Usianya baru menginjak dua belas tahun, saat Kevin menangis untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Di tengah hutan yang senyap ini, anak kecil kurus berambut emas itu berlutut di hadapan keputusasaan. Dia menangis di depan sebuah papan kecil yang tertancap di tanah, di mana di papan itu pula terukir satu nama dari orang yang sangat ia sayangi di dunia ini.
Suatu ingatan berputar dalam pandangan Kevin.
Dia melihat seorang anak berambut putih yang jatuh di bawahnya. Tangan anak itu terulur ke arah Kevin seakan dia berharap agar Kevin segera menolongnya. Tapi, Kevin tidak mampu berbuat apa-apa. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat itu, hanya melihatnya jatuh ke dalam lautan api yang mengamuk jauh di daratan.
Namun, waktu itu, Kevin menangkap sebuah senyuman yang terbentuk di bibir anak itu. Dia tersenyum kepada Kevin. Meski ia tahu bahwa kematian kini sudah berjarak satu jengkal saja dari kehidupannya, anehnya, anak itu malah tersenyum.
“Tidak... Tidak... Aku gagal... Ya Tuhan... “ Kalimat singkat itu meluncur keluar dari mulut Kevin. Air matanya mengalir deras di wajah dan tak dapat dibendung lagi. Sungguh rasanya sangat menyakitkan, karena dia telah gagal melindungi seorang sahabat sekaligus keluarga yang paling berarti baginya. “Mereka yang hidup dengan pedang... akan mati dengan pedang... Apakah ini maksudnya? Tapi... Kenapa?“
Setelah perjuangannya selama ini, setelah semua pengorbanan yang diberikannya selama ini, akhirnya, dia gagal. Kevin gagal untuk melindungi Abi, seorang yang dianggapnya sebagai adik di kehidupan ini.
Abi selalu berdiri di depan Kevin dalam situasi apapun. Setiap pagi, saat matahari terbit, anak berambut putih cerah itu adalah orang yang selalu berdiri paling depan untuk menyambut hari esok. Dia adalah anak paling pemberani yang pernah dikenal Kevin seumur hidupnya. Meski tubuhnya kecil, tapi dia memiliki hati yang sangat berani seperti singa.
Akan tetapi, kini Abi telah pergi meninggalkan kehidupan.
Semua yang pernah Kevin lalui bersama Abi juga teman-teman lainnya dalam perjalanan menuju ke dunia manusia, sekarang telah bertukar menjadi sebuah kenangan yang terasa menyakitkan.
Dulu, mereka semua selalu tidur di kamar yang sama, makan di tempat yang sama, berenang di sungai bersama, bercanda gurau bersama, duduk di depan api unggun bersama, bernyanyi bersama, dan mengikuti jalan setapak yang sama. Mereka semua melakukan segalanya hampir bersama-sama.
Namun, karena peperangan, Kevin terpisah dari teman-temannya yang lain, dan satu-satunya yang menemaninya hingga perjalanannya selesai, hanyalah Abi seorang. Akan tetapi, Kevin tak menyangka, bahwa orang yang selalu ada untuknya, sekarang sudah tiada.
Meski begitu, Kevin tahu dia tidak bisa berlama-lama seperti ini. Kesedihannya saat itu cukuplah untuk sehari saja. Dia harus meninggalkan semua penderitaannya di masa lalu dan menuju ke masa depan, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Cukup Abi saja lah yang menjadi bukti bahwa Kevin pernah gagal. Tak perlu ada lagi orang lain yang menjadi korban atas kesalahannya.
“Jika saja aku tidak membunuhnya... Pasti aku tidak akan berada di sini sekarang... “ Kevin bangkit dan memandang papan itu dengan tatapan marah. Pelupuk matanya bengkak mengingat ia sudah seharian menangis. “Baiklah, kalau memang begitu maumu, aku pastikan, aku tidak akan membuat kesalahan lagi. Tak akan pernah.”
Di keesokan harinya, Kevin memutuskan untuk mencari teman-temannya yang lain yang selamat dari perang itu, dan mungkin juga sudah sampai ke dunia ini. Apalagi, mereka semua sudah pernah membuat janji untuk memulai kehidupan baru yang damai di dunia manusia ini bersama-sama. Dan sebagai pemimpin dari rombongan mereka, orang pertama yang harus melanjutkan rencana itu adalah Kevin.
Ya, atau begitulah yang diharapkannya.
Namun, beberapa bulan setelah berduka atas kepergian Abi, takdir yang mengerikan tanpa diduga berhasil menemukan Kevin dan menyeretnya kembali ke dalam hutan itu. Untuk yang kedua kalinya di dunia ini, Kevin kembali dipaksa berlutut di depan dua batu nisan baru yang berada di samping papan nisan Abi.
Terdapat sepasang anting-anting berbentuk api yang terletak di depan batu nisan sebelah kiri, sedangkan di nisan sebelah kanan yang berukuran lebih kecil, dihiasi oleh sebuah busur biru gelap yang dililit akar hijau dengan bebungaan yang tumbuh di sekujurnya.
Kini, dua nama lagi telah pergi, yaitu Ronzo Putra dan Arima Putri. Seorang kakak yang bertampang seperti preman pasar tapi memiliki hati yang tulus, serta seorang adik perempuan periang yang bisa menyelesaikan persoalan apapun dengan memanah.
“Ya Tuhan! apa sebenarnya salahku padamu, hah!?” Kevin meraung keras. Tangannya meremas rerumputan dalam genggamannya, dan kepalanya tertunduk hingga dahinya menyentuh tanah. “Aku sudah menyelesaikan semua yang kubisa! Aku menyelesaikan tugas yang kau berikan padaku! Tapi, kenapa Kau malah mengambil mereka dariku?! KENAPA!?”
Tangisan Kevin terdengar membahana di bawah rintik hujan. Angkasanya gelap, guntur datang lalu pergi begitu saja. Entah kenapa Kevin merasa seakan ada seseorang yang sedang duduk di balik awan-awan itu dan menyaksikan dirinya yang tengah terpuruk dalam penderitaan.
Seluruh tubuhnya terasa hancur menjadi kepingan-kepingan kecil, karena sekarang Kevin sudah kehilangan dua anggota keluarga lagi.
Namun, Kevin tiba-tiba teringat akan satu hal.
Dia teringat saat-saat dimana dia dipertemukan kembali dengan semua sahabat-sahabatnya—seluruh keluarganya—di Taman Bunga Abadi, Faharum, setelah tiga tahun terpisah. Dan di hari itu juga, untuk pertama kalinya mereka semua bisa merasakan apa itu kedamaian setelah bertahun-tahun. Ya, walaupun keesokan harinya mereka harus kembali berpisah untuk menyelesaikan tugas masing-masing, tapi tetap saja, Kevin sangat bersyukur karena mengetahui bahwa mereka semua baik-baik saja.
“Sa-saat itu, ka-kalian semua berkata kalau bunga Faharum a-adalah bunga paling indah yang pernah kalian lihat. Jadi, ku-kuharap kalian senang dengan ha-hadiahku ini. Kamu juga, Abi, ma-maaf aku baru kasih kamu hadiah sekarang.” Kevin lalu menengadah ke angkasa, dan menutup matanya rapat-rapat seraya menghela nafas dalam. Dia merasa sangat lelah.
Meski air matanya terus mengalir deras dan nafasnya terasa sesak, Kevin sudah memutuskan untuk memberikan hadiah terakhir kepada mereka. Kevin mengayunkan tangan kanannya yang masih gemetaran untuk menghasilkan debu-debu cahaya emas, yang kemudian berubah menjadi tiga buah vas bening, yang masing-masing menampung setangkai bunga putih bercahaya di depan ketiga nisan itu.
“Kuharap... Kau menunjukkan belas kasihanmu padaku... Tuhan.” Kevin menghela nafas sekali lagi, dan pasrah kepada sang Takdir.
Akan tetapi, pada kenyataannya, nisan-nisan itu terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Hari berganti hari, musim berganti musim, dan bulan berganti bulan, Kevin selalu datang ke hutan itu untuk berduka, menangis, dan menderita. Empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, dan menjelang akhir tahun, jumlah seluruhnya ada sepuluh nisan yang Kevin letakkan di tempat itu.
Mungkin seperti inilah rasanya terjun ke dalam jurang keputusasaan.
Kevin hampir tak mampu merasakan apa-apa lagi, hatinya sudah hancur lebur. Dia hanya berdiri di sana, di bawah lebatnya hujan salju yang dingin dan menusuk, sambil menatap kosong pada jejeran nisan itu. Sempat Kevin berpikir bahwa raga itu bukan lagi miliknya. Lalu, tak lama kemudian, Kevin pun akhirnya jatuh berlutut, dan mulai menangis dalam diam.
Dunia menjadi hening kala itu.
Seluruh keluarganya telah pergi meninggalkan dirinya seorang.
“Abi... Ronzo... Arima.... Paman Zara... Anna... Kak Alam... Kak Olla... Kak Amalia... Sella... Juga Kak Lion, dimanapun Kakak berada... Maafkan aku... Aku sudah tak bisa lagi. Aku tidak tahu kenapa ini terjadi padaku... pada kita semua. Padahal... kita sudah pernah menyelamatkan dunia ini, tapi... kenapa kalian semua malah pergi?”
Kevin mengangkat kepalanya dan memandang angkasa yang kelabu.
“Tuhan... aku tahu kalau kami semua sudah berdosa... aku paham kalau membunuh itu salah... Tapi... Aku benar-benar tidak menyangka bahwa bayarannya ternyata semahal ini... Kukira... semua teriakkan kami di sana, semua tangisan kami, semua luka kami... kukira semua itu sudah cukup untuk melunasi semuanya... Rupanya aku salah... “
Wajah Kevin yang tadinya kosong, perlahan memancarkan nestapa.
“Kenapa aku selalu terlambat! KENAPA!? Kumohon, sekali saja dalam hidupku, bisakah kau berhenti menyiksaku!?”
Kesedihan, amarah dan penyesalan mulai merasuk dalam dirinya.
“Kau yang menempatkan kami di sana... tempat mengerikan dimana kedamaian itu hanya dianggap sebagai mimpi... dan saat kami berusaha menemukan kedamaian itu, Kau malah menghukum kami sampai seperti ini! Kami sudah menolong banyak orang! Kami sudah berjuang! Tapi kenapa Kau malah menyiksa kami!”
Kevin ada di sana menjelang saat-saat terakhir mereka. Dari Abi, sampai pada Sella, Kevin ada di sisi mereka dan memegang erat tangan mereka. Dia mendengar kalimat terakhir yang mereka ucapkan, dia juga mendengar hembusan nafas terakhir mereka semua. Dan satu-satunya yang Kevin rasakan saat itu terjadi, adalah rasa sakit yang tiada tara.
“Sekali lagi... maafkan aku, ya, semuanya.” Senyuman kecil tiba-tiba terbentuk di bibir Kevin. “Aku akan memulai semuanya dari awal lagi... Tapi, kalian tenang saja... aku berjanji akan membawa kenangan-kenangan itu di kehidupanku yang baru. Jadi... Selamat tinggal.”
Ya, itu terlalu menyakitkan untuk dilihat, jadi pada hari itu, Velicia memilih untuk menutup mata dari pemandangan menyedihkan itu.
Akhirnya, sehari sebelum tahun baru, Velicia kembali ke hutan itu untuk melihat keberadaan makam itu. Gadis berambut pirang keemasan itu berdiri di sana. Dia memandang nisan-nisan itu dengan mata kanannya yang berwarna emas menyala, serta mata kirinya yang berwarna biru mengkilap.
“Sangat keterlaluan untuk membuat anak-anak seperti mereka merasakan penderitaan semacam itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Mereka yang hidup dengan pedang akan mati dengan pedang.” Velicia tersenyum aneh.
Veli meregangkan jari jemari kakinya. Dia tak mengenakan alas kaki apapun, jadi wajar kalau dia bisa merasakan hawa dingin yang terasa menusuk-nusuk telapak kakinya layaknya jarum.
“Menyedihkan, bukan? nasib mereka yang hidup berdampingan dengan keajaiban.”
Veli menatap sedih pada batu nisan yang terletak di bagian paling depan.
“Maaf, ya, Vin, aku nggak bisa membantumu saat kau berusaha menghadapi semua kesengsaraan itu.” Lalu, Veli berpaling dan berniat meninggalkan hutan itu. “Kau sudah berusaha, Vin. Jadi... kau bisa beristirahat sekarang.”
Ada banyak bulu burung berwarna emas yang berhamburan di sekitar nisan itu, juga sebuah jaket berwarna abu-abu yang menggantung di atas nisan. Satu nama terukir di situ, dan nama itu adalah namanya. Kevin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments