NovelToon NovelToon

Elegi

Pro

28 desember 2012

Sempit, bau, pengap dan melelahkan mungkin itu gambaran empat tahun yang ia rasakan selama berada di lapas. Di masa mudanya ia habiskan berjuang melawan harinya sebagai narapidana.

Shaka, ia melangkahkan kakinya berjalan melewati gerbang lapas. ia tersenyum puas menghirup bersihnya udara yang sudah lama tak ia rasakan. topinya terpasang di kepalanya menutupi sebagian rambutnya yang gondrong. celana kain gombrang ia pakai, begitupun dengan jaket oversized yang menutupi tubuh bagian atasnya, di bahu kanannya terlihat satu kantong yang ia selempangkan. Juga, sepatu putih yang koyak ia kenakan di kedua kakinya.

ia menundukkak kepalanya, senyumnya memudar dengan cepat setelah melihat kehadiran seorang wanita paruh baya di hadapannya. senyumnya terlihat mengembang menunjukkan sebagian besar giginya.

Shaka berjalan dengan gusar ke arah perempuan itu. sorot matanya telihat begitu dingin, ia berjalan melwati perempuan itu, tanpa menyapanya.

“Nak” panggil Maryam, ibu Shaka sambil menahan lengan anak laki-lakinya.

Shaka menghentikan langkahnya.

kemudian tubuhnya berbalik, menatap kea rah Maryam. Tatapannya masih terlihat dingin. namun, Maryam menyapanya dengan senyuman yang begitu hangat. perlahan lengannya merangkul tubuh besar Shaka ke dalam pelukannya. tanpa di sadari air matanya menetes, menyadari Shaka yang tubuh dengan begitu cepat.

ia masih ingat hari dimana ia mengantar Shaka ke tempat ini, saat itu tubuhnya masih sejajar dengan tubuh shaka. namun, kini anak laki-lakinya itu sudah tumbuh dengan cepat bahkan kini kedua lengannya tak mampu merangkul tubuh Shaka dengan erat, tingginya tentu sudah berubah. tubuh Maryam hanya sejajar dengan dada Shaka.

ia kembali meneteskan matanya, mengingat hal sulit yang harus di lalui Shaka empat tahun terakhir.

“Udah bu, jangan nangis” Ujar Shaka pelan.

“Lihat anaknya keluar dari lapas, bukan suatu hal yang bisa di banggain”

“Apalagi di tangisin” ujarnya.suaranya terdengar begitu bulat.

Maryam menggeleng, menolak ucapan Shaka. Melihat anaknya kembali adalah hal yang sudah sepatutnya ia syukuri. Perasaan bahagianya, tak mampu ia reaksikan lagi, kecuali dengan air matanya.

Shak mengangkat kedua tangannya, menyentuh lengan ibunya yang mesih merangkul tubuhnya, lalu menurunkannya dari tubuhnya dengan cepat.

Maryam menundukkan kepalanya, lengannya mengusap bagian pipinya yang basah karena air matanya.

“Ibu jalan duluan” perintahnya, dengan lengan yang menyentuh kedua bahu Maryam.

“Nanti, Shaka ikutin dari belakang.” lanjutnya, dengan langkah yang berjalan mundur berada di belakang Maryam.

Maryam mengangguk mengiyakan.

Ia berjalan sendirian, menyusuri trotoar jalanan. ia menoleh ke belekang untuk sekian kalinya memastikan Shaka berada di belakngnya. padahal, rasanya ingin sekali ia berjalan dengan menggennggam lengan anaknya itu.

“Lihat ke depan” ujar Shaka menyadari Maryam yang terus menoleh ke arahnya.

“Shaka ngga kemana-mana” ujarnya terdengar dingin, namun sampai begitu hangat di hati Maryam.

Maryam menghentikan langkahnya, tepat di halte bus. Diikuti Shaka yang berada di belakangnya dengan jarak kurang dari tiga langkah.

citt

suara bus terhenti.

Maryam beranjak, lalu berjalan menuju pintu bus, menaiki bus itu. matanya melirik melihat kursi yang masih kosong di dalam bus.

ia duduk diantara dua kursi kosong. beberapa detik kemudian Shaka berjalan memasuki bus.

Maryam tersenyum, menyadari kehadiran Shaka. lengannya menepuk- nepuk jok kosong yang berada di sebelahnya.

Shaka kembali menghiraukannya, ia berjalan melewati jok yang di tempati Maryam. dan memilih duduk di dua bangku yang berada di belakang jok Maryam.

Maryam menghembus kesal, namun pikirannya berusa mengerti alasan Shaka.

Tiga puluh menit berlalu, keduanya sampat di daerah dengan tumpukan rumah susun yang berjejerabn

“HUH” Shaka mendengus kesal. menyadari tempatnya yang belum berubah.

Ia merapihkan kembali topi yang terpasang di kepalanya.

“Ayo” ajak Maryam sambil menggandeng lengan Shaka.

Shaka mengangguk, dengan lengan yang melepas kembali rangkulan dari Maryam.

“Ibu duluan” perintahnya.

Maryam kembali berjalan, diikuti Shaka di belakangnya.

ini pukul setengan enam sore tepat dengan orang-orang yang sudah pul;ang dari pekerjaannya.

Shaka mencoba mengatur nafasnya.

Ia berjalan menaiki satu persatu anak tangga. Sorotan tajam dari orang-orang yang melewatinya terasa begitu menyerangnya.

begitupun, dengan orang-orang yang tengah bergunjing, terlihat seolah-olah membicarakan kehadirannya.

menjadi pussat perhatian, gunjingan, dan sorotan mengingatkannya pada empat tahun lalu. hari dimana ia diseret ke kantor polisi. dengan seragam sekolah yang masih terpasang di tubuhnya.

dan kini, mereka masih melakukan hal yang sama. tidak da yang membela seperti hari itu. dan sama malah bergunjing untuk menyapa kehadirannya.

“hmm” ia menghembus nafas lega setelah sampai di pintu rumahnya.

trek

Maryam memutar kunci, kemudian membuka pintu rumahnya. lengannya menyentuh punggung Shaka. lalu, mengusapnya.

“Ayo” ujarnya kemudian memerintah Shak masuk.

Shaka mengangguk, kemudian berjalan melewati Maryam dan memasuki rumahnya. taka da yang berbeda dari rumahnya. semuanya masih tampak sama, bahkan setiap barang di tempat itu taka da yang berubah.

Shaka berjalan menuju tempat rak alat makan. mengambil satu gelas kemudian mengisinya dengan air gallon. lalu, menegaknya membasahai tenggorokkannya yang terasa kering.

“Ahh” ujarnya bergumam merasakan segarnya air yang melewati tenggorokkannya.

Tempat itu sangat kecil, tentu saja Maryam bisa melihat semuanya dengan jelas. Maryam berjalan meuju kamar Shaka, lalu kembali tak lama setelahnya dengan membawa setelan kaos berwarna Hitam dengan bawahan training berwarna navy.

****

lima belas menit berlalu, Shaka kembali dengan mengenakan pakaian yang sudah disiapkan ibunya. penampilannya sudah jauh lebih rapih dari pada sebelumnya. ia duduk menyilangkan kakinya di kursi. kemudian, lengannya bergerak menyentuh remote untuk menyalakan layar televise.

sementara, di sisi lain terlihat Maryam yang tengah sibuk menghangatkan makanan yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi.

Shaka memperhatikannya dengan sudut matanya, kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya ke layar televisi.

Empat puluh lima menit berlalu, Maryam sudah selesai menyajikan makanan untuk Shaka. Shaka berjalan menghampiri ibunya, kemudian duduk di salah satu kursi meja makan.

Dengan cepat Maryam, mulai mengambil dua centong nasi menambahkan lauk cumi asam manis yang ia masak, alalu menambahkan beberapa sayuran lainnya.

“Pelan-pelan” ujarnya, melihat Shaka yang mulai melahap makanannya.

Shaka mengangguk, mengiyakan. ia mulai menikmatu makanan yang di sajikan Maryam. makanan yang sulit ia dapatkan saat di lapas.

“Ibu makan juga” perintah Shaka, dengan lengan yang masih sibuk menyendok makanan di atas piring.

Maryam menggeleng, menolak permintaan Shaka. sorot matanya terus menatap tajam ke arah Shaka.

“Ibu udah kenyang, kamu bisa abisin semuanya” balas Maryam.

“Jangan bohong, Sejak tadi Shaka belum lihat ibu makan” ujarnya dengan nada ketus.

“Ngga, lihat kamu aja udah bikin ibu kenyang” ujarnya.

“yaa” Shaka mendengus kesal.

ia menghentikan Aktifitasnya, kemudian lengannya bergerak meraih bajunya. Lalu, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. satu bungkus plastic berwarna hitam

Maryam mengernyitkan dahinya, kemudian lengannya bergerak meraih bungkus plastik yang di berikan Shaka.

“Ayo, Pindah dari sini” ujar Shaka.

Maryam membelalakan matanya menyadari tumpukan uang dengan lembaran berwarna merah di dalamnya.

“ Kamu dapet darimana?” ujarnya membentak, kemudian melemparkan plastic itu kembali kepada shaka.

“Jangan bilang, kamu pengedar. pencuri, penjudi” lanjutnya.

“Kamu ngga lakuin itu kan”

“hah” Shaka kembali mendengus kesal, mendengar pertanyaan ibunya,

ia beranjak dari tempatnya, kemudian sorot matanya, menatap tajam kea rah Maryam untuk beberapa saat. Selanjutnya, ia berjalan meninggalkan Maryam di tempatnya dan menuju kamarnya.

Aloha

29 desember 2012

12-30 pm

“Aaah” suara erangan terdengar keluar dari mulut Shaka.

pria itu membangkitkan tubuhnya, lengannya bergerak mengusap seluruh bagian wajahnya. matanya terlihat masih menyipit.

Bola matanya kembali bergerak, melihat ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan waktu siang.

Shaka kembali memejakan matanya, kemudian kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.

sudah lebih dari enam belas jam ia tertidur di ranjangnya. waktu yang lama, namun terasa begitu singkat untuknya.

kakinya bergerak menuruni ranjang miliknya. Selanjutnya, ia berjalan ke arah jendela. lalu, terdiam untuk waktu yang cukup lama di tempat itu.

Senyumnya mengembang, melihat ke arah langit yang tampak begitu cerah.

Lima menit kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya berjalan keluar dari pintu kamarnya.

trek

Ia menghentikan langkahnya. pandangannya, tertuju ke arah seseorang yang tengah menunaikan ibadah shalat di ruang tengah rumahnya.

Shaka menggelengkan kepalanya, menyadari tubuh yang di lihatnya tampak begitu asing. dan, sudah terlihat jelas kalau itu bukan Maryam, ibunya.

shaka mengalihkan pandangannya, kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya. berjalan menuju dapur, mengambil sebuah cangkir dan mengisinya dengan air mineral.

“Udah bangun mas?” tanya perempuan itu, sambil berbalik melihat ke arah Shaka.

“keganggu yah?” lanjutnya, lagi. menyadari Shaka yang tak menyahut.

Shaka terdiam, mematung. melihat gadis muda di hadapannya. lengannya masih terangkat di dekat dagunya dengan cangkir yang masih berada dalam genggamannya.

sementara, perempuan itu terlihat tengah melipat mukena yang sudah di pakainya.

selanjutnya, terlihat ia yang berjalan ke arah shaka dengan lengan yang terlihat merapikan sebagian rambutnya.

“Aku Shabira” ujar perempuan itu sambil mengangkat lengan kanannya.

“Tiga bulan lalu, kita ketemu di lapas. aku temenin ibu, jenguk mas Shaka”

“masih ingat kan, mas?” ujar Shabira secara berurutan.

Shaka mengangguk canggung.

Shabira meraih satu Teflon, meletakanya di atas kompor yang sudah ia nyalakan sebelumnya.

“Aku tinggal di lantai atas, tepat di atas ruangan ini” ujar Shabira dengan lengan yang menunjuk ke arah langit-langit.

Shaka kembali mengangguk menyahuti perkataan perempuan itu.

“Kadang-kadang juga nginep disini, temenin ibu. kemarin malam juga” lanjutnya, kemudian senyumnya terlihat mengembang.

shaka masih terdiam di tempatnya, dengan sudut matanya. ia memperhatikan gerak-gerik perempuan itu yang tengah memasak dua telor ceplok.

“Aku disini cuma sebentar. Ikut Shalat sekalian ngambil barang ku yang ketinggalan” ujarnya, menjelaskan.

Shaka kembali menganggukkan kepalanya. kemudian kakinya berjalan menuju meja makan. menggeser kursi dengan sebelah kakinya. lalu, duduk di salah satu kursi. tak lama setelahnya ia mulai menegak sisa air yang ia tuangkan ke dalam cangkir.

trang

Bhira meletakkan dua telor ceplok tepat di atas meja. Kemudian, ia membuka tudung saji yang tetutup di hadapan shaka. Tak lama setelahnya terlihat beberapa lauk pauk yang sudah tersaji.

selanjutnya bhira kembali dengan lengan kanan yang membawa satu piring yang berisi nasi. kemudian meletakkannya, tepat di hadapan Shaka.

“Ibu yang nyuruh, katanya ibu ngga bisa nemenin mas karena dia harus kerja” lanjutnya menjelaskan.

Shaka mengangguk lagi membalas ucapan bhira.

“Duduk” perintah Shaka, dan itu kata pertama yang di dengarnya setelah tiga puluh menit keduanya bersama.

Bhira mengernyitkan dahinya.

“Duduk” perintah Shaka lagi. “Temenin saya makan” lanjutnya.

Bhira menggeleng, namun tubuhnya berlainan dengan apa yang ia pikirkan. Bhira ikut duduk di salah satu kursi.

“Ngga ikut makan?” tanya Shaka.

Bhira terdiam.

“Ayo ikut makan, bersikap biasa saja. Seolah-olah kamu disini sama ibu” lanjutnya, terdengar ketus.

####

Shaka kembali menatap ke arah jarum jam yang sudah menunjukan pukul Sembilan malam. ia beranjak dari tempatnya kemudian berjalan ke kanan dan kiri. menunggu kedatangan ibunya.

krek

pintu terbuka.

Dengan cepat, Shaka kembali ke tempatnya. Matanya seketika tertuju ke arah layar televisi yang menyuguhkan pertandingan bola, seolah tidak peduli dengan kedatangan ibunya.

Shaka meneguk kopi hitam miliknya, membasahi tenggorokkannya.

30 Desember 2012

07.00

Shaka beranjak dari ranjangnya, kemudian langkahnya berjalan keluar dari pintu kamarnya. Ia menghentikan langkahnya, berdiri di ambang pintu. Kedua bola matanya bergerak memperhatikan interaksi ibunya dengan seorang gadis yang kemarin di lihatnya.

Sudut bibirnya terangkat.

“Ayo makan, ka” ujar Maryam memberi perintah.

Shaka mengangguk, kemudian duduk di salah satu kursi.

Tak lama setelahnya, di ikuti oleh Maryam dan Bhira. Keduanya duduk di samping kanan dan kiri Shaka. Ketiganya, kompak menikmati makanan yang di sediakan Maryam.

Hening, tak ada suara yang di keluarkan dari mulut ketiga orang itu. Sesekali hentakan dari sendok dan garpu mengisi ruangan.

Lima belas menit berlalu, Shaka beranjak dari tempatnya. Kemudian ia mulai membasuh kedua lengannya. Tak lama kemudian ia kembali duduk di sofa sambil menatap layar televisi. Sementara, di satu sisi terlihat Bhira yang tengah membersihkan sisa makanan yang tersisa. Juga mencuci peralatan makan yang di pakainya.

Sudut mata Shaka bergerak, sesuatu menarik perhatiannya. Ia melihat ke arah Maryam, yang tengah bersiap. Baju seragam pabrik melekat di tubuhnya.

Shaka menggelengkan kepalanya, mencoba menghiraukan apa yang terjadi.

Maryam membungkukkan setengah badannya, memasukkan sebelah kakinya ke dalam sepatu yang sudah terlihat isang. Ia menekan kakinya, memaksakan kakinya masuk ke dalam sepatu yang sudah terasa sempit di kakinya.

“Huh” gumam Shaka.

Maryam tidak mendengarnya, ia berjalan menuju pintu keluar rumah.

Ia menghentikan langkahnya, tepat setelah tangan Shaka menghalangi.

“Udahlah bu, berhenti aja” pinta Shaka, suaranya terdengar bergetar.

“Ngga usah, berusaha terlalu keras” lanjut Shaka.

Maryam terdiam, ucapan Shaka membuat tubuhnya mematung.

Maryam menggeleng, lengannya bergerak memindahkan lengan Shaka dari pandangannya.

Kemudian berusaha meninggalkan tempat itu.

Lengan Shaka bergerak meraih lengan kecil Maryam. Kemudian mengambil alih tas yang dibawa ibunya. Apa yang dilakukan Shaka, Membuat semua usaha yang di keluarkan Maryam hanya berujung sia-sia.

“Cukup bu, Shaka mampu biayain ibu. Mulai sekarang berhenti dari pekerjaan ibu” ujarnya kembali memerintah.

Maryam menggeleng, menolak ucapan Shaka.

Shaka menghela nafasnya, ia menundukkan kepalanya, kemudian sorot matanya terlihat menatap tajam ke arah Maryam.

Maryam menundukkan kepalanya, tak berani menatap ke arah Shaka. Dari sudut matanya terlihat lengan Shaka yang mengepal dengan begitu kuat.

“Kenapa?” tanya Shaka, dingin.

“Apakah bekerja disana sangat menyenangkan?” tanyanya, dengan sedikit mencela.

Hening, tak ada sahutan yang di keluarkan Maryam.

Tak bisa di pungkiri jika Bhira, juga mendengar semua percakapan yang terjadi di antara keduanya. Membuat aktivitas yang di lakukannya terhenti untuk sesaat.

“Benar, sangat menyenangkan bukan?” ujarnya memberi kesimpulan.

“Tinggal disini juga enak kan?” lanjutnya.

Bhira memejamkan matanya, mencoba menghiraukan ucapan Shaka yang semakin menjadi-jadi.

“Jadi pusat perhatian enak kan bu?” tanyanya, terdengar sesak.

“Udah empat tahun loh bu. Mereka masih ngelakuin hal yang sama?”

“Ibu nggak cape?” tanya Shaka.

Maryam masih terdiam.

“Shaka cape bu, padahal baru sehari loh Shaka balik”

“Tapi, mereka masih perlakuin Shaka sama”

“Sama kaya hari itu, dibanding nolong Shaka mereka sibuk cari dan gunjingin kesalahan Shaka” ujarnya terdengar lemah.

“Padahal, semua berawal dari ibu”

“Kalau aja, Ibu bantu Shaka. Pasti kejadiannya ngga akan kaya gini” lanjutnya dengan meninggikan suaranya.

Plak

Bhira melayangkan tamparan keras ke arah pipi Shaka.

Shaka terdiam, lengannya bergerak menyentuh pipi yang terkena pukulan. Kepalanya menoleh ke samping kiri, Bhira, wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan matanya begitu tajam. Tubuh kecilnya terlihat ter engah-engah menahan semua emosi yang menumpuk di kepala dan hatinya.

“Cukup ya mas” ujarnya, meminta Shaka berhenti.

“Ucapan kamu kelewatan” lanjutnya memperingatkan.

“hah” Shaka mendengus kesal, bola matanya menatap tajam membalas tatapan yang di berikan Bhira.

Shaka melangkahkan kakinya.

Dengan cepat, Bhira berdiri di hadapan Maryam, mencoba melindunginya.

“Chh” Shaka kembali mendengus.

Ia melanjutkan langkahnya, berjalan menuju kamarnya. Tak lama setelahnya, ia kembali dengan lengan yang membawa jaket miliknya.

Trek

Shaka membuka pintu rumahnya, langkahnya terhenti. Setelah melihat beberapa orang yang tengah berkerumun di depan rumahnya.

Lost

Untuk beberapa saat Shaka memejamkan kedua matanya, lengan kirinya mengusap bagian kepala dan rambutnya.

“Huh” ia mencoba mengatur nafasnya.

Selanjutnya, ia memutar tubuhnya kembali. Lalu, berjalan ke arah Maryam dan Bhira.

“Shaka serius, dua hari lagi kita pindah dari sini” ujarnya, bicara kepada Maryam.

Maryam mengangguk mengiyakan.

Shaka memutar tubuhnya kembali, ia berjalan menuju pintu keluar rumahnya.

Trek

Pintu rumah tertutup, kali itu ia benar-benar pergi.

Seusai kepergian Shaka, pertahanan Maryam roboh. Rasa takut, kembali merasuki sebagian tubuhnya.

Bhira bergerak dengan cepat, memeluk Maryam ke dalam rangkulannya.

##

Shaka, berjalan menyusuru trotoar, deruan nafas terdengar berat dari mulutnya. Ia terus berjalan, mengikuti kata hatinya.

Beradaptasi kembali di lingkungannya terasa berat, tidak ada satu pun orang yang benar-benar bisa menerima keberadaannya.

Hal itu sangat, menyebalkan hingga membuatnya marah.

“Apakah hukuman di penjara selama ini belum cukup?”

“Apa, empat tahun itu masih kurang?”

“Mengapa, mereka masih memperlakukanku seperti ini?”

“Bahkan, rasanya kali ini semakin parah” ujarnya terus bergumam sendiri.

Tangannya bersandar diatas pegangan jembatan. Ia menundukkan kepalanya, dengan mata yang terus menatap ke arah aliran sungai.

“Shaka?” panggil seseorang.

Shaka menoleh ke sumber suara, tak lama setelahnya, ia membalikkan badannya. Lalu, berjalan menghampiri orang itu.

Tangannya terangkat melambai, dengan senyum yang terus mengembang.

Berikutnya, terlihat Shaka yang menaiki sebuah mobil sedang mewah yang di kendarai orang itu.

***

Maryam, nafasnya terdengar terengah-engah, ia berusaha meredakan suara isak tangisannya.

Bhira, masih berada di sisinya, tangannya memeluk hangat tubuh Maryam, sesekali telapak tangannya mengusap bagian punggung Maryam.

“Ibu takut Shaka pergi lagilagi” ujarnya terisak.

Bhira menggeleng, mencoba meyakinkan Maryam.

“Ngga bu” ujarnya.

“Gimana, kalau sesuatu terjadi?”

“Semua salah ibu kan? Harusnya ibu, bisa jadi ibu yang baik”

“Kasih rumah yang layak, jamin kehidupan Shaka” ujarnya lagi, suara tangisannya semakin kencang.

Bhira kembali mengusap lengannya ke punggung Maryam.

“Ngga bu, mas Shaka pasti baik-baik saja”

“Mungkin dia lagi kesel aja, makanya pergi”

“Kita biarin dia dulu, ya”

“Biar dia tenang” ujar Bhira, mencoba menenangkan.

“Nanti, mas Shaka pasti pulang” timpalnya.

##

02 Januari 2013

Shaka berjalan dengan langkah gusar, celananya terlihat compang-camping, begitupun dengan baju lusuh terpasang di tubuhnya.

Trek

Ia membuka pintu rumahnya.

Matanya tertuju ke arah seorang perempuan,

Perempuan itu berbalik, membalas tatapan yang Shaka berikan.

Beberapa detik kemudian, ia berjalan memasuki rumahnya. Mencoba mengabaikan perempuan yang tengah asik di dapur rumahnya.

Kurang dari lima menit tubuhnya sudah terlentang di atas ranjang rumahnya.

******* nafas berat terdengar keluar dari mulutnya.

Untuk beberapa saat ia memejamkan matanya, lengannya terangkat menutupi sebagian wajahnya.

Jantungnya berdebar begitu kencang, di dalam lubuk hatinya terasa ada yang mengganjal. Menimbulkan rasa sesak di dadanya.

“Huh” ia mencoba mengatur nafasnya.

###

Bhira masih asik dengan kegiatannya di dapur, membereskan setiap detail yang berantakan.

Ia menunggingkan senyumnya, setelah melihat kehadiran Shaka.

Setelah tiga hari kepergiannya, ia bisa melihat Shaka kembali pulang, meski dengan keadaan yang sudah jauh berbeda.

“”Huh” Bhira menghela nafasnya.

Lengannya bergerak, menutup katup keran. Lalu, mulai mengelap tangannya yang basah.

Tubuhnya berbalik, memperhatikan setiap detail rumah.

Bruk

Pertahanannya roboh, perasaan sedih atas kehilangan Ibu maryam, sangat menyayat hatinya. Meskipun, baru beberapa bulan mengenal ibu, rasa kehilangan sangat besar ia rasakan.

Trek

Suara pintu terbuka.

Membuyarkan lamunan Bhira, Bhira beranjak dari tempatnya. Ia berjalan, menuju pintu dengan tas yang terlihat menggantung di bahunya.

Tap

Bhira menghentikan langkahnya, matanya menyusuri lengan yang menahannya.

Shaka menurunkan lengannya, melepaskan genggamannya.

Hening, tak ada suara yang di keluarkan keduanya.

Lengan Shaka bergerak, merogoh saku celananya. Tak lama kemudian, terlihat satu gepok uang keluar dari dalam saku celananya.

Plak

Shaka meletakkannya di atas meja.

“Untuk pengajiannya, tolong kamu yang urus” satu kalimat itu keluar dari Shaka.

Bhira masih terdiam, bola matanya bergerak melihat ke arah uang, dan wajah Shaka secara bergantian.

“Jangan libatkan orang-orang di tempat ini. Aku, ngga suka” lanjutnya.

Bhira menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

“Cari panti asuhan, pesantren, atau apapun itu. Terserah” ucapnya, menambahkan.

Bhira mengangguk, mengiyakan ucapan yang Shaka berikan.

**

07 Januari 2013

Satu minggu berlalu

Sejak hari itu, ia tidak keluar dari rumahnya. Ia hanya menghabiskan waktu dengan berdiam di ranjang dan sofa rumahnya.

Rumah yang ia tempati terlihat sangat berantakan.

Sampah berserakan di mana-mana, debu menumpuk di setiap sudut rumahnya. Terlebih, kepulan asap yang berasal dari rokok yang di hidupnya memenuhi rumah itu.

Shaka menengadahkan kepalanya, melihat ke langit-langit rumahnya.

Pandangannya kosong, sudut bibirnya terangkat. Seolah-olah ada yang ingin ia sampaikan.

“Kenapa? kenapa harus sekarang bu?” tanyanya dalam hati.

“Shaka berhasil wujudin impian Shaka, tapi pada akhirnya Shaka ngga bisa ngasih tahu ibu”

“Ibu pergi terlalu cepat” gumamnya, kemudian air mata di pelupuk matanya menetes.

“Apa ini gara-gara Shaka?” lanjutnya, bertanya sendiri.

“Apa benar? Shaka hanya pembawa sial?” ujarnya terus menyudutkan dirinya sendiri.

##

Tuk tuk

Bhira mengetuk pintu, kembali.

Sudah lebih dari setengah jam ia berada di tempat itu. Menatap pintu yang masih tertutup

Dalam, seminggu ini tak pernah sekalipun ia melihat batang hidung Shaka. Tentu saja, itu membuatnya khawatir. Terlebih dengan amanat yang bu maryam titipkan padanya membuat bhira semakin merasa terikat dengan Shaka.

Tuk tuk tuk

Bhira mengetuk pintu kembali.

Telinganya ia dekatkan ke arah pintu, mencoba mendengar suara dari dalam

“Mas, mas Shaka” ujar Bhira memanggilnya.

Shaka menghiraukan panggilan dari perempuan itu.

Lima menit berlalu.

“Mas Shaka ada? Kamu gapapa kan mas?” tanya Bhira dari balik pintu.

“huh” Shaka mendengus kesal.

Ia berjalan menuju pintu rumahnya, kemudian membuka pintu itu sedikit. Dari sudutnya, terlihat sebagian tubuh Bhira.

“Kamu baik-baik aja kan mas?” tanyanya, cemas.

Shaka mengangguk, mengiyakan.

Selanjutnya ia mengangkat kepalanya, kemudian bola matanya bergerak memperhatikan sekitar.

Pandangannya mengalihkan dari setiap sisi ke sisi lainnya. Memperhatikan beberapa orang yang tengah berkerumun sambil melihat ke arahnya.

“Kenapa?” tanya Shaka, dingin.

Bhira menggeleng.

Shaka menundukkan kepalanya, kemudian lengannya bergerak membuka pintu, selanjutnya lengan kirinya memegang lengan Bhira, menyeretnya masuk.

Bruk

Pintu rumah tertutup.

Gelap, itu yang bisa di lihat Bhira.

“Uhuk” ujarnya berdeham mengeluarkan, rasa gatal yang berada di tenggorokkannya.

“Kenapa? Mau apa?” tanya Shaka, kembali mengulang ucapannya.

“Kamu ngga lupakan?” tanya Bhira.

Shaka mengernyitkan dahinya.

“Nanti sore, pihak keluarga yang nabrak ibu, mau ketemu. Kamu, bisa kan?” ujar Bhira menjelaskan.

“huh” Shaka mengeluarkan, nafas berat. Rasa sesak, kembali muncul memenuhi dadanya.

“Emang harus yah?” ujarnya bertanya dengan suara yang terdengar bergetar.

Bhira mengangguk, dengan yakin.

“Ok, mari temui bersama” ujarnya.

Bhira kembali mengangguk, mengiyakan ajakn Shaka.

Tak lama setelahnya, tubuhnya berbalik berjalan ke arah pintu.

Tap

Suara bising dari luar, menghentikan langkahnya.

“Tuh, ibu-ibu lihat kan belum seminggu. Udah berani ngapa-ngapain sama cewek di rumah” ujar seorang ibu, suaranya terdengar ke dalam rumah.

“Kasihan bu maryam, bukannya di do’ain, malah di biarin” sahut satu orang lagi.

Bhira menggelengkan kepalanya, menolak perkataan yang masuk ke dalam telinganya.

Ia membalikkan setengah badannya, lalu sorot matanya menatap ke arah Shaka.

Dari sudutnya terlihat ia yang memiringkan kepalanya, bibir bagian atas menggigit bagian bawah bibirnya.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Tap tap

Ia berjalan ke arah belakang, mengambil sebuah topi berwarna hitam. Lalu, memakai di kepalanya

Kurang dari tiga menit, ia sudah kembali berjalan ke arah Bhira.

Bhira menggelengkan kepalanya, mencoba menghentikan Shaka.

Tap

Lengan Shaka kembali menyentuh pergelangan tangan Bhira. Kemudian membawanya keluar dari rumah.

Hening.

Pembicaraan yang di lakukan ibu-ibu itu, terhenti. Setelah, melihat keduanya keluar dari dalam rumah.

Shaka, menatap tajam ke arah orang-orang itu. Tiga detik kemudian, ia kembali meneruskan langkahnya, meninggalkan tempat itu. Dengan, lengan yang masih terikat dengan pergelangan tangan Bhira.

Keduanya berjalan di sepanjang trotoar jalanan, sejak tadi sorot mata Bhira tak lepas dari laki-laki yang berada di hadapannya. Berbeda dengan Bhira, Shaka terus berjalan tanpa tahu arah. Kacau, keadaannya semakin tak terkendali. Dan Hal itu, tentu saja sangat mengganggunya. Ia, tak tahu harus melakukan apa dan harus menjalani hidup bagaimana.

Apa yang ia kerjakan semuanya terasa salah. Bahkan, ketika ia tidak melakukan apapun. Orang-orang, masih berpikir buruk tentangnya.

Tap

Ia menghentikan langkahnya, diiringi dengan lengan yang mulai melepaskan genggamannya.

“Tunjukkan, jalannya” ujar Shaka memberi perintah kepada Bhira.

Bhira mengangguk, ia melanjutkan langkahnya lebih dahulu meninggalkan Shaka di tempatnya.

Lima langkah, itu jarak yang Shaka buat diantara ia dengan Bhira.

Trek

Seseorang menahan lengannya, membuat tubuh Shaka berbalik begitu saja.

Plak

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Tubuh Shaka mematung, sorot matanya menatap ke arah perempuan paruh baya yang berada di hadapannya.

“Benar, kamu Shaka bukan?” tanya perempuan itu.

Hening, tak ada jawaban yang diberikan oleh Shaka

Bhira menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke sumber suara. Dari sudutnya, terlihat tubuh perempuan itu yang terus menerus memberikan pukulan ke arah Shaka. Sesekali ia melemparkan tas yang di bawanya, ke tubuh pria itu.

Shaka menunduk, tak banyak usaha yang ia keluarkan. Selain menguatkan pertahanannya, agar tidak roboh. Ia menerima setiap pukulan yang mendarat ke tubuhnya, juga cacian yang melukai hatinya.

“Gimana? Apakah kamu senang, dengan apa yang terjadi dengan ibu kamu?”

“Bukankah itu, karena ulahmu juga?” tanya perempuan itu, menghardik Shaka.

“Seharusnya, kamu tetap disana”

“Jangan keluar, jangan temui maryam”

“Keberadaanmu sangat menyusahkan dia” tambah perempuan itu.

Shaka, menghela nafasnya. Untuk beberapa saat, matanya terpejam.

“Cukup” satu kata keluar dari mulutnya.

Perempuan itu membelalakkan matanya.

“Ini, tidak akan merubah apapun”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!