalipun?! Bukankah misalnya-- semisal Daus memberinya kesempatan, menjelaskan secara lugas di bagian mananya prinsip itu tertanam, wanita itu pasti rela memangkas habis prinsip itu dan menancapkan kuat apapun keinginan Daus?!
Lalu… di bagian mana kesalahan Rayya itu ada? Kalau pun benar-benar ada, tolong katakan kepada Rayya, sebesar apa kesalahannya sehingga lelaki itu menceraikannya?
“Miss!”
Wanita itu nyaris tersandung kakinya sendiri ketika Shanaz menerobos ke dalam kamar.
Tsurayya melirik malas lalu kembali menegakkan tubuh, berjalan ke arah jendela. Tadi waktu asistennya membuka pintu, ia baru mulai melangkah, melemaskan otot-otonya yang mungkin mulai kaku.
“Siang nanti Miss mau makan?” tanyanya lalu melangkah masuk.
“Kasihan Bibi udah masak dari kemarin tapi Miss nggak makan,” tukasnya dengan wajah melas.
Tsurayya mengernyit ketika membuka lebar tirai yang tadi baru separuh tersibak.
“Miss….”
Tsurayya sebenarnya mau-mau saja mendiamkan asistennya, namun Shanaz itu tipe yang persisten, ia belum berhenti mengoceh kalau belum mendapatkan jawaban… hanya sesuatu yang baru-baru ini ia ketahui. Sejak mereka bersama melalui malam di hotel kemarin, setelah nyaris tidak tidur karena sesi girls talk itu, mereka menjadi begitu dekat seperti rekan lama. Ada untungnya juga karena kehidupan Rayya menjadi lebih berisik dan ajaib karena kelakuan Shanaz. Namun… ada waktu tertentu di mana ia ingin membuat Shanaz kembali ingat bahwa batasan di antar mereka tidak boleh terkikis. Seperti pagi nyaris siang ini Rayya ingin-- kalau bisa, menukar asistennya itu dengan siri di ponselnya. Setidaknya, siri baru berucap ketika ia diminta… bukannya berisik kapan pun ia mau.
“Kamu bisa makan masakan itu, Naz. Lagian kamu kan ngomong kalau kamu perlu makanan sehat,” sahutnya sambil mengangkat tangan, meregangkan otot dan memulai sesi yoga.
“Tapi dari kemarin saya udah makan masakan Bibi, Miss. Bukannya nggak enak tapi… dari kemarin, Bibi masak bermacam sayur yang bahkan seumur-umur saya baru tahu mereka ada,” tukas Shanaz ngeri. Ia menyaksikan kalau ternyata ada bermacam sayuran ajaib, sejenis rumput-rumputan dan bunga-bunga yang nyatanya bisa dimasak.
Asistennya pikir, pekerja rumah tanggan sewaan Ibrahim itu orang kolot mengingat usianya yang sepuh. Tapi ternyata Bibi itu meskipun umurnya sudah kepala lima, ia tidak kalah dari para koki di acara masak televisi. Ia bahkan beberapa kali mennggunakan mesin pencari di ponsel sekadar memastikan kalau bahan makanan yang diolah wanita paruh baya itu bisa dimakan dan aman.
“Kamu bilang kalau kamu perlu detoks. Selama ini asupan makanan kamu paling hebat pasti junk food di kafetaria. Cemilan kamu itu juga cuma snack yang isinya angin doang… kamu butuh nutrisi, Naz,” jawab Tsurayya yang mulai sibuk mengangkat kaki kemudian menyandarkan ke dinding.
Shanaz mengernyit lalu mulai memanjatkan do’a semoga atasannya itu tidak terkilir mengingat tubuh Rayya mulai jumpalitan. Kepala di bawah, kaki di atas. Shanaz mulai paham arti dari beauty is a painfull karena adegan olah raga versi Tsurayya Busro, yang memiliki body goals, memang tidak becanda!
Ia bahkan bisa melakukan pose ala sirkus seperti ini.
“Kamu katanya mau punya kulit glowing? Kamu itu perlu menjaga pola makan kamu. Kulit dan tubuh sehat itu dimulai dari dalam, Naz. Daripada kamu ngabisin waktu dandan lama-lama, yang cuma topeng doang, mending kamu mulai ngerawat diri dari masih muda,” ujarnya sambil memejamkan mata.
Astaga! Demi Tuhan… Shanaz bergidik melihat kenyataan kalau Rayya seajaib itu. Ia mungkin patut dicurigai punya khodam entah jenis apa. Wanita itu meski posisinya kebalik begitu, dengan mata terpejam pun masih bisa menasehati panjang-lebar soal kesehatan dan perawatan tubuh.
Asistennya lalu kembali sadar dan memperjuangkan nasibnya. “Begini Miss, kalau terus-terusan kayak kemarin,” tukasnya lalu terdiam sejenak sambil mengingat-ingat warna-warni sayur di piringnya, “kok saya ngerasa lama-lama saya jadi lebih kambing dari pada kambing. Bukannya detoks, saya takut bakal terserang diare akut,” curhatnya lirih.
Tsurayya terlihat cuek mendengar curhatan paling tidak penting dari mulut asistennya.
“Miss, Miss!” pekik Shanaz tertahan. “Kalo Miss nggak mau makan, nanti Bibi nggak usah masak aja, saya mau pesan online. Udah berhari-hari kangen makan batagor,” sahutnya lagi.
“Kalo udah terlanjur masak, nanti masakan Bibi kamu campur kuah kacang biar jadi gado-gado,” saran atasannya yang masih asyik akrobat.
Shanaz bisa apa kalau atasannya bertitah seperti itu? Maka ia cuma pasrah dan meratapi makan siangnya nanti. Ia melangkah keluar lalu kembali masuk ketika mengingat sesuatu.
“Tadi pagi waktu Miss masih tidur, orang kantor telpon, Miss,” pekik Shanaz seakan ada kejadian kelewat penting yang dilupakannya.
Rayya membuka mata. “Siapa?” tanyanya.
Shanaz menghela napas lalu menatapi lantai di bawahnya, kali ini mulutnya rapat, tidak berani membuka suara.
“Naz?” tanya Rayya tidak sabar.
“Asistennya Tuan… Daus, Miss….”
Rayya langsung membuka mata kemudian menurunkan kakinya dalam gerakan cepat. Shanaz lantas terlonjak memekik tertahan ketika melihat atasannya meniru gerakan cheerleaders-- salto di udara seperti itu.
“Tadi kamu bilang siapa?”
“Apa?” tanya Shanaz masih kaget karena atasannya melangkah mendekat dan berdiri tegak tanpa merasa pusing setelah beberapa menit melakukan adegan sirkus.
“Siapa yang nelpon?”
“Itu… tadi itu,” responnya ragu. Ia berhenti beberapa detik seraya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulut. “Asistennya Tuan Daus nelpon apa Miss bisa tanda tangan hari ini?”
Ia memijit kening, mencerna kalimat itu. Asistennya siapa? Anak buahnya ini bilang apa? Asisten Daus menelepon?
“Berkas mana yang perlu ditandatangani?” tanya Rayya berusaha merespon sewajar mungkin.
Shanaz mengetukkan telunjuk-- kebiasaannya ketika berusaha mengingat sesuatu. “Katanya, Miss harus tanda tangan persetujuan operasional pabrik bulan depan. Soalnya ini udah tengah bulan dan proposal itu perlu dikembalikan ke pabrik,” tukasnya kemudian.
“Proposal operasional?” tanya Rayya berusaha memahami perlahan-lahan. “Kenapa saya yang harus tanda tangan?”
Shanaz mengerjap. Dia perlu menjawab apa? Dia sendiri tidak tahu menahu soal proposal yang dibicarakan. Dia berhari-hari ditugaskan untuk menemani Rayya di rumah ini dan belum datang ke kantor. Pekerjaan kantor beberapa hari ini dipasrahkan ke Pak Handoko, sekretaris Ibrahim Busro. Mengingat ia tidak mudah percaya orang, maka Tsurayya bahkan memilih untuk tidak memakai sekretaris.
Menurutnya, Shanaz itu lebih dari cukup. Ia bisa merangkap menjadi asisten sekaligus sekretaris. Ketika membutuhkan bantuan, biasanya Ibrahim akan menyuruh Pak Handoko untuk menolong Rayya, seperti saat ini.
“Kalau Miss tidak bisa ke kantor, nanti Pak Handoko bawa ke sini berkas itu untuk ditandatangani.”
“Apa Daus ada di kantor?” tanya Rayya tanpa sadar.
“Tuan Daus udah kerja dari beberapa hari lalu, Miss,” jawab Shanaz lirih.
Rayya mendelik ketika asistennya mengatakan kalau mantan suaminya masuk kerja sejak beberapa waktu lalu. Ia pikir kalau lelaki itu memilih untuk melewati masa-masa bulan madunya dengan berkeliling ke negeri mana saja. Bukankan dulu ia pernah berkata kalau ia ingin keliling dunia setelah menikah? Seperti rencana mereka waktu itu yang entah mengapa-- rencana mereka seakan menguap. Daus membatalkan bulan madu itu.
Rayya pikir ketika menikahi istri barunya, Daus akan membawa wanita itu keliling dunia. Namun dibandingkan mengajak wanitanya mengelilingi pelosok dunia, lelaki itu malah kembali ke kantor dan sibuk bekerja. Apa ada yang salah dari pernikahannya? Apa Daus tiba-tiba tersadar kalau ia tidak sebegitu cintanya dengan wanita itu? Apa rasa cintanya kepada wanita itu hanya euforia sekejap yang bisa menghilang begitu saja? Apa ini berarti Rayya punya kesempatan untuk kembali merebut mantan suaminya?
“Siap-siap, kita berangkat ke kantor sekarang,” tukas Rayya tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments