Sejak dua hari yang lalu, Joni selalu datang ke taman itu bukan karena banyaknya botol-botol bekas atau barang-barang bekas yang bisa dia punguti, melainkan karena keberadaan seorang kakek tua misterius yang berdiam di taman itu dari siang sampai sore bersama dengan teman-temannya yang aneh.
"Apa, sih, yang aneh dari teman-teman kakek itu?" Tanya Bagas heran.
"Kalau yang kamu maksud itu kakek-kakek yang selalu pakai kacamata dan baju batik coklat itu, ya, aku nggak pernah lihat kalau dia punya teman di taman. Dia sendirian terus, kok." Celetuk Rima.
"Hmm... " Joni lalu memandang sekeliling.
Karena masjid di kejauhan sudah mulai mengumandangkan adzan, berarti sekarang harusnya sudah hampir pukul dua belas siang, yang artinya Joni akan pergi meninggalkan tempat yang kumuh ini dan berkeliling kota untuk mencari barang-barang bekas yang bisa didaur ulang.
"Tapi... aku nggak bohong, kok. Kakek itu punya banyak teman. Cuma... " Terdengar keraguan dari suara Joni. "Teman-temannya memang aneh. Mereka bukan orang seperti kita. Mereka seperti hewan, tapi bukan hewan."
"Ya, terus saja dengarkan ocehan Joni, biar kalian dihukum sama Bos." kata seorang anak bertubuh besar yang sukses membuat anak-anak lainnya langsung bergegas pergi dari sana, termasuk Joni.
Kenyataannya, Joni adalah seorang pemulung. Sejak kecil dia ditinggalkan di jalanan oleh kedua orang tuanya, tapi untungnya ada orang yang memungut Joni dan merawatnya hingga sekarang. Dia adalah Bos Anca, salah seorang pemimpin preman di daerah Jakarta Pusat ini. Walaupun Bos Anca merupakan seorang preman, tapi dia adalah orang yang baik.
Semua anak-anak yang ada di sini adalah anak pungut Bos Anca. Di bawah kolong jembatan ini, Joni dan teman-temannya biasanya beristirahat sebelum lanjut memulung lagi di siang hari.
Namun, saat semua teman-temannya pergi ke satu daerah yang sangat ramai, anehnya Joni malah melangkah ke arah yang berlawanan, tepatnya menuju ke suatu taman yang tak jauh dari pusat kota.
Anak kecil bertampang tak karuan itu berjalan dengan santainya menyusuri trotoar. Meski tubuhnya memancarkan aroma yang tak sedap, tapi dia terus melangkah dan memasang senyum lebar di bibirnya.
Joni tahu kalau orang-orang di sekitarnya selalu menjaga jarak darinya. Entah apa yang mereka takuti dari Joni. Mungkin bau badannya, atau tubuhnya yang kotor, atau mungkin juga mereka curiga dengan isi dari karung yang tergantung di punggung Joni. Tapi Joni tidak peduli dengan hal itu.
Biarkan orang-orang itu tetap menjadi diri mereka sendiri, dan Joni tetaplah Joni. Begitu lebih baik, bukan? Bos Anca saja setuju dengan Joni. Lagi pula, Joni tidak melakukan kesalahan apapun kepada orang-orang.
"Lho? Kamu mau pergi ke taman lagi, ya?" Tanya seorang pemuda tinggi yang tiba-tiba muncul di samping Joni.
Lelaki itu berpakaian rapi dan keren layaknya orang-orang kaya. Dia mengenakan pakaian yang tampak mahal dan wangi. Wajahnya juga tampan seperti artis-artis yang biasa dilihat Joni di televisi. Namun, lelaki itu memiliki sesuatu yang aneh di belakang pantatnya, dan itu adalah ekor. Pemuda itu benar-benar memiliki tiga ekor berbulu putih bersih dan terlihat sangat lembut.
Meski begitu, Joni tidak ambil pusing dengan keanehan yang dimiliki pemuda ini. Dia bersedia berjalan bersebelahan dengan Joni, dan hal itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa dia adalah orang yang baik sama seperti teman-temannya, dan juga Bos Anca.
"Kamu ini teman kakek itu, kan?" Tanya Joni spontan.
"Ya, benar. Dan, kamu ini anak yang suka memperhatikan kakek, kan?" Pemuda itu tersenyum tipis.
"Eh... Hehe—Tolong jangan kasih tahu dia, Kak." Kata Joni yang tiba-tiba berkeringat dingin sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan gelisah.
"Kau tenang saja, aku nggak akan memberitahu kakek, kok."
"Hahaha—Makasih, deh, kalau begitu."
"Hmm... Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya tentang sesuatu." Ungkap pemuda itu ragu-ragu. "Kamu ini, kan, masih kecil, ya? Tapi, kok, kamu sudah bekerja begini, sih? Orang tuamu di mana?"
Mendengar pertanyaan ini, Joni merasa sedikit heran sekaligus bingung.
"Lho... aku, kan, pemulung, Kak. Masa Kakak nggak sadar, sih?" Tanya Joni yang baru saja memungut beberapa gelas plastik.
"Pemulung? Apa itu? Makanan, ya?"
Dilihat dari raut wajah pemuda itu, tampaknya dia tidak sedang bercanda. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang pemulung.
"Eh... itu pekerjaanku." Joni menjelaskan. "Kami memunguti gelas-gelas minuman atau botol-botol yang terbuat dari plastik, juga barang-barang bekas yang sudah dibuang oleh orang, atau sesuatu yang sudah tidak dibutuhkan tapi masih memiliki sedikit harga. Terus, nanti malam kami akan menyerahkannya pada Bos Anca buat dijual."
"Oh, rupanya pekerjaanmu itu ternyata nggak jauh beda dengan pekerjaanku."
Hening sejenak.
Joni memandang ke angkasa, dan melihat ada banyak gumpalan awan di atas sana yang melindunginya dari sengatan sinar mentari. Namun, karena pemandangan itu, Joni jadi tersadar akan satu hal.
"Heh!?" Joni memekik heran. "Kakak pemulung juga!?"
"Sepertinya begitu. Soalnya si Kakek selalu mengajak kami ke taman buat memunguti sampah-sampah yang mengotori taman. Tapi... aku nggak tahu kalau sampahnya bisa dijual." Wajah lelaki itu masih tidak berubah. Dia benar-benar serius dengan perkataannya. "Terus, siapa itu Bos Anca? Apa dia orang tuamu?"
"Ah... bukan. Dia itu orang yang merawatku. Soalnya aku nggak punya orang tua. Waktu kecil, aku dibuang di jalanan, dan Bos Anca yang memungutku dan membesarkanku."
"Tunggu—Apa!? Kau dibuang oleh orang tuamu!?" Pemuda itu terkejut. "Kenapa bisa begitu!? Kenapa mereka melakukan hal jahat seperti itu!?"
"Kata Bos Anca, orang tua biasanya membuang anak mereka bukan karena mereka tidak menginginkan kita, tapi karena mereka juga memiliki masalah sendiri." Ujar Joni.
"Tapi, bukannya itu tidak layak? Mereka berarti orang jahat, kan? Cih... semua manusia sama saja rupanya. Para pendosa yang tak tahu berterima kasih pada sang Pencipta."
"Lho... Kakak nggak boleh bicara begitu, lah. Mereka juga pasti punya alasan. Siapa tahu saja, karena ada aku, mereka jadi tambah menderita atau masalah mereka jadi tambah besar. Makanya mereka membuangku. Toh, begitu juga bagus, kan? Dari pada harus melihat orang yang kita sayangi kesakitan."
"Tapi, setelah semua yang terjadi, masa, sih, kamu masih sayang dengan orang tuamu? Kamu saja nggak pernah melihat mereka, kan?"
"Ya, nggak apa-apa kok. Lagian, kalau nggak ada mereka, pasti aku juga nggak berbicara dengan Kakak sekarang."
Lelaki itu terdiam dan tampak sedang berkutat dalam benaknya, tapi entah kenapa ekornya bergoyang-goyang dengan cepat seperti cacing yang kepanasan. Lalu, tak lama kemudian, pemuda itu berdeham pelan dan kembali angkat bicara, "Hmm... Sepertinya aku harus menarik kembali semua kata-kata burukku tentang manusia."
"Hmm?"
"Tapi, kulihat-lihat, sepertinya kamu kayaknya nggak keberatan, ya, hidup seperti ini? Atau itu hanya perasaanku saja?"
Joni cukup terkejut mendengarnya. "Ah... bukannya nggak keberatan, Kak. Cuma, aku sudah bahagia bersama dengan teman-temanku. Walau kami memang tidak punya banyak uang, tapi kalau berhemat, pasti kami bisa bertahan, kok."
Tak jauh di depan sana tampak suatu daerah yang ditumbuhi banyak pepohonan yang hijau dan rimbun. Tinggal beberapa langkah saja lagi, Joni akan sampai di taman itu. Bahkan sebenarnya Joni sendiri sudah tak sabar untuk bertemu banyak orang-orang menarik seperti pemuda itu di sana.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?" Tanya pemuda itu tiba-tiba.
Joni seketika terdiam begitu mendengar pertanyaan yang tak terduga itu. Seolah-olah pertanyaan itu membawa suatu perasaan yang aneh ke dalam diri Joni. Rasanya sangat dingin, dan menusuk, dan membuat senyumnya hilang untuk sesaat.
"Aku... hanya ingin hidup." Kata Joni dengan suara berbisik. "Aku ingin terus hidup, dan membantu orang-orang yang tak beruntung sepertiku. Aku... aku ingin menuntun mereka dan memastikan mereka semua tetap hidup hingga besok... "
Sesampainya di taman itu, Joni melihat ada lumayan banyak orang yang sedang nongkrong di sana. Tapi, mata Joni langsung tertuju pada seorang kakek tua yang duduk sendiri di bangku panjang di bawah pohon. Kakek misterius itu hanya diam di situ, dengan kedua tangannya yang berpegang pada tongkat di depannya, sementara matanya terpaku memandang ke bawah.
Namun, selain pemandangan biasa itu, mata Joni juga bisa menangkap hal-hal aneh yang ada di taman itu.
Ada banyak makhluk aneh di sana. Jika dihitung, jumlah mereka mungkin ada lima belas termasuk si pemuda. Mereka berada di setiap sisi taman dan mengawasi orang-orang, atau tepatnya, mereka memunguti sampah-sampah yang ditinggalkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, yang lalu mereka masukkan ke dalam salah satu dari dua karung yang berada di dekat air pancuran.
Sebagian dari mereka ada yang sosoknya hampir terlihat sama seperti orang-orang biasa pada umumnya, tapi mereka memiliki setidaknya satu bagian aneh yang melekat pada tubuh mereka, sama seperti si pemuda yang memiliki ekor. Sementara sebagiannya adalah sosok-sosok yang wujudnya sama sekali tidak menyerupai manusia. Bentuk mereka malah terlihat seperti hewan, hantu, monster dan entah apa lagi.
"Yah... Sudah nggak ada apa-apa lagi yang bisa dipungut di sini... " Kata Joni pasrah.
"Kau boleh, kok mengambil punya kami." Kata si pemuda sambil menunjuk ke arah karung. "Karung yang di sebelah kanan, isinya itu khusus untuk sampah-sampah yang bisa didaur ulang, kok."
"Wah! Yang benar, Kak!?" Tanya Joni tak percaya.
"Ya, tentu saja."
Tanpa basa-basi lagi, Joni langsung melesat ke pancuran itu untuk melihat isi dari karung itu, dan ternyata ada begitu banyak gelas dan botol plastik di dalamnya. Makhluk-makhluk aneh yang ada di sana juga ikut merapat ke tempat Joni, dan mereka semua terlihat senang, termasuk si pemuda.
Akan tetapi, Joni sama sekali tidak sadar bahwa si Kakek misterius itu ternyata sudah bangkit dari bangkunya dan tengah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tiba-tiba saja Kakek itu tersenyum kecil, dan tak lama kemudian, dia pun berjalan pergi meninggalkan taman, hingga akhirnya dia hilang di antara kerumunan pejalan kaki yang baru saja masuk ke dalam taman. Sementara itu, si pemuda yang menyadari kepergian kakek itu, hanya mampu berdiri di sana dan melihat kepergiannya, begitu juga dengan semua teman-teman anehnya.
"Selamat tinggal, Tuan." Bisik si pemuda.
"Hey, Kakek itu, kok, sudah nggak ada?" Tanya Joni yang baru sadar kalau kakek itu sudah tak ada lagi di sana.
"Hmm... Joni, aku mau bertanya lagi padamu." Ujar si pemuda.
"Apa lagi, Kak?" Tanya Joni yang sedang fokus memindahkan setengah dari isi karung itu ke karung miliknya.
"Boleh nggak aku jadi sahabatmu?"
Pertanyaan itu berhasil memancing minat Joni. "Wah! Tentu saja, Kak! Dan... dan... Kakak tenang saja, deh! Aku nggak akan minta uang Kakak, kok!" Kata Joni tampak bangga.
"Baiklah, itu aneh." Kata sesosok serigala yang berdiri layaknya seperti manusia.
"Wajar, dia masih anak-anak." Ujar sesosok makhluk kerdil berwajah lucu, berkulit hijau dan memiliki telinga yang panjang dan lancip.
"Begini, Joni." Kata si pemuda seraya berlutut satu kaki di depan Joni, sementara satu tangannya memegang pundak Joni. "Kalau aku boleh menjadi sahabatmu, aku akan membantumu untuk mendapatkan segala yang kau inginkan, termasuk menjagamu dan juga teman-temanmu. Dan kalau aku menjadi sahabatmu, maka teman-temanku ini juga akan menjadi temanmu, dan kami juga akan membantumu mengumpulkan semua sampah yang ada di dunia ini. Gimana?"
Joni seketika memandangi semua makhluk-makhluk aneh itu dengan heran, dan kemudian, sambil tersenyum lebar dia berkata, "Ya, tentu saja aku mau, Kak!"
"Baiklah kalau begitu." Pemuda itu bangkit berdiri sembari mengambil sesuatu dari dalam kantong celananya, itu adalah sebuah kalung yang tampak indah, dengan empat belas batu berwarna-warni yang tertata pada hiasannya yang berbentuk lingkaran, dan sebuah batu berwarna hitam berukuran agak besar yang berada di bagian tengahnya.
"Kalung ini buatku?"
"Ya, ini untukmu." Jelas si pemuda. "Dengan kalung ini, kamu bisa meminjam kekuatanku, dan juga kekuatan salah satu dari mereka. Tapi, kau hanya boleh menggunakannya di saat-saat penting saja, oke?"
"Hmm... Beneran, Kak?" Tanya Joni heran sambil memandangi kalung itu. "Kalung ini kelihatannya mahal banget, lho... "
Si pemuda, beserta teman-temannya yang aneh tiba-tiba tertawa pelan setelah mendengar apa yang dikatakan Joni.
"Lho? Kenapa?"
"Ah... Nggak, kok." Jawab pemuda itu sambil mengusap kepala Joni. "Ya, sudah, kita pulang ke rumahmu, yuk?"
"Ah... baiklah. Ayo, Kak."
Namun, saat Joni berniat untuk pergi meninggalkan taman itu, tiba-tiba saja ada seorang gadis bertubuh tinggi yang memiliki empat lengan, yang mengambil kedua karung Joni, lalu memasukkannya ke dalam mulut sesosok makhluk berbulu biru dan bertubuh besar. Kedua karung yang yang isinya hampir penuh itu benar-benar masuk ke dalam perut makhluk bertampak lucu dan berbulu lebat itu.
"Kok—"
"Joni tenang saja, kami, kan, teman-temanmu sekarang, jadi kami akan membantumu membawa barang-barang itu ke tempatnya si Bos Anca itu." Jelas si pemuda seraya menggandeng tangan Joni, lalu menuntunnya keluar dari taman. "Ayo kita pulang."
Joni berjalan di depan bersama pemuda itu, sementara teman-temannya yang lain mengikuti dari belakang.
"Oh, iya, Joni, namaku adalah Ulficer, tapi kamu boleh memanggilku Ulfi."
"Oke, Kak Ulfi. Dan namaku Joni, Kak."
"Ya, aku tahu, kok, Joni." Ujar Ulfi. "Itulah sebabnya kami memilihmu untuk melindungi orang-orang... "
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Arika_Ririnka
Keren banget ceritanya
2020-06-23
3