Lost

Untuk beberapa saat Shaka memejamkan kedua matanya, lengan kirinya mengusap bagian kepala dan rambutnya.

“Huh” ia mencoba mengatur nafasnya.

Selanjutnya, ia memutar tubuhnya kembali. Lalu, berjalan ke arah Maryam dan Bhira.

“Shaka serius, dua hari lagi kita pindah dari sini” ujarnya, bicara kepada Maryam.

Maryam mengangguk mengiyakan.

Shaka memutar tubuhnya kembali, ia berjalan menuju pintu keluar rumahnya.

Trek

Pintu rumah tertutup, kali itu ia benar-benar pergi.

Seusai kepergian Shaka, pertahanan Maryam roboh. Rasa takut, kembali merasuki sebagian tubuhnya.

Bhira bergerak dengan cepat, memeluk Maryam ke dalam rangkulannya.

##

Shaka, berjalan menyusuru trotoar, deruan nafas terdengar berat dari mulutnya. Ia terus berjalan, mengikuti kata hatinya.

Beradaptasi kembali di lingkungannya terasa berat, tidak ada satu pun orang yang benar-benar bisa menerima keberadaannya.

Hal itu sangat, menyebalkan hingga membuatnya marah.

“Apakah hukuman di penjara selama ini belum cukup?”

“Apa, empat tahun itu masih kurang?”

“Mengapa, mereka masih memperlakukanku seperti ini?”

“Bahkan, rasanya kali ini semakin parah” ujarnya terus bergumam sendiri.

Tangannya bersandar diatas pegangan jembatan. Ia menundukkan kepalanya, dengan mata yang terus menatap ke arah aliran sungai.

“Shaka?” panggil seseorang.

Shaka menoleh ke sumber suara, tak lama setelahnya, ia membalikkan badannya. Lalu, berjalan menghampiri orang itu.

Tangannya terangkat melambai, dengan senyum yang terus mengembang.

Berikutnya, terlihat Shaka yang menaiki sebuah mobil sedang mewah yang di kendarai orang itu.

***

Maryam, nafasnya terdengar terengah-engah, ia berusaha meredakan suara isak tangisannya.

Bhira, masih berada di sisinya, tangannya memeluk hangat tubuh Maryam, sesekali telapak tangannya mengusap bagian punggung Maryam.

“Ibu takut Shaka pergi lagilagi” ujarnya terisak.

Bhira menggeleng, mencoba meyakinkan Maryam.

“Ngga bu” ujarnya.

“Gimana, kalau sesuatu terjadi?”

“Semua salah ibu kan? Harusnya ibu, bisa jadi ibu yang baik”

“Kasih rumah yang layak, jamin kehidupan Shaka” ujarnya lagi, suara tangisannya semakin kencang.

Bhira kembali mengusap lengannya ke punggung Maryam.

“Ngga bu, mas Shaka pasti baik-baik saja”

“Mungkin dia lagi kesel aja, makanya pergi”

“Kita biarin dia dulu, ya”

“Biar dia tenang” ujar Bhira, mencoba menenangkan.

“Nanti, mas Shaka pasti pulang” timpalnya.

##

02 Januari 2013

Shaka berjalan dengan langkah gusar, celananya terlihat compang-camping, begitupun dengan baju lusuh terpasang di tubuhnya.

Trek

Ia membuka pintu rumahnya.

Matanya tertuju ke arah seorang perempuan,

Perempuan itu berbalik, membalas tatapan yang Shaka berikan.

Beberapa detik kemudian, ia berjalan memasuki rumahnya. Mencoba mengabaikan perempuan yang tengah asik di dapur rumahnya.

Kurang dari lima menit tubuhnya sudah terlentang di atas ranjang rumahnya.

******* nafas berat terdengar keluar dari mulutnya.

Untuk beberapa saat ia memejamkan matanya, lengannya terangkat menutupi sebagian wajahnya.

Jantungnya berdebar begitu kencang, di dalam lubuk hatinya terasa ada yang mengganjal. Menimbulkan rasa sesak di dadanya.

“Huh” ia mencoba mengatur nafasnya.

###

Bhira masih asik dengan kegiatannya di dapur, membereskan setiap detail yang berantakan.

Ia menunggingkan senyumnya, setelah melihat kehadiran Shaka.

Setelah tiga hari kepergiannya, ia bisa melihat Shaka kembali pulang, meski dengan keadaan yang sudah jauh berbeda.

“”Huh” Bhira menghela nafasnya.

Lengannya bergerak, menutup katup keran. Lalu, mulai mengelap tangannya yang basah.

Tubuhnya berbalik, memperhatikan setiap detail rumah.

Bruk

Pertahanannya roboh, perasaan sedih atas kehilangan Ibu maryam, sangat menyayat hatinya. Meskipun, baru beberapa bulan mengenal ibu, rasa kehilangan sangat besar ia rasakan.

Trek

Suara pintu terbuka.

Membuyarkan lamunan Bhira, Bhira beranjak dari tempatnya. Ia berjalan, menuju pintu dengan tas yang terlihat menggantung di bahunya.

Tap

Bhira menghentikan langkahnya, matanya menyusuri lengan yang menahannya.

Shaka menurunkan lengannya, melepaskan genggamannya.

Hening, tak ada suara yang di keluarkan keduanya.

Lengan Shaka bergerak, merogoh saku celananya. Tak lama kemudian, terlihat satu gepok uang keluar dari dalam saku celananya.

Plak

Shaka meletakkannya di atas meja.

“Untuk pengajiannya, tolong kamu yang urus” satu kalimat itu keluar dari Shaka.

Bhira masih terdiam, bola matanya bergerak melihat ke arah uang, dan wajah Shaka secara bergantian.

“Jangan libatkan orang-orang di tempat ini. Aku, ngga suka” lanjutnya.

Bhira menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

“Cari panti asuhan, pesantren, atau apapun itu. Terserah” ucapnya, menambahkan.

Bhira mengangguk, mengiyakan ucapan yang Shaka berikan.

**

07 Januari 2013

Satu minggu berlalu

Sejak hari itu, ia tidak keluar dari rumahnya. Ia hanya menghabiskan waktu dengan berdiam di ranjang dan sofa rumahnya.

Rumah yang ia tempati terlihat sangat berantakan.

Sampah berserakan di mana-mana, debu menumpuk di setiap sudut rumahnya. Terlebih, kepulan asap yang berasal dari rokok yang di hidupnya memenuhi rumah itu.

Shaka menengadahkan kepalanya, melihat ke langit-langit rumahnya.

Pandangannya kosong, sudut bibirnya terangkat. Seolah-olah ada yang ingin ia sampaikan.

“Kenapa? kenapa harus sekarang bu?” tanyanya dalam hati.

“Shaka berhasil wujudin impian Shaka, tapi pada akhirnya Shaka ngga bisa ngasih tahu ibu”

“Ibu pergi terlalu cepat” gumamnya, kemudian air mata di pelupuk matanya menetes.

“Apa ini gara-gara Shaka?” lanjutnya, bertanya sendiri.

“Apa benar? Shaka hanya pembawa sial?” ujarnya terus menyudutkan dirinya sendiri.

##

Tuk tuk

Bhira mengetuk pintu, kembali.

Sudah lebih dari setengah jam ia berada di tempat itu. Menatap pintu yang masih tertutup

Dalam, seminggu ini tak pernah sekalipun ia melihat batang hidung Shaka. Tentu saja, itu membuatnya khawatir. Terlebih dengan amanat yang bu maryam titipkan padanya membuat bhira semakin merasa terikat dengan Shaka.

Tuk tuk tuk

Bhira mengetuk pintu kembali.

Telinganya ia dekatkan ke arah pintu, mencoba mendengar suara dari dalam

“Mas, mas Shaka” ujar Bhira memanggilnya.

Shaka menghiraukan panggilan dari perempuan itu.

Lima menit berlalu.

“Mas Shaka ada? Kamu gapapa kan mas?” tanya Bhira dari balik pintu.

“huh” Shaka mendengus kesal.

Ia berjalan menuju pintu rumahnya, kemudian membuka pintu itu sedikit. Dari sudutnya, terlihat sebagian tubuh Bhira.

“Kamu baik-baik aja kan mas?” tanyanya, cemas.

Shaka mengangguk, mengiyakan.

Selanjutnya ia mengangkat kepalanya, kemudian bola matanya bergerak memperhatikan sekitar.

Pandangannya mengalihkan dari setiap sisi ke sisi lainnya. Memperhatikan beberapa orang yang tengah berkerumun sambil melihat ke arahnya.

“Kenapa?” tanya Shaka, dingin.

Bhira menggeleng.

Shaka menundukkan kepalanya, kemudian lengannya bergerak membuka pintu, selanjutnya lengan kirinya memegang lengan Bhira, menyeretnya masuk.

Bruk

Pintu rumah tertutup.

Gelap, itu yang bisa di lihat Bhira.

“Uhuk” ujarnya berdeham mengeluarkan, rasa gatal yang berada di tenggorokkannya.

“Kenapa? Mau apa?” tanya Shaka, kembali mengulang ucapannya.

“Kamu ngga lupakan?” tanya Bhira.

Shaka mengernyitkan dahinya.

“Nanti sore, pihak keluarga yang nabrak ibu, mau ketemu. Kamu, bisa kan?” ujar Bhira menjelaskan.

“huh” Shaka mengeluarkan, nafas berat. Rasa sesak, kembali muncul memenuhi dadanya.

“Emang harus yah?” ujarnya bertanya dengan suara yang terdengar bergetar.

Bhira mengangguk, dengan yakin.

“Ok, mari temui bersama” ujarnya.

Bhira kembali mengangguk, mengiyakan ajakn Shaka.

Tak lama setelahnya, tubuhnya berbalik berjalan ke arah pintu.

Tap

Suara bising dari luar, menghentikan langkahnya.

“Tuh, ibu-ibu lihat kan belum seminggu. Udah berani ngapa-ngapain sama cewek di rumah” ujar seorang ibu, suaranya terdengar ke dalam rumah.

“Kasihan bu maryam, bukannya di do’ain, malah di biarin” sahut satu orang lagi.

Bhira menggelengkan kepalanya, menolak perkataan yang masuk ke dalam telinganya.

Ia membalikkan setengah badannya, lalu sorot matanya menatap ke arah Shaka.

Dari sudutnya terlihat ia yang memiringkan kepalanya, bibir bagian atas menggigit bagian bawah bibirnya.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Tap tap

Ia berjalan ke arah belakang, mengambil sebuah topi berwarna hitam. Lalu, memakai di kepalanya

Kurang dari tiga menit, ia sudah kembali berjalan ke arah Bhira.

Bhira menggelengkan kepalanya, mencoba menghentikan Shaka.

Tap

Lengan Shaka kembali menyentuh pergelangan tangan Bhira. Kemudian membawanya keluar dari rumah.

Hening.

Pembicaraan yang di lakukan ibu-ibu itu, terhenti. Setelah, melihat keduanya keluar dari dalam rumah.

Shaka, menatap tajam ke arah orang-orang itu. Tiga detik kemudian, ia kembali meneruskan langkahnya, meninggalkan tempat itu. Dengan, lengan yang masih terikat dengan pergelangan tangan Bhira.

Keduanya berjalan di sepanjang trotoar jalanan, sejak tadi sorot mata Bhira tak lepas dari laki-laki yang berada di hadapannya. Berbeda dengan Bhira, Shaka terus berjalan tanpa tahu arah. Kacau, keadaannya semakin tak terkendali. Dan Hal itu, tentu saja sangat mengganggunya. Ia, tak tahu harus melakukan apa dan harus menjalani hidup bagaimana.

Apa yang ia kerjakan semuanya terasa salah. Bahkan, ketika ia tidak melakukan apapun. Orang-orang, masih berpikir buruk tentangnya.

Tap

Ia menghentikan langkahnya, diiringi dengan lengan yang mulai melepaskan genggamannya.

“Tunjukkan, jalannya” ujar Shaka memberi perintah kepada Bhira.

Bhira mengangguk, ia melanjutkan langkahnya lebih dahulu meninggalkan Shaka di tempatnya.

Lima langkah, itu jarak yang Shaka buat diantara ia dengan Bhira.

Trek

Seseorang menahan lengannya, membuat tubuh Shaka berbalik begitu saja.

Plak

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Tubuh Shaka mematung, sorot matanya menatap ke arah perempuan paruh baya yang berada di hadapannya.

“Benar, kamu Shaka bukan?” tanya perempuan itu.

Hening, tak ada jawaban yang diberikan oleh Shaka

Bhira menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke sumber suara. Dari sudutnya, terlihat tubuh perempuan itu yang terus menerus memberikan pukulan ke arah Shaka. Sesekali ia melemparkan tas yang di bawanya, ke tubuh pria itu.

Shaka menunduk, tak banyak usaha yang ia keluarkan. Selain menguatkan pertahanannya, agar tidak roboh. Ia menerima setiap pukulan yang mendarat ke tubuhnya, juga cacian yang melukai hatinya.

“Gimana? Apakah kamu senang, dengan apa yang terjadi dengan ibu kamu?”

“Bukankah itu, karena ulahmu juga?” tanya perempuan itu, menghardik Shaka.

“Seharusnya, kamu tetap disana”

“Jangan keluar, jangan temui maryam”

“Keberadaanmu sangat menyusahkan dia” tambah perempuan itu.

Shaka, menghela nafasnya. Untuk beberapa saat, matanya terpejam.

“Cukup” satu kata keluar dari mulutnya.

Perempuan itu membelalakkan matanya.

“Ini, tidak akan merubah apapun”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!