Elegi
28 desember 2012
Sempit, bau, pengap dan melelahkan mungkin itu gambaran empat tahun yang ia rasakan selama berada di lapas. Di masa mudanya ia habiskan berjuang melawan harinya sebagai narapidana.
Shaka, ia melangkahkan kakinya berjalan melewati gerbang lapas. ia tersenyum puas menghirup bersihnya udara yang sudah lama tak ia rasakan. topinya terpasang di kepalanya menutupi sebagian rambutnya yang gondrong. celana kain gombrang ia pakai, begitupun dengan jaket oversized yang menutupi tubuh bagian atasnya, di bahu kanannya terlihat satu kantong yang ia selempangkan. Juga, sepatu putih yang koyak ia kenakan di kedua kakinya.
ia menundukkak kepalanya, senyumnya memudar dengan cepat setelah melihat kehadiran seorang wanita paruh baya di hadapannya. senyumnya terlihat mengembang menunjukkan sebagian besar giginya.
Shaka berjalan dengan gusar ke arah perempuan itu. sorot matanya telihat begitu dingin, ia berjalan melwati perempuan itu, tanpa menyapanya.
“Nak” panggil Maryam, ibu Shaka sambil menahan lengan anak laki-lakinya.
Shaka menghentikan langkahnya.
kemudian tubuhnya berbalik, menatap kea rah Maryam. Tatapannya masih terlihat dingin. namun, Maryam menyapanya dengan senyuman yang begitu hangat. perlahan lengannya merangkul tubuh besar Shaka ke dalam pelukannya. tanpa di sadari air matanya menetes, menyadari Shaka yang tubuh dengan begitu cepat.
ia masih ingat hari dimana ia mengantar Shaka ke tempat ini, saat itu tubuhnya masih sejajar dengan tubuh shaka. namun, kini anak laki-lakinya itu sudah tumbuh dengan cepat bahkan kini kedua lengannya tak mampu merangkul tubuh Shaka dengan erat, tingginya tentu sudah berubah. tubuh Maryam hanya sejajar dengan dada Shaka.
ia kembali meneteskan matanya, mengingat hal sulit yang harus di lalui Shaka empat tahun terakhir.
“Udah bu, jangan nangis” Ujar Shaka pelan.
“Lihat anaknya keluar dari lapas, bukan suatu hal yang bisa di banggain”
“Apalagi di tangisin” ujarnya.suaranya terdengar begitu bulat.
Maryam menggeleng, menolak ucapan Shaka. Melihat anaknya kembali adalah hal yang sudah sepatutnya ia syukuri. Perasaan bahagianya, tak mampu ia reaksikan lagi, kecuali dengan air matanya.
Shak mengangkat kedua tangannya, menyentuh lengan ibunya yang mesih merangkul tubuhnya, lalu menurunkannya dari tubuhnya dengan cepat.
Maryam menundukkan kepalanya, lengannya mengusap bagian pipinya yang basah karena air matanya.
“Ibu jalan duluan” perintahnya, dengan lengan yang menyentuh kedua bahu Maryam.
“Nanti, Shaka ikutin dari belakang.” lanjutnya, dengan langkah yang berjalan mundur berada di belakang Maryam.
Maryam mengangguk mengiyakan.
Ia berjalan sendirian, menyusuri trotoar jalanan. ia menoleh ke belekang untuk sekian kalinya memastikan Shaka berada di belakngnya. padahal, rasanya ingin sekali ia berjalan dengan menggennggam lengan anaknya itu.
“Lihat ke depan” ujar Shaka menyadari Maryam yang terus menoleh ke arahnya.
“Shaka ngga kemana-mana” ujarnya terdengar dingin, namun sampai begitu hangat di hati Maryam.
Maryam menghentikan langkahnya, tepat di halte bus. Diikuti Shaka yang berada di belakangnya dengan jarak kurang dari tiga langkah.
citt
suara bus terhenti.
Maryam beranjak, lalu berjalan menuju pintu bus, menaiki bus itu. matanya melirik melihat kursi yang masih kosong di dalam bus.
ia duduk diantara dua kursi kosong. beberapa detik kemudian Shaka berjalan memasuki bus.
Maryam tersenyum, menyadari kehadiran Shaka. lengannya menepuk- nepuk jok kosong yang berada di sebelahnya.
Shaka kembali menghiraukannya, ia berjalan melewati jok yang di tempati Maryam. dan memilih duduk di dua bangku yang berada di belakang jok Maryam.
Maryam menghembus kesal, namun pikirannya berusa mengerti alasan Shaka.
Tiga puluh menit berlalu, keduanya sampat di daerah dengan tumpukan rumah susun yang berjejerabn
“HUH” Shaka mendengus kesal. menyadari tempatnya yang belum berubah.
Ia merapihkan kembali topi yang terpasang di kepalanya.
“Ayo” ajak Maryam sambil menggandeng lengan Shaka.
Shaka mengangguk, dengan lengan yang melepas kembali rangkulan dari Maryam.
“Ibu duluan” perintahnya.
Maryam kembali berjalan, diikuti Shaka di belakangnya.
ini pukul setengan enam sore tepat dengan orang-orang yang sudah pul;ang dari pekerjaannya.
Shaka mencoba mengatur nafasnya.
Ia berjalan menaiki satu persatu anak tangga. Sorotan tajam dari orang-orang yang melewatinya terasa begitu menyerangnya.
begitupun, dengan orang-orang yang tengah bergunjing, terlihat seolah-olah membicarakan kehadirannya.
menjadi pussat perhatian, gunjingan, dan sorotan mengingatkannya pada empat tahun lalu. hari dimana ia diseret ke kantor polisi. dengan seragam sekolah yang masih terpasang di tubuhnya.
dan kini, mereka masih melakukan hal yang sama. tidak da yang membela seperti hari itu. dan sama malah bergunjing untuk menyapa kehadirannya.
“hmm” ia menghembus nafas lega setelah sampai di pintu rumahnya.
trek
Maryam memutar kunci, kemudian membuka pintu rumahnya. lengannya menyentuh punggung Shaka. lalu, mengusapnya.
“Ayo” ujarnya kemudian memerintah Shak masuk.
Shaka mengangguk, kemudian berjalan melewati Maryam dan memasuki rumahnya. taka da yang berbeda dari rumahnya. semuanya masih tampak sama, bahkan setiap barang di tempat itu taka da yang berubah.
Shaka berjalan menuju tempat rak alat makan. mengambil satu gelas kemudian mengisinya dengan air gallon. lalu, menegaknya membasahai tenggorokkannya yang terasa kering.
“Ahh” ujarnya bergumam merasakan segarnya air yang melewati tenggorokkannya.
Tempat itu sangat kecil, tentu saja Maryam bisa melihat semuanya dengan jelas. Maryam berjalan meuju kamar Shaka, lalu kembali tak lama setelahnya dengan membawa setelan kaos berwarna Hitam dengan bawahan training berwarna navy.
****
lima belas menit berlalu, Shaka kembali dengan mengenakan pakaian yang sudah disiapkan ibunya. penampilannya sudah jauh lebih rapih dari pada sebelumnya. ia duduk menyilangkan kakinya di kursi. kemudian, lengannya bergerak menyentuh remote untuk menyalakan layar televise.
sementara, di sisi lain terlihat Maryam yang tengah sibuk menghangatkan makanan yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi.
Shaka memperhatikannya dengan sudut matanya, kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya ke layar televisi.
Empat puluh lima menit berlalu, Maryam sudah selesai menyajikan makanan untuk Shaka. Shaka berjalan menghampiri ibunya, kemudian duduk di salah satu kursi meja makan.
Dengan cepat Maryam, mulai mengambil dua centong nasi menambahkan lauk cumi asam manis yang ia masak, alalu menambahkan beberapa sayuran lainnya.
“Pelan-pelan” ujarnya, melihat Shaka yang mulai melahap makanannya.
Shaka mengangguk, mengiyakan. ia mulai menikmatu makanan yang di sajikan Maryam. makanan yang sulit ia dapatkan saat di lapas.
“Ibu makan juga” perintah Shaka, dengan lengan yang masih sibuk menyendok makanan di atas piring.
Maryam menggeleng, menolak permintaan Shaka. sorot matanya terus menatap tajam ke arah Shaka.
“Ibu udah kenyang, kamu bisa abisin semuanya” balas Maryam.
“Jangan bohong, Sejak tadi Shaka belum lihat ibu makan” ujarnya dengan nada ketus.
“Ngga, lihat kamu aja udah bikin ibu kenyang” ujarnya.
“yaa” Shaka mendengus kesal.
ia menghentikan Aktifitasnya, kemudian lengannya bergerak meraih bajunya. Lalu, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. satu bungkus plastic berwarna hitam
Maryam mengernyitkan dahinya, kemudian lengannya bergerak meraih bungkus plastik yang di berikan Shaka.
“Ayo, Pindah dari sini” ujar Shaka.
Maryam membelalakan matanya menyadari tumpukan uang dengan lembaran berwarna merah di dalamnya.
“ Kamu dapet darimana?” ujarnya membentak, kemudian melemparkan plastic itu kembali kepada shaka.
“Jangan bilang, kamu pengedar. pencuri, penjudi” lanjutnya.
“Kamu ngga lakuin itu kan”
“hah” Shaka kembali mendengus kesal, mendengar pertanyaan ibunya,
ia beranjak dari tempatnya, kemudian sorot matanya, menatap tajam kea rah Maryam untuk beberapa saat. Selanjutnya, ia berjalan meninggalkan Maryam di tempatnya dan menuju kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments