NovelToon NovelToon

BEING THE OTHER WOMAN

CHAPTER 1 - PANGGIL AKU STELLA

Tidak ada bahagia tanpa terpaan angin kencang.

Tidak ada tangis yang menerus, matahari tidak selalu bersembunyi di malam panjang.

Hampir 18 tahun berlalu. Langkahnya tidak lagi sama. Ukuran sepatunya sudah berubah. Rambut hitam sebahunya di cepol seadanya. Matanya tidak lagi sesendu saat dia terakhir kali manapakkan kaki kecilnya di kota ini. Dia bukan lagi gadis kecil yang akan merengek meminta Ayahnya untuk tetap tinggal.

Warna langit pun seolah ingin serasi dengan suasana hati Stella yang sendu. Beberapa gumpalan awan cumolonimbus tergantung di sana. Stella melangkahkan kakinya menuju gerbang sebuah bangunan yang gapura pagar depannya sudah mulai keropos di beberapa bagian. Seorang nenek dengan tergopoh-gopoh berjalan mendekat ke gerbang masuk ketika melihat sosok yang sangat di kenalnya dulu.

Stella buru-buru menghampiri nenek itu sebelum tubuh rentanya itu berjalan lebih jauh lagi. Nenek itu menggenggam jari-jari tangan Stella. Lalu memandangi tubuh gadis di depannya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Dalia...”ujar nenek itu lirih.

Stella tersenyum tipis, “Panggil aku Stella, bun”. Ucapnya seraya memandang lurus ke arah mata perempuan tua di depannya tanpa ragu.

Perempuan itu tergelak. “Maafkan aku. Harusnya aku tidak lupa bahwa namamu bukan lagi Dalia”. Ujarnya seraya menarik tangan Stella agar mengikutinya untuk duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu.

Mereka berdua terdiam selama beberapa saat sampai Stella membuka obrolan.

“Sekarang tinggal berapa anak yang tersisa di sini, Bun?” tanya Stella dengan suara pelan.

“Hanya ada lima anak yang belum di relokasi ke Panti Asuhan yang lebih layak dan Dinas sosial. Rencananya mereka akan ke sana minggu depan.” Jawab perempuan yang selalu disapa dengan sebutan ‘bunda’ oleh anak-anak Panti.

“Sekarang aku sedang mengandung anak pertamaku, Bun.” Ucap Stella sembari meminggirkan rambut-rambut halus yang menutupi wajah Ibu panti. “Aku sudah baik-baik saja, sekarang,” lanjutnya dengan suara gemetar.

Kenangan buruk itu melintas lagi di kepala Stella.

14 tahun yang lalu, namanya adalah Dalia. Gadis kecil berusia 8 tahun itu berlari tanpa alas kaki mengejar Ayahnya yang baru saja keluar dari rumah dengan membanting pintu. Langkah kecilnya tidak mampu mengimbangi langkah kaki Ayahnya itu yang makin lama makin menjauh.

“Arrgh!!” Suara teriakan frustasi Ibunya terdengar higga ke halaman depan rumah.

Tetangga rumah kanan dan kiri yang kebetulan melintas hanya memandang iba kearah Dalia kecil yang berusaha untuk tidak menangis. Mereka ingin membantu namun dicegah oleh perasaan ‘tidak ingin ikut campur’ yang menguasai mereka.

Dalia memutuskan utnuk masuk kembali ke dalam rumah ketika bayangan Ayahnya sudah tidak lagi nampak. Ibunya terduduk di lantai ketika Dalia membuka pintu rumah. Rambut tidak karuan dengan kuciran rambut yang hampir lepas, dan wajah basah oleh air mata bercampur keringat. Sejujurnya Dalia juga bingung harus berbuat apa. Dengan tubuhnya yang mungil, dia tidak akan sanggup membantu Ibunya untuk berdiri.

“Ayah udah pergi, Ma...” Dalia berusaha untuk menahan untuk tidak menagis ketika mengucapkan sepatah kalimat itu.

“Kamu tahu kan, Ayah kamu pergi sama perempuan lain. Dia nggak akan balik lagi ke sini.” Suara Ibunya yang memekik tinggi membuat Dalia mundur selangkah.

“Terus kita gimana, Ma?” tanya Dalia lagi. Jari-jarinya saling bertaut satu sama lain untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar.

“Mama nggak tahu, Dalia! Kamu juga jangan bikin Mama pusing!” Ibunya membentak dengan suara tinggi.

Dalia kecil belum bisa memahami perasaan yang memenuhinya saat ini. Marah, kesal, sedih, dia tidak bisa menjelaskannya. Dalia tidak tahu harus mulai dari mana. Ibunya mengetahui bahwa Ayahnya selingkuh dan lebih memilih untuk tinggal bersama perempuan selingkuhannya.

Jika Ayah tidak mencintai Mama, kenapa mereka menikah?

Apakah Dalia dan Mama tidak cukup membuat Ayah senang?

Jadi, setelah ini Dalia tidak akan punya Ayah?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi dirinya. Dalia sudah bisa membaca dengan lancar di tahun ke duanya duduk di bangku sekolah dasar. Beberapa lembar dokuman perceraian tergeletak begitu saja di atas meja, yang dengan mudahnya terbaca oleh Dalia. Meskipun dia tidak terlalu paham apa yang dimaksud dengan perceraian. Melihat ada kata pisah terselip di antara banyak kata lain yang tercetak di sana, Dalia memahaminya dengan sangat baik.

***

Mata bulat Dalia menatap bingung ke luar jendela. Di luar hujan turun dengan derasnya. Ibunya berdiri dengan pisau di tangan. Tatapan bingung itu langsung berubah histeris kurang dari sepuluh detik, warna merah memenuhi penglihatannya. Ibunya dengan sengaja menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau beberapa kali.

Dalia buru-buru berlari keluar rumah. Ibunya sudah terjatuh tidak sadarkan diri di tanah yang basah bercampur lumpur.

“Tolong!” pekik Dalia.

Dia tidak peduli apakah itu tengah malam atau dini hari. Tangan yang belum benar-benar sampai menyentuh telinga ketika melingkar di atas kepala, tidak akan sanggup mengangkat tubuh orang dewasa.

“Tolong! Tolong!” Dalia tidak berhenti berteriak.

Mulai dari tetangga di sebelah kanan rumahnya yang muncul lebih dulu. Masih dengan memakai daster, setelah melihat apa yang terjadi, dia buru-buru masuk kembali ke dalam rumah dan memanggil suaminya.

Tidak lama, orang-orang mulai berdatangan untuk membantu mengangkat tubuh yang sudah tergolek lemas di tanah yang basah. Dalia yang sangat bingung sampai lupa untuk menangis. Dia hanya memandangi Ibunya yang dimasukkan ke salah satu mobil warga untuk di bawa menuju ke Rumah Sakit. Wajahnya tidak kalah pucat seperti Ibunya.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke Rumah Sakit. Ketika sampai di lobi UGD, beberapa perawat langsung berhamburan keluar UGD untuk membantu menurunkan tubuh Ibunya dari dalam mobil ke ranjang bergerak rumah sakit.

Dalia mengikuti ke mana perginya para perawat membawa Ibunya. Perawat-perwat terlihat sangat kebingungan. Mereka sadar bahwa darah yang keluar sangat banyak itu bukan hanya berasal dari pembuluh darah tangan yang teriris, melainkan dari bagian bawah organ kewanitaan juga.

“Sepertinya Ibu ini juga sedang hamil.” Ujar salah seorang perawat perempuan yang memeriksa daster yang dipakai oleh ibu Dalia.

Hamil? Dalia akan punya adik? 

“Tapi sepertinya Ibu ini sengaja ingin menggugurkannya. Lihat, perutnya agak lecet.”Ucap perawat yang lain.

“Adik kecil, ikut saya dulu ya.” Tiba-tiba orang berjas putih muncul entah dari mana dan langsung menggendong Dalia, membawanya ke luar dari UGD.

***

Terlalu banyak yang terjadi dalam satu waktu. Dalia kecil sulit untuk menerima jika Ibunya harus pergi meninggalkan dirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tidak ada yang memberinya penjelasan tentang bagaimana dia harus hidup tanpa Ibu, dan  Ayah yang sudah memiliki keluarga baru.

Orang-orang untuk kesekian kalinya menatap ke arah Dalia dengan iba. Gadis kecil harus menjadi sebatang kara karena Ayahnya yang memilih untuk menikahi perempuan simpanannya. Lalu ibunya benar-benar meninggal setelah mencoba membunuh bayi dalam kandungannya dan percobaan bunuh diri.

“Anakku sudah ada tiga, jadi aku tidak mungkin mengurusnya.” Samar-samar terdengar sebuah suara yang sangat dikenal oleh Dalia.

Apakah Dalia akan tinggal di panti asuhan?

Bahkan Ayahnya tidak datang hanya untuk melihat keadaan anaknya yang baru saja ditinggal Ibunya pergi untuk selamanya.

“Dalia jangan takut, nanti ikut Bunda ya...” suara menenangkan seorang Ibu yang sangat Dalia rindukan. Sayangnya suara itu tidak muncul dari Ibunya sendiri. “Dalia nggak sendirian, ada bunda di sini.”lanjutnya seraya mendekap Dalia erat.

Dalia merasa seluruh jaringan di tubuhnya lemas. Matanya berkaca-kaca, lalu dia mulai menangis dengan sangat kencang, sampai-sampai membuat para pelayat yang berdatangan terkejut. Sudah sejak lama Dalia menahan semua rasa sakit, emosi dan kesedihan. Akhirnya ketahanan gadis berusia 8 tahun itu runtuh.

“Kenapa Ayah tinggalin Mama untuk perempuan lain?! Kenapa Mama juga bikin adek mati, terus ninggalin Dalia?! Dalia salah apa, Ma?! Dalia salah apa, Yah?!” tangis Dalia tidak terbendung. Sambil sesegukan dia meluapkan segala hal yang selama ini dia pendam. “Dalia sayang sama Ayah, sayang sama Mama juga! Kenapa kalian tega ninggalin Dalia?!”

Ibu panti yang disapa bunda itu berusaha menenangkan Dalia yang tidak berhenti menangis. Suara teriakannya membuat para Ibu yang hadir merasa kasihan dan tercabik oleh tangisan anak kecil yang tidak siap untuk hidup sendiri tanpa orang tua.

Dalia tertidur setelah puas menangis dan suaranya serak karena terlalu banyak berteriak. Bunda tidak melepaskan gendongannya. Bahkan sampai acara pemakaman selesai dan semua pelayat pulang.

***

Kehidupan Panti tidak mudah. Meskipun Dalia kecil sudah terbiasa mengerjakan segalanya secara mandiri, baginya hidup di Panti dengan banyak anak-anak lain yang memiliki sifat berbeda-beda membuatnya sulit bergaul. Dalia juga tahu bahwa tinggal di Panti Asuhan tidak akan mudah. Seperti di dalam buku-buku yang pernah dia baca. Meskipun Ibu panti yang disapa ‘Bunda’ sebagai ketua panti sangatlah baik hati, tapi pengurus panti ada beberapa orang lagi. Tidak semua dari mereka adalah penyayang anak-anak. Separuh dari mereka terpaksa harus mengurus panti karena membutuhkan pekerjaan.

“Dulu kamu tidak pernah menangis, kecuali ketika bunda menggondongmu untuk pertama kalinya, dan ketika Bu Vony dan anaknya yang tampan namanya...” Ibu Panti menghentikan kalimatnya ketika dia tidak bisa mengingat nama yang ingin dia sebut.

“Namanya Kak Daniel, Bun.”

“Padahal kalau kamu nggak ganti nama, nama kalian akan sama. Daniel dan Dalia.” Ujar Ibu Panti terkekeh.

“Panggil aku Stella, Bun. Doakan aku tetap kuat.”ujar Stella seraya memeluk tubuh satu-satunya manusia yang memeluknya dulu ketika Stella tidak punya siapapun untuk dipeluk.

“Doa Bunda selalu bersamamu, Nak.”

***

>Jangan lupa vote ceritaku ya.. tinggalkan komentar dan kritik kalian juga. Thank You.

CHAPTER 2 - DANIEL PUNYA ADIK

Anak laki-laki yang merengek itu bernama Daniel. Usianya baru saja menginjak 10 tahun beberapa hari yang lalu. Dia baru saja menodong Papa dan Mamanya untuk memberikan hadiah yang selalu dia inginkan sejak dulu. Seorang saudara yang dapat menemaninya di rumah yang sangat besar dan penuh pelayan ini.

Tentu saja hal itu tidak mungkin bagi Vony Wijaya setelah beberapa tahun lalu harus menjalani operasi pengangkatan rahim. Baik Prakash maupun Vony telah menjelaskan hal itu berulang kali kepada putra mereka satu-satunya itu.

“Ma, Daniel tadi ketemu anak kecil...”

“Kamu juga masih kecil, Daniel.” Ucap Papanya menyela sembari berusaha menyembunyikan tawanya di balik koran yang sedang dia baca.

“Papa, ihh.” Daniel mendengus kesal.

“Yaudah lanjutin.” Ujar Mamanya seraya menambahkan beberapa lauk ke atas piring putranya yang sedang merengek.

“Jadi, kemarin Daniel minta Mang Ujang untuk ambil jalan memutar yang lebih panjang. Terus ya, Mama tahu nggak sih?”

“Mama ngga tahu, Daniel...kan kamu belum selesai cerita.” Sergah Papanya lagi lalu kembali terkekeh.

Daniel menatap ke arah papanya itu dengan kesal, “Papa ya, motong pembicaraan Daniel sama Mama.” Ujarnya seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.

Mamanya tersenyum sembari membelai lembut anak-anak rambut putranya itu. Dia berusaha menengahi suaminya yang senang sekali menggoda putra mereka.

“Ceritain ke Mama, Daniel lihat apa, ketemu siapa.” Ucap Mamanya.

“Daniel berhenti di toko jajanan murah, tapi karena Mama nggak kasih Daniel uang saku, Daniel nggak beli apa-apa.” Ucap Daniel melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong.

“Oh, jadi Daniel mau protes ke Mama nih kerena nggak dikasih uang saku?”

Bu Vony langsung mencubit lengan suaminya sambil matanya menatap tajam ke arah suaminya.

“Ayo lanjutin, Nak...” Ujar Mamanya sambil sekali lagi melotot ke arah suaminya yang tidak sanggup menyembunyikan tawanya.

“Terus ada anak kecil, dia kasih setengah jajannya buat Daniel. Dia cantik banget, Ma. Tapi...” Daniel menghentikan kalimatnya sejenak. “Wajahnya pucat dan sedih sekali, Ma...”

Pak Prakash baru akan menyela obrolan anaknya lagi, namun mengurungkan niatnya karena tiba-tiba ekspresi putranya itu berubah menjadi serius.

“Dia anak Panti Asuhan yang jaraknya nggak jauh dari toko jajan, Ma. Ketika dia balik ke Panti lagi, sisa setengah jajannya dia kasih ke anak Panti yang lain.” Jelas Daniel dengan suara pelan nyaris tidak terdengar.

Pasangan suami-istri Prakash dan Vony saling tatap beberapa saat. Setelah mendengar cerita itu, mereka langsung memiliki satu pemikiran yang sama.

***

Daniel dengan sangat senang hati langsung menerima ide dari Papa dan Mamanya. Prakash memutuskan untuk mengadopsi gadis kecil yang ditemui oleh putra mereka saat itu. Butuh waktu bagi mereka untuk benar-benar yakin dengan keputusan untuk mengadopsi anak. Vony juga sangat berhati-hati mengambil langkah. Dia tidak serta-merta langsung memboyong gadis kecil yang akan menjadi adik bagi Daniel. Dia secara rutin seminggu sekali datang ke panti asuhan selama enam bulan penuh sebelum akhirnya mantap mengikuti naluri keibuannya.

Surat-surat legal adopsi telah rampung diurus. Pasangan Wijaya ini tidak ingin suatu saat mereka harus kehilangan hak asuh putri mereka hanya karena keteledoran dokumen. Semua dipersiapkan secara matang. Bahkan Vony yang sangat excited selalu membawa pulang banyak baju anak perempuan di banyak kesempatan. Begitupula Prakash, dia mulai mempelajari banyak buku-buku mengenai psikologi anak.

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Prakash dan Vony menjemput putri mereka dari panti asuhan menuju ke kediaman mereka. Daniel yang menunggu di rumah membantu pelayan menyiapkan segala keperluan untuk menyambut adik barunya itu. Dia memerintah para pelayan untuk memanggang kue, lalu menata ulang mainan-mainan yang ada di ruang bermain.

“Daniel sayang!” panggil mamanya dengan suara lantang dari arah pintu depan.

Suara langkah kaki mulai terdengar makin dekat ke ruang tamu. Daniel tak ubahnya mobil yang dipacu kencang lalu mengerem mendadak. Dia telah menantikan momen ini sejak lama.

“Hi, Stella. Selamat datang di rumah.” Ujar Daniel riang.

Gadis yang telah secara resmi mengganti namanya dari Dalia Artanti menjadi Stella Vokash Wijaya, tiba-tiba tidak sanggung membendung air matanya. Dia menangis sejadi-jadinya. Daniel yang panik langsung memeluk adik perempuannya itu.

Vony dan Praksh sadar. Mereka telah mendidik putra mereka dengan baik selama ini. Daniel tumbuh menjadi anak yang penyayang. Mereka yakin, Daniel dan Stella akan tumbuh bersama menjadi kakak-beradik yang rukun.

***

Dua pasang sepatu baru saja mendarat dengan sangat epik di atas genteng gazebo di samping kolam renang. Disusul baju seragam batik yang sengaja diterbangkan ke tengah-tengah kolam renang. Dua remaja beda usia dua tahun, berlarian mengitari tepi-tepi kolam. Hampir setengah jam lebih mereka membuat para pelayan kebingungan.

“Kak Daniel aku bilangin ke Mama, ya...”

“Terserah. Nanti aku juga bakal bilang ke Papa dan Mama kalau kamu pacaran di sekolah.”

Stella berhenti mengejar kakanya itu. Dia mengernyitkan dahi, “Huh? Siapa yang pacaran?” tanyanya kemudian.

“Aku lihat kamu ciuman sama Austin, teman sekelas kakak yang blasteran Australia itu.” Jawab Daniel seraya berhenti berlari ketika melihat Papa dan Mamanya sudah berdiri di belakang Stella.

“Siapa yang ciuman?” tanya Pak Prakash tanpa menyapa terlebih dahulu ke kedua anaknya itu.

Bu Vony mendekati Stella, memegang bahunya kemudian membuatnya berbalik. Kini mereka saling menatap lurus satu sama lain.

“Mama kan udah bilang, nggak ada pacar-pacaran pas SMA!” Ujarnya tegas.

Daniel yang memicu topik ciuman, berdiri di seberang kolam dengan perasaan bersalah.

“Stella nggak pacaran sama siapa-siapa, Ma. Stella juga nggak ciuman sama siapa-siapa.” Ucap Stella menimpali.

“Terus tadi di Sekolah kamu sama Austin ngapain di dekat pintu masuk kantin?” tanya Daniel.

Stella menghela napas panjang, “Itu si Austin nggak sengaja bikin mata aku kelilipan.” Jawab Stella.

“Ah! Pantesan pas tadi Daniel pukul si Austin, dia bingung kayak ngga mau ngaku gitu.” Ujar Daniel lirih.

Tidak hanya Stella, Mama dan Papanya pun ikut kaget mendengar pengakuan Daniel. Belum sempat Papa dan Mamanya mengomel panjang lebar atas perbuatannya, suara ponsel mengalihkan obrolan mereka.

Prakash mengambil ponsel dari dalam saku celana, kemudian melihat nama yang muncul di layar. “KEPALA SEKOLAH UK INTERNATIONAL SCHOOL”. Dia menghela napas panjang sudah bisa menebak apa yang akan didengarnya setelah ini. Tidak berhenti sampai di situ. Ponsel miliki Vony juga berdering. Kini giliran Mamanya yang harus meminta maaf ke Orang Tua Austin.

“Kamu harus bicara sama Papa dan Mama nanti.” Ucap Mamanya sambil menatap tajam ke arah Daniel.

Sementara orang tua mereka sibuk menelepon, Stella menghampiri kakaknya yang berada di seberang kolam. Dia tersenyum sambil menatap kakaknya.

“Overprotective banget sih.” kata Stella, menggoda kakaknya.

Daniel tidak terprovokasi, dia menimpali serius perkataan Stella. “Aku nggak akan ngebiarin siapapun nyakitin kamu, Stell.”

“Memangnya seseorang bisa tersakiti hanya karena pacaran dan ciuman?” tanya Stella bingung.

Tiba-tiba saja Stella teringat tentang Ayahnya. Perselingkuhan Ayahnya terbongkar karena sang Ibu melihat suaminya itu berciuman dengan wanita lain. Setiap memikirkan tentang hubungan romantisme, Stella menjadi emosional dan kesal. Pacar dan ciuman. Rasanya semua itu masih sangat jauh di dasar list hal yang ingin dilakukannya.

“Anyway, thank you, kak.” Ucap Stella tulus.

Daniel tersenyum sembari mengusap-usap pelan rambut adiknya.

“Daniel, Stella, kalian ngapain cengar-cengir di sana?!” Teriak Papanya dari kejauhan. “Kalian berdua ikut Papa.”

“Iya, Pa.” Jawab mereka bersamaan.

***

>Jangan lupa vote ceritaku ya.. tinggalkan komentar dan kritik kalian juga. Thank You.

CHAPTER 3 - RENCANA BALAS DENDAM

Diam bukan berarti tidak merasakan apapun.

Menganggukpun belum tentu jawabannya, iya.

Hati manusia menyimpan lebih banyak dari yang terucap.

Belum genap sebulan setelah kepulangannya dari Australia, Stella sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan acara amal yang diadakan oleh perusahaan milik orang tuanya. Empat tahun sudah Stella meninggalkan Indonesia untuk menempuh studinya. Bumi seolah berputar lebih cepat dari yang bisa Stella bayangkan, meskipun sebenarnya tidak.

Tok!Tok!

Suara ketukan pintu mengalihkan fokus Stela. Dia buru-buru membukan pintu di belakangnya dan mempersilahkan Daniel masuk.

“Stell, kamu kenapa sih?” tanya kakaknya dengan nada kesal.

Ah! Pasti Mama dan Papa telah memberitahu Daniel bahwa aku menolak posisi Direktur di corporate support planning. Stella mengambil posisi duduk di atas kasur sambil bersandar pada bantalan tempat tidurnya.

“Aku ingin belajar dari bawah.” Jawab Stella bohong. Alasan yang membuatnya menolak posisi strategis yang ditawarkan orang tuanya adalah, dia ingin menyelesaikan permasalahan masa lalu yang masih mengganjal di hatinya hingga saat ini.

“Kamu sudah lebih dari mumpuni, Stel.” Ujar kakaknya lagi, sembari merengsek duduk di samping Stella.

“Data pegawai yang aku minta kapan lalu, sudah ada?” Stella berusaha mengalihkan pembicaraan.

Daniel mendengus kesal. “Sekretarisku bilang, dia sudah kirim semua datanya ke email-mu, kemarin.”

“Aww! Thank you, kak.” Ucap stella seraya memeluk tubuh kakaknya untuk sepersekian detik.

“Aku juga sudah atur agar hanya orang-orang tertentu yang mengetahui bahwa kamu adalah Stella Vokash.”

Stella sigap memeluk tubuh kakaknya lagi, “Thank you banget, kak.”

“Tapi...” Daniel menatap lurus langsung ke mata adiknya itu.

Stella menunggu kata selanjutnya dengan cemas.

“Aku berhasil ngobrol sama Papa, tapi sepertinya Mama tetap tidak setuju. Sepertinya kamu harus persuasi Mama lagi.” Jelas Daniel.

Tidak mudah memang menjadi anak dari pasangan pengusaha sukses. Tuntutan menjadi penerus kerajaan bisnis mereka dan memilih pasangan ideal yang sesuai dengan kemauan orang tua mereka. Daniel sudah menduduki posisi penting di dalam kerajaan bisnis orang tuanya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai dia mengambil tahta tertinggi sebagai pemilik utama sekaligus Direktur group.

Stella sudah membayangkannya sejak diangkat menjadi anak dari pasangan Prakash dan Vony Wijaya. Berada dalam lingkaran strategis bisnis orang tuanya membuat Stella mati-matian menjadi yang terbaik sejak saat itu. Beasiswa untuk sekolah management dan bisnis di luar negeri, Stella mendapatkannya secara penuh tanpa bantuan dari Mama dan Papanya.

Aktualisasi diri sangat penting bagi Stella, dia tidak ingin berakhir seperti Ibu kandungnya dulu. Ditinggalkan karena ada wanita lain. Dia akan membuat pelakor yang telah merusak keluarganya dulu, merasakan kepedihan yang sama seperti yang pernah dialaminya.

Mudah bagi Stella untuk membayar informan-informan terpercaya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang dia inginkan tentang pelakor yang dulu membuat hidupnya sengsara. Informasi yang menarik untuk Stella saat ini adalah Sarah. Anak perempuan satu-satunya hasil pernikahan Ayah kandung Stella dengan si pelakor.

“Kak Daniel nanti bantuin Stella ngobrol sama Mama, ya?” Ucap Stella setengah merengek.

Sejak mereka bersama, bagi Daniel, Stella adalah prioritas utamanya. Dia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan adiknya itu. Apapaun yang Stella minta, jarang sekali tidak bisa diwujudkan oleh Daniel.

“Iya, nanti kakak bantu.” Ujar Daniel menimpali.

***

Malam baru saja menutup siang dengan munculnya bintang di langit kota yang temaram. Stella dan Daniel duduk tegang sejak dua puluh menit yang lalu melingkar di meja makan. Tidak ada yang berani berbicara. Bahkan Prakash pura-pura sibuk dengan daging di piringnya. Istrinya sedang memberikan petuah-petuah untuk anak-anak mereka yang sebenarnya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri.

“Mama cuma pengen kamu nggak kesulitan, sayang. Kerja di kantor pusat aja ya, nanti kamu berangkat bareng Daniel.” kata Vony berusaha persuasif terhadi putrinya itu.

“Nanti Stella bakalan tetep ke CSP kok, Ma...” Ujar Stella lirih. “Stella pengen belajar banyak hal lain juga sebelum duduk di kursi itu,” lanjutnya.

“Memangnya kursi di CSP kenapa, Stel?” Tanya Papanya bercanda.

Vony yang melihat suaminya yang iseng, mengarahkan tatapan tajam.

“Udahlah Ma, biarin aja kenapa sih Stella kerja dulu di Everyday Beverage. Toh Mama juga bisa dateng ke sana kapan pun Mama mau.” Daniel kembali mempersuasi Mamanya.

Daniel dan Stella benar-benar di ambang putus asa. Tidak mudah mempengaruhi Mamanya.

“Oke, tapi kamu jangan lupa pulang setiap akhir pekan ya.” Ujar Mamanya sembari menyendok nasi di depannya.

Daniel dan Stella tidak bergeming. Mereka berdua masih mencerna apa yang di ucapkan Mamanya. Tidak lama kemudian, mereka sigap bangkit dari kursi dan mencium pipi Mamanya.

Vony meletakkan sendok dan garpunya kemudian mengelus pipi kedua anak kesayangannya itu.

“Papa gimana?”

Daniel dan Stella saling pandang.

“Papa nggak kita ajak.” Ucap Stella sembari kembali memeluk Mamanya.

Dewi fortuna benar-benar sedang berpihak pada Stella. Jalannya untuk bisa membalaskan dendam masa lalunya dipermudah dari banyak sisi.

***

Tidak mudah memiliki adik perempuan. Daniel tidak pernah bisa menolak permintaan adiknya, termasuk untuk ikut ke acara ulang tahun salah satu teman dekatnya. Meskipun sebenarnya Stella tidak benar-benar tertarik untuk datang ke pesta itu. Satu-satunya yang membuat dia ingin ikut adalah, mencari seluas-luasnya informasi dan apapun yang bisa dia gunakan untuk membalas dendam.

Mobil sedan Daniel memasuki lobi hotel. Beberapa orang berpakaian jas hitam langsung mendekatinya. Daniel meminta adiknya itu untuk turun ketika salah seorang pegawai hotel berpakaian hitam membukakan pinttu untuknya. Daniel mengikuti tidak lama setelah itu.

Langkah kaki mereka bergerak menuju lobi utama hotel. Di sana sudah ada pegawai yang dipersiapkan untuk menyambut tamu-tamu yang akan menuju ke ballroom hotel.

“Selamat malam, sir.” Sapa sang pegawai perempuan dengan ramah.

Daniel hanya mengangguk. Kemudian menggandeng tangan adiknya yang hampir bergerak ke arah yang berlawanan. “Acara Noah Colin Finlay.” Ucapnya singkat.

“Sebelah sini, sir.” Pegawai hotel menuntun Daniel dan Stella berjalan di lorong hotel menuju ke arah Ballroom.

Tidak sampai lima menit, mereka sampai di pintu utama Ballroom. Pegawai lain yang berdiri di pintu masuk membukakan pintu untuk mereka. Daniel tidak lupa mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya masuk ke dalam Ballroom dengan tetap menggandeng tangan adiknya.

Stella yang sejak tadi tangannya terus digenggam oleh kakaknya terlihat pasrah. Orang tuanya memang cukup protektif pada Stella. Bahkan dia tidak pernah meminum alkohol, meskipum itu hanya wine. Pasangan Prakash dan Voni wijaya tidak akan membiarkan anak perempuan mereka pergi ke acara-acara malam tanpa pengawasan. Jika Daniel tidak bisa menemani, Prakash akan terjun langsung untuk menemani putri kesayanganya itu.

“Noah yang mana?” tanya Stella sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Sepertinya dia sedang menyapa tamu dengan orang tuanya. Kita cari tempat duduk kita dan menunggunya menghampiri kita saja.”Jelas Daniel seraya menggandeng tangan Stella menuju ke salah satu meja bundar yang telah bertuliskan nama ‘Daniel Vokash Wijaya’. Stella tidak mendebat kakaknya dan terus saja mengekor ke mana dia dituntun.

Seisi Ballroom telah dipenuhi oleh sekitar dua ratus orang. Meja-meja bundar yang sudah dihias dengan taplak putih dan bunga segar ditata rapi . Meja-meja itu juga sudah diberi nama agar memudahkan tamu undangan untuk menentukan tempat di mana mereka harus duduk. Acara ulang tahun yang benar-benar mewah.

Stella tidak bisa berhenti berdecak kagum, meskipun dia juga pernah mendapatkan pesta yang semeriah ini di ulang tahunnya yang ke-17. Dia senang melihat bunga-bunga segar memenuhi Ballroom.

“Kita di sini.” Ujar Daniel seraya menarik kursi agar Stella bisa duduk.

Stella masih sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling hingga dia menangkap sosok tidak asing yang sangat menancap dalam ingatannya. Sosok perempuan yang berdiri sambil menggantungkan tangannya di lengan Noah.

Sekarang aku tahu, aku harus mulai dari mana. Stella terus memperhatikan gerak-gerik perempuan yang bergelanyut mesra pada Noah.

***

>Jangan lupa vote ceritaku ya.. tinggalkan komentar dan kritik kalian juga. Thank You.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!