22.00 Wib
Jari-jari lengan shaka mengetuk-etuk kemudi atas setir mobil. Ia memejamkan matanya dengan kepala yang menyandar di bagian jok mobil.
******* nafas keluar dari mulutnya.
Sorotan lampu cahaya mobil menyorot ke arahnya. Membuat kedua mata Shaka langsung terbuka dengan lebar. Bola matanya bergerak melihat ke arah Cella yang tengah berdiri di depan pintu bersama wanita tua yang di temui nya tadi.
Shaka tersenyum, kemudian menurunkan kakinya keluar dari mobil.
Sementara di lain sisi terlihat sebuah mobil yang berjalan meninggalkan Cella di tempatnya. Perempuan itu terlihat berdiri dengan lengan kanan yang membawa satu tas ber merek miliknya. Sementara, lengan kirinya menenteng tiga paper bag.
Sepatu hills miliknya terlihat menghentak menyentuh lantai, basement.
Shaka melangkahkan kakinya berjalan menuju Cella.
Dor
Suara tembakan terdengar.
Sebuah peluru menembus pinggang bagian kiri Cella. Membuat pertahanannya roboh begitu saja.
Wajahnya terlihat pucat pasi.
Shaka menghentikan langkahnya, kemudian bola matanya bergerak menoleh ke belakang. Memastikan kondisi di sekitar. Lalu, kembali melihat ke arah Cella yang sudah kehilangan keseimbangannya.
Bruk
Tas yang dibawanya tergerletak di lantai, lengannya terlihat memegang erat bagian pinggangnya yang sudah di lumuri dengan darah.
“Aish” ujar Shaka, mengumpat.
Cella, menggigit bagian bawah bibirnya, menahan rasa sakit yang langsung menyebarkan di seluruh tubuhnya.
“Aaaah” terdengar erangan yang keluar terus menerus dari mulut Cella. Air yang berada di pelupuk matanya mengalir, merasakan sakit yang luar biasa menembus seluruh bagian tubuhnya
Dengan cepat lengan Shaka merangkul Cella, membawanya ke dalam mobil beserta barang bawaannya.
Shaka menghela nafasnya, mencoba bersikap tenang atas apa yang baru di alaminya. Ia duduk di belakang kendali mobil. Sementara di jok sebelah kirinya terlihat Cella yang masih menahan rasa sakitnya. Darah terus keluar dari kulitnya membuat baju yang dikenakannya berubah warna menjadi merah.
Shaka membuka jas miliknya, dengan cepat ia melepas kemeja putih miliknya. Melingkarkan di bagian pinggang Cella. Selanjutnya, terlihat ia yang mengatur kursi agar Cella bisa terlentang.
“Tahan sebentar yah” ujar Shaka, sambil mengusap punggung lengan Cella.
Tak ada jawaban dari perempuan itu.
Kini tubuhnya dibasahi oleh keringat yang bercampur dengan darah yang terus keluar.
Mobil itu melaju dengan cepat keluar dari basement gedung. Shaka memacu pedal gas agar lebih cepat menuju rumah sakit terdekat.
Di lain sisi terlihat Cella yang terus mengerang kesakitan.
Bola mata Shaka melihat ke arah spion mobil. Ia memiringkan kepalanya, merasa ada yang janggal.
Satu mobil mendekat ke arahnya, tepat berada di belakang mobil yang Shaka tumpangi.
“Aishh” ujar Shaka kembali mengumput. Melihat satu mobil berada tepat di hadapannya menghalangi jalannya.
Shaka mengendalikan setir mencoba mengarahkannya ke jalur yang paling kanan.
Citttt
Ia menginjak pedal rem setelah menyadari mobil yang tiba tiba berada di sebelah kanannya.
“Tahu? Siapa yang lakuin ini ke kamu?” ujar Shaka.
Cella menggeleng, dengan sisa kekuatannya.
“Mereka masih ngikutin kita” lanjut Shaka lagi.
Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Cella.
“Kamu ngga percaya sama saya?” ujar Shaka.
“Sekarang, gimana saya nolong kamu. Kalau kau ngga bisa terus terang” sambung Shaka, dengan menaikkan nada suaranya.
“Diam” bentak Cella.
Lengannya bergerak meraih baju putih Shaka, menariknya.
“Cepat, bawa saya ke rumah sakit” lanjut Cella, memberi perintah.
Shaka menelan ludahnya, kemudian kembali fokus menyetir.
Dor
Suara tembakan kembali terdengar, kali ini peluru mengenai ban mobil yang dikendarai Shaka. Membuat mobil itu kehilangan kendali berkelok kelok di jalanan. Kemudian menabrak rambu lalu lintas. Dan berakhir dengan bagian depan mobil yang menabrak pembatas jalanan.
“Aaaah” Shaka mengerang kesakitan. Ia membuka kedua matanya yang terpejam. Melihat ke bagian paling depan. Terlihat kap mesin mobil yang sudah terbuka.
Selanjutnya ia menoleh ke arah kiri, terlihat Cella yang masih terkapar lemas.
Bug
Shaka membuka pintu mobil, kemudian berjalan ke arah pintu di sebelahnya. Lengan Dhaka bergerak menyentuh kepalanya yang terasa sangat pusing dan berat.
Dengan cepat ia membuka Pintu mobil, memastikan kondisi Cella.
“Tahan sebentar lagi”
“Percaya! Saya bakal cari solusinya” lanjutnya lagi.
Shaka berjalan , menjauh dari mobil.
Lengannya bergerak melambai-lambai. Mencoba menghentikan mobil yang berlalu lalang di hadapannya.
Kondisinya kini tak baik-baik saja. Bagian kepalanya berdarah akibat benturan yang di alami nya beberapa menit sebelumnya. Langkahnya terlihat tergopoh-gopoh.
Usahanya berhasil, sebuah taksi berhenti di hadapannya.
Dengan cepat ia kembali ke mobilnya, menghampiri Cella menutupi tubuh bagian bawah Cella dengan jas miliknya. Selanjutnya, ia merangkul tubuh kecil Cella ke dalam pelukannya, mengeluarkan perempuan itu dari dalam mobil. Dan, beberapa detik kemudian ia memangku tubuh Cella, membawanya ke dalam taxi.
Merebahkan tubuh Cella di bagian jok paling belakang. Sementara Shaka duduk di bagian paling bawah. Dengan lengan yang terus bergenggaman dengan Cella.
Cella, ia belum kehilangan kesadarannya secara penuh. Bayangan tubuh Shaka bisa ia lihat samar-samar.
Erangan dari rasa sakit juga deruan nafas Cella terdengar saling satu bersahutan.
Cella mencoba memejamkan matanya. Lengannya, meremas lengan Shaka dengan kuat.
“aw” gumam Shaka.
Namun, erangan nya tak terdengar oleh Cella yang ada ia hanya semakin memperkuat remasan tangannya.
****
19 Oktober 2019
21.00 WIB
Pintu ruangan UGD terbuka. Keadaannya sangat keos beberapa orang terlihat berlalu lalang membawa pasien ke ruang tindakan.
Shaka menghentikan langkahnya,
Seseorang berjalan ke arahnya dengan lengan yang tengah mendorong ranjang.
Shaka menghela nafasnya, menurunkan Cella dari oangkuannya. Wanita itu kini terkurai lemas, dengan mata yang setengah menutup hampir kehilangan kesadarannya.
“Cepat” perintah Shaka, memerintah kepada seorang perawat.
Ia berjalan dengan lengan yang ikut mendorong ranjang yang kini di tempati Cella. Mengikuti arahan salah satu perawat.
Nafas Shaka terengah-engah, di bagian kepalanya masih terlihat darah yang masih menetes. Kaos putih yang ia kenakan kini berubah menjadi warna merah. Bekas noda darah Cella menempel di kaosnya.
Tap
Hal itu, membuat Shaka menghentikan langkahnya. Shaka berbalik, dengan memperbesar sorot matanya.
“Tangani dia dulu, cepat” ujarnya membentak.
Hening, perawat itu terdiam. Dengan cepat ia melepas genggaman tangannya dari Shaka.
“Maaf” ujar Shaka, menurunkan nada suaranya. Menyadari seseorang yang di kenalnya.
Perempuan itu terdiam, ia masih menundukkan kepalanya.
Selanjutnya, terlihat ia yang tengah mengatur nafasnya. Lengannya kembali terangkat menarik tubuh Shaka. Dan menempatkannya di salah satu ranjang pasien yang kosong.
***
“Bagaimana hasil Ct scannya?” ujar dokter albert bertanya kepada Shabira.
“Baik dok, tidak ada luka dalam” ujarnya, menjelaskan keadaan Shaka.
Shaka diam, ia mengikuti perintah yang diberikan Bhira kepadanya.
Setelah dua tahun terakhir, ini merupakan pertemuan pertamanya lagi dengan Bhira.
“Ok, lanjutkan perawatannya. Tidak usah di rawat inap” balas dokter Albert.
“Untuk saat ini, berikan obat pereda sakit. Nanti, saya berikan resepnya” lanjutnta lagi.
Bhira mengangguk mengiyakan. Selanjutnya ia kembali melanjutkan aktifitasnya. Membalut luka Shaka dengan sebuah kain perban.
Dadanya berdegub kencang, ia kesulitan mengendalikan lengannya yang terus bergetar sejak tadi.
Shaka menatapnya dengan sorotan mata yang pilu.
“Huh” Bhira mengeluarkan nafas beratnya.
“Apa yang terjadi dengan pria ini? Perempuan yang bersamanya tadi, siapa? Bagaimana bisa dia kembali ke tempat ini?” Pertanyaan pertanyaan itu memenuhi kepalanya. Membuat rasa sesak kembali memenuhi dadanya.
Tap tap tap
Dua orang dengan setelan jas rapi, berjalan menghampiri Shaka. Sepatu yang keduanya kenakan terlihat mengkilap.
“Pak Marcel” gumam Shaka menyadari kehadiran seseorang lelaki tua dengan tubuh gempal dan warna rambut yang sudah berubah menjadi putih ke abuan.
“Ayah Cella, dia siapa?” gumam Shaka sambil bertanya kepada dirinya sendiri. Menyadari seorang pria yang berusia lebih muda berjalan bersamaan dengan Marcel. Kilatan matanya, terlihat menatap tajam ke arah Shaka. Dengan emosinya yang terlihat berapi-api.
“Udah selesai?” tanya Marcel, dengan suara bulatnya.
Bhira mengangguk mengiyakan, ia berjalan mundur mengambil bekas peralatan yang telah dipakainya. Kemudian berjalan meninggalkan ruangan itu.
Shaka menelan ludahnya, tubuhnya terlihat duduk dengan posisi sempurna.
Bola mata Marcel bergerak melihat ke setiap sudut ruangan yang terlihat ramai.
“Ikuti saya” memberi perintah. Kemudian meninggalkan ruangan itu.
Shaka beranjak dari tempatnya, ia berjalan mengikuti Marcel yang berjalan di hadapannya. Sementara laki-laki yang bersama Marcel berada di belakang Shaka.
Shaka mencoba mengatur nafasnya, menyembunyikan rasa gugup yang berada di tubuhnya.
Marcel menghentikan langkahnya, di sebuah lorong rumah sakit yang terlihat sangat sepi. Cahaya redup terlihat, membuat suasana ruangan itu terasa mencekam.
Tap
Shaka ikut menghentikan langkahnya.
Tubuh Salim berbalik, bagian alis matanya bergerak seolah memberi isyarat kepada seseorang yang berdiri di belakangnya.
Bug
Sebuah tendangan mendarat di bagian belakang kaki Shaka. Membuat pertahanannya roboh begitu saja. Selanjutnya sebuah lengan mencengkeram bagian belakang bajunya menyeret tubuh Shaka ke tembok.
Pria itu terus melanjutkan serangannya ke arah Shaka, mengabaikan luka Shaka yang baru saja di obati.
Bhira menggigit bagian bawah bibirnya, ia berdiri di belakang tembok. Menyaksikan semua peristiwa yang ada di hadapannya.
“Kondisi saat ini benar-benar membingungkan untuk Bhira. Entah apa yang harus ia lakukan?”
“Apakah dengan menghentikan pertikaian itu akan membantu Shaka, atau malah memperumit keadannya?”
Bhira berjalan meninggalkan ruangan itu dengan tangan yang masih mengepal kuat.
“Huh-huh” seruan nafas terdengar keluar dari mulut Shaka. Dengan sisa tenaganya ia menahan semua rasa sakit yang muncul di tubuhnya. Kini bukan hanya luka di lengan dan dahinya saja. Melainkan luka-luka yang berada di sudut bibir dan sekujur tubuhnya.
Shaka memejamkan matanya, ia tidak tahu harus melakukan apa selanjutnya. Ia tidak tahu kesalahan apa yang membuatnya di perlakukan seperti ini.
“Berhenti” ujar Marcel, menghentikan aktifitas yang di lakukan orang suruhannya.
Orang itu melangkah mundur, dengan lengan yang mencoba merapihkan baju.
Sementara di sisi lain terlihat Marcel yang berjalan menghampiri Shaka, menurunkan tubuhnya membuat sejajar dengan Shaka.
Lengannya bergerak menepuk bahu Shaka.
“Aww” Shaka kembali meringis. Sesaat setelah Salim menekan tangannya di bahu Shaka.
“Kamu tahu siapa dalang dari kejadian tadi?” ujar Marcel bertanya.
Shaka menggelengkan kepalanya.
Plak
Marcel melemparkan segepok uang berwarna merah ke arah Shaka. Kemudian ia merangkul tubuh pria itu seraya berbisik.
“Mulai besok, tidak usah temui Cella. Kejadian malam ini, lupakan dan jangan biarkan satu orang pun mengetahuinya”
“Jangan sampai berita ini terdengar media. Ini hanya akan semakin menyulktkan Cella” tanbahnya lagi.
Shaka mengangguk mengiyakan.
Sorotan Cahaya terlihat menyorot ke arahnya. Membuat Shaka kembali memejamkan matanya.
“Siapa disana?” tanya seseorang dengan jarak jauh.
Selanjutnya terdengar hentakan sepatu yang terdengar semakin dekat.
Marcel menarik tubuh Shaka, mencoba membangunkannya. Setelah menyadari kehadiran dua orang dengan seragam polisi.
Tap
Terlihat sepatu Marcel yang menginjak ke arah tanah, menyembunyikan segepok uang yang di berikan nya tadi.
“Malam Pak” ujar pria yang mengeroyok Shaka, menyapa polisi.
Polisi itu mengangguk, kemudian membalas sapaan yang di berikan pria itu.
“Pak Shaka?” ujar seorang polisi.
Shaka menganggukkan kepalanya, membalas panggilan.
“Boleh saya mintai keterangannya”
Pria itu berjalan menghadang, menutupi tubuh Shaka, dan mencoba menghentikan kedua polisi tadi.
“Saya pengacaranya, saat ini Pak Shaka tidak bisa di mintai keterangan”
“Bapak lihatkan kondinya, masih harus di lakukan perawatan” ujar pria itu menjelaskan.
Kedua polisi itu terlihat menatap tubuh Shaka dari atas hingga bawah. Memastikan kondisinya.
“Dan kecelakaan tadi itu murni, karena kesalahan teknis”
“Iya kan pak?” ujar laki-laki itu lagi, meminta persetujuan Shaka.
Shaka mengangguk mengiyakan setelah aba-aba dari Marcel diterima tubuhnya.
“Mari pak, sebaiknya kita bicara di tempat lain” ujar pria itu, membawa kedua polisi itu pergi dari tempatnya.
Srrrt
Segepok uang itu terlihat mengenai ujung sepatu Shaka.
“Ambil, dan cari pekerjaan yang lain”
“Untuk saat ini, lakukan perawatan disini sampai selesai”
“Semua biaya sudah saya tanggung” lanjutnya, kemudian meninggalkan Shaka di tempatnya.
“Aaaaah” ujar Shaka mengerang. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini hari pertamanya bekerja dan di hari ini pula juga ia di pecat bahkan hampir tidak selamat.
Brukk
Pertahanannya roboh, lengan Shaka bergerak menutupi sebagian wajahnya.
Bhira terdiam, ia melihat semuanya dengan sangat jelas. Lengannya bergerak mencoba mengelus puncak kepala Shaka namun mengurungkan niatnya. Membuat lengannya terlihat mengapung di udara. Tak lama setelahnya, Bhira berjalan meninggalkan Shaka di tempatnya, membiarkan pria itu bergelut dengan apa yang di rasakan nya kini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments