"Aina ... Jika saat ini kamu tak bisa percaya padaku, setidaknya berjanjilah jangan pernah pergi dariku."
Aina berhenti mengusap Iza. Dia beralih menatap suaminya heran.
"Mas, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku."
Najib diam . Dia balik menatap Aina dengan senyuman. Meski dia tak bis menutupi keresahan yang mendera hatinya saat ini.
Oh, mengapa ini semakin rumit. Ku pikir ini bisa menjadi solusi namun semakin membawaku terbebani.
"Tidak ada, selain memikirkan gadis kecil ini." Dia mencoba berkilah.
"Mas, aku istrimu kan? Aku bisa merasakan kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Tolong jujur, siapa tahu aku bisa membantu."
Najib benar-benar dibuat terpana dengan kata-kata istri kecilnya. Membantu? Benarkah dia mau membantu?
"Baiklah."
Ingin diungkapkan semua namun tiba-tiba tenggorokannya tercekat, suaranya pun tak mau keluar. Hanya nafas belahan yang bisa dia hembuskan agar beban di dada ini sedikit menguap.
"Tapi ... " Baru satu kata yang dia katakan. Sudah terlihat kecemasan di wajah Aina.
Dia menunggu sambil tangannya tak berhenti membelai tubuh rapuh gadis kecil yang ada di depannya. Aina tak berani menatap, ada rasa was-was apa yang dikatakan suaminya akan membuat batinnya terluka.
"Mama ...." ucap lirih gadis itu dengan mata terpejam. Dia mengigau lagi. Peluhnya keluar, seakan tidur dalam kecemasan. Apakah dia tengah bermimpi buruk.
Najib menghampirinya. Dia tak ingin membahasnya saat ini.
"Bisakah kamu menyayanginya sepertinya aku menyayanginya."
Sekian detik Aina terdiam, nuraninya tak bisa dibohongi, kalau suaminya ada menyimpan rahasia. Namun dia bisa apa, sebelum semuanya jelas.
"Tentu. Apa yang yang disukai suamiku, akan kucoba menyukainya." Meski batinnya merasa seakan diremas-remas, namun dia mencoba untuk tegar.
“Tak salah aku memilih dirimu menjadi teman hidupku.” Najib menggenggam tangannya dengan rasa cinta. Apakah salah bila dirinya merasa nyaman di samping istrinya.
“Aku bukan wanita sempurna. Akan marah bila Mas merusak kepercayaan yang baru akan kita bangun.”
Seketika hati Najib tercubit mendengarnya. Bahkan tanpa sadar dia melepaskan genggamannya.
"Terima kasih. Saat ini aku hanya memikirkannya, tak lebih."
"Bukankah ada orang tuanya. Mengapa harus mas yang bertanggungjawab."
"Orang tuanya ada urusan."
Ingin rasanya berkata jujur, tapi aku belum sanggup melihatnya terluka. Apakah ini yang dinamakan cinta. Yach ... Cinta yang egois.
"Sebegitu pentingkah urusannya sampai tega meninggalkan putrinya dalam keadaan sakit begini." Bagi Aina tak penting dengan urusan mereka, melihat anak kecil yang terkulai lemah membuat dirinya terenyuh dan marah. Dia terus membelai punggung gadis kecil itu lembut dan penuh kasih sayang. Sesekali melirik Najib. Karena dirinya amat tersiksa jika semua tak jelas.
Najib ...
Kalau tak tersindir, bohong namanya . Dia ambil nafas dan membuang nafasnya pelan-pelan agar perasaannya sedikit tenang. Bukan maksudnya untuk berbohong. Tapi saatnya belum tepat. Atau memang sulit mendapat waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Kita bicara di luar yuk."
Dia menggenggam jemari Aina dengan erat.
"Atau kita pulang saja."
"Meninggalkannya?" Aina ingin tertawa. Bukankah tadi dia berkata kalau gadis itu menjadi tanggung jawabnya, mengapa mengajaknya pulang?
"Bukan! aku takut kamu lelah kalau menemani mas di sini."
"Sudah aku bilang, apa yang mas disukai akan kucoba menyukainya. Apa yang menjadi beban Mas, akan aku coba meringankannya jika aku bisa, jika tidak bisa aku akan diam. Insyaallah ...."
Kata-katamu semakin menderaku, istriku. Entah kapan aku bisa jujur padamu. Mungkin saat aku sadar kalau dirimu benar-benar mencintaiku. Maafkan diriku bila harus egois saat ini.
Najib tersenyum dan memberikan kecupan hangat di dahinya. Dia merengkuh tubuh Aina ke dalam pelukannya. Ada gemuruh rasa bersalah yang menghenyak jiwanya, menekannya dengan rasa berdosa. Ingin sekali bibirnya berbisik , ”Maafkan Mas.” Tapi rasa angkuhnya seakan berkata,”Untuk apa? nanti akan bertambah runyam.”
“Terima kasih, Sayang.” Najib semakin erat memeluk dirinya.
Aina berbalik, menatapnya lembut dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya yang merah alami.
Jelas saja, itu menggoda jiwanya yang meronta. Sehingga tak ayal membawa angannya berselimut kabut hasrat keinginan yang lama terbendung mencari jalan untuk diungkapkan. Nafas lembut sempat dia hembuskan, hingga membuat pipi istrinya bersemu merah.
“Mas, ini di rumah sakit.” Dia melepaskan pelukan yang sesaat lalu sudah membuatnya nyaman. Bahkan sempat angannya melayang saat ada sapuan lembut menerpa pipinya. Hampir-hampir saja terbuai kalau tak ingat ini dimana. Ingat hal itu ... Oh No! Rasanya belum siap.
“Aku akan menungguinya.”
“Baiklah, kalau itu maumu. Jika lelah jangan salahkan aku.”
Najib pun pasrah, Aina menemaninya menunggui Iza.
“Den ...”
“Eh Mbok ... “ Najib baru sadar kalau ada orang lain bersama mereka.
“Sekarang Mbok bisa pulang. Biar Iza aku tunggu sama istriku.”
Istri? ... Mbok Minah seketika terkejut saat Najib menyebut wanita yang di sampingnya itu istrinya. Makanya kelihatan mesra banget. Wah jadi ‘obat nyamuk' ini, kalau begini. Lebih baik pergi saja.
“Ya, Den ... Mbok titip Iza ya ....”
“Jangan khawatir, dia bersama Mama Papanya.”
“Mbok pergi dulu, Den. Assalamualaikum ....”
“Wa alaikum salam ... Parman sudah nunggu di depan, Mbok.”
“Ya, Den.” Dia segera keluar sambil ngedumel sendiri.
“Amit-amit deh, Den Najib ini. Ngusir ya ngusir ... Mentang-mentang tak mau diganggu.”
Tapi dia bersyukur saat melihat betapa lembutnya Aina memperlakukan Iza, padahal dia bukanlah putrinya. Beda dengan majikan perempuannya yang bernama Sheza. Benar-benar tak punya hati. Padahal putrinya sendiri. Dirinya sampai dibuat gemeeess ... Mau rasanya melakban mulut, tangan dan kakinya. Biar tidak menyakiti gadis yang sudah diasuhnya sejak kecil itu. Untung saja ada Den Najib yang sangat sabar, membuatnya bisa bertahan. Semoga apa yang dilihatnya selamanya begitu.
Sementara itu dalam ruangan, Aina benar-benar harus menahan tawa melihat sikap Najib pada si Mbok.
“Nggak sopan kali engkau, Mas. Ngusir orang tua seenaknya.”
“Aku tuch merasa kasihan. Kelihatannya sudah lelah. Tadi kepalanya sudah tekluk-tekluk. Makanya aku sudah pulang. Biar bisa tidur dengan tenang.”
“Alasan!”Bibirnya mencabik sebentar pada Najib, sebelum meletak kepalanya di pinggir ranjang Iza. Dia tetap mengusap lengan dan kepala Iza sampai tertidur. Sehingga tak tahu Najib meninggalkannya.
Najib ke luar ruangan, mencari tempat yang nyaman untuk menghubungi Sheza. Beberapa kali dia harus meredial sambungannya agar Sheza mengangkat handphone-nya. Tapi sayang, meski tersambung tak juga dibuka.
Senikmat itukah dia terhanyut dalam mimpi, sampai-sampai dia tak mendengar telponnya berdering. Tak adakah perasaan, kalau putrinya kali ini tidak baik-baik saja? Atau memang dia sudah mati rasa pada putrinya sendiri? Sungguh tega ....
Meski menggerutu, Najib tetap menghubunginya lagi dan lagi. Yang kelima kalinya baru telponnya diangkat.
"Papa, aku kan capek. Besok aku harus meeting lagi. Tinggalkan pesan aja ya ... Besok aku buka."
Tut ... ditutup. Astaghfirullah al adzim ... Dibuka tanpa salam, ditutup juga tanpa salam.
Sekali dibuka, begini jawabannya. Benar-benar tak ada akhlak. Sudah cukup aku mendidiknya, namun belum juga ada perubahan. Menghadapi Sheza benar-benar membuat kepala ini mau meledak.
Kamu ini, macam wanita apa sih, Sheza? Kalau bukan karena Tuan Arya yang sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri, tak mungkin aku bisa menerimamu saat itu. Tapi balasannya apa ... Kamu tak pernah peduli padaku. Sering mengabaikan diriku. Karir dan karir saja yang ada dalam otakmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
Sheza, loe bakal peduli ga kalo Najib sekarang punya istri lagi selain loe.
2022-09-06
0
R.F
3 like hadir kak srmangat. like balik iya
2022-08-23
1
نور✨
seru
2022-08-17
0