BEING THE OTHER WOMAN

BEING THE OTHER WOMAN

CHAPTER 1 - PANGGIL AKU STELLA

Tidak ada bahagia tanpa terpaan angin kencang.

Tidak ada tangis yang menerus, matahari tidak selalu bersembunyi di malam panjang.

Hampir 18 tahun berlalu. Langkahnya tidak lagi sama. Ukuran sepatunya sudah berubah. Rambut hitam sebahunya di cepol seadanya. Matanya tidak lagi sesendu saat dia terakhir kali manapakkan kaki kecilnya di kota ini. Dia bukan lagi gadis kecil yang akan merengek meminta Ayahnya untuk tetap tinggal.

Warna langit pun seolah ingin serasi dengan suasana hati Stella yang sendu. Beberapa gumpalan awan cumolonimbus tergantung di sana. Stella melangkahkan kakinya menuju gerbang sebuah bangunan yang gapura pagar depannya sudah mulai keropos di beberapa bagian. Seorang nenek dengan tergopoh-gopoh berjalan mendekat ke gerbang masuk ketika melihat sosok yang sangat di kenalnya dulu.

Stella buru-buru menghampiri nenek itu sebelum tubuh rentanya itu berjalan lebih jauh lagi. Nenek itu menggenggam jari-jari tangan Stella. Lalu memandangi tubuh gadis di depannya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Dalia...”ujar nenek itu lirih.

Stella tersenyum tipis, “Panggil aku Stella, bun”. Ucapnya seraya memandang lurus ke arah mata perempuan tua di depannya tanpa ragu.

Perempuan itu tergelak. “Maafkan aku. Harusnya aku tidak lupa bahwa namamu bukan lagi Dalia”. Ujarnya seraya menarik tangan Stella agar mengikutinya untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu.

Mereka berdua terdiam selama beberapa saat sampai Stella membuka obrolan.

“Sekarang tinggal berapa anak yang tersisa di sini, Bun?” tanya Stella dengan suara pelan.

“Hanya ada lima anak yang belum di relokasi ke Panti Asuhan yang lebih layak dan Dinas sosial. Rencananya mereka akan ke sana minggu depan.” Jawab perempuan yang selalu disapa dengan sebutan ‘bunda’ oleh anak-anak Panti.

“Sekarang aku sedang mengandung anak pertamaku, Bun.” Ucap Stella sembari meminggirkan rambut-rambut halus yang menutupi wajah Ibu panti. “Aku sudah baik-baik saja, sekarang,” lanjutnya dengan suara gemetar.

Kenangan buruk itu melintas lagi di kepala Stella.

14 tahun yang lalu, namanya adalah Dalia. Gadis kecil berusia 8 tahun itu berlari tanpa alas kaki mengejar Ayahnya yang baru saja keluar dari rumah dengan membanting pintu. Langkah kecilnya tidak mampu mengimbangi langkah kaki Ayahnya itu yang makin lama makin menjauh.

“Arrgh!!” Suara teriakan frustasi Ibunya terdengar higga ke halaman depan rumah.

Tetangga rumah kanan dan kiri yang kebetulan melintas hanya memandang iba kearah Dalia kecil yang berusaha untuk tidak menangis. Mereka ingin membantu namun dicegah oleh perasaan ‘tidak ingin ikut campur’ yang menguasai mereka.

Dalia memutuskan utnuk masuk kembali ke dalam rumah ketika bayangan Ayahnya sudah tidak lagi nampak. Ibunya terduduk di lantai ketika Dalia membuka pintu rumah. Rambut tidak karuan dengan kuciran rambut yang hampir lepas, dan wajah basah oleh air mata bercampur keringat. Sejujurnya Dalia juga bingung harus berbuat apa. Dengan tubuhnya yang mungil, dia tidak akan sanggup membantu Ibunya untuk berdiri.

“Ayah udah pergi, Ma...” Dalia berusaha untuk menahan untuk tidak menagis ketika mengucapkan sepatah kalimat itu.

“Kamu tahu kan, Ayah kamu pergi sama perempuan lain. Dia nggak akan balik lagi ke sini.” Suara Ibunya yang memekik tinggi membuat Dalia mundur selangkah.

“Terus kita gimana, Ma?” tanya Dalia lagi. Jari-jarinya saling bertaut satu sama lain untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar.

“Mama nggak tahu, Dalia! Kamu juga jangan bikin Mama pusing!” Ibunya membentak dengan suara tinggi.

Dalia kecil belum bisa memahami perasaan yang memenuhinya saat ini. Marah, kesal, sedih, dia tidak bisa menjelaskannya. Dalia tidak tahu harus mulai dari mana. Ibunya mengetahui bahwa Ayahnya selingkuh dan lebih memilih untuk tinggal bersama perempuan selingkuhannya.

Jika Ayah tidak mencintai Mama, kenapa mereka menikah?

Apakah Dalia dan Mama tidak cukup membuat Ayah senang?

Jadi, setelah ini Dalia tidak akan punya Ayah?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi dirinya. Dalia sudah bisa membaca dengan lancar di tahun ke duanya duduk di bangku sekolah dasar. Beberapa lembar dokuman perceraian tergeletak begitu saja di atas meja, yang dengan mudahnya terbaca oleh Dalia. Meskipun dia tidak terlalu paham apa yang dimaksud dengan perceraian. Melihat ada kata pisah terselip di antara banyak kata lain yang tercetak di sana, Dalia memahaminya dengan sangat baik.

***

Mata bulat Dalia menatap bingung ke luar jendela. Di luar hujan turun dengan derasnya. Ibunya berdiri dengan pisau di tangan. Tatapan bingung itu langsung berubah histeris kurang dari sepuluh detik, warna merah memenuhi penglihatannya. Ibunya dengan sengaja menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau beberapa kali.

Dalia buru-buru berlari keluar rumah. Ibunya sudah terjatuh tidak sadarkan diri di tanah yang basah bercampur lumpur.

“Tolong!” pekik Dalia.

Dia tidak peduli apakah itu tengah malam atau dini hari. Tangan yang belum benar-benar sampai menyentuh telinga ketika melingkar di atas kepala, tidak akan sanggup mengangkat tubuh orang dewasa.

“Tolong! Tolong!” Dalia tidak berhenti berteriak.

Mulai dari tetangga di sebelah kanan rumahnya yang muncul lebih dulu. Masih dengan memakai daster, setelah melihat apa yang terjadi, dia buru-buru masuk kembali ke dalam rumah dan memanggil suaminya.

Tidak lama, orang-orang mulai berdatangan untuk membantu mengangkat tubuh yang sudah tergolek lemas di tanah yang basah. Dalia yang sangat bingung sampai lupa untuk menangis. Dia hanya memandangi Ibunya yang dimasukkan ke salah satu mobil warga untuk di bawa menuju ke Rumah Sakit. Wajahnya tidak kalah pucat seperti Ibunya.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke Rumah Sakit. Ketika sampai di lobi UGD, beberapa perawat langsung berhamburan keluar UGD untuk membantu menurunkan tubuh Ibunya dari dalam mobil ke ranjang bergerak rumah sakit.

Dalia mengikuti ke mana perginya para perawat membawa Ibunya. Perawat-perwat terlihat sangat kebingungan. Mereka sadar bahwa darah yang keluar sangat banyak itu bukan hanya berasal dari pembuluh darah tangan yang teriris, melainkan dari bagian bawah organ kewanitaan juga.

“Sepertinya Ibu ini juga sedang hamil.” Ujar salah seorang perawat perempuan yang memeriksa daster yang dipakai oleh ibu Dalia.

Hamil? Dalia akan punya adik? 

“Tapi sepertinya Ibu ini sengaja ingin menggugurkannya. Lihat, perutnya agak lecet.”Ucap perawat yang lain.

“Adik kecil, ikut saya dulu ya.” Tiba-tiba orang berjas putih muncul entah dari mana dan langsung menggendong Dalia, membawanya ke luar dari UGD.

***

Terlalu banyak yang terjadi dalam satu waktu. Dalia kecil sulit untuk menerima jika Ibunya harus pergi meninggalkan dirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tidak ada yang memberinya penjelasan tentang bagaimana dia harus hidup tanpa Ibu, dan  Ayah yang sudah memiliki keluarga baru.

Orang-orang untuk kesekian kalinya menatap ke arah Dalia dengan iba. Gadis kecil harus menjadi sebatang kara karena Ayahnya yang memilih untuk menikahi perempuan simpanannya. Lalu ibunya benar-benar meninggal setelah mencoba membunuh bayi dalam kandungannya dan percobaan bunuh diri.

“Anakku sudah ada tiga, jadi aku tidak mungkin mengurusnya.” Samar-samar terdengar sebuah suara yang sangat dikenal oleh Dalia.

Apakah Dalia akan tinggal di panti asuhan?

Bahkan Ayahnya tidak datang hanya untuk melihat keadaan anaknya yang baru saja ditinggal Ibunya pergi untuk selamanya.

“Dalia jangan takut, nanti ikut Bunda ya...” suara menenangkan seorang Ibu yang sangat Dalia rindukan. Sayangnya suara itu tidak muncul dari Ibunya sendiri. “Dalia nggak sendirian, ada bunda di sini.”lanjutnya seraya mendekap Dalia erat.

Dalia merasa seluruh jaringan di tubuhnya lemas. Matanya berkaca-kaca, lalu dia mulai menangis dengan sangat kencang, sampai-sampai membuat para pelayat yang berdatangan terkejut. Sudah sejak lama Dalia menahan semua rasa sakit, emosi dan kesedihan. Akhirnya ketahanan gadis berusia 8 tahun itu runtuh.

“Kenapa Ayah tinggalin Mama untuk perempuan lain?! Kenapa Mama juga bikin adek mati, terus ninggalin Dalia?! Dalia salah apa, Ma?! Dalia salah apa, Yah?!” tangis Dalia tidak terbendung. Sambil sesegukan dia meluapkan segala hal yang selama ini dia pendam. “Dalia sayang sama Ayah, sayang sama Mama juga! Kenapa kalian tega ninggalin Dalia?!”

Ibu panti yang disapa bunda itu berusaha menenangkan Dalia yang tidak berhenti menangis. Suara teriakannya membuat para Ibu yang hadir merasa kasihan dan tercabik oleh tangisan anak kecil yang tidak siap untuk hidup sendiri tanpa orang tua.

Dalia tertidur setelah puas menangis dan suaranya serak karena terlalu banyak berteriak. Bunda tidak melepaskan gendongannya. Bahkan sampai acara pemakaman selesai dan semua pelayat pulang.

***

Kehidupan Panti tidak mudah. Meskipun Dalia kecil sudah terbiasa mengerjakan segalanya secara mandiri, baginya hidup di Panti dengan banyak anak-anak lain yang memiliki sifat berbeda-beda membuatnya sulit bergaul. Dalia juga tahu bahwa tinggal di Panti Asuhan tidak akan mudah. Seperti di dalam buku-buku yang pernah dia baca. Meskipun Ibu panti yang disapa ‘Bunda’ sebagai ketua panti sangatlah baik hati, tapi pengurus panti ada beberapa orang lagi. Tidak semua dari mereka adalah penyayang anak-anak. Separuh dari mereka terpaksa harus mengurus panti karena membutuhkan pekerjaan.

“Dulu kamu tidak pernah menangis, kecuali ketika bunda menggondongmu untuk pertama kalinya, dan ketika Bu Vony dan anaknya yang tampan namanya...” Ibu Panti menghentikan kalimatnya ketika dia tidak bisa mengingat nama yang ingin dia sebut.

“Namanya Kak Daniel, Bun.”

“Padahal kalau kamu nggak ganti nama, nama kalian akan sama. Daniel dan Dalia.” Ujar Ibu Panti terkekeh.

“Panggil aku Stella, Bun. Doakan aku tetap kuat.”ujar Stella seraya memeluk tubuh satu-satunya manusia yang memeluknya dulu ketika Stella tidak punya siapapun untuk dipeluk.

“Doa Bunda selalu bersamamu, Nak.”

***

>Jangan lupa vote ceritaku ya.. tinggalkan komentar dan kritik kalian juga. Thank You.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!