NovelToon NovelToon

Belenggu Cinta Berbalut Dusta

Berpamitan

"Ibu Bapak, bolehkah saya ajak dik Aina ke kota," ucap Mahardika Najib pada orang yang duduk di depannya. Orang tua yang kini sudah memasuki usia senja, dengan tubuh ringkih dan rambut sudah sempurna memutih.

"Dia istrimu, sudah hakmu membawa dia kemana pun kamu pergi."

"Bapak ...." Wanita berjilbab di sampingnya memandangnya sendu, ada rasa sedih tersembunyi di balik ketenangannya.

Bukannya ia tak mau mengikuti lelaki yang kini menjadi suaminya, tapi ada keraguan yang kini masih mengganjal di benaknya. Tentang siapakah dia sebenarnya.

Tak banyak yang disampaikan orang tuanya saat menjelang Najib mempersuntingnya. Mereka hanya berkata,

"Nduk, dia putra sahabat sekaligus atasan bapak dulu saat di rantau. Keturunan baik-baik dan sudah mapan. Kurasa tak ada alasan bapak untuk menolaknya."

"Bapak, tapi Aina belum pernah berfikir ke arah sana. Aina masih ingin berbakti sama Bapak Ibu."

Pak Rokhman menghela nafas lalu tersenyum.

"Bapak ini sudah tua. Satu kewajiban bapak yang belum terpenuhi, menikahkanmu dan melihatmu bahagia. Kamu mau menolong Bapak untuk memenuhi kewajiban Bapak, bukan?"

Setelah berdiam cukup lama, dengan terpaksa Aina menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih, Nduk. Kamu telah menolong Bapak."

Pernikahan itu pun berlangsung. Kini dia telah sah menjadi istri. Tapi rasanya masih enggan untuk menerimanya sebagai suami sepenuhnya. Mungkin karena sampai saat ini belum tumbuh rasa di hatinya.

Aina masih menunduk, diam tak bersuara. Bingung dengan apa yang dipikirkannya. Andai dia boleh memilih, bolehlah menikah tapi jangan dipisahkan dari Bapak ibunya. Menemani mereka sampai akhir hayat. Namun tak baik juga kalau dia menolak suaminya untuk hidup bersama dalam satu rumah.

"Bapak, Aina bingung."

Lelaki tua yang duduk di depannya itu pun menghela nafas panjang.

"Nduk ... Suamimu lebih berhak. Ikuti dia ... Apa kata orang jika melihat kamu dan suamimu hidup berjauhan. Tak inginkah kamu melihat Bapak ibumu ini tenang?"

"Sudah ada adikmu, Rosyid di sini, kamu nggak usah khawatir. Sudah pergilah, hargailah dia yang sudah menyayangimu," Wanita yang duduk di samping Bapaknya itu mendesaknya pula.

"Baiklah, Aina akan ikut Mas Najib."

"Nah gitu anakku. Biar ini jadi pahala yang tak terkira buat kita sebagai orang tua karena membimbing anaknya untuk bisa berbakti pada suami. Sudah jangan pikirkan kami. Kamu bahagia, Bapak Ibu pasti ikut bahagia."

"Aina akan siap-siap dulu, Bapak Ibu."

"Iya, Sana. Bapak Ibu juga mau menyiapkan dagangan untuk besok."

Ada senyum bahagia yang tergambar di wajah Bapak Ibu Rohman. Mereka merasa tenang setelah Aina mau menuruti keinginan mereka dan suaminya. Pergi ke kota, tempat Najib tinggal dan membangun usaha.

Mereka segera beranjak pergi ke dapur dengan hati lebih baik saat ini. Untuk mempersiapkan olahan yang akan mereka jual esok hari.

Sedangkan Aina diikuti suaminya segera bangkit juga dari tempat duduk, menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar tamu. Kamar yang tak seberapa besar dan sederhana, namun rapi dan menyimpan banyak kenangan.

Tiba di ruangan itu, dia tidak menuju almari atau tempat yang menunjukkan tempat penyimpanan barang lainnya, melainkan menuju tepi ranjang yang tak seberapa besar namun cukup untuk tidur berdua. Duduk termenung, diam tanpa suara.

"Aina Aulia Mecca, Sayang. Maafkan Mas ya..." Bisikan lirih, lembut, merayu dari seorang Najib di telinga istrinya yang terlihat teramat manis di matanya.

Tak ada reaksi, dia masih tetap diam, bahkan kini wajahnya semakin sendu. Sepintas dia melihat lelehan bening di sudut mata istrinya.

"Menangislah, asal jangan kamu ubah keputusanmu, Sayang." Dia mendekap Aina di dadanya.

"Entahlah, Mas. Aina benar-benar masih berat."

"Kalau kamu berat, lalu mas harus bagaimana. Masak kamu tega, membiarkan mas kesepian. Beristri tapi seolah-olah masih sendiri, nggak ada teman untuk bercerita atau sekedar bercanda. Kalau belum siap 'disentuh', mas maklum kok. Karena kita masih saling belajar mencintai. Ya ... anggap saja pacaran. Kan asyik ... Lagian mas nggak buru-buru, harus gini harus gitu. Yang penting jangan tinggalkan Mas."

Rasanya sudah lebih baik sekarang, setelah bisa meluapkan emosinya di dada suami. Ada desiran rasa bahagia menyapu jiwanya dengan sikap Najib, suaminya yang lembut dan cukup pengertian dengan kemanjaannya.

Tak ada salahnya jika mulai sekarang, dia memberikan kepercayaan penuh padanya.

Aina menarik kepala dan mengusap air matanya yang tersisa. Dia tersenyum, ingin turun tapi masih enggan.

"Sudah, mana tasmu? Mas bantu ambilkan."

Dia berdiri menengok ke atas lemari, namun tak ditemukan barang itu.

"Di dalam lemari sepatu, bagian atas."

"Oh ...."

Dia segera menuju tempat itu, lalu mengeluarkan sebuah tas yang masih terlipat rapi.

Sementara Aina menuju lemari pakaian, memilih-milih baju yang pantas untuk dibawa.

"Nggak usah dibawa semua. Seperlunya saja. Kalau kurang, nanti mas belikan di sana."

"Enggak ah ... Aku nggak suka kalau beli jadi, sering nggak cocok ukurannya. Enakkan jahit sendiri."

"Bagus itu," jawabnya sambil membenahi tas agar siap digunakan.

Dia melihat tumpukan baju yang baru Aina keluarkan.

"Ini semua kamu bikin sendiri?"

"Hehehe ... iya. Jangan di hina ya ...."

"Bagus kok. Pemilihan warnanya juga bagus."

"Kamu desain sendiri?"

Aina tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Masyaallah, mas baru tahu kalau istri mas punya sesuatu yang luar biasa."

Tak semua baju dia bawa. Ada beberapa lembar yang sengaja ditinggalkan untuk jaga-jaga sewaktu-waktu ingin pulang dan menginap. Jadi tak perlu repot lagi.

Semua baju sudah Aina masukkan, tas juga sudah tutup rapat. Lalu dia meletakkannya tas itu di dekat meja rias kecilnya.

"Mas tidur dulu ya ... Aku mau bantu ibu."

"Dengan mata seperti itu?"

Matanya masih tampak sembab, bekas tangisannya juga belum hilang.

"Iya dech ... Aina cuci muka dulu."

Sikapnya yang malu-malu pergi darinya, membuatnya tersenyum sendiri. Aina Aulia Mecca, istriku ....

Lalu dia pura-pura tidur sebelum Aina keluar dari kamar mandi.

Aina memandang ke arah tempat suaminya yang tertidur, dia tersenyum. Tak sangka kalau suaminya begitu cepat membangun mimpi.

"Aina bantu ibu dulu, Mas." Dia berbisik lirih dengan memandang wajah yang kini tampak tenang.

Andai bukan karena pura-pura, mungkin dia sudah menjawab, "Iya, Sayang." Kini dia hanya bisa menjawabnya dengan kerlingan mata di balik matanya yang tertutup.

Saat Aina membuka pintu, dia juga masih melihatnya. Dia tersenyum simpul menatapnya pergi dari sudut matanya yang pura-pura tertidur.

Tak lama berselang, Najib merasakan handphone-nya bergetar.

"Assalamualaikum, ada apa Mbok?"

"Maaf, Den. Nona Iza sakit."

"Sheza kemana?"

"Den Sheza pergi sejak sore."

Sheza ... Sheza ... Kapan kamu peduli dengan putrimu, bisik lirih batin Najib.

Rafaeyza Almahyra Najib (Iza)

"Bawa Iza ke rumah sakit. Aku segera ke sana. Assalamualaikum ...."

"Wa alaikum salam ...."

Kalau sudah menyebut nama Iza, bagi Najib tak ada kata lain selain harus segera pergi menemuinya. 

Dia bangkit dari tidurnya, berjalan menemui Aina yang sedang berada di dapur, membantu mertuanya.

"Sayang, baru saja mas dapat telpon. Ada pekerjaan yang harus Mas selesaikan saat ini juga. Kita berangkat sekarang ya?"

Aina melihat ibunya, meminta persetujuan Bu Rohmah mengangguk. 

" Ibu, maafkan kami. Kami tidak bisa menginap, mungkin lain hari Kami akan menginap."

"Ya Nak, Pergilah! Nggak apa-apa."

Untungnya semua sudah selesai dipersiapkan. Sehingga tak memerlukan waktu lama untuk segera berangkat. Najib segera mengangkat tas dan membawanya keluar kamar.

"Sudah tak usah ganti. Tetap cantik kok." Dia langsung menggandeng tangan Aina menuju ruang tamu. Di sana telah menunggu Bapak dan ibu Rahman.

"Mohon doanya, Ibu." Aina mencium tangan Bu Rokhman dengan takdzim diikuti Najib, suaminya.

"Kami pergi, Bu."

"Ya Nduk. Pergilah! Jaga rumah tanggamu baik-baik. Jadikan dia satu-satunya dalam hidupnya."

"Mohon doanya, Bu."

"Titip Aina, jaga dia baik-baik dan bimbing dia."

"Insyaallah, kami pergi dulu. Assalamualaikum ...."

"Wa alaikum salam ...."

Keduanya segera masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di halaman dengan mesin mobil yang sudah dihidupkan,siap untuk berangkat.

"Ayo, Man!" Najib memerintahkan untuk segera berangkat kepada supir pribadinya yang bernama Suparman.

"Tidurlah! Nanti kalau sudah sampai Mas bangunkan."

"Maaf." Aina menutup matanya berlahan. Dia membiarkan Najib meletakkan kepalanya di bahunya.

Di tengah perjalanan, Najib meminta Suparman membelokkan mobilnya ke arah rumah sakit, tempat Iza, putri kecil Sheza dirawat.

Dia menengok sebentar ke Aina yang kini masih tertidur pulas. Dia berucap lirih pada wanita yang kini bersandar di pundaknya, "Maaf Mas-mu ini, Aina. Aku hanya bisa menjaga dirimu di sampingku. Yang mungkin tak bisa menjaga hatimu untuk tersakiti. Namun saat itu terjadi, aku harap engkau sudah kuat.”

Najib mengangkat pelan-pelan kepala Aina dari atas bahunya,  membuka pintu belahan-lahan hampir tanpa suara yang bisa di dengar, khawatir jika membuatnya  terbangun.

"Tunggu sampai aku kembali, Man. Dan tolong jaga dia, jangan sampai masuk. Belum saatnya dia tahu semua."

"Baik, Tuan." Sebagai abdi  setia, sudah menjadi aturan umum kalau mata dan telinganya harus buta dan bisu dengan apa yang dilakukan oleh majikannya saat ini.

Najib segera masuk ke dalam rumah sakit. Menemui gadis kecil yang kini berbaring lemah di atas tempat tidur.

Di depan pintu ruangan, dia melihat putrinya yang sedang tertidur dengan ditunggu oleh wanita paruh baya yang menjadi asisten rumah tangganya, sejak awal pernikahannya.

"Mbok ...." Wanita paruh baya itu  menengok ke arahnya.

"Alhamdulillah, Aden sudah datang. Non Iza nyariin Aden terus, Dia baru saja tertidur."

“Terima kasih ya Mbok, sudah jaga Iza.”

Dia menghampiri tempat tidurnya. Menatap intens putrinya. Ada perasaan bersalah saat melihat Wajahnya yang tampak pucat, dan bibirnya memerah. Satu tangannya menyentuh dahinya dengan lembut, satu tangan yang lainnya mengambil kursi kecil yang ada di dekat situ untuk diduduki.

Putri kecil itu membuka mata belahan-lahan. Dia menatap dirinya dengan mata yang sayu.

"Papa ...." ucapnya lemah mendayu.

"Maafkan Papa, Sayang. Jangan sakit ya, Papa jadi nggak tenang mikirin Iza." Dia tatap putri kecil itu dengan kasih sayang. 

"Papa mengapa lama perginya. Iza kesepian di rumah."

Najib mengusapnya rambutnya dengan lembut. Tak lupa dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya

"Papa sekarang sudah datang. Jangan sakit lagi ya ... Nanti papa tak bisa kerja."

Dia mencium tangan, pipi dan dahi putrinya.

"Papa, geliiii ...!"

"Iza selalu goda Papa. Papa jadi gemeeess."

Hahahaha ... Tawanya yang lepas membuat Najib senang dan lega. Setidaknya melihat wajah yang bersemu memberikan harapan kalau dia akan baik-baik saja.

Namun sayang hanya sejenak saja. Tak lama kemudian, wajahnya meredup. 

"Ada apa?"

"Papa, mama marahi Iza lagi. Iza takut."

Meski aduan seperti itu sudah sering dia dengar, namun selalu saja masih membuat batinnya menangis. Apa salahnya, sampai-sampai semua kekesalannya atau masalah-masalah dari luar selalu dia limpahkan pada putrinya.

Dahi Najib berkerut, menatap sayang padanya, membelai rambutnya serta meniup wajahnya pelan. 

"Mungkin mama sedang capek, Sabar ya Sayang ...." 

Dia mengangguk lemah.

"Sekarang Iza tidur lagi ya, biar cepat sembuh. Papa tunggui."

"Ya, Papa."

Dia begitu penurut dan manis. Mengapa Sheza tak bisa melihat dari sisi ini. Yang terlihat hanyalah wajah dari seseorang yang mungkin dia benci.

Gadis mungil itu membalikkan badan, memunggungi Najib. Kembali meneruskan mimpinya yang sempat terjeda.

"Maaf mbok, Den. Nggak bisa jaga non Iza." 

"Mbok Minah jangan merasa bersalah. Kita hanya bisa berdoa semoga Sheza cepat sadar.”

Tanpa Najib sadari, Aina sudah berdiri di balik pintu. Melihat semua itu.

Dia yang terbangun  sesaat setelah Najib pergi, menjadi curiga setelah Najib lama tak kembali. Sebenarnya apa yang sedang dikerjakan suaminya di rumah sakit ini. Bukankah dia seorang CEO perusahaan bukan rumah sakit?Dia pun menyusul Najib ke dalam.

Setelah menyusuri lorong rumah sakit, akhirnya dia melihat suaminya di ruangan anak-anak. langkahnya tertahan manakala dia mendengar suara Najib yang lembut, penuh kasih sayang dan hangat terhadap gadis kecil yang ada di pembaringan.

Papa ... Gadis kecil itu memanggilnya papa pada suamiku?

Dia pun memberanikan diri untuk masuk. 

"Mas ...."

Najib menengok pada suara yang beberapa hari ini telah memenuhi angannya. Bahunya terangkat sedikit. Sebenarnya Dia agak terkejut, tapi tak ingin Aina sampai tahu dirinya menyembunyikan sesuatu. 

Dia tetap tenang, tidak  menampakkan  kegugupan  sedikitpun, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Aina mendekat, menatap putri kecil yang ada di depannya. Dadanya bergemuruh namun luluh ketika melihat gadis kecil yang berbaring di depan suaminya. Dia pun mengusap kepala dan punggungnya dengan lembut.

"Putri Mas?"

Najib  menunduk sesaat. Dia merasa malu dengan rahasia yang masih disimpannya dengan rapat. Ah ... Siapa yang harus disalahkan, tentu dirinya. 

Dia memberanikan diri menatap Aina dengan senyuman. 

"Kamu mencurigai suamimu?"

Belum saatnya kamu tahu, Sayang. bisikan batinnya yang tak bisa diungkapkan dengan jelas. 

"Tadi memanggil mas, Papa?"

"Ya, aku suka dia memanggilku Papa."Dia mengucapkannya dengan angkuh, untuk menutupi jiwanya yang rapuh.

Aina menatap Najib tak percaya.

"Mas, matamu tak bisa membohongiku. Tolong jangan rusak kepercayaanku yang baru saja aku bangun."

Najib diam seribu bahasa, tak bisa berkata apa-apa. Dia menatap Aina dengan wajah sendu.

"Ada apa, Mas."

Beban ini terlalu berat, semakin berat bila bertatapan dengannya. Najib mengambil nafas belahan dan melepaskannya pelan-pelan.

Marah

"Aina ... Jika saat ini kamu tak bisa percaya padaku, setidaknya berjanjilah jangan pernah pergi dariku."

Aina berhenti mengusap Iza. Dia beralih menatap suaminya heran.

"Mas, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku."

Najib diam . Dia balik menatap Aina dengan senyuman. Meski dia tak bis menutupi keresahan yang mendera hatinya saat ini.

Oh, mengapa ini semakin rumit. Ku pikir ini bisa menjadi solusi namun semakin membawaku terbebani.

"Tidak ada, selain memikirkan gadis kecil ini." Dia mencoba berkilah.

"Mas, aku istrimu kan? Aku bisa merasakan kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Tolong jujur, siapa tahu aku bisa membantu."

Najib benar-benar dibuat terpana dengan kata-kata istri kecilnya. Membantu? Benarkah dia mau membantu?

"Baiklah."

Ingin diungkapkan semua namun tiba-tiba tenggorokannya tercekat, suaranya pun tak mau keluar. Hanya nafas belahan yang bisa dia hembuskan agar beban di dada ini sedikit menguap.

"Tapi ... " Baru satu kata yang dia katakan. Sudah terlihat kecemasan di wajah Aina.

Dia menunggu sambil tangannya tak berhenti membelai tubuh rapuh gadis kecil yang ada di depannya. Aina tak berani menatap, ada rasa was-was apa yang dikatakan suaminya akan membuat batinnya terluka.

"Mama ...." ucap lirih gadis itu dengan mata terpejam. Dia mengigau lagi. Peluhnya keluar, seakan tidur dalam kecemasan. Apakah dia tengah bermimpi buruk.

Najib menghampirinya. Dia tak ingin membahasnya saat ini.

"Bisakah kamu menyayanginya sepertinya aku menyayanginya."

Sekian detik Aina terdiam, nuraninya tak bisa dibohongi, kalau suaminya ada menyimpan rahasia. Namun dia bisa apa, sebelum semuanya jelas.

"Tentu. Apa yang yang disukai suamiku, akan kucoba menyukainya." Meski batinnya merasa seakan diremas-remas, namun dia mencoba untuk tegar.

“Tak salah aku memilih dirimu menjadi teman hidupku.” Najib menggenggam tangannya dengan rasa cinta. Apakah salah bila dirinya merasa nyaman di samping istrinya.

“Aku bukan wanita sempurna. Akan marah bila Mas merusak kepercayaan yang baru akan kita bangun.”

Seketika hati Najib tercubit mendengarnya. Bahkan tanpa sadar dia melepaskan genggamannya.

"Terima kasih. Saat ini aku hanya memikirkannya, tak lebih."

"Bukankah ada orang tuanya. Mengapa harus mas yang bertanggungjawab."

"Orang tuanya ada urusan."

Ingin rasanya berkata jujur, tapi aku belum sanggup melihatnya terluka. Apakah ini yang dinamakan cinta. Yach ... Cinta yang egois.

"Sebegitu pentingkah urusannya sampai tega meninggalkan putrinya dalam keadaan sakit begini." Bagi Aina tak penting dengan urusan mereka, melihat anak kecil yang terkulai lemah membuat dirinya terenyuh dan marah. Dia terus membelai punggung gadis kecil itu lembut dan penuh kasih sayang. Sesekali melirik Najib. Karena dirinya amat tersiksa jika semua tak jelas.

Najib ...

Kalau tak tersindir, bohong namanya . Dia ambil nafas dan membuang nafasnya pelan-pelan agar perasaannya sedikit tenang. Bukan maksudnya untuk berbohong. Tapi saatnya belum tepat. Atau memang sulit mendapat waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Kita bicara di luar yuk."

Dia menggenggam jemari Aina dengan erat.

"Atau kita pulang saja."

"Meninggalkannya?" Aina ingin tertawa. Bukankah tadi dia berkata kalau gadis itu menjadi tanggung jawabnya, mengapa mengajaknya pulang?

"Bukan! aku takut kamu lelah kalau menemani mas di sini."

"Sudah aku bilang, apa yang mas disukai akan kucoba menyukainya. Apa yang menjadi beban Mas, akan aku coba meringankannya jika aku bisa, jika tidak bisa aku akan diam. Insyaallah ...."

Kata-katamu semakin menderaku, istriku. Entah kapan aku bisa jujur padamu. Mungkin saat aku sadar kalau dirimu benar-benar mencintaiku. Maafkan diriku bila harus egois saat ini.

Najib tersenyum dan memberikan kecupan hangat di dahinya. Dia merengkuh tubuh Aina ke dalam pelukannya. Ada gemuruh rasa bersalah yang menghenyak jiwanya, menekannya dengan rasa berdosa. Ingin sekali bibirnya berbisik , ”Maafkan Mas.” Tapi rasa angkuhnya seakan berkata,”Untuk apa? nanti akan bertambah runyam.”

“Terima kasih, Sayang.” Najib semakin erat memeluk dirinya.

Aina berbalik, menatapnya lembut dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya yang merah alami.

Jelas saja, itu menggoda jiwanya yang meronta. Sehingga tak ayal membawa angannya berselimut kabut hasrat keinginan yang lama terbendung mencari jalan untuk diungkapkan. Nafas lembut sempat dia hembuskan, hingga membuat pipi istrinya bersemu merah.

“Mas, ini di rumah sakit.” Dia melepaskan pelukan yang sesaat lalu sudah membuatnya nyaman. Bahkan sempat angannya melayang saat ada sapuan lembut menerpa pipinya. Hampir-hampir saja terbuai kalau tak ingat ini dimana. Ingat hal itu ... Oh No! Rasanya belum siap.

“Aku akan menungguinya.”

“Baiklah, kalau itu maumu. Jika lelah jangan salahkan aku.”

Najib pun pasrah, Aina menemaninya menunggui Iza.

“Den ...”

“Eh Mbok ... “ Najib baru sadar kalau ada orang lain bersama mereka.

“Sekarang Mbok bisa pulang. Biar Iza aku tunggu sama istriku.”

Istri? ... Mbok Minah seketika terkejut saat Najib menyebut wanita yang di sampingnya itu istrinya. Makanya kelihatan mesra banget. Wah jadi ‘obat nyamuk' ini, kalau begini. Lebih baik pergi saja.

“Ya, Den ... Mbok titip Iza ya ....”

“Jangan khawatir, dia bersama Mama Papanya.”

“Mbok pergi dulu, Den. Assalamualaikum ....”

“Wa alaikum salam ... Parman sudah nunggu di depan, Mbok.”

“Ya, Den.” Dia segera keluar sambil ngedumel sendiri.

“Amit-amit deh, Den Najib ini. Ngusir ya ngusir ... Mentang-mentang tak mau diganggu.”

Tapi dia bersyukur saat melihat betapa lembutnya Aina memperlakukan Iza, padahal dia bukanlah putrinya. Beda dengan majikan perempuannya yang bernama Sheza. Benar-benar tak punya hati. Padahal putrinya sendiri. Dirinya sampai dibuat gemeeess ... Mau rasanya melakban mulut, tangan dan kakinya. Biar tidak menyakiti gadis yang sudah diasuhnya sejak kecil itu. Untung saja ada Den Najib yang sangat sabar, membuatnya bisa bertahan. Semoga apa yang dilihatnya selamanya begitu.

Sementara itu dalam ruangan, Aina benar-benar harus menahan tawa melihat sikap Najib pada si Mbok.

“Nggak sopan kali engkau, Mas. Ngusir orang tua seenaknya.”

“Aku tuch merasa kasihan. Kelihatannya sudah lelah. Tadi kepalanya sudah tekluk-tekluk. Makanya aku sudah pulang. Biar bisa tidur dengan tenang.”

“Alasan!”Bibirnya mencabik sebentar pada Najib, sebelum meletak kepalanya di pinggir ranjang Iza. Dia tetap mengusap lengan dan kepala Iza sampai tertidur. Sehingga tak tahu Najib meninggalkannya.

Najib ke luar ruangan, mencari tempat yang nyaman untuk menghubungi Sheza. Beberapa kali dia harus meredial sambungannya agar Sheza mengangkat handphone-nya. Tapi sayang, meski tersambung tak juga dibuka.

Senikmat itukah dia terhanyut dalam mimpi, sampai-sampai dia tak mendengar telponnya berdering. Tak adakah perasaan, kalau putrinya kali ini tidak baik-baik saja? Atau memang dia sudah mati rasa pada putrinya sendiri? Sungguh tega ....

Meski menggerutu, Najib tetap menghubunginya lagi dan lagi. Yang kelima kalinya baru telponnya diangkat.

"Papa, aku kan capek. Besok aku harus meeting lagi. Tinggalkan pesan aja ya ... Besok aku buka."

Tut ... ditutup. Astaghfirullah al adzim ... Dibuka tanpa salam, ditutup juga tanpa salam.

Sekali dibuka, begini jawabannya. Benar-benar tak ada akhlak. Sudah cukup aku mendidiknya, namun belum juga ada perubahan. Menghadapi Sheza benar-benar membuat kepala ini mau meledak.

Kamu ini, macam wanita apa sih, Sheza? Kalau bukan karena Tuan Arya yang sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri, tak mungkin aku bisa menerimamu saat itu. Tapi balasannya apa ... Kamu tak pernah peduli padaku. Sering mengabaikan diriku. Karir dan karir saja yang ada dalam otakmu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!