Shanaz memekik bahkan nyaris melompat ketika membuka pintu kamar. Tadinya ia ingin ke bawah untuk memeriksa apa sarapan pagi mereka bisa di antar ke kamar. Nyatanya, tepat ketika pintu terbuka, ia menemukan lusinan lelaki yang berjajar rapi. Hal lebih ajaib lainnya ia temukan ketika matanya menatap lelaki tua yang duduk di bangku kayu depan kamar.
Bergegas ia kembali menutup pintu-- membanting keras, seakan refleks karena meningkatnya rasa panik akibat apa yang terjadi di luar kamar.
“Shanaz!” pekik Rayya gemas ketika menemukan asistennya melakukan hal konyol.
“Nanaz!” teriaknya lagi karena panggilannya tadi tidak dihiraukan.
Wanita itu mengerjap lalu menatap horor. “Shanaz, Miss… saya bukan Nanas,” koreksinya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke pipi, sesuatu yang menjadi kebiasaan ketika ia menghadapi keadaan genting.
Orang lain mungkin memiliki kebiasaan untuk menggaruk kepala, mengusap alis, atau memijit kening, namun asisten Rayya malah tanpa sadar mengetukkan telunjuk ke pipi ketika ia sedang ditimpa kepanikan. Kadang, Rayya gemas lalu ingin bertanya… kenapa pipi? Kepala, alis, dan kening masih wajar karena masih berada di area dekat otak. Mungkin untuk memberi rangsangan kepada otak agar memicu untuk mencari jalan keluar, namun pipi… apa ia pikir otaknya pindah ke pipi?
“Saya udah manggil Shanaz, tapi kamu cuma diam. Giliran dipanggil Nanaz, kamu baru respon.”
Shanaz menghela napas kemudian kembali menatap horor.
“Kamu kenapa deh? Ini masih pagi, Naz. Kamu enggak perlu bikin ulah. Saya lagi pusing. Kita juga harus ngejar penyeberangan pagi ini!”
“Miss…!” Shanaz bergegas menyahut, mengalihkan omelan Rayya.
“Apa… kenapa?” tanya Rayya malas.
Shanaz mendekat lalu berdiri tegap di depan Rayya, seperti murid yang telah siap berbaris mengikuti upacara bendera.
“Kamu ini napa si--”
“Miss… apa saya yang salah lihat atau di luar sana ada Tuan Ibrahim?” pekiknya tertahan.
Rayya melongo-- membeku tepat ketika mendengar ucapan asistennya. Dia tadi ngomong apa? Ada siapa kenapa dimana?
“Saya cuma salah lihat atau….”
Sebelum wanita itu menghentikan ucapannya, Rayya dengan kecepatan penuh berlari dan membuka pintu.
Astaga!
Yaa Tuhan…!
Asistennya benar! Mereka tidak salah lihat kalau dia-- Ibrahim Busro ada di hadapannya. Wanita itu melirik ke arah selusin pengawal yang berjajar rapi berbaris di depan kamar. Rayya menatap seorang pengawal yang berdiri paling dekat dengan pintu. Tangannya tengah mengelus kening yang memerah. Ia tebak, lelaki itu terantuk pintu ketika Shanaz membantingnya tadi.
Ibrahim menengok lalu tersenyum kaku. Senyum khas Ibrahim dengan ribuan makna. Kadang itu artinya basa-basi, kadang berarti ia bosan, kadang banyak pula yang mengartikan ia menahan marah karena detik berikutnya pasca tersenyum, ia bisa membatalkan kerja sama… kadang pun ketika karyawannya pusing memikirkan arti dari senyum itu, Ibrahim menepuk punggung orang itu lalu kemudian memberinya promosi atau kenaikan karir.
Lalu sekarang apa arti senyum Ibrahim Busro?
“Hm…,” gumamnya mengembalikan pikiran Rayya.
Refleks ia mendekat. Tepat ketika jarak mereka menjadi beberapa jengkal, Ibrahim memberi kode untuk duduk di kursi sampingnya. Rayya mengerjap-- tergeragap bingung memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Ibrahim lalu memberi kode kepada para pengawalnya untuk memberi jarak. Bergegas para lelaki berpakaian gelap itu menjauh ke ujung dekat tangga, memberi kesempatan tuannya untuk melakukan percakapan dengan Rayya.
“Kamu nggak nganggap saya sebagai kakek kamu lagi?” tanya Ibrahim membuat Rayya mengernyit.
Kontan ia melangkah makin dekat dan duduk di samping Ibrahim. “Kakek ngomong gitu?”
Lelaki itu menatap tajam, membungkam nyali Rayya. “Jangan coba-coba berpikir untuk keluar dari perusahaan saya!”
Rayya mengerjap lalu mengernyit mendengar ucapan lelaki itu.
“Kamu mau kabur ke Jogja?” selidiknya, membuat Rayya menegang. Raut mukanya kaku ketika lelaki itu menebak tepat rencananya. Dari mana Ibrahim tahu rencana Rayya? Shanaz bahkan belum ia beritahu kalau setelah keluar dari pulau ini, ia tidak akan kembali ke Jakarta untuk beberapa waktu. Rayya berniat untuk ke Jogjakarta, menepi ke tempat saudara jauh Busro.
“Rumah tanggamu boleh hancur, tapi perusahaanmu jangan,” tukasnya tegas. Ibrahim Busro mencondongkan tubuh, mengeluarkan aura menakutkan. “Kamu coba ingat, ribuan karyawan menyandarkan nasibnya pada perusahaan kita,” tambahnya.
Rayya menghela napas. Berkali-kali ia mengingatkan Ibrahim bahwa ia bukan siapa-siapa. Berkali-kali orang-orang mengatakan kepada Ibrahim kalau ia sudah gila. Kenapa ia lebih memercayai perusahaannya kepada Rayya, bukan Daus? Kenapa ia memberi lusinan proyek beserta tanggung jawab kepada cucu angkatnya, bukan cucu kandungnya? Kenapa lelaki itu kelihatan sangat bergantung pada Rayya yang bukan siapa-siapa dibandingkan kepada darah dagingnya sendiri?
“Kenapa….”
“Karena kamu cucu saya,” tukasnya cepat.
“Kakek udah punya Mas Daus. Saya cuma cucu ang….”
“Karena kamu yang berhasil membawa perusahaan kita seperti sekarang. Kamu berhasil membuat anak-anak perusahaan kita maju. Kamu berhasil membuat lini-lini produk kita berkembang dan semakin laku. Kamu berhasil bikin nilai saham kita membaik. Kamu berhasil meningkatkan laba perusahaan kita dari yang tadinya nyaris minus jadi melebihi target. Bahkan di awal tahun, kita bisa membagi deviden kepada para pemegang saha sebanyak….”
“Apa saya ini cuma dianggap alat bagi kakek?”
Ibrahim memejamkan mata lalu menghela napas.
“Apa bagi kakek, saya ini cuma alat?”
Ibrahim kembali tersenyum dan beberapa menit Rayya menebak-nebak apa sih maksud senyum lelaki itu?
“Kamu cucu saya, Rayya. Kalau kamu cuma kakek anggap alat, kenapa kakek bawa kamu dari panti asuhan?” tukasnya mencibir. “Saya bisa membiayai kamu, memberi beasiswa tanpa perlu mengumumkan kalau kamu cucu saya. Saya biarkan kamu menjalani hidup di panti asuhan. Ketika kamu besar, saya bisa meminta kamu untuk membalas budi dan bekerja untuk saya.”
Lelaki itu membuka mata. “Misalnya kamu cuma dianggap sebagai alat, buat apa saya repot-repot memperlakukan kamu secara adil? Apa kamu ingat bagaimana dulu saya memperlakukan kamu dan Daud?” tanyanya sambil menatap tajam.
Rayya nyaris tersedak ludahnya sendiri. Ibrahim benar, ia tidak pernah ragu untuk memuji Rayya atas prestasi-prestasi yang ia raih. Ibrahim pun tidak ragu untuk memarahi Daus di depan Rayya ketika lelaki itu kalah atau melakukan kesalahan pun sekadar menyakiti Rayya.
“Kamu bukan alat, Rayya. Kamu itu cucu saya,” tegasnya lagi.
“Kalau butuh waktu untuk kembali, kamu bisa mengambil liburan sebanyak yang kamu mau. Tapi masalahnya, sejauh apa pun kamu pergi, itu tidak akan merubah kenyataan kalau rumah tanggamu memang sudah rusak. Terus kamu juga mau ngerusak perusahaan kita?”
Ibrahim sepertinya memang mengetahui rencana Rayya untuk kabur dan menenangkan diri. Mungkin ini yang membuat lelaki tua itu datang sepagi ini. Belum lagi bangunan ini memiliki tiga tingkat dengan undakan puluhan. Tanpa elevator, tanpa ekskalator, Ibrahim Busro menaikinya satu persatu. Tidak mungkin ia mendaratkan helikopter ke atas hotel ini karena Rayya yakin di bangunan minimalis ini tidak tersedia helipad di atap.
Ibrahim Busro menaiki puluhan tangga hanya untuk mengajak Rayya kembali ke Jakarta? Dengan kakinya yang lemah seperti itu? Ia bahkan tidak mampu lagi berdiri tegap. Ibrahim mulai tertatih dan membutuhkan tongkat untuk berjalan.
Rayya baru tahu kalau dalam kehidupan Ibrahim, dirinya bisa begitu berharga.
“Dengar-dengar, kamu bahkan menyiapkan surat resign. Kamu… memang berniat untuk mengundurkan diri. Apa kamu mau melupakan semua usaha kamu selama ini?Apa kamu benar-benar pingin kabur dari kakek? Apa kamu benar-benar mengaku kalah?”
Rayya terkesiap mendengar pertanyaan Ibrahim. Apa dirinya mengaku… kalah? Apa maksud pertanyaan Ibrahim? Apa menurutnya Rayya belum kalah? Apa masih ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menang? Hanya saja menang apa dan bagaimana? Apa kakeknya membicarakan soal Daus? Apa mungkin ia ingin agar Tsurayya berusaha merebut Daus kembali?
“Bagaimana kalau kamu kembali ke Jakarta sama kakek dan kita kembali berjuang bersama?”
Refleks Rayya mengerjap mendengar kata-kata itu. Apa Ibrahim membicarakan mantan suaminya? Apa menurut Ibrahim, Rayya ini masih memiliki tempat di hati mantan suaminya? Apa Ibrahim berniat untuk membuat Rayya kembali rujuk dengan Daus? Apa benar ia bisa mengembalikan rumah tangganya yang pernah gagal?
Ya Tuhan…!
Siapa saja yang memahami maksud Ibrahim Busro, bisa beri tahu Rayya… apa yang sebaiknya ia lakukan? Sementara perasaannya tengah belajar ikhlas melepaskan, nyatanya ia masih harus kembali berurusan dengan lelaki itu. Apa ia bersalah kalau keinginannya untuk merebut mantan suaminya semakin kuat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments