Belenggu Cinta Berbalut Dusta

Belenggu Cinta Berbalut Dusta

Berpamitan

"Ibu Bapak, bolehkah saya ajak dik Aina ke kota," ucap Mahardika Najib pada orang yang duduk di depannya. Orang tua yang kini sudah memasuki usia senja, dengan tubuh ringkih dan rambut sudah sempurna memutih.

"Dia istrimu, sudah hakmu membawa dia kemana pun kamu pergi."

"Bapak ...." Wanita berjilbab di sampingnya memandangnya sendu, ada rasa sedih tersembunyi di balik ketenangannya.

Bukannya ia tak mau mengikuti lelaki yang kini menjadi suaminya, tapi ada keraguan yang kini masih mengganjal di benaknya. Tentang siapakah dia sebenarnya.

Tak banyak yang disampaikan orang tuanya saat menjelang Najib mempersuntingnya. Mereka hanya berkata,

"Nduk, dia putra sahabat sekaligus atasan bapak dulu saat di rantau. Keturunan baik-baik dan sudah mapan. Kurasa tak ada alasan bapak untuk menolaknya."

"Bapak, tapi Aina belum pernah berfikir ke arah sana. Aina masih ingin berbakti sama Bapak Ibu."

Pak Rokhman menghela nafas lalu tersenyum.

"Bapak ini sudah tua. Satu kewajiban bapak yang belum terpenuhi, menikahkanmu dan melihatmu bahagia. Kamu mau menolong Bapak untuk memenuhi kewajiban Bapak, bukan?"

Setelah berdiam cukup lama, dengan terpaksa Aina menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih, Nduk. Kamu telah menolong Bapak."

Pernikahan itu pun berlangsung. Kini dia telah sah menjadi istri. Tapi rasanya masih enggan untuk menerimanya sebagai suami sepenuhnya. Mungkin karena sampai saat ini belum tumbuh rasa di hatinya.

Aina masih menunduk, diam tak bersuara. Bingung dengan apa yang dipikirkannya. Andai dia boleh memilih, bolehlah menikah tapi jangan dipisahkan dari Bapak ibunya. Menemani mereka sampai akhir hayat. Namun tak baik juga kalau dia menolak suaminya untuk hidup bersama dalam satu rumah.

"Bapak, Aina bingung."

Lelaki tua yang duduk di depannya itu pun menghela nafas panjang.

"Nduk ... Suamimu lebih berhak. Ikuti dia ... Apa kata orang jika melihat kamu dan suamimu hidup berjauhan. Tak inginkah kamu melihat Bapak ibumu ini tenang?"

"Sudah ada adikmu, Rosyid di sini, kamu nggak usah khawatir. Sudah pergilah, hargailah dia yang sudah menyayangimu," Wanita yang duduk di samping Bapaknya itu mendesaknya pula.

"Baiklah, Aina akan ikut Mas Najib."

"Nah gitu anakku. Biar ini jadi pahala yang tak terkira buat kita sebagai orang tua karena membimbing anaknya untuk bisa berbakti pada suami. Sudah jangan pikirkan kami. Kamu bahagia, Bapak Ibu pasti ikut bahagia."

"Aina akan siap-siap dulu, Bapak Ibu."

"Iya, Sana. Bapak Ibu juga mau menyiapkan dagangan untuk besok."

Ada senyum bahagia yang tergambar di wajah Bapak Ibu Rohman. Mereka merasa tenang setelah Aina mau menuruti keinginan mereka dan suaminya. Pergi ke kota, tempat Najib tinggal dan membangun usaha.

Mereka segera beranjak pergi ke dapur dengan hati lebih baik saat ini. Untuk mempersiapkan olahan yang akan mereka jual esok hari.

Sedangkan Aina diikuti suaminya segera bangkit juga dari tempat duduk, menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar tamu. Kamar yang tak seberapa besar dan sederhana, namun rapi dan menyimpan banyak kenangan.

Tiba di ruangan itu, dia tidak menuju almari atau tempat yang menunjukkan tempat penyimpanan barang lainnya, melainkan menuju tepi ranjang yang tak seberapa besar namun cukup untuk tidur berdua. Duduk termenung, diam tanpa suara.

"Aina Aulia Mecca, Sayang. Maafkan Mas ya..." Bisikan lirih, lembut, merayu dari seorang Najib di telinga istrinya yang terlihat teramat manis di matanya.

Tak ada reaksi, dia masih tetap diam, bahkan kini wajahnya semakin sendu. Sepintas dia melihat lelehan bening di sudut mata istrinya.

"Menangislah, asal jangan kamu ubah keputusanmu, Sayang." Dia mendekap Aina di dadanya.

"Entahlah, Mas. Aina benar-benar masih berat."

"Kalau kamu berat, lalu mas harus bagaimana. Masak kamu tega, membiarkan mas kesepian. Beristri tapi seolah-olah masih sendiri, nggak ada teman untuk bercerita atau sekedar bercanda. Kalau belum siap 'disentuh', mas maklum kok. Karena kita masih saling belajar mencintai. Ya ... anggap saja pacaran. Kan asyik ... Lagian mas nggak buru-buru, harus gini harus gitu. Yang penting jangan tinggalkan Mas."

Rasanya sudah lebih baik sekarang, setelah bisa meluapkan emosinya di dada suami. Ada desiran rasa bahagia menyapu jiwanya dengan sikap Najib, suaminya yang lembut dan cukup pengertian dengan kemanjaannya.

Tak ada salahnya jika mulai sekarang, dia memberikan kepercayaan penuh padanya.

Aina menarik kepala dan mengusap air matanya yang tersisa. Dia tersenyum, ingin turun tapi masih enggan.

"Sudah, mana tasmu? Mas bantu ambilkan."

Dia berdiri menengok ke atas lemari, namun tak ditemukan barang itu.

"Di dalam lemari sepatu, bagian atas."

"Oh ...."

Dia segera menuju tempat itu, lalu mengeluarkan sebuah tas yang masih terlipat rapi.

Sementara Aina menuju lemari pakaian, memilih-milih baju yang pantas untuk dibawa.

"Nggak usah dibawa semua. Seperlunya saja. Kalau kurang, nanti mas belikan di sana."

"Enggak ah ... Aku nggak suka kalau beli jadi, sering nggak cocok ukurannya. Enakkan jahit sendiri."

"Bagus itu," jawabnya sambil membenahi tas agar siap digunakan.

Dia melihat tumpukan baju yang baru Aina keluarkan.

"Ini semua kamu bikin sendiri?"

"Hehehe ... iya. Jangan di hina ya ...."

"Bagus kok. Pemilihan warnanya juga bagus."

"Kamu desain sendiri?"

Aina tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Masyaallah, mas baru tahu kalau istri mas punya sesuatu yang luar biasa."

Tak semua baju dia bawa. Ada beberapa lembar yang sengaja ditinggalkan untuk jaga-jaga sewaktu-waktu ingin pulang dan menginap. Jadi tak perlu repot lagi.

Semua baju sudah Aina masukkan, tas juga sudah tutup rapat. Lalu dia meletakkannya tas itu di dekat meja rias kecilnya.

"Mas tidur dulu ya ... Aku mau bantu ibu."

"Dengan mata seperti itu?"

Matanya masih tampak sembab, bekas tangisannya juga belum hilang.

"Iya dech ... Aina cuci muka dulu."

Sikapnya yang malu-malu pergi darinya, membuatnya tersenyum sendiri. Aina Aulia Mecca, istriku ....

Lalu dia pura-pura tidur sebelum Aina keluar dari kamar mandi.

Aina memandang ke arah tempat suaminya yang tertidur, dia tersenyum. Tak sangka kalau suaminya begitu cepat membangun mimpi.

"Aina bantu ibu dulu, Mas." Dia berbisik lirih dengan memandang wajah yang kini tampak tenang.

Andai bukan karena pura-pura, mungkin dia sudah menjawab, "Iya, Sayang." Kini dia hanya bisa menjawabnya dengan kerlingan mata di balik matanya yang tertutup.

Saat Aina membuka pintu, dia juga masih melihatnya. Dia tersenyum simpul menatapnya pergi dari sudut matanya yang pura-pura tertidur.

Tak lama berselang, Najib merasakan handphone-nya bergetar.

"Assalamualaikum, ada apa Mbok?"

"Maaf, Den. Nona Iza sakit."

"Sheza kemana?"

"Den Sheza pergi sejak sore."

Sheza ... Sheza ... Kapan kamu peduli dengan putrimu, bisik lirih batin Najib.

Terpopuler

Comments

Sriza Juniarti

Sriza Juniarti

semangat kk
maaf baru mampir👍💕🥰🥰

2024-02-10

0

Conny Radiansyah

Conny Radiansyah

Najib ga jujur ...

2022-09-06

0

Nafiza

Nafiza

aku mampir Thor...

2022-08-18

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 69 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!