Dengan darah dagingnya sendiri tak ada rasa, apalagi dengan aku yang sekedar suami di atas kertas. Jangan berharap untuk mendapat pengakuannya.
Najib terus saja menggerutu. Rasa kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai handphonenya dia lempar.
Buk ... Handphone itu jatuh di rerumputan taman yang tebal. Untung saja tidak jatuh di lantai. Bisa dibayangkan, bisa rugi dong ... Handphone terbaru, canggih, limited edition. Dan yang terpenting masih banyak email yang belum sempat dibacanya. Bisa-bisa gulung tikar beberapa perusahaan yang dipimpinnya. Terutama perusahaan papa Arya yang dipercayakan padanya.
Tak urung juga dia mengambilnya kembali, menuliskan pesan seperti yang diminta oleh Sheza. Saabaaaaaaar ... Sesabar menunggu balasannya. Yang pasti tidak sekarang, tapi esoknya. Astaghfirullah al adzim ...
Tak usah geleng kepala atau ngelus dada. Sudah capek, terlalu sering.
🌟
“Mama ....”
Mata Aina seketika membuka, mendengar suara lirih dari gadis yang terbaring di depannya. Terlihat matanya masih terpejam. Rupanya dia sedang mengigau.
Kembali dia usap wajah gadis itu dengan lembut, dan juga meniup ubun-ubunnya dengan disertai doa, agar dia kembali terlelap.
Bukannya terlelap, bahkan perlahan-lahan matanya terbuka. Sentuhan yang dia berikan membuatnya terjaga. Dia nampak bingung.
“Tante siapa?”
Haruskah aku berterus terang, kalau aku istri lelaki yang dipanggilnya papa itu. Namun suaranya yang lemah membuat diriku tak kuasa mengatakan yang sebenarnya. Biarlah Mas Najib yang akan menjelaskannya nanti.
“Tante temannya Papamu.”
“Oooo ... “Dia seperti mengalihkan pandangannya. Terlihat kekecewaan di wajahnya.
Apakah dia tidak menyukai kehadirannya?
Aina tersenyum. Dia bisa memakluminya. Tak mungkin, dia serta merta dapat menerima dirinya, walaupun dia bermaksud baik, menemaninya saja, tidak ada yang lain.
“Mana Papa. Apa dia pergi lagi.” Dahi Aina berkerut. Sebegitu tergantungnya kah gadis ini pada suaminya?
Entahlah, dalam hati kecilnya Aina merasa ada sesuatu yang sampai saat ini sulit dikatakan Najib kepadanya. Apapun itu, tidak seharusnya dia membenci gadis kecil ini.
“Tidak. Itu dia.” Aina menggeser tubuhnya sedikit, agar Iza bisa melihat Najib yang kini sedang tidur di sofa.
“Alhamdulillah ...” ucapnya lirih. Terlihat binar matanya samar bercahaya.
“Tante ....” Dia nampak meringis menahan sesuatu, “Mana Mbok Minah?”
“Ya, Iza mau pipis?”Dia mengangguk pasrah.
“Sudah, sama tante saja. Nggak apa-apa kok.”
Tanpa banyak penolakan dia pun duduk dengan dibantu oleh Aina. Lalu turun dari ranjang berjalan menuju kamar kecil yang ada di ruangan itu. Infus masih dibawa oleh Aina sampai dia masuk ke kamar mandi. Aina cukup telaten membantunya dalam menyelesaikan hajatnya, hingga bersih sampai kembali lagi ke tempat tidur.
Setelah berbaring dia tidak langsung tidur. Matanya menerawang, terlihat sedang menyimpan kesedihan.
“Ada apa?” tanya Aina dengan lembut.
“Ingin rasanya Iza mempunyai Mama seperti tante. Yang ada saat Iza sedang sakit ataupun sedih. Atau ada saat Iza membutuhkan. Tante baik banget sama Iza.”
Aina tersenyum. Dia pun membelai lembut gadis itu.
“Kalau Iza mau, boleh panggil Tante, mama. Tante nggak akan melarang. Justru tante senang.”
“Benarkah,” ucapnya dengan wajah bersemu merah dan juga mata berbinar. Ada semangat, ada gelora kehidupan yang Aina lihat dalam diri gadis kecil ini pada saat mengatakan itu.
“Tapi dengan satu syarat, Iza sekarang tidur lagi ya ... Biar cepet sembuh.”
Senyumnya mengembang dan seketika bangkit memeluk Aina dengan erat sambil berkata, “Baik, Mama ...”
Aina membalasnya dengan kecupan kecil di dahinya. Lalu membantu untuk merebahkan kepalanya di atas bantal. Dia menarik selimutnya sampai sebatas dada.
“Sudah berdoa?”
“Hehehe ... Iza belum bisa, Mama.”
“Ya sudah, ayo kita doa sama-sama!”
Keduanya mengangkat tangan serta menundukkan kepala, lalu bersama-sama berucap,
باسمك اللهم احيى و باسمك اموت
“Dengan namamu ya Allah aku hidup dan dengan namamu pulang aku mati. “
“Anak cantik manis sholihah, ayo tidur.”
Dia pun mengangguk lalu memejamkan mata. Tak lama kemudian terdengar lirik suara nafasnya.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Seperti biasanya Aina akan memulai harinya dengan mandi. Bersiap diri untuk melaksanakan shalat malam.
Untung saja sebelum mengantarkan Mbok Minah, Parman telah mengantarkan baju-bajunya di ruangan ini. Sehingga tidak menghalangi kegiatan rutinnya di ujung malam yang akan berakhir.
Selesai membersihkan diri dia pun menghampiri Najib yang terlihat masih tertidur pulas.
“Mas ...” bisik Aina lirih di telinganya. Namun tak ada reaksi. Dia pun menepuk lembut pundaknya. Tanpa disadari, setetes air sisa wudhunya jatuh mengenai pipi Najib.
Ada sesuatu yang dingin, membuat Najib terjaga. Alangkah terkejut dirinya, saat membuka mata melihat wajah istrinya yang sudah berseri-seri di sampingnya lengkap dengan senyum tipis di bibirnya. Tak ayal membuat dirinya tergoda. Dia tak segera bangun, melainkan memandang Aina dengan intens sambil menopang kepalanya dengan satu tangan, agar bisa menikmati senyum istrinya itu dengan sempurna.
“Ada apa malam-malam bangunin Mas?”
“Kita shalat malam berjamaah, yuk!” Suaranya yang lirih manja membuat Najib semakin terbuai.
“Aku kira mau mengajak ibadah yang lain.” Dia masih saja terus penggoda dengan posisi yang sama.
Sontak membuat Aina menjauh dari Najib. Bisa-bisa batal nggak jadi sholat malam nanti. Adanya malah mandi besar ....
Menyadari istrinya demikian, Najib segera bangkit dari sofa. Dengan setengah malas, dia berjalan ke kamar mandi.
Namun bukan Najib namanya kalau tidak bisa memperdaya istrinya. Saat berjalan melewati istrinya dia mencuri kesempatan untuk mengecup pipi Aina sekilas
“Mas, Aku jadi wudhu lagi deh!” ucapnya sambil bersungut-sungut.
“Bisa nggak Mas tahan nafsu dikit. Lihat tempat dan waktu dong. Ini di rumah sakit, ada Iza juga. Masak nggak malu.”
“Hehehe ... Hanya kecupan saja kok. Habis kamu itu gemesin sih,” jawabnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Puas menggoda istrinya Dia pun melanjutkan langkahnya ke kamar mandi, mengikuti jejak Aina. Mandi dan juga bersuci, agar bisa melaksanakan shalat malam Jamaah dengan istri pasti lebih besar pahalanya. Pahala shalat dan pahala membimbing makmum yang ada di belakang. Ya kan ....
Waktu terus berjalan. Tak terasa kini sudah menjelang fajar. Sesaat lagi, adzan subuh dikumandangkan. Setelah menutupnya dengan doa, keduanya saling simak untuk melakukan tilawatil Qur’an bergantian dengan suara yang tak begitu keras agar tidak mengganggu Iza yang sedang terlelap.
“Mas mau ke masjid?”
“Tidak. Aku shalat jamaah di sini saja. Ngimami istriku sekaligus jaga Iza.”
“Tidak apa-apa Mas. Kalau Mas Najib mau pergi, pergi saja. Biar Aina yang jaga ....” Belum selesai Aina berbicara, terdengar suara iqomah dari masjid yang ada di lingkungan rumah sakit.
“Sudah selesai ceramahnya ... Yuk bangun, kita shalat subuh berjamaah.”
Dengan tersipu malu Aina berdiri di belakang Najib di tempat yang sama ketika mereka melakukan shalat malam berjamaah.
Entah mengapa saat menyambut tangan istrinya waktu bersalaman, ada getar yang mengetuk raganya. Dia segera menarik tubuh Aina duduk dalam pangkuannya. Dan segera memberikan kecupan kecil di bibirnya. Tak hanya sekali bahkan tiga kali. Pada kecupan yang ketiga dilakukan agak lama. Membuat Aina gelagapan, hampir tak bisa bernafas. Ingin lepas, tapi Najib tidak membiarkannya lepas sebelum dia puas. Hanya sayang ....
“Mama ....” Suara lirih Iza,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
Iza bukan anak kandung Najib ya ...
2022-09-06
1
Conny Radiansyah
Iza
2022-09-06
1