"Bawa Iza ke rumah sakit. Aku segera ke sana. Assalamualaikum ...."
"Wa alaikum salam ...."
Kalau sudah menyebut nama Iza, bagi Najib tak ada kata lain selain harus segera pergi menemuinya.
Dia bangkit dari tidurnya, berjalan menemui Aina yang sedang berada di dapur, membantu mertuanya.
"Sayang, baru saja mas dapat telpon. Ada pekerjaan yang harus Mas selesaikan saat ini juga. Kita berangkat sekarang ya?"
Aina melihat ibunya, meminta persetujuan Bu Rohmah mengangguk.
" Ibu, maafkan kami. Kami tidak bisa menginap, mungkin lain hari Kami akan menginap."
"Ya Nak, Pergilah! Nggak apa-apa."
Untungnya semua sudah selesai dipersiapkan. Sehingga tak memerlukan waktu lama untuk segera berangkat. Najib segera mengangkat tas dan membawanya keluar kamar.
"Sudah tak usah ganti. Tetap cantik kok." Dia langsung menggandeng tangan Aina menuju ruang tamu. Di sana telah menunggu Bapak dan ibu Rahman.
"Mohon doanya, Ibu." Aina mencium tangan Bu Rokhman dengan takdzim diikuti Najib, suaminya.
"Kami pergi, Bu."
"Ya Nduk. Pergilah! Jaga rumah tanggamu baik-baik. Jadikan dia satu-satunya dalam hidupnya."
"Mohon doanya, Bu."
"Titip Aina, jaga dia baik-baik dan bimbing dia."
"Insyaallah, kami pergi dulu. Assalamualaikum ...."
"Wa alaikum salam ...."
Keduanya segera masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di halaman dengan mesin mobil yang sudah dihidupkan,siap untuk berangkat.
"Ayo, Man!" Najib memerintahkan untuk segera berangkat kepada supir pribadinya yang bernama Suparman.
"Tidurlah! Nanti kalau sudah sampai Mas bangunkan."
"Maaf." Aina menutup matanya berlahan. Dia membiarkan Najib meletakkan kepalanya di bahunya.
Di tengah perjalanan, Najib meminta Suparman membelokkan mobilnya ke arah rumah sakit, tempat Iza, putri kecil Sheza dirawat.
Dia menengok sebentar ke Aina yang kini masih tertidur pulas. Dia berucap lirih pada wanita yang kini bersandar di pundaknya, "Maaf Mas-mu ini, Aina. Aku hanya bisa menjaga dirimu di sampingku. Yang mungkin tak bisa menjaga hatimu untuk tersakiti. Namun saat itu terjadi, aku harap engkau sudah kuat.”
Najib mengangkat pelan-pelan kepala Aina dari atas bahunya, membuka pintu belahan-lahan hampir tanpa suara yang bisa di dengar, khawatir jika membuatnya terbangun.
"Tunggu sampai aku kembali, Man. Dan tolong jaga dia, jangan sampai masuk. Belum saatnya dia tahu semua."
"Baik, Tuan." Sebagai abdi setia, sudah menjadi aturan umum kalau mata dan telinganya harus buta dan bisu dengan apa yang dilakukan oleh majikannya saat ini.
Najib segera masuk ke dalam rumah sakit. Menemui gadis kecil yang kini berbaring lemah di atas tempat tidur.
Di depan pintu ruangan, dia melihat putrinya yang sedang tertidur dengan ditunggu oleh wanita paruh baya yang menjadi asisten rumah tangganya, sejak awal pernikahannya.
"Mbok ...." Wanita paruh baya itu menengok ke arahnya.
"Alhamdulillah, Aden sudah datang. Non Iza nyariin Aden terus, Dia baru saja tertidur."
“Terima kasih ya Mbok, sudah jaga Iza.”
Dia menghampiri tempat tidurnya. Menatap intens putrinya. Ada perasaan bersalah saat melihat Wajahnya yang tampak pucat, dan bibirnya memerah. Satu tangannya menyentuh dahinya dengan lembut, satu tangan yang lainnya mengambil kursi kecil yang ada di dekat situ untuk diduduki.
Putri kecil itu membuka mata belahan-lahan. Dia menatap dirinya dengan mata yang sayu.
"Papa ...." ucapnya lemah mendayu.
"Maafkan Papa, Sayang. Jangan sakit ya, Papa jadi nggak tenang mikirin Iza." Dia tatap putri kecil itu dengan kasih sayang.
"Papa mengapa lama perginya. Iza kesepian di rumah."
Najib mengusapnya rambutnya dengan lembut. Tak lupa dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya
"Papa sekarang sudah datang. Jangan sakit lagi ya ... Nanti papa tak bisa kerja."
Dia mencium tangan, pipi dan dahi putrinya.
"Papa, geliiii ...!"
"Iza selalu goda Papa. Papa jadi gemeeess."
Hahahaha ... Tawanya yang lepas membuat Najib senang dan lega. Setidaknya melihat wajah yang bersemu memberikan harapan kalau dia akan baik-baik saja.
Namun sayang hanya sejenak saja. Tak lama kemudian, wajahnya meredup.
"Ada apa?"
"Papa, mama marahi Iza lagi. Iza takut."
Meski aduan seperti itu sudah sering dia dengar, namun selalu saja masih membuat batinnya menangis. Apa salahnya, sampai-sampai semua kekesalannya atau masalah-masalah dari luar selalu dia limpahkan pada putrinya.
Dahi Najib berkerut, menatap sayang padanya, membelai rambutnya serta meniup wajahnya pelan.
"Mungkin mama sedang capek, Sabar ya Sayang ...."
Dia mengangguk lemah.
"Sekarang Iza tidur lagi ya, biar cepat sembuh. Papa tunggui."
"Ya, Papa."
Dia begitu penurut dan manis. Mengapa Sheza tak bisa melihat dari sisi ini. Yang terlihat hanyalah wajah dari seseorang yang mungkin dia benci.
Gadis mungil itu membalikkan badan, memunggungi Najib. Kembali meneruskan mimpinya yang sempat terjeda.
"Maaf mbok, Den. Nggak bisa jaga non Iza."
"Mbok Minah jangan merasa bersalah. Kita hanya bisa berdoa semoga Sheza cepat sadar.”
Tanpa Najib sadari, Aina sudah berdiri di balik pintu. Melihat semua itu.
Dia yang terbangun sesaat setelah Najib pergi, menjadi curiga setelah Najib lama tak kembali. Sebenarnya apa yang sedang dikerjakan suaminya di rumah sakit ini. Bukankah dia seorang CEO perusahaan bukan rumah sakit?Dia pun menyusul Najib ke dalam.
Setelah menyusuri lorong rumah sakit, akhirnya dia melihat suaminya di ruangan anak-anak. langkahnya tertahan manakala dia mendengar suara Najib yang lembut, penuh kasih sayang dan hangat terhadap gadis kecil yang ada di pembaringan.
Papa ... Gadis kecil itu memanggilnya papa pada suamiku?
Dia pun memberanikan diri untuk masuk.
"Mas ...."
Najib menengok pada suara yang beberapa hari ini telah memenuhi angannya. Bahunya terangkat sedikit. Sebenarnya Dia agak terkejut, tapi tak ingin Aina sampai tahu dirinya menyembunyikan sesuatu.
Dia tetap tenang, tidak menampakkan kegugupan sedikitpun, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Aina mendekat, menatap putri kecil yang ada di depannya. Dadanya bergemuruh namun luluh ketika melihat gadis kecil yang berbaring di depan suaminya. Dia pun mengusap kepala dan punggungnya dengan lembut.
"Putri Mas?"
Najib menunduk sesaat. Dia merasa malu dengan rahasia yang masih disimpannya dengan rapat. Ah ... Siapa yang harus disalahkan, tentu dirinya.
Dia memberanikan diri menatap Aina dengan senyuman.
"Kamu mencurigai suamimu?"
Belum saatnya kamu tahu, Sayang. bisikan batinnya yang tak bisa diungkapkan dengan jelas.
"Tadi memanggil mas, Papa?"
"Ya, aku suka dia memanggilku Papa."Dia mengucapkannya dengan angkuh, untuk menutupi jiwanya yang rapuh.
Aina menatap Najib tak percaya.
"Mas, matamu tak bisa membohongiku. Tolong jangan rusak kepercayaanku yang baru saja aku bangun."
Najib diam seribu bahasa, tak bisa berkata apa-apa. Dia menatap Aina dengan wajah sendu.
"Ada apa, Mas."
Beban ini terlalu berat, semakin berat bila bertatapan dengannya. Najib mengambil nafas belahan dan melepaskannya pelan-pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
jujur Najib, jangan pernikahan loe diawali dengan kebohongan ... Aina, wanita yang lembut dan gue ngerasa Aina wanita sholeha ... in syaa Allah
2022-09-06
0