ALKISAH : Doa Untuk Dunia [1001 Cerita Fantasi Indonesia]
Anak itu adalah orang yang mengangkat beban seluruh dunia ini seorang diri. Memang ia awalnya terlihat mampu, tapi pada akhirnya, semua orang tahu, bahwa dia pasti akan menyerah. Namun, bukan berarti ia akan kehilangan keyakinannya.
Di bawah langit malam, gadis kecil berpakaian lecek itu melangkah dengan ragu menyusuri daratan rumput itu. Di sekitarnya, ada banyak pepohonan yang tampak amat indah dan istimewa. Pasalnya, semua pohon yang tumbuh di sana, memiliki daun yang menyala terang, yang memancarkan warna merah muda yang sangat serasi dengan kegelapan malam kala itu. Umat manusia menyebut tempat ini sebagai Daratan Kenangan.
“Rasanya... dunia ini... sudah tidak memiliki harapan lagi...”
Berbagai pemikiran yang tidak menyenangkan mulai merasuk ke dalam gadis itu. Pandangannya yang kosong menatap lurus ke depan, seakan-akan dia sama sekali tidak peduli lagi dengan nasib dunia ini.
Namun, selain si gadis, rerumputan, kegelapan, dan pepohonan bersinar itu, di sana juga ada ribuan manusia lainnya, yang berpakaian kotor dan tidak terurus sama seperti gadis itu, yang sedari tadi sudah menunggu kedatangannya.
Semua orang memberikan jalan agar gadis mungil itu bisa lewat.
Gadis itu terus berjalan, sementara orang-orang di sekitarnya malah menatap dirinya dengan tatapan sedih, heran, dan takut.
Selang beberapa waktu kemudian, gadis itu pun berhenti melangkah. Di depannya kini ada suatu danau yang cukup lebar, yang hanya berjarak satu jengkal saja dari kaki telanjangnya yang penuh luka.
“Tuhan... mengapa dunia ini sangat senyap?”
Gadis kecil itu mengambil nafas dalam, lalu dengan perlahan dan pasti, dia mulai melangkahkan kakinya ke dalam air yang terasa amat dingin itu, dan berjalan menuju ke tengah-tengah danau. Semakin dalam dan semakin dalam, sampai-sampai setengah dari tubuhnya sudah tenggelam, dan hanya bagian perut ke atas saja yang terlihat darinya.
“Tuhan... mungkinkah ini adalah bayaran atas dosa-dosaku di masa lalu?”
Air di danau itu sangat tenang dan tidak beriak sama sekali, seakan-akan, danau itu terlihat seperti membeku, sama seperti gadis itu yang kini hanya berdiri diam di tengah danau.
Sekarang suasananya menjadi lebih hening—sangat hening.
Ada banyak orang yang melihat ke arah gadis itu dengan tatapan yang menyiratkan rasa putus asa yang sangat dalam. Sampai-sampai kau merasa seolah bisa melihat jurang tanpa dasar di dalam pandangan mereka. Sebagian orang di sana juga ada yang mulai menangis terisak, dan sebagian lagi gemetar hebat dan berkeringat dingin.
“Tuhan... Tolong dengarlah suaraku…”
Namun, tiba-tiba ada satu suara yang memecah keheningan malam.
Jauh di kiri gadis itu, ada seorang wanita yang baru turun ke air dan tengah berjalan ke arahnya. Wanita itu juga menggendong bayinya bersamanya. Meski begitu, wanita itu adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak terlihat takut, sedih, ataupun putus asa. Dia hanya tersenyum kecil sambil memastikan bayinya tetap tertidur dalam dekapannya. Sementara jauh di belakang wanita itu, tampak pula seorang pria yang bertekuk lutut dan menangis layaknya seorang balita. Seolah-olah dia akan kehilangan wanita itu.
Dalam perjalanannya, wanita itu berbisik pada bayinya; “Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah pada Ibu.” Suaranya yang pelan sungguh menenangkan.
Puluhan langkah telah ditempuh, dan wanita itu akhirnya sampai di hadapan si gadis di tengah-tengah danau. Wanita itu mengulurkan tangannya yang lemah kepada si gadis, tapi, gadis kecil itu malah menggigit bibirnya sendiri dengan sangat keras, dan tubuhnya juga ikut gemetar.
“Jangan takut, Nak Riveria...” Kata wanita itu sambil tersenyum simpul.
Dia tahu, bahwa wanita yang berdiri di depannya itu sebenarnya sudah sangat siap. Tapi, kenyataannya, satu-satunya orang yang belum siap di sini, kemungkinan adalah dirinya sendiri.
“Kau tahu, kan? Semakin cepat manusia pergi, maka dunia ini juga akan menjadi lebih baik.” Wanita itu menatap Riveria lamat-lamat. “Manusia adalah sumber kehancuran, Nak, dan aku adalah salah satu dari mereka.”
“Tapi—”
“Aku mengandalkanmu, Nak Riveria.”
Akhirnya, Riveria dengan berat hati terpaksa menerima uluran tangan wanita itu.
“Kalau begitu, selamat tinggal.” Bisik wanita itu pelan, lalu kemudian wanita itu dengan perlahan membungkukkan tubuhnya sampai dia benar-benar tenggelam ke dalam air.
Jemari Riveria bergetar hebat, sampai-sampai dia kesulitan untuk melepaskan tangan wanita itu. Tapi, sungguh, hati kecil Riveria terus berteriak dan memberitahunya untuk tidak melepaskan tangannya.
Seketika, tubuh Riveria menjadi lemas bukan main entah karena apa.
Namun, saat tangan mereka telah bercerai, sesuatu yang gaib kembali terjadi.
Ada banyak titik-titik cahaya hijau terang yang mulai timbul dari tempat si wanita tadi tenggelam. Cahaya itu sejatinya terlihat sangat ajaib, tapi sayangnya, apa yang terpancar dari mata Riveria yang kala itu bergetar hebat bukanlah rasa kagum, melainkan rasa takut yang tiada tara.
Lambat laun, cahaya itu perlahan-lahan terangkat dari air dan naik ke udara, hingga lenyap begitu saja dari pandangan—dari dunia ini. Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam melihat pemandangan itu. Dan dunia ini sekarang telah menjadi lebih senyap dari sebelumnya.
Riveria lalu menatap telapak tangannya dengan pandangan hampa. Suatu memori terlintas di dalam benaknya. Tapi, ingatan itu bukanlah miliknya, kenangan itu adalah milik wanita yang telah pergi sebelumnya.
Walau hanya sekilas, Riveria bisa melihat hampir semua kenangan itu dengan amat jelas. Namun, berdasarkan semua ingatan itu, Riveria hanya mampu menangkap dua ingatan saja yang memberikan kebahagiaan pada wanita itu, yaitu saat wanita itu menikah dengan pria yang tengah menangis di sana, dan yang kedua adalah waktu dia melahirkan anaknya. Sementara sisanya, adalah ingatan-ingatan yang pahit dan mengerikan.
“Bagaikan ribuan bintang di langit, tapi hanya dua bintang saja yang bersinar....”
Detik demi detik berlalu, dan kesenyapan itu tiba-tiba lenyap diiringi derap langkah kaki ratusan orang yang memutuskan untuk turun ke air dan menggapai Riveria di tengah danau.
Mereka adalah orang-orang yang telah siap untuk pergi meninggalkan kehidupan, sama seperti wanita tadi. Tapi bukan berarti mereka pergi ke surga atau pula ke neraka, karena saat ini, semua manusia tahu, bahwa gerbang di kedua tempat itu telah tertutup rapat.
Saat ini, semua manusia sudah menjadi makhluk yang abadi, dan tak akan bisa mati. Walau begitu, bukan berarti Tuhan benar-benar meninggalkan manusia.
Empat ratus tahun lalu, suara Tuhan yang menggelegar di langit menyatakan bahwa Ia akan menurunkan Sepuluh Keajaiban Terakhir untuk umat manusia. Dan salah satu dari keajaiban itu, adalah Riveria, dia diberikan kemampuan untuk mengirim manusia ke dalam kematian yang hampa—dia diberikan hak untuk mengantarkan manusia ke dalam peristirahatan yang terakhir dari yang terakhir.
Kedengarannya tidak masuk akal, bukan? Namun sayangnya, sudah jelas kalau empat ratus tahun lalu, Tuhan sendirilah yang memberitahukan kebenaran itu pada manusia. jadi, semua orang hanya bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada.
Akan tetapi, jika masih ada orang yang mencoba untuk menyangkal kenyataan itu, mereka bisa bertanya pada Riveria secara langsung, mengingat dia adalah salah satu dari segelintir makhluk yang telah hidup sejak empat ratus tahun lalu—sejak dunia ini masih dikuasai oleh manusia.
Suara percikkan air, tangisan, teriakkan, dan keputusasaan terdengar makin membahana memenuhi tempat itu, seolah-olah ada upacara pemakaman massal yang tengah diadakan di Daratan Kenangan ini.
Lalu, saat pagi telah datang, Riveria pun pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
Riveria berdiri sendirian di atas tumpukkan bebatuan yang menjulang tinggi bak bukit. Rambut pendeknya yang terurai ke leher memancarkan warna merah mengkilap layaknya api membara. Tatapan matanya yang sebiru langit tengah memandang kosong pada cakrawala yang terbentang di depannya. Kenyataannya, di dunia yang sudah hampir mati ini, hanya gadis mungil itu sajalah yang bisa menyelamatkan orang-orang.
Hanya dia.
Seorang gadis kecil nan rapuh yang dianggap terkutuk oleh manusia lainnya.
“Harus seberapa keras aku berteriak agar Engkau bisa mendengar suaraku... Tuhan.”
Riveria bertanya pada hati kecilnya. Entah kenapa kala itu Riveria seakan ingin menangis. Dia merasa bahwa dunia ini sudah bertindak terlalu berlebihan. Tapi, air matanya telah lama kering, menyisahkan tatapannya yang tanpa arti.
“Kenapa aku nggak memiliki perasaan lagi?” Tangan kiri Riveria bergerak meraba dada kirinya. “Kumohon... Tuhan, dengarlah suaraku untuk kali ini saja.” Suara Riveria terdengar layu dan malas.
Matahari sebentar lagi akan menampakkan dirinya, menandakan bahwa dunia ini masih bertahan dan memilih untuk terus melangkah, dan juga memutuskan untuk terus menyiksa umat manusia.
Riveria tetap berdiri di puncak bukit batu itu, menunggu datangnya sinar mentari.
Suara angin yang berhembus melalui jendela dan pintu gedung-gedung yang telah lama hancur dan tertutupi oleh debu yang amat tebal, seakan membawa suara jeritan ke telinga Riveria. Kendaraan, jalan raya, lampu lalu lintas, serta segala yang telah dibangun manusia di kota ini—semuanya telah lama mati.
Dunia ini berhasil bertahan melalui suatu malapetaka—kiamat.
Saat ini, hanya alam yang berkuasa atas bumi. Dan manusia? Manusia hidup dengan mengikuti aturan yang telah dibuat oleh alam. Tak ada lagi hukum manusia.
“Di manakah sebenarnya engkau, Tuhan?”
Akhirnya mata Riveria bisa menangkap sinar keemasan yang bersinar dari ufuk timur. Cahayanya begitu terang dan hangat, menembus pakaian kotor Riveria, dan seolah-olah cahaya itu tengah memeluk dirinya. Tubuh Riveria yang tadinya sangat kaku karena terkena angin malam, sekarang sudah terasa jauh lebih baik.
Waktu itu, meski hanya sesaat, Riveria bisa merasakan sesuatu yang disebut dengan kedamaian. Untuk sesaat—hanya sesaat saja—Riveria bisa melihat sesuatu yang disebut sebagai... “Harapan.”
Sungguh pemandangan yang amat megah, sekaligus perasaan yang luar biasa. Akan tetapi, terbitnya matahari adalah penanda waktu bagi Riveria untuk tidur.
Namun, karena sinar mentari itu juga, Riveria jadi teringat kembali dengan kejadian kemarin malam. Semua kenangan-kenangan yang diterimanya dari orang-orang yang telah pergi, sekarang telah lenyap dari kepalanya. Ia sudah tak merasa pusing lagi. Tapi, bukan berarti ia bisa melupakan kengerian yang dirasakannya saat berdiri di danau itu.
“Aku lelah banget... Hoam...” Mulut Riveria membuka lebar, ia menguap karena saking ngantuknya. Kemudian setelah melemaskan tubuhnya sedikit, Riveria pun mulai berbaring, dan dia pun terlelap begitu saja.
Hanya di puncak bukit batu itu sajalah, Riveria bisa tertidur pulas untuk melepas penat setelah semalaman menunaikan kewajibannya. Meski tak ada bantal yang empuk, atau alas yang lembut, bagi Riveria, tumpukkan bebatuan yang menjulang tinggi ini, adalah tempat yang bisa disebutnya sebagai rumah.
Riveria Agnisia, itulah namanya. Nama yang memiliki dua makna yang berbeda.
Dia adalah nyala api—api mungil yang bahkan bisa padam kapan saja hanya karena sepoy angin. Namun, di saat yang sama, dia adalah sungai—sungai yang amat deras yang akan terus mengalir tanpa ragu dan takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Bee
1.Gaya bahasa
2.Alur cerita
3.Tanda baca
4.Perasaan yang didapat pembaca ketika membaca suatu karya
Finally,,,,Author Pro ini mah
dapet semua
2023-05-17
0
Muh Rezalk Mahmud
angin
2021-08-11
0
Anak Muda Toleransi
kiamat
2021-08-05
0