29 desember 2012
12-30 pm
“Aaah” suara erangan terdengar keluar dari mulut Shaka.
pria itu membangkitkan tubuhnya, lengannya bergerak mengusap seluruh bagian wajahnya. matanya terlihat masih menyipit.
Bola matanya kembali bergerak, melihat ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan waktu siang.
Shaka kembali memejakan matanya, kemudian kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.
sudah lebih dari enam belas jam ia tertidur di ranjangnya. waktu yang lama, namun terasa begitu singkat untuknya.
kakinya bergerak menuruni ranjang miliknya. Selanjutnya, ia berjalan ke arah jendela. lalu, terdiam untuk waktu yang cukup lama di tempat itu.
Senyumnya mengembang, melihat ke arah langit yang tampak begitu cerah.
Lima menit kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya berjalan keluar dari pintu kamarnya.
trek
Ia menghentikan langkahnya. pandangannya, tertuju ke arah seseorang yang tengah menunaikan ibadah shalat di ruang tengah rumahnya.
Shaka menggelengkan kepalanya, menyadari tubuh yang di lihatnya tampak begitu asing. dan, sudah terlihat jelas kalau itu bukan Maryam, ibunya.
shaka mengalihkan pandangannya, kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya. berjalan menuju dapur, mengambil sebuah cangkir dan mengisinya dengan air mineral.
“Udah bangun mas?” tanya perempuan itu, sambil berbalik melihat ke arah Shaka.
“keganggu yah?” lanjutnya, lagi. menyadari Shaka yang tak menyahut.
Shaka terdiam, mematung. melihat gadis muda di hadapannya. lengannya masih terangkat di dekat dagunya dengan cangkir yang masih berada dalam genggamannya.
sementara, perempuan itu terlihat tengah melipat mukena yang sudah di pakainya.
selanjutnya, terlihat ia yang berjalan ke arah shaka dengan lengan yang terlihat merapikan sebagian rambutnya.
“Aku Shabira” ujar perempuan itu sambil mengangkat lengan kanannya.
“Tiga bulan lalu, kita ketemu di lapas. aku temenin ibu, jenguk mas Shaka”
“masih ingat kan, mas?” ujar Shabira secara berurutan.
Shaka mengangguk canggung.
Shabira meraih satu Teflon, meletakanya di atas kompor yang sudah ia nyalakan sebelumnya.
“Aku tinggal di lantai atas, tepat di atas ruangan ini” ujar Shabira dengan lengan yang menunjuk ke arah langit-langit.
Shaka kembali mengangguk menyahuti perkataan perempuan itu.
“Kadang-kadang juga nginep disini, temenin ibu. kemarin malam juga” lanjutnya, kemudian senyumnya terlihat mengembang.
shaka masih terdiam di tempatnya, dengan sudut matanya. ia memperhatikan gerak-gerik perempuan itu yang tengah memasak dua telor ceplok.
“Aku disini cuma sebentar. Ikut Shalat sekalian ngambil barang ku yang ketinggalan” ujarnya, menjelaskan.
Shaka kembali menganggukkan kepalanya. kemudian kakinya berjalan menuju meja makan. menggeser kursi dengan sebelah kakinya. lalu, duduk di salah satu kursi. tak lama setelahnya ia mulai menegak sisa air yang ia tuangkan ke dalam cangkir.
trang
Bhira meletakkan dua telor ceplok tepat di atas meja. Kemudian, ia membuka tudung saji yang tetutup di hadapan shaka. Tak lama setelahnya terlihat beberapa lauk pauk yang sudah tersaji.
selanjutnya bhira kembali dengan lengan kanan yang membawa satu piring yang berisi nasi. kemudian meletakkannya, tepat di hadapan Shaka.
“Ibu yang nyuruh, katanya ibu ngga bisa nemenin mas karena dia harus kerja” lanjutnya menjelaskan.
Shaka mengangguk lagi membalas ucapan bhira.
“Duduk” perintah Shaka, dan itu kata pertama yang di dengarnya setelah tiga puluh menit keduanya bersama.
Bhira mengernyitkan dahinya.
“Duduk” perintah Shaka lagi. “Temenin saya makan” lanjutnya.
Bhira menggeleng, namun tubuhnya berlainan dengan apa yang ia pikirkan. Bhira ikut duduk di salah satu kursi.
“Ngga ikut makan?” tanya Shaka.
Bhira terdiam.
“Ayo ikut makan, bersikap biasa saja. Seolah-olah kamu disini sama ibu” lanjutnya, terdengar ketus.
####
Shaka kembali menatap ke arah jarum jam yang sudah menunjukan pukul Sembilan malam. ia beranjak dari tempatnya kemudian berjalan ke kanan dan kiri. menunggu kedatangan ibunya.
krek
pintu terbuka.
Dengan cepat, Shaka kembali ke tempatnya. Matanya seketika tertuju ke arah layar televisi yang menyuguhkan pertandingan bola, seolah tidak peduli dengan kedatangan ibunya.
Shaka meneguk kopi hitam miliknya, membasahi tenggorokkannya.
30 Desember 2012
07.00
Shaka beranjak dari ranjangnya, kemudian langkahnya berjalan keluar dari pintu kamarnya. Ia menghentikan langkahnya, berdiri di ambang pintu. Kedua bola matanya bergerak memperhatikan interaksi ibunya dengan seorang gadis yang kemarin di lihatnya.
Sudut bibirnya terangkat.
“Ayo makan, ka” ujar Maryam memberi perintah.
Shaka mengangguk, kemudian duduk di salah satu kursi.
Tak lama setelahnya, di ikuti oleh Maryam dan Bhira. Keduanya duduk di samping kanan dan kiri Shaka. Ketiganya, kompak menikmati makanan yang di sediakan Maryam.
Hening, tak ada suara yang di keluarkan dari mulut ketiga orang itu. Sesekali hentakan dari sendok dan garpu mengisi ruangan.
Lima belas menit berlalu, Shaka beranjak dari tempatnya. Kemudian ia mulai membasuh kedua lengannya. Tak lama kemudian ia kembali duduk di sofa sambil menatap layar televisi. Sementara, di satu sisi terlihat Bhira yang tengah membersihkan sisa makanan yang tersisa. Juga mencuci peralatan makan yang di pakainya.
Sudut mata Shaka bergerak, sesuatu menarik perhatiannya. Ia melihat ke arah Maryam, yang tengah bersiap. Baju seragam pabrik melekat di tubuhnya.
Shaka menggelengkan kepalanya, mencoba menghiraukan apa yang terjadi.
Maryam membungkukkan setengah badannya, memasukkan sebelah kakinya ke dalam sepatu yang sudah terlihat isang. Ia menekan kakinya, memaksakan kakinya masuk ke dalam sepatu yang sudah terasa sempit di kakinya.
“Huh” gumam Shaka.
Maryam tidak mendengarnya, ia berjalan menuju pintu keluar rumah.
Ia menghentikan langkahnya, tepat setelah tangan Shaka menghalangi.
“Udahlah bu, berhenti aja” pinta Shaka, suaranya terdengar bergetar.
“Ngga usah, berusaha terlalu keras” lanjut Shaka.
Maryam terdiam, ucapan Shaka membuat tubuhnya mematung.
Maryam menggeleng, lengannya bergerak memindahkan lengan Shaka dari pandangannya.
Kemudian berusaha meninggalkan tempat itu.
Lengan Shaka bergerak meraih lengan kecil Maryam. Kemudian mengambil alih tas yang dibawa ibunya. Apa yang dilakukan Shaka, Membuat semua usaha yang di keluarkan Maryam hanya berujung sia-sia.
“Cukup bu, Shaka mampu biayain ibu. Mulai sekarang berhenti dari pekerjaan ibu” ujarnya kembali memerintah.
Maryam menggeleng, menolak ucapan Shaka.
Shaka menghela nafasnya, ia menundukkan kepalanya, kemudian sorot matanya terlihat menatap tajam ke arah Maryam.
Maryam menundukkan kepalanya, tak berani menatap ke arah Shaka. Dari sudut matanya terlihat lengan Shaka yang mengepal dengan begitu kuat.
“Kenapa?” tanya Shaka, dingin.
“Apakah bekerja disana sangat menyenangkan?” tanyanya, dengan sedikit mencela.
Hening, tak ada sahutan yang di keluarkan Maryam.
Tak bisa di pungkiri jika Bhira, juga mendengar semua percakapan yang terjadi di antara keduanya. Membuat aktivitas yang di lakukannya terhenti untuk sesaat.
“Benar, sangat menyenangkan bukan?” ujarnya memberi kesimpulan.
“Tinggal disini juga enak kan?” lanjutnya.
Bhira memejamkan matanya, mencoba menghiraukan ucapan Shaka yang semakin menjadi-jadi.
“Jadi pusat perhatian enak kan bu?” tanyanya, terdengar sesak.
“Udah empat tahun loh bu. Mereka masih ngelakuin hal yang sama?”
“Ibu nggak cape?” tanya Shaka.
Maryam masih terdiam.
“Shaka cape bu, padahal baru sehari loh Shaka balik”
“Tapi, mereka masih perlakuin Shaka sama”
“Sama kaya hari itu, dibanding nolong Shaka mereka sibuk cari dan gunjingin kesalahan Shaka” ujarnya terdengar lemah.
“Padahal, semua berawal dari ibu”
“Kalau aja, Ibu bantu Shaka. Pasti kejadiannya ngga akan kaya gini” lanjutnya dengan meninggikan suaranya.
Plak
Bhira melayangkan tamparan keras ke arah pipi Shaka.
Shaka terdiam, lengannya bergerak menyentuh pipi yang terkena pukulan. Kepalanya menoleh ke samping kiri, Bhira, wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan matanya begitu tajam. Tubuh kecilnya terlihat ter engah-engah menahan semua emosi yang menumpuk di kepala dan hatinya.
“Cukup ya mas” ujarnya, meminta Shaka berhenti.
“Ucapan kamu kelewatan” lanjutnya memperingatkan.
“hah” Shaka mendengus kesal, bola matanya menatap tajam membalas tatapan yang di berikan Bhira.
Shaka melangkahkan kakinya.
Dengan cepat, Bhira berdiri di hadapan Maryam, mencoba melindunginya.
“Chh” Shaka kembali mendengus.
Ia melanjutkan langkahnya, berjalan menuju kamarnya. Tak lama setelahnya, ia kembali dengan lengan yang membawa jaket miliknya.
Trek
Shaka membuka pintu rumahnya, langkahnya terhenti. Setelah melihat beberapa orang yang tengah berkerumun di depan rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments