Mama Aina

“Mama ....” Suara lirih Iza menyadarkan keduanya.

“Mas, udah ah. Malu! Nanti ketahuan sama Iza lho.”

Aina segera bangun, melepaskan diri dari dekapan suaminya. Tanpa melepas mukenanya, dia bergegas menghampiri Iza. Meninggalkan Najib yang masih penasaran. Mengapa sih, harus ada gangguan melulu saat ingin berduaan dengan sang istri. Baru kali ini, dia bisa mengecap manisnya bibir istrinya. Itu juga baru sekilas ... Masih kurang. Membuatnya tambah kangen dan makin penasaran saja.

Entahlah, berdekatan dengan Aina membangkitkan naluri kelaki-lakiannya yang selama ini terpendam. Namun alam seakan-akan belum mendukungnya. Takdir mengharuskan dirinya hanya bisa menikmati senyuman dan kebersamaan bersama Aina saja. Tanpa bisa menyentuhnya yang lebih dan lebih ....

Menghadapi Sheza, diriku bisa sabar, tapi mengapa menghadapi Aina seolah sulit mengendalikan hasrat ini. Inginnya selalu berbuka tak mau berpuasa lagi.

Ya Allah, bimbing diriku Sebagaimana pernah diri ini berbisik padamu.

الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَأَهْلِي وَمِنْ الْمَاءِ الْبَارِدِ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kecintaan-Mu, dan kecintaan orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang menyampaikanku kepada kecintaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah kecintaan-Mu lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku serta air dingin.”

Najib segera bangkit, menghampiri mereka berdua.

“Alhamdulillah, anak Papa sudah bangun. Kangen mama ya ... Kok panggil mama-mama terus.”

“Mama yang ini, Pa.” Jari-jarinya menunjuk pada Aina. Sontak dahi Najib berkerut. Ini kejutan yang luar biasa. Tak sangka Iza sudah mengetahuinya kalau dia punya mama baru. Tak perlu lagi dirinya merayu-rayu Iza agar menerima Aina. Tapi bagaimana mungkin? Dan sejak kapan?

“Ini Mama Iza?” Najib menunjuk ke arah Aina dan juga Iza secara bergantian, dengan penuh keheranan. Dia belum percaya betul kalau Iza sudah menerima Aina sebagai mamanya.

“Iya Papa. Ya kan Ma?” Aina mengangguk sambil tersenyum. Allahu Akbar, Ya Rohman, Ya Rohim. Tak sangka di awal paginya ini, dirinya akan mendapatkan suatu anugerah yang luar biasa. Dia langsung mengacungkan dua jempol untuk Aina, bisa dengan cepat mengambil hati putrinya.

“Apaan sih! lebay kali.” ucapnya dengan lirih disertai dengan cebikan di bibir.

Lho ... kok. Maunya yang lebih tho! Oke dengan senang hati ....

Seketika Najib mengambil kursi, duduk di samping Aina bersiap-siap memberikan sedikit kejutan yang beda. Salah sendiri menggoda.

Baru siap-siap, akan memonyongkan bibirnya, sudah terdengar celetukan dari Iza.

“Iya itu papa. Masak jempolnya untuk Mama bukan untuk Iza?” sambil memasang muka cemberut.

Ups ... lupa, ada si kecil. Untuk kamu saja dech. Sadaaar ... tempat dan waktu tidak tepat. Dia pun tersenyum, menertawakan diri sendiri. Niat ingin memberikan kejutan pada Aina, diurungkan saat itu juga. Nggak jadi deh ....

“Untuk Putri papa yang cantik Sholihah, nggak usah jempol tapi mana pipinya.”

Langsung saja, Dia memberikan pipinya pada Najib. Sebuah hadiah kecupan di pipi kanan dan di kiri serta dahi, Najib berikan dengan rasa bahagia. Yang membuat Iza tertawa senang.

“Terima kasih, Pa.”

“Sama-sama, Putri cantik sholihah Papa.”

“Untuk kamu nanti ya ...,” bisiknya lirih di telinga Aina.

“Ih, maunya. Padahal masih punya hutang yang teramat berat sama aku.” sahut Aina kemudian, sambil ia melepaskan mukena yang dia pakai.

“Hutang?” Perasaan dia tak pernah meminjam apa pun pada Aina. Untuk nafkah lahir, sejak awal menikah sudah dia berikan. Tak banyak memang, hanya 5 juta seminggu, cash. Mau bentuk kartu kredit, sepertinya kurang bermanfaat. Masih tinggal di desa.

Lalu hutang apa? Atau ....

“Hhmmm ... ternyata malu-malu tapi mau. Selalu menghindar tapi merindukan. Sun sayang tidak, ternyata menginginkan yang lebih ya ... Oke, akan Papa lunasi dengan bunganya sekalian.”

Sontak membuat Aina marah. Wajahnya ditekuk, senyumnya memudar. Dia tak habis pikir Mengapa yang ada dalam pikiran suaminya hanya masalah itu saja. Benar-benar otak me**mnya tak bisa dikendalikan.

“Maaf ya Mas. Jangan sekali-kali berpikir ke sana kalau belum bisa memberikan penjelasan padaku tentang; PERTAMA, mengapa bilangnya ada pekerjaan, tahu-tahu datangnya ke rumah sakit . KEDUA, Mengapa Iza memanggil papa pada Mas Najib.”

“Ingat ya Mas. PENJELASAN! Hanya penjelasan yang kuinginkan sebelum kita memulai sesuatu yang lebih dalam.” Setiap kata-kata yang Aina keluarkan, penuh penekanan. Membuat Najib bergidik ngeri mendengarnya. Ditambah pula dengan lirikan matanya yang seperti elang, menghunus tajam. Mungkin jelmaan mata malaikat Malik dari neraka. Ganas, menyeramkan, tanpa ampunan.

Najib bukanlah orang yang bisa berbohong tetapi kuat menyimpan rahasia. Kalau hatinya mengatakan belum saatnya, ya belum saatnya. Jangan dipaksa, tak akan mempan.

“Iza, Mama barumu kalau lagi marah, cantik apa jelek?” Bukannya menanggapi kemarahan Aina, Dia malah asyik ngerumpi ria dengan putrinya.

“Itu tadi marah ya, Pa. Aku kira marah itu seperti mama Sheza, pukul Iza, cubit Iza, ngurung Iza di kamar mandi. Enak kali Papa dimarahi Mama. Papa nggak dicubit, nggak dipukul, nggak dikurung di kamar mandi. Mama siapa namanya, Pa? Cantik kalau marah. ”

“Mama Aina, Sayang.”

“Ooo ... Aku suka Mama Aina. Tinggalnya dimana, Pa? Aku mau ikut. Dari pada pulang, nanti dimarahi lagi sama Mama Sheza.”

“Di apartemen Papa. Kamu mau tinggal sama Papa.”

“Mau-mau,”

“Lha, kalau Mama Sheza nyari gimana?”

“Pokoknya aku mau ikut Papa. Iza nggak mau ikut mama Sheza lagi. Hiks hiks hiks ....”

Najib segera meraih kepalanya masuk dalam dekapannya. Membiarkan dia terisak di dadanya.

“Ya-ya, Iza boleh ikut Papa. Nanti biar Papa yang bilang ke Mama Sheza.”

Bukannya Najib tak tahu kepedihan yang dirasakan gadis kecil berumur 5 tahun itu. Dia yang terlahir berambut dan bermata coklat. Mata yang sama dengan seseorang yang melarikan diri pada saat pernikahan dengan seorang wanita yang telah menjadi tunangannya. Untuk menyelamatkan kehormatan keluarga, dirinya yang harus dikorbankan untuk menggantikannya.

Dengan mata sembab, Aina menghampirinya. Meraih Iza dan memeluknya erat.

“Sudah jangan menangis. Mama senang kok kalau Iza tinggal sama Mama. Mama ada yang nemenin. Tapi Iza harus sembuh dulu biar kita bisa pergi ke apartemen Papa. Gitu ya kan, Pa.” Najib mengangguk. Sesekali dia mengusap sudut matanya. Agar tak tampak tetesan air mata yang akan jatuh.

Aina benar-benar tak kuasa menateskan air mata saat mendengar keluahan Iza tentang mamanya. Membayangkan saja, tak sanggup. Tentu lebih menyakitkan apa yang dirasakan gadis ini. Mengapa di usia sekecil ini sudah mendapatkan perlakukan yang sedemikian rupa. Sungguh keterlaluan wanita yang bernama Sheza. Dia benar-benar geram.

Dia terlahir dari keluarga sederhana, tak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Bapak ibunya membesarkan dengan kasih sayang. Dimarahi, tentu pernah. Tapi tak pernah sekalipun sampai melukai fisik.

“Sudah jangan menangis. Iza anak yang kuat. Kalau nangis, cantiknya hilang. Cuci muka yuk.”

Terpopuler

Comments

Conny Radiansyah

Conny Radiansyah

menurut gue jujur aja Najib, ga ada yang perlu dikhawatirkan ... Aina in syaa Allah bisa menerima penjelasan loe dengan ikhlas.

2022-09-06

1

E H

E H

lNjut lagi thor.
kalo bisa jangan lMa2 jarak up nya thor

2022-08-19

2

Nafiza

Nafiza

mana nih kak lanjutannya...
ayo semangat..💪

2022-08-19

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 69 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!